• Tidak ada hasil yang ditemukan

96

ABSTRA K

FESTIVAl DANAu POSO; ANTARA PROmOSI

situasi konflik di Poso mereda, hingga penyelenggaraan yang ke-15 tahun 2012 beberapa waktu lalu. Mencermati penyelenggaraannya tahun ini, tampak bahwa even ini kurang persiapan dan tanpa perencanaan matang, keadaan ini tambah runyam menyusul situasi Poso yang kembali memanas akibat penembakan anggota polisi oleh kelompok yang diduga teroris yang lalu disusul dengan pengepungan dan penangkapan terduga teroris oleh anggota Densus 88 Anti Teror Polri. Meski akhirnya dapat terlaksana tanggal 4 s/d 6 November 2012, acara FDP miskin publikasi dan tak lagi punya gaung sebagai sebuah event pariwisata tingkat nasional.

Festival danau Poso awalnya merupakan event promosi pariwisata andalan Sulteng, yang jika ditinjau dari perspektif Marketing Communications adalah bagian dari upaya promosi dan menyebarkan informasi tentang potensi pariwisata di daerah ini, baik wisata budaya maupun wisata alam. FDP yang telah menjadi kalender tetap kegiatan kepariwisataan nasional kantor Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI ini dikemas untuk menarik kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Daerah ini memiliki obyek wisata yang beragam dan bahkan diantaranya merupakan obyek wisata yang diakui dunia, misalnya obyek wisata bawah laut, atau pusat karang dunia terbesar kedua di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Unauna, peninggalan batu megalitik di Napu, habitat burung Maleo (jenis burung endemik yang semakin langka) di Gumbasa Kabupaten Sigi dan Danau Poso sendiri sebagai tempat penyelenggaraan FDP. Ketika konflik mengoyak harmoni sosial di Poso dan Sulawesi Tengah umumnya, FDP lalu menjadi bagian dari upaya mengumandangkan “salam damai” kepenjuru dunia, bahwa Poso masih menyisakan kearifan lokal yang dapat kembali mencitrakan Poso yang dulu dikenal sebagai daerah yang aman, damai dan “sintuwu maroso”

(persatuan yang kuat).

Dalam konteks marketing communication kepariwisataan, FDP dapat dilihat sebagai upaya membangun “city branding” atau district branding guna menarik minat wisatawan baik lokal maupun mancanegara berkunjung ke Poso dan terutama di danau Poso. Tapi seiring dengan perubahan dan konflik yang pernah terjadi di Kabupaten Poso, membangun brand Poso yang dulunya untuk tujuan komersial pariwisata berubah diorientasikan pada upaya kampanye perdamaian. Itu sebabnya dalam persfektif peacebuilding, FDP bisa dilihat sebagai media alternative dalam rangka membangun perdamaian. Suatu terma yang sangat relevan dalam konteks konflik Poso yang berkepanjangan.

Konflik Poso sendiri, tidak bisa dipahami hanya dengan memakai satu sudut pandang. Bahwa apa yang terjadi di Poso adalah konflik berlatarbelakang agama dan etnis, pun tidak bisa hanya dilihat sebagai konflik yang akarnya berasal dari ketimpangan sosial-ekonomi dan politik lokal sebagaimana pandangan banyak ahli (Nordholt, 2007). Konflik Poso adalah sebuah narasi yang mesti dilihat

dalam beberapa bagian yang kelihatannya selalu berubah setiap saat. Sebagai contoh, lahirnya kelompok radikal di Poso yang lalu disebut sebagai teroris dalam terminologi keamanan Indonesia adalah akibat dari proses radikalisasi yang berlangsung selama masa konflik kekerasan bernuansa agama, yang ditandai dengan masuknya kelompok-kelompok radikal dari Jawa dan Sulawesi Selatan yang membantu kelompok muslim di Poso kala itu. Kini konflik itu telah berubah menjadi konflik antara aparat keamanan Negara (Polri) berhadapan dengan kelompok radikal yang tersemai di Poso yang perkuat oleh jaringannya dari beberapa wilayah di Indonesia. Dalam hal ini konfliknya telah berubah menjadi konflik komunitas menjadi konflik melawan kekuasaan Negara.

Konflik sebaiknya dipandang sebagai sesuatu yang sirkular dan bukan linear, yang tahap-tahap prakonflik, sedang konflik, dan pascakonfliknya saling bertumpang tindih, dan belum tentu mengikuti kaidah tertentu. Dengan demikian, secara teori konflik dapat saja bergerak dari tahap konflik terselubung ke tahap prakonflik atau ke tahap pascakonflik, dan seterusnya. Demikian juga halnya bagaimana terminology yang tepat untuk menyebutkan media-media alternative dalam membangun perdamaian. Media sebaiknya diartikan sebagai beberapa medium atau saluran yang digunakan secara terorganisir untuk berkomunikasi dengan individu-individu dan kelompok kelompok. Bentuk media yang paling banyak dikenal adalah media cetak, audio, video dan teknologi informasi baru yang, berdasarkan struktur, fokus dan isi pemberitaan, dapat dibagi menjadi media ‘umum’ dan ‘alternatif’. Jika media ‘umum’ (atau mainstream) sudah dikenal secara umum, maka pengertian untuk media ‘alternatif’ masih simpang siur. Dalam tulisan ini media alternative dapat digolongkan ke dalam salah satu kategori berikut ini; 1) Media terkait berbasis isu (issue-driven) dan secara aktif mendukung media lain dan prakarsa masyarakat madani yang sepemikiran, 2) Media terkait mempromosikan pendekatan-pendekatan alternatif terhadap kegiatan kemasyarakatan dan bukannya mengejar kepentingan komersial dan hierarki sosial ekonomi (Howard dalam ISAI, 2004).

Narasi Singkat Konflik Poso

Kabupaten Poso atau Tanah Poso, yang berada tepat di jantung Sulawesi Tengah mungkin tidak akan dikenal seperti saat ini andai konflik bernuansa etnis dan agama tidak melanda daerah ini sejak berakhirnya orde baru tahun 1998 hingga akhir tahun 2007. Daerah yang dulunya damai, tenang dan tak dikenal, lalu berubah menjadi kacau, liar, penuh aroma darah dan kekerasan serta begitu dikenal hingga ke luar negeri. Poso yang dulunya diliputi oleh semangat kearifan lokal “sintuwu maroso” (persatuan yang kuat) kini berubah tercabik- cabik oleh identitas agama dan etnis. Meski periode kekerasan bernuansa etnis dan agama berakhir namun kini konflik Poso berubah menjadi konflik antara

negara dan komponen masyarakat, yang lalu dikenal dengan terorisme. Poso tampak memelihara identitas kekerasan yang terlanjur lekat oleh konflik yang susah diurai ujung dan pangkalnya.

Jika mencermati periodisasi konflik di Poso, maka tahapan itu dapat diringkas dalam beberapa episode penting yang kemudian menandai ingatan sosial kita akan konflik yang terjadi. Konflik bermula pada bulan Desember 1998, pada saat yang bersamaan antara perayaan Natal dan bulan Puasa.

Tragedi kekerasan di Poso ditandai dengan terjadinya peningkatan penggunaan instrumen kekerasan dari senjata tradisional ke berbagai jenis rakitan dan senjata organik. Diperkirakan ribuan orang meninggal sepanjang konflik di Poso berlangsung.

Pemicu awal konflik terjadi karena perkelahian pemuda di kelurahan Sayo antara Roy Bisalemba bersama Tely Langingi yang beragama Kristen dengan seorang pemuda Muslim. Isu kemudian tersebar bahwa ada seorang pemuda Muslim dipotong-potong di dalam Masjid Sayo. Pada tanggal 24 Desember 1998, pemuda Muslim merusak rumah Roy Bisalemba di kelurahan Kasintuwu dan rumah Tely Langingi di kelurahan Sayo. Pada hari berikutnya, tanggal 25 Desember 1998, konsentrasi massa Muslim terjadi di kelurahan Sayo menghadang warga Kristen untuk mengikuti ibadah Natal di gereja Peniel Poso.

Tanggal 26 Desember 1998, pemuda Muslim membongkar toko-toko dan kios yang menjual minuman keras karena alasan bahwa Roy Bisalemba dan Tely Langingi dalam keadaan mabuk sehingga memicu perkelahian. Tindak kekerasan berlangsung di Kasintuwu, Bonesompe, Moengko Lama. Konflik terbuka tidak dapat dihindarkan, saling serang antar kelompok Islam dan Kristen berlangsung hingga fajar.

Sehari kemudian, pada tanggal 27 Desember 1998, warga Muslim terkonsentrasi di beberapa titik dalam Kota Poso karena beredar isu bahwa Imam Sayo dibantai pemuda Kristen di dalam masjid. Meski isu itu hanya sekadar upaya provokasi. Ketegangan terjadi sangat cepat. Jajaran MUSPIDA kemudian berupaya untuk mengendalikan situasi dengan membuat serangkaian himbauan dan pertemuan. Tapi tidak berlangsung lama ketegangan terus memucak karena perkelahian secara sporadik terus terjadi, dan menghanguskan sekitar 80 rumah dari kedua belah pihak.

April 1999, Poso memasuki babak baru yaitu terkait dengan momentum pergantian kepala daerah. Suhu politik semakin panas, terutama juga dikaitkan dengan beberapa peristiwa pada bulan Desember 1998, yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Maka momentum pergantian kepala daerah ini mau tidak mau turut pula membawa sentimen agama.

Penduduk Poso yang semakin terpolarisasi antar kelompok Islam dan Kristen, kembali terusik lagi pada tahun 2000. Isu tentang perimbangan kekuatan

dalam pemerintahan daerah kembali mengemuka. Pada tanggal 16 April 2000 konflik kembali pecah. Aksi saling serang disertai pembakaran rumah penduduk berlangsung hingga keesokan harinya. Tanggal 27 April 2000, kelompok Islam melakukan penyerangan dan pembakaran di kelurahan Lombogia. Serangan balasan dari kelompok Kristen terjadi sebulan berikutnya, Mei 2000. sekelompok warga Kristen melakukan penyerangan di desa Sintuwulemba, tepatnya di pesantren Wali Songo. Lebih 100 orang warga Muslim terbunuh. Peristiwa pesantren Wali Songo dikemudian hari menjadi salah satu peristiwa yang menyebabkan Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva divonis hukuman mati, dan menjalani eksekusinya pada 22 September 2006.

Secara sporadik kekerasan berlangsung terus setelah Deklarasi Malino (20 Desember 2001), hingga di permulaan tahun 2007. Rangkaian kekerasan itu sangat panjang untuk diurai, pemboman, perampokan, pembunuhan dengan mutilasi terhadap 3 siswi Kristen dari kelurahan Bukit Bambu, penembakan dan sebagainya silih berganti. Aksi kekerasan terjadi pula setelah eksekusi mati terhadap ketiga terpidana mati kerusuhan Poso. Ribuan orang yang menolak eksekusi mati terhadap ketiganya merusak gedung-gedung milik pemerintah. Di Atambua dan Maumere, massa memblokir jalan-jalan dan menyerang gedung pengadilan dan gedung-gedung pemerintah, bahkan hingga ke NTT, tempat kelahiran ketiganya. Tentena juga bergolak, ratusan massa membakar mobil- mobil dan pos polisi, 2 orang pedagang ikan dari Masamba Sulawesi Selatan menjadi korban sekelompok anak muda yang marah di Taripa.

Pada penghujung tahun 2006 hingga permulaan tahun 2007, serangkaian kekerasan terjadi antara sekelompok massa bersenjata dari pihak Islam dengan aparat kepolisian. Upaya penangkapan DPO (daftar pencarian orang) yang dianggap terlibat dalam berbagai aksi kekerasan di Poso mendapat resistensi dari sekelompok orang Islam. Serangkaian kontak senjata berlangsung hingga selesainya operasi yang dilakukan oleh kepolisian pada 22 Januari 2007.

Akibat konflik panjang itu masyarakat Poso pasca konflik terbelah kedalam 3 (tiga) kelompok yakni :

1. Kelompok Islam yang sebagian besar mendiami kawasan Poso Pesisir, Poso Kota dan Kecamatan Lage bagian Timur serta sebahagian kecil mendiami kawasan Pamona Selatan;

2. Kelompok Kristen sebagian besar mendiami kawasan Kecamatan Pamona Selatan, Timur, Barat, dan Selatan, Kecamatan Lore Utara, Tengah dan Selatan, Kecamatan lage Barat serta beberapa desa di Kecamatan Poso Pesisir.

3. Kelompok Agama lain (Hindu) yang tersebar pada kawasan ex transmigrasi yang berada di Kecamatan Poso Pesisir (Utara, Tengah) dan Kecamatan Pamona Selatan, Pamona Barat, Kecamatan Lore Utara. Kelompok ini relative

tidak terlibat dan melibatkan diri dalam konflik Poso.

Selain segregasi penduduk berdasarkan agama di atas, ada hal penting yang harus dicermati. Kini konflik Poso telah bergeser dari konflik sosial menjadi konflik melawan Negara, dalam hal ini antara aparat keamanan (Densus 88 Polri) berhadapan dengan teroris. Lahirnya kelompok garis keras telah memberi area persemaian bagi gerakan kelompok radikal yang belakangan dikenal dengan terorisme, meski terma ini seringkali mendiskreditkan dunia Islam. Koneksi yang terjalin pada saat kedatangan laskar Jihad, lascar Mujahidin dari Jawa dan laskar Jundullah dari Makassar pada saat konflik Poso berlangsung telah melahirkan generasi-generasi jihadis yang sulit ditaklukkan. Lihat saja hingga kini pentolan teroris Indonesia asal Poso, yang juga merupakan ex-kombatan konflik Poso, Upik Lawanga belum tertangkap. Proses kaderisasi rupanya terus berlangsung dikalangan teroris, mereka bahkan mendirikan kamp pelatihan militer di gunung Biru, Desa Masani, Kabupaten Poso di bawah pimpinan Santoso. Di sekitar lokasi pelatihan militer inilah, dua aparat Polri ditemukan tewas, tepatnya di Desa Tamanjeka, Poso Pesisir.

Yang patut jadi catatan, konsolidasi mereka rupanya tidak hanya diarahkan pada para jihadis di Poso atau Sulteng saja tetapi ternyata banyak diantara mereka berasal dari Jawa dan Nusa Tenggara. Itu artinya bahwa jaringan yang mereka bangun sejak konflik Poso sangat kuat sehingga aparat keamanan begitu sulit menaklukkan mereka hingga hari ini.

Pariwisata dan Perdamaian

Menelusuri bagaimana isu terkait upaya membangun perdamaian melalui pariwisata, catatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an telah berlangsung Konferensi International Kepariwisataan di Manila yang mendeklarasikan, “dunia pariwisata dapat dijadikan elemen penting untuk perdamaian dunia”. Pengakuan peran penting pariwisata dalam peningkatan perdamaian dunia telah pula dicetuskan melalui “Columbia Charter”, yang telah dipersiapkan pada First Global Conference: Tourism – A Vital Force for Peace, yang berlangsung di Vancouver, Canada tahun 1988. Sementara dalam konteks Indonesia, pencanangan Gong Perdamaian Dunia sebagai simbol perdamaian dan persaudaraan umat manusia pertama kali dibunyikan oleh Wakil Presiden RI pada 31 Desember 2002 di Bali.

Gong tersebut kemudian ditampilkan di Jenewa, Swiss, 5 Februari 2003 saat pembukaan Second Global Summit on Peace Through Tourism. Setelah gong tersebut dibawa keliling ke 34 negara, gong perdamaian tersebut dibawa ke Ambon Maluku dalam rangka peringatan hari perdamaian sedunia yang ditandai juga dengan peresmian Monumen Gong Perdamaian Dunia oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono tanggal 25 November 2009 (Satrya, 2009).

Pariwisata yang bertanggung jawab didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang dapat meminimalkan dampak negatif, menghasilkan manfaat ekonomi dan kesejahteraan di antara masyarakat tujuan, melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, memberikan kontribusi untuk pelestarian alam dan budaya dan keanekaragaman; menyediakan hubungan yang bermakna antara tuan rumah-tamu dan sikap saling pengertian ; melayani wisatawan penyandang cacat, menimbulkan rasa hormat, kebanggaan lokal dan kepercayaan diri. Mereka yang tidak terbiasa berwisata, tentu mengalami kendala ketika berinteraksi dengan orang lain yang berbeda dengannya. Karena semakin kecil pengetahuan seseorang terhadap suatu masyarakat akan semakin besar tingkat kecemasan orang itu berinteraksi dengan menyarakat lainnya.

Banyak tokoh dunia menilai bahwa pariwisata bisa menjadi media alternatif mengumandangkan perdamaian. Mendiang, Mantan Presiden Amerika, John F.

Kennedy mengatakan “perjalanan wisata menjadikan satu kekuatan besar dalam perdamaian dan memahami masing-masing dari kita. Sebagai manusia yang hidup berpindah-pindah di dunia dan belajar untuk mengenal orang lain, agar bisa mengerti kebiasaan satu dengan lainnya dan saling dapat menghargai adat kebiasaan yang lain, dan dapat menghargai kualitas dari masing-masing orang dan negara yang berbeda (Satrya, 2009). Pariwisata memungkinkan manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan yang lain. Seseorang bisa mengenal adat-istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan keyakinan masyarakat lainnya ketika ada interaksi dan akses informasi yang lengkap dan terbuka pada suatu Negara atau wilayah. Kunjungan wisata membuka kesempatan setiap orang untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi sehingga memungkinkan adanya saling pengertian atas perbedaan yang dimiliki seseorang atau suatu masyarakat. Dalam konteks ini, Indonesia umumnya mengandalkan pembelajaran keragaman umat manusia (cross culture understanding) salah satunya melalui kunjungan wisata dari berbagai bangsa.

Pariwisata bekerja pada level awal diplomasi dua pihak yang dapat menyebarkan informasi tentang kepribadian, kepercayaan, aspirasi, perspektif, budaya dan politik warga satu daerah ke warga yang lain. Ahli psikologi sosial melihat bahwa antara interaksi individu dari kelompok yang beragam akan meningkatkan pemahaman dan penerimaan antara berinteraksi pihak dan karenanya mengurangi prasangka antarkelompok. Hal ini mendukung asumsi bahwa pengalaman wisata akan mengurangi perbedaan yang dirasakan antara wisatawan dan tuan rumah, memperbaiki persepsi dan sikap negatif terhadap etnis lain dan memperkuat perasaan kebersamaan (Satani, 2004).

Pariwisata dapat berfungsi sebagai katalis untuk mengembangkan dan memelihara perdamaian negatif. Hal ini juga dapat menjadi kekuatan penting untuk mempromosikan perdamaian positif. Meskipun pariwisata

memiliki dampak negatif, semua aktor yang terlibat dalam pariwisata tampaknya sepakat menganggap bahwa wisata harus dipertahankan . Wisata tidak boleh ditangguhkan atau dilarang pada setiap tempat dengan alasan apapun, termasuk penyebab politik dan kemerosotan pariwisata lingkungan.

Berdasarkan perspektif jangka panjang, pariwisata secara berkelanjutan dapat memaksimalkan pendapatan masyarakat, pendapatan negara dan keuntungan dari perusahaan pariwisata.

Peningkatan jumlah pertemuan dan interaksi antar manusia karena adanya pariwisata merupakan kekuatan yang potensial untuk meningkatkan hubungan antara orang-orang dan bangsa-bangsa di dunia, yang menekankan pada sikap berbagi dan apresiasi budaya. Melalui pengalaman pariwisata, orang melihat bahwa mengejar kepentingan diri sendiri bukan cara terbaik untuk meningkatkan kehidupan mereka sendiri. Mereka mungkin menemukan cara-cara alternatif yang mereka tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika mereka tinggal di luar budaya mereka sendiri. Pariwisata adalah kekuatan vital bagi perdamaian positif dalam memberikan kesempatan orang untuk berpikir lebih lanjut tentang kekerasan struktural dan lingkungan yang mengancam mereka meski bertahap tapi pasti (Satani, 2004).

Sementara Kelly (2012) menjelaskan bahwa pariwisata memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam membangun perdamaian. Ia menekankan pada langkah-langkah menejemen implementasi pariwisata. Langkah-langkah manajemen yang dibutuhkan untuk operasionalisasi perdamaian melalui pariwisata dikelompokkan ke dalam empat bidang yang saling terkait. Pertama, ada anggapan bahwa pusat kontak antarkelompok yang terlibat dalam pariwisata dapat berpengaruh positif pada perilaku lintas budaya, membawa perubahan sikap positif, dan dengan demikian mengurangi kemungkinan konflik. Kedua, ada fokus pada masalah etika seperti menghargai lingkungan, hak manusia lain (dan hewan), termasuk hak untuk bepergian. Ketiga, berkaitan dengan peranan yang dimainkan oleh pariwisata dalam melawan unsur-unsur negatif dari globalisasi seperti ketergantungan, mengurangi atau menghilangkan kemiskinan dan dengan demikian membantu dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Kategori keempat berhubungan dengan kesadaran atau peningkatan kesadaran di kalangan pemasok dan konsumen dari produk wisata dan termasuk kode etik ini yaitu; kemiskinan pariwisata, pembentukan tiang perdamaian, taman dan museum, dan pendidikan pariwisata.

Terkait dengan pengertian di atas, dapat diuraikan dua hal pokok dalam konsep kepariwisataan. Pertama, mengenalkan pertukaran budaya sebagai alat untuk memperkecil perbedaan antara individu dengan individu yang berbeda bangsa. Kedua, pariwisata merupakan cara terbaik untuk mengembangkan

saling pengertian individu atau masyarakat yang berbeda sebagai akibat dari kontak lintas budaya. Adanya dua aspek ini perlu dikondisikan agar selalu menunjukkan keharmonisan dan berjalan dengan baik.

FDP, District Branding dan Media Alternatif Perdamaian

Festival Danau Poso awalnya merupakan event pariwisata andalan Sulawesi Tengah, yang diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 1989 sebagai upaya mendongkrak kedatangan wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal.

FDP merupakan rangkaian kegiatan yang pada intinya memperkenalkan kesenian daerah, potensi dan fasilitas wisata disetiap kabupaten di Sulawesi Tengah dan pameran produk lokal masing-masing kabupaten. Hingga tahun 1997, FDP mengusung tujuan yang sama, meningkatkan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara. Sepanjang tahun tersebut, geliat wisata di Sulawesi Tengah terutama yang berkunjung ke Danau Poso cukup banyak, fasilitas dan layanan wisata juga cukup ramai. Perubahan orientasi mulai digaungkan ketika pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah kembali menyelenggarakan FDP akhir tahun 2007 setelah fasilitas penunjang FDP di renovasi dengan anggaran hingga 900 juta rupiah. Kala itu pemerintah tidak lagi menyelenggarakan FDP semata untuk tujuan promosi pariwisata tetapi mengumandangkan sebuah pesan penting kepada dunia bahwa Poso adalah tanah yang damai. Yang dalam konteks peacebuilding, FDP menjadi media alternative untuk promosi perdamaian.

Dengan perubahan orientasi itu, festival yang diselenggarakan di tepian danau Poso yang indah itu harus dilihat sebagai upaya pemerintah membangun sebuah image positif daerah untuk tujuan yang jauh lebih penting dari sekedar tujuan kepariwisataan tetapi untuk tujuan membangun perdamaian yang hakiki.

Karenanya dalam konsep marketing communications yang dikaitkan dengan pariwisata daerah FDP adalah bagian dari upaya membangun city branding.

Meskipun kelihatannya kurang mengena oleh karena FDP diselenggarakan disebuah kota kecil di tepian Danau Poso, yaitu Kota Tentena. Tentena adalah sebuah kelurahan di tepian danau Poso yang terkenal di seluruh dunia karena merupakan pusat dari salah satu organisasi keagamaan paling berpengaruh di Sulawesi Tengah yaitu GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah). Untuk itu istilah yang paling cocok adalah district branding. Kosepsi ini penting mengingat entitas Poso bukan hanya wilayah kota Poso di tepian teluk Tomini atau Tentena yang merepresentasikan pegunungan di tepian Danau Poso.

Alifahmi (2012) menyebutkan bahwa dalam membangun citra dan reputasi terdapat enam lapis reputasi yang mesti dikelola, yaitu; reputasi personal (personal branding), reputasi produk atau jasa yang ditawarkan (product branding), reputasi perusahaan dan korporasi (corporate branding), reputasi

industri (industrial branding), reputasi kewilayahan atau lokasi (destination branding) dan reputasi bangsa (nation branding). Berdasarkan pembagian di atas maka FDP dikategorikan sebagai destination branding. Karenanya penulis merasa lebih tepat untuk menggunakan istilah district branding, sebagai bentuk harmonisasi dengan keberadaan penyelenggaraan FDP di Kabupaten Poso.

Salah satu hal penting dibenahi di Kabupaten Poso pascakonflik selain persoalan infrastruktur, ekonomi, politik dan harmoni sosial yang porak-poranda akibat konflik berkepanjangan adalah citra atau reputasi negative yang melekat pada daerah ini sebagai daerah konflik dan sarang teroris. Brand Kabupaten Poso yang di jaman orde baru selalu dijadikan contoh sebagai tempat atau wilayah dimana praktek harmoni sosial, keberagaman budaya dan toleransi antarumat beragama berlangsung dengan baik dan diliputi oleh semangat

“sintuwu maroso” kini berlaku sebaliknya. Poso kini selalu identik dengan kekerasan, baik yang bernuansa antaragama dan antaretnis, maupun kekerasan yang berlatarbelakang konflik antar aparat negara dengan elemen masyarakat yang lalu disebut sebagai teroris. Poso tampak tidak lagi menyisakan sedikit harapan untuk berbalik menjadi Poso yang damai dan indah karena liputan media massa yang memperbesar ruang penilaian masyarakat dengan stigma tersebut. Padahal jika kita cermat, Poso kini tidak lagi seseram beberapa tahun lalu, mereka terus berbenah dan tidak lagi mudah terprovokasi. Karenanya penyelenggaraan even FDP merupakan upaya untuk rebranding Poso, sebagai destinasi yang aman baik untuk tujuan wisata maupun untuk tujuan investasi dan perdagangan.

Kotler (2001: 396) menyebut bahwa definisi tradisional mengenai brand adalah nama, yang diasosiasikan dengan satu atau lebih item dalam lini produk, yang digunakan untuk mengidentifikasikan sumber dari karakter/item tersebut.

Artinya Kotler menyebut suatu brand menyangkut asosiasi tentang sesuatu, tentang produknya, yang bisa diarahkan untuk menggambarkan karakteristik dari produk itu. Sementara Aaker (2000) mengemukakan bahwa brand adalah suatu nama atau simbol yang membedakan, diarahkan atau ditujukan untuk mengidentifikasi barang atau jasa apa yang dijual dan diferensiasinya dengan competitor. Jika kita mendasarkan argumentasi kedua ahli di atas dengan suatu entitas wilayah maka kita akan menemukan banyak identitas yang dilekatkan pada kota-kota, negara atau wilayah tertentu dengan branding yang khas.

Negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura dan Australia membuat positioning untuk menarik wisatawan atau orang-orang untuk datang kenegaranya khususnya ke kota-kota negara tersebut. Lihat pula kota-kota di Indonesia yang membangun brand dengan posisioning masing-masing kota lengkap dengan tagline-nya, Yogyakarta yang mengusung kota pelajar dan budaya dengan Never Ending Asia, Solo sebagai pusat budaya Jawa, The Spirit

Dalam dokumen marketing communication - Bina Darma e-Journal (Halaman 120-134)