• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI WARISAN NuSANTARA hINGGA DIPlOmASI buDAYA

Megamendung merupakan nama salah satu motif batik dari Cirebon. Motif ini melambangkan awan pembawa hujan sebagai pembawa kesuburan dan pemberi kehidupan.

Paduan warna biru dan merah yang digunakan dalam batik ini menunjukkan adanya pengaruh budaya Tionghoa di Cirebon.

Motif khas Cirebon ini merupakan warisan nusantara yang sudah dikenal luas secara nasional dan global. Sebagai bukti ketenarannya, motif ini pernah dijadikan sampul sebuah buku yang berjudul Batik Design karya Pepin van Roojen. Hal tersebut menunjukkan bahwa batik megamendung dapat digunakan sebagai media diplomasi budaya. Media diplomasi budaya ini akan lebih efektif jika para penggunanya mengetahui makna yang terkandung dalam motif megamendung.

Kata kunci: Megamendung, warisan nusantara, diplomasi budaya

Yostiani Noor Asmi Harini, M.Hum Universitas Padjadjaran

email: titixhunter@yahoo.com

Pendahuluan

Secara etimologis kata “batik” berasal dari bahasa jawa “amba” dan “titik”.

“Amba” berarti kain yang lebar atau luas sedangkan “titik” berarti membuat titik (Yuliati, 2009). Arti kata “batik” jika dilihat secara etimologis adalah proses menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Dalam proses pembuatan titik tersebut digunakan alat bernama canting dan bahan perintang warna yang disebut malam.

Batik memiliki motif dan warna yang berbeda-beda, tergantung dari segi geografis dan tempat “lahirnya” batik tersebut. Jika dilihat berdasarkan pembagian daerah pembatikan, terdapat batik keraton dan batik pesisir.

Pendapat Indrojarwo yang dibahas Seliriana (2012: 48), batik keraton adalah batik dari daerah kerajaan Solo dan Yogyakarta sedangkan batik pesisir adalah

batik yang di luar daerah tersebut. Batik keraton memiliki corak dan warna yang tunduk pada pola aturan tertentu. Hal itu berbeda dengan batik pesisir yang motifnya bersifar naturalis dengan penggunaan warna yang beraneka ragam.

Sebelum adanya pengakuan dari UNESCO mengenai batik Indonesia sebagai warisan dunia kategori budaya tak benda, terdapat perdebatan mengenai asal muasal batik. Pendapat Suleman dikutip oleh Hamzuri (1989: 10) “batik bukan budaya asli Indonesia melainkan berasal dari Cina”. Pendapat Suleman tersebut didukung oleh Medley yang meneliti bejana-bejana keramik dari masa dinasti Tang di Cina. Pemberian warna pada keramik tersebut menggunakan malam sebagai bahan perintang warna.

Meskipun demikian, batik Indonesia berbeda dengan batik negara lain.

Batik Indonesia memiliki motif dan ragam hias yang berkaitan erat dengan falsafah hidupnya. Bahkan menurut salah satu entri dalam kamus Belanda Van Dale Nieuw Handwoorbenboek der Nederlandse Taal yang dikutip Yuliati (2009), kata battiken adalah cara orang Indonesia untuk melukisi dan mewarnai kain. Produk dari kegiatan battiken itu disebut batik. Selain itu, terdapat pula Prasasti Gulung-gulung (929 M) yang hal tersebut menunjukkan bahwa Belanda mengakui bahwa batik merupakan budaya asli Indonesia, warisan nusantara.

Cirebon sebagai salah satu wilayah nusantara merupakan salah satu kota sentra batik. Di Cirebon, terdapat motif berupa awan yang memiliki gradasi warna. Motif awan tersebut disebut sebagai Mega Mendung. Batik motif Mega Mendung memiliki warna dasar merah dengan awan berwarna biru. Motif batik ini jika dilihat berdasarkan pengelompokkan jenis batik di atas termasuk ke dalam batik pesisir.

Meskipun demikian, Apriningrung (2007) memiliki pendapat yang berbeda.

Apriningrung (2007: 12) mengelompokkan batik Mega Mendung ke dalam batik keraton. Hal ini terjadi karena motif batik tersebut tercipta di lingkungan keraton Cirebon. Pendapat tersebut diperkuat oleh adanya penelitian yang dilakukan Yuniati (2001). Dalam penelitiannya, Yuniati mengemukakan bahwa motif Mega Mendung merupakan ragam hias yang tidak hanya ada dalam batik tetapi banyak pula menghiasi bangunan-bangunan di Keraton Kanoman dan Kasepuhan.

Motif yang melambangkan awan pembawa hujan sebagai pembawa kesuburan dan pemberi kehidupan ini konon dipengaruhi oleh budaya Tionghoa di Cirebon. Hal ini tampak dari paduan warna biru dan merah yang terdapat di dalamnya. Pengaruh budaya Tionghoa tersebut menurut Kudiya (2009) muncul karena adanya pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Ratu Ong Tien (abad ke-16). Dalam perkembangannya, motif ini mengalami berbagai transformasi.

Motif yang pada awalnya hanya dibuat melalui teknik tulis dan cap, kini telah menggunakan pula teknik sablon dan printing. Selain itu, motif yang pada

mulanya hanya digunakan pada pakaian, kini telah digunakan dalam bentuk lain seperti seprai, taplak, dan lain-lain.

Motif batik Mega Mendung yang merupakan salah satu warisan nusantara ini rupanya telah terkenal di dalam negeri bahkan hingga ke mancanegara.

Sebagai bukti ketenarannya, motif ini mengalami transformasi menjadi sampul sebuah buku yang berjudul Batik Design karya Pepin van Roojen. Selain itu, terdapat pula desainer Inggris yang memodifikasi motif Mega Mendung pada acara Fashion Week 2011 di London.

Batik Design karya Pepin van Roojen

Sumber gambar: http://www.

penangbookshelf.com/media/02/

a20791a1332e5aec70debb_m.JPG (diakses pada 14 Februari 2013)

Koleksi musim semi dan panas 2012 karya designer Julien Macdonald di London Fash-

ion Week 2011

Sumber gambar: http://cangkang.vivanews.

com/liburan/news/read/249088-batik-mega- mendung-di-london-fashion-week (diakses pada

14 Februari 2013)

Roojen menyebutkan bahwa gambar pada sampul bukunya tersebut merupakan motif batik Mega Mendung yang berasal dari Cirebon. Hal tersebut berbeda dengan MacDonald yang tidak menyebut corak tersebut sebagai motif Mega Mendung. Ia hanya mengatakan bahwa rancangan tersebut terinspirasi dari desain tato cetak asia yang ia sebut sebagai tato naga1.

Transformasi Mega Mendung yang begitu cepat bisa saja membuat masyarakat lupa mengenai akar nilai-nilai yang terkandung dalam motif Mega Mendung. Jika akar ini tidak lagi dikenali masyarakat dapat saja terjadi klaim dari negara lain mengenai khazanah ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat dilakukan berbagai cara salah satunya adalah dengan menggali tranformasi yang terjadi pada motif batik Mega Mendung. Transformasi yang terjadi dapat ditelusuri melalui unsur berikut ini: Ekspansi apa sajakah yang terdapat dalam motif Mega Mendung? Konversi apa sajakah yang terjadi dalam motif Mega Mendung? Modifikasi apa sajakah yang terjadi dalam motif 1 Dikutip dari tulisan Pipiet Tri Noorastuti “Batik Mega Mendung di London Fashion Week:

Corak Batik Khas Cirebon itu Mewujud Melalui Kreasi Perancang Ternama Asal Inggris”

dapat dilihat di lamanhttp://cangkang.vivanews.com/liburan/news/read/249088-batik- mega-mendung-di-london-fashion-week (diakses pada 14 Februari 2013)

Mega Mendung? Apa irisan dari transformasi yang terdapat dalam motif Mega Mendung?Penelusuran transformasi diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai ekspansi, konversi, modifikasi, dan irisan yang terjadi.

Keempat aspek tersebut akan dikaji melalui sudut pandang folklor dan teori transformasi yang akan dipaparkan di bawah ini.

Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini dilakukan tinjauan terhadap berbagai pustaka yang relevan dengan hal-hal yang terkait dengan masalah penelitian. Teori yang relevan dengan penelitian ini di antaranya adalah teori folklor dan trasnformasi.

Folklor merupakan adat istiadat tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Menurut Danandjaja (2002: 21), folklor terbagi menjadi tiga yaitu:

folklor lisan, setengah lisan, dan bukan lisan. Sebagai folklor, motif Mega Mendung merupakan folklor bukan lisan yang memiliki ciri-ciri folklor (Danandjaja, 2002:

21) yaitu: 1) biasanya diwariskan secara lisan; 2) bersifat tradisional; 3) ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda; 4) bersifat anonim; 5) biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola; 6) mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif; 7) memiliki logika tersendiri; dan 8) menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.

Mega Mendung yang memiliki ciri-ciri folklor dikaji berdasarkan sudut pandang folklor dan transformasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:

1209) transformasi ialah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi). Dalam konteks penelitian ini digunakan teori mengenai transformasi yang dikemukakan oleh Riffaterre yang dikembangkan oleh Pradotokusumo. Meskipun kedua teoritikus tersebut mengungkapkan teorinya dengan melihat bagaimana suatu teks diproduksi namun menurut saya teori mengenai transformasi ini dapat pula diaplikasikan pada penelusuran motif batik. Hal ini dapat dilakukan karena dalam motif batik terdapat nilai-nilai estetik yang dapat dicermati sebagai analogi ilmu bahasa. Unsur-unsur yang hadir dapat dilihat sebagai bahasa rupa yang mengomunikasikan sesuatu. Unsur-unsur seperti bentuk dan warna dapat diperhatikan sebagai suatu ungkapan komunikasi antara pembuat batik Mega Mendung dengan pengguna dan penikmatnya.

Riffaterre (1978: 47) mengemukakan bahwa transformasi terjadi melalui dua cara yaitu melalui ekspansi dan konversi. Selanjutnya, Riffaterre (1978:

48) mendefinisikan ekspansi sebagai perluasan atau pengembangan bentuk yang lebih dulu ada menjadi bentuk yang lebih kompleks. Sedangkan konversi didefinisikan sebagai pemutarbalikan aspek-aspek yang terdapat dalam bentuk yang lebih dulu ada (Riffaterre, 1978: 63).

Apa yang dikemukakan oleh Riffaterre tersebut dikembangkan oleh Pradotokusumo (1986). Pradotokusumo seperti dibahas Pudentia (1992: 72),

menyatakan bahwa transformasi terjadi pula oleh modifikasi dan ekserp2. Modifikasi adalah perubahan sebagian atau seluruh unsur yang ada dalam bentuk yang lebih dulu ada. Perubahan akan melahirkan estetika baru. Di dalamnya ada penyimpangan, manipulasi dan penyisipan berbagai hal yang dianggap relevan.

Metode

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, tipologi penelitian yang digunakan berdasarkan sifatnya adalah deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai mengamendung sebagai warisan nusantara hingga diplomasi budaya. Pada penelitian ini, data dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Setelah data terkumpul, saya mengolah dan menganalisis data dengan pendekatan kualitatif. Berikut adalah hasil dan pembahasan motif Mega Mendung dari warisan nusantara hingga diplomasi budaya.

Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini, motif batik Mega Mendung yang berada dalam buku Batik Design karya Pepin van Roojen dipandang sebagai desain yang terlebih dahulu ada. Hal ini dilakukan dengan cara melihat tahun munculnya karya tersebut (1996). Kemudian, akan dibandingkan dengan motif Mega Mendung dalam desain baju, tas, taplak meja, dan sandal.

Untuk memudahkan penganalisisan, gambar ini diberi kode. Dalam pembahasan, motif Mega Mendung pada sampul buku Batik Design akan disebut dengan kode A. Motif Mega Mendung yang terdapat dalam baju perempuan berwarna kuning akan disebut dengan kode B sedangkan baju yang dikenakan pada peragaan busana di London Fashion Week 2011 akan disebut dengan kode C. Motif mega mendung dalam taplak meja akan disebut dengan kode D sedangkan mega mendung pada tas pesta disebut dengan kode E. Kemudian, motif mega mendung pada sandal akan disebut dengan kode F. Hasil penelitian akan dipaparkan berdasarkan keempat aspek yang telah disebutkan pada bab pendahuluan yaitu ekspansi, konversi, modifikasi dan irisan.

Tabel 1. Gambar Motif Mega Mendung dan Kode Gambar

2 Pada kesempatan ini saya akan menggunakan istilah “irisan” untuk mengganti kata

“ekserp”. Penggunaan kata ekserp oleh Pudentia dimaksudkan sebagai intisari dari sebuah karya. Akan tetapi, menurut saya, ketika sebuah karya ditransformasikan intisarinya tidak ada karena merupakan hal yang berbeda. Menurut saya, akan lebih tepat menggunakan kata irisan. Seperti dalam istilah matematika, irisan digunakan untuk menamai bagian yang menjadi anggota himpunan yang satu sekaligus juga sebagai anggota himpunan yang lain. Irisan merupakan potongan yang menjadi anggota kedua himpunan

Gambar

Sampul buku Batik

Design karya Roojen Baju perempuan karya desainer

Indonesia

Baju perempuan karya desainer Macdonald di London Fashion Week

2011 Kode

gambar A B C

Gambar

Taplak meja Tas Pesta

Sandal Kode

gambar D E F

Ekspansi

Ekspansi atau pengembangan bentuk motif Mega Mendung dari yang lebih dahulu ada menjadi bentuk yang lebih kompleks dapat dilihat dalam gambar B.

Ekspansi tampak pada keberadaan garis yang bukan berupa awan.

Ekspansi motif Mega Mendung A tampak dalam desain B. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya garis yang bukan berupa awan. Garis tersebut berupa lengkungan-lengkungan sejajar yang mencekung di bagian pinggang kemudian mencembung dibagian pinggul. Di setiap garis lengkung yang cembung, terdapat bunga berwarna merah muda. Berdasarkan adanya garis lengkung dan keberadaan bunga tersebut, motif Mega Mendung dalam gambar B mengalami ekspansi bentuk dan warna.

Ekspansi dalam bentuk menunjukkan adanya pemanfaatan garis untuk membentuk siluet tubuh perempuan sehingga tampak seperti jam pasir.

Adapun keberadaan bunga berwarna merah muda pada motif Mega Mendung menunjukkan feminitas perempuan.

Konversi

Pemutarbalikan aspek-aspek yang terdapat dalam bentuk yang lebih dulu ada tampak dari gambar B dan C. Jika kita bandingkan gambar B dan C dengan gambar A maka akan tampak jelas bahwa ada pemutarbalikan bentuk awan.

Bentuk awan yang tersusun horizontal pada gambar A justru disusun secara vertikal pada gambar B dan C.

Bentuk awal yang horizontal melambangkan dunia atas dan memiliki makna transendental. Hal tersebut dapat dimaknai pula sebagai representasi hubungan manusia dengan sang pencipta. Hal ini diperkuat lagi oleh adanya pola dalam batik keraton Cirebon yang umumnya tersusun horizontal menggambarkan jajaran atas, tengah, dan bawah. Pembagian wilayah ini dipengaruhi oleh kosmologi yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, bentuk awan yang vertikal tidak lagi dimaknai sebagai hal yang transendental tetapi merupakan hal yang profan. Bentuk awan yang vertikal pun dapat dimaknai sebagai representasi hubungan manusia dengan sesama manusia.

Jika kita perhatikan, acapkali bentuk susunan awan yang vertikal digunakan sebagai pakaian perempuan. Dalam tabel gambar di atas pun dapat dilihat bahwa dua pakaian perempuan baik yang didesain oleh desainer Indonesia maupun oleh desainer Inggris menggunakan susunan awan yang vertikal. Penggunaan susunan awan vertikal dalam pakaian dapat membangun ilusi visual mengenai bentuk tubuh pemakai pakaian yaitu pemakai akan terkesan ramping. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan ingin tampak ramping saat dilihat. Selain itu, hal ini pun merepresentasikan adanya wacana yang beredar mengenai tubuh ideal baik oleh laki-laki ataupun menurut perempuan itu sendiri.

Selain bentuk susunan awan yang diputarbalikkan, dalam gambar B tampak pula warna yang diputarbalikkan. Pada gambar A, C, D, dan E warna awan dan warna dasar begitu kontras sedangkan pada gambar B dan F warna tidak kontras. Penggunaan warna yang kontras antara awan dan warna dasar menguatkan makna transendental dan menunjukkan adanya paradoks.

Kata “Mega Mendung” berasal dari kata “mega” yang berarti awan dan

“mendung” yang bermakna keadaan langit yang gelap. Keadaan langit yang gelap tersebut di satu sisi bisa saja dimaknai sebagai sesuatu yang baik yaitu Tuhan akan menurunkan hujan untuk membasahi tanah-tahan yang tandus agar tanah tersebut dapat subur kembali. Sehingga, manusia akan dilimpahi rezeki. Akan tetapi, langit yang gelap tersebut di sisi lain dapat pula dimaknai sebagai pertanda buruk yang dapat memusnahkan manusia. Bisa saja ketika Tuhan menurunkan hujan, Tuhan menurunkan pula badai sehingga mengancam keselamatan manusia.

Mega Mendung yang merupakan tanda turunnya hujan dapat membuat manusia berserah diri pada Tuhan mengenai hal-hal di luar jangkauannya:

mengenai datangnya anugrah dan bencana, hadirnya kebahagiaan dan kesedihan, serta munculnya kehidupan dan kematian. Mega Mendung yang mengandung warna kontras tetapi juga memiliki gradasi warna di setiap awannya menunjukkan sebuah proses yang harus dijalani manusia. Paduan

warna yang tidak kontras pada gambar B justru menunjukkan bahwa “mega”

tidak “mendung”. Kesan yang muncul justru tidak paradoks. Kesan yang muncul justru keserasian dan keseimbangan. Hal ini dipertegas dengan keberadaan garis lengkung yang membentuk tubuh perempuan serupa jam pasir.

Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa konversi yang terjadi dalam motif batik dan warna Mega Mendung tidak menunjukkan transendental tetapi justru menghubungkan relasi antarmanusia terutama mengenai bagaimana tubuh yang ideal bagi perempuan dipersepsi oleh masyarakat.

Modifikasi

Motif Mega Mendung yang pada awalnya hanya ada dalam tekstil atau batik ternyata terdapat pula dalam arsitektur bagunan keraton di Cirebon. Menurut Yuniati (2001) motif Mega Mendung terdapat dalam bangunan Kepurbakalaan Islam Cirebon, di antaranya adalah Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa motif Mega Mendung sudah mengalami berbagai modifikasi sejak zaman dahulu. Meskipun demikian, saat ini kita dapat melihat modifikasi Mega Mendung yang terdapat dalam gambar A, B, C, D, E, dan F.

Pada gambar A, Mega Mendung dimodifikasi menjadi sampul buku.

Meskipun demikian, modifikasi hanya berada pada tataran media saja tidak mengubah warna dan motif Mega Mendung. Berbeda dengan gambar A, pada gambar B modifikasi tidak tampak pada media yang digunakannya. Pada gambar C terdapat topi yang merupakan aksesoris yang dimodifikasi dari motif pakaian. Keberadaan topi sebagai aksesoris melahirkan estetika baru.

Pada gambar C terdapat modifikasi pada warna. Meskipun awan yang bergradasi warna biru sangat kontras dengan warna putih, namun kesan terhadap Mega Mendung tidak akan didapat. Kesan yang muncul justru “mega”

yang tidak “mendung”—awan yang cerah.

Pada gambar D modifikasi berada pada tataran penggunaan motif. Motif pada gambar D digunakan sebagai taplak meja. Sayangnya, motif ini pun tidak menunjukkan “mega” yang “mendung”. Pada gambar E modifikasi motif tampak pada tataran penggunaan motif sebagai tas pesta dan adanya manik-manik berupa batu alam yang memiliki tiga warna.

Penggunaan motif dan warna pada gambar E yang nyaris sama dengan Mega Mendung “yang asli”/warna yang lebih dahulu ada. Akan tetapi, motif pada gambar E warna dasar dijadikan pula sebagai warna dalam awan. Padahal jika menggunakan motif Mega Mendung seperti pada gambar A, penggunaan batu alam akan semakin menguatkan nilai transendental. Hal ini terjadi karena Mega Mendung yang melambangkan unsur transendental (awan) dikuatkan oleh unsur yang melambangkan dunia pancer tengah (batu/bumi). Keberadaan motif Mega

Mendung yang dimodifikasi batu alam yang berjumlah tiga warna menunjukkan adanya kosmologi masyarakat Cirebon yang membagi dunia menjadi tiga bagian: buana nyungcung, buana pancer tengah, dan buana handap.

Berbeda dengan modifikasi yang dilakukan pada gambar E, pada gambar F modifikasi justru dilakukan berdasarkan media dan warna. Pada gambar F, media yang digunakan sebagai sarana melekatnya motif Mega Mendung adalah sandal. Banyak perdebatan mengenai keberadaan motif batik Mega Mendung pada sandal. Orang yang setuju tidak menggunakan motif Mega Mendung pada sandal berargumen, “tidak pantas sebuah motif yang dianggap transendental dipakai sebagai alas kaki”.

Jika kita cermati, sandal pada gambar F bukanlah “mega” yang “mendung”

(yang memiliki makna transendental) karena pewarnaannya tidak menggunakan warna yang kontras dan bentuk awannya pun tidak membentuk pola tiga seperti pada gambar A. Oleh sebab itu, modifikasi pada gambar F justru menghilangkan unsur transendental yang terdapat dalam motif Mega Mendung. Makna yang muncul justru tidak berkaitan dengan nilai-nilai spiritual.

Berdasarkan paparan di atas, modifikasi pada motif Mega Mendung terjadi juga pada masa lampau. Modifikasi motif Mega Mendung yang ada pada gambar A, B, C, D, E, dan F tampak dari keberadaan motif pada media yang berbeda. Keberadaan motif pada berbagai media di satu sisi menunjukkan bahwa motif Mega Mendung merupakan motif yang digemari masyarakat. Hal tersebut menunjukkan pula motif Mega Mendung adalah motif yang mudah diadaptasi ke dalam media lain selain pakaian. Modifikasi yang terjadi acapkali membuat motif Mega Mendung kehilangan makna transendentalnya sehingga yang muncul adalah makna yang profan.

Irisan

Motif Mega Mendung mengalami berbagai ekspansi, konversi, dan modifikasi. Meskipun demikian terdapat irisan yang masih tampak jelas dalam berbagai motif Mega Mendung dalam gambar A, B, C, D, E, dan F. Irisan tersebut berupa keberadaan awan yang dibuat bergradasi warna. Keberadaan awan yang bergradasi warna menunjukkan bahwa ada struktur yang tetap ada yaitu awan atau “mega”.

Mega Mendung merupakan folklor bukan lisan. Meskipun termasuk dalam kriteria folklor bukan lisan, pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan. Dalam proses pewarisan dapat saja terjadi lupa. Kata “mega” yang bermakna awan mungkin saja lebih mudah diingat masyarakat atau diingat oleh orang yang melakukan transformasi terhadap motif tersebut. Sehingga ketika mendengar kata “mega” ingatannya langsung merujuk pada bentuk awan. Akan tetapi, bagi orang yang lupa atau awam terhadap bentuk awan Mega Mendung tentu

karyanya tidak akan mencerminkan adanya pola tiga yang menjadi kosmologi bagi masyarakat Cirebon. Sehingga motif Mega Mendung pun bergeser maknanya hingga tak lagi transendental.

Motif Mega Mendung yang memiliki versi bahkan varian yang berbeda seperti tampak pada gambar B, C, D, E, dan F mungkin saja terjadi karena pewaris folklor tersebut memiliki interpretasinya sendiri mengenai apa yang disebut dengan “Mega Mendung”. Pada gambar F tampak tidak ada perbedaan yang mendasar antara warna awan dan warna dasar. Kemungkinan besar pembuatnya membuat awan tersebut “gelap” sehingga tidak dapat dibedakan mana warna awan dan mana warna dasar.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa motif Mega Mendung merupakan warisan nusantara yang terus mengalami transformasi.

Transformasi tersebut dapat berupa ekspansi, konversi, modifikasi, dan irisan.

Pada transformasi yang berupa ekspansi menunjukkan bahwa penambahan garis lengkung cembung dan cekung digunakan untuk menegaskan siluet tubuh perempuan.

Sementara itu, transformasi yang berupa konversi menunjukkan bahwa motif Mega Mendung yang asalnya menunjukkan transendental dan mengandung pola tiga yang menjadi kosmologi masyarakat Cirebon justru berubah menjadi sesuatu yang profan. Tampak pula relasi antarmanusia terutama mengenai persepsi masyarakat mengenai tubuh yang ideal bagi perempuan.

Pada transformasi yang berupa modifikasi, tampak bahwa motif Mega Mendung merupakan motif yang digemari masyarakat karena banyak sekali modifikasi dilakukan dengan memanfaatkan motif Mega Mendung. Meskipun transformasi dapat menyebabkan perubahan pada konteks, fungsi, proses penciptaan, dan makna Mega Mendung, ada hal yang masih bertahan (atau dipertahankan) yaitu struktur berupa “mega” yang bergradasi warna. Struktur tersebutlah yang menjadi irisan dalam transformasi motif Mega Mendung.

Tak dimungkiri lagi kini motif batik Mega Mendung bukan “hanya milik”

masyarakat Cirebon tetapi juga milik masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia. Hal ini patut diapresiasi. Akan tetapi ada hal lain yang harus diwaspadai yaitu ketidaktahuan masyarakat mengenai akar motif Mega Mendung dan adanya klaim dari negara lain. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Mega Mendung dapat dijadikan sarana diplomasi budaya.

Agar masyarakat mengetahui akar motif batik Mega Mendung pewarisan secara tulisan bahkan digital perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melabeli produk yang memuat motif Mega Mendung, misalnya pakaian.

Pada pakaian biasanya terdapat label yang letaknya di belakang leher yang