• Tidak ada hasil yang ditemukan

SlOGAN WISATA “WONDERFUL INDONE- SIA” DAlAm PERSPEKTIF “mARKETING

PUBLIC RELATIONS

Slogan “Wonderful Indonesia” mulai diluncurkan dalam event ASEAN Tourism Minister Forum 17-18 Januari di Kam- boja. Wonderful Indonesia merupakan ekspresi dari wonderful of nature, wonderful of culture, wonderful of people, wonder- ful of food, dan wonderful value of money. Slogan tersebut mencerminkan berbagai keindahan seperti, alam, budaya, manusia atau masyarakat. makanan, dan keindahan yang memiliki nilai profit terutama bagi para investor pariwisata di Indonesia saat ini.

Terkait dengan fenomena di atas pada tulisan ini akan dikaji tentang kelima konsep slogan wonderful Indonesia se- bagai branding wisata negara ditinjau dari perspektif Market- ing Public Relations (MPR) dilihat dari 3P (Push, Pass, dan Pull).

Apakah konsep tersebut dapat diprediksi akan mengenjot tar- get meningkatnya kunjungan wisata yang tentunya akan ber- imbas pada devisa negara yang menjadi harapan dan mimpi untuk dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia melalui pintu pariwisata

Kata kunci : Slogan Wonderful Indonesia, Branding Wisata, dan Marketing Public Relations

Prof. Dr. Neni Yulianita, M.S.

Universitas Islam Bandung (Unisba) e-mail : neni_yul@yahoo.com

Pendahuluan

Salah satu faktor pendorong atau daya tarik yang dapat mempengaruhi perekonomian setiap negara di dunia adalah pariwisata. Alasan utama menempatkan pariwisata sebagai bagian penting dalam mengelola negara adalah bahwa melalui pintu pariwisata pemasukan terhadap devisa negara dapat terwujud. Begitu pentingnya sektor pariwisata bagi perekonomian negara, maka tidaklah heran jika industri pariwisata menjadi andalan negara-negara di dunia sebagai sumber devisa yang memperkuat perekonomian nasional di setiap negara, di samping juga memberikan kesempatan yang luas bagi penciptaan lapangan kerja baru dan memperluas kesempatan berusaha, serta mampu

menjadi salah satu kekuatan pendorong pembangunan Indonesia.

Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur keberhasilan sektor pariwisata adalah kunjungan wisatawan mancanegara dan perolehan devisa dari sektor pariwisata. Berikut adalah data dari United Nations World Tourism Organization (UNWTO), bahwa :

hampir 1 miliar manusia bepergian ke seluruh penjuru dunia setiap tahunnya, dimana para pelancong menghabiskan waktu dan dananya untuk melihat tempat-tempat yang dianggap bisa memberikan nuansa baru bagi setiap orang. Dari jumlah itu, terdapat kurang lebih 50 juta pelancong mengunjungi Afrika, 60 juta mengunjungi Timur Tengah, 150 juta mengunjungi benua Amerika, 200 juta mengunjungi Asia Pasifik, hampir setengahnya atau sekitar ± 500 juta orang mengunjungi Eropa.

Data ini menunjukkan hanya 20% yang menetapkan Asia sebagai tujuan wisata dari seluruh pelancong yang berasal dari seluruh dunia. Dan dari yang hanya 20% itu, data yang cukup mengejutkan menyebutkan Indonesia sebagai tujuan wisatanya hanyalah 3%, atau

±6 juta kunjungan wisata dari 200 juta pelancong yang berkunjung di Asia untuk rata-rata kunjungan per tahun. Angka ini adalah angka kedua terakhir dari 10 negara tempat tujuan wisata di Asia Pasifik yang menempatkan China sebagai tujuan utama disusul, Malaysia, Hong Kong, Thailand, Macau, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang.

Indonesia hanya unggul dari Australia dalam rangking top ten tempat tujuan wisata di Asia Pasifik (http://beritamanado.com/berita-utama/

di-asia-indonesia-urutan-9-sulut-masih-juru-kunci-sebagai-tujuan- wisata/74549/).

Dari data tersebut jelas, walaupun Indonesia menempati urutan yang sangat memprihatinkan, namun dari sisi kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia mengalami peningkatan secara signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya seperti dinyatakan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamen Parekraf) bahwa: “Sampai saat ini kita sudah mencapai hampir 8 juta wisman atau naik 5 persen dibandingkan tahun lalu” (http://www.antaranews.

com/berita/350653/jumlah-wisman-ke-indonesia-dekati-target -8-jutalu) Kenaikan kunjungan wisata di atas tentunya merupakan dampak positif dari para pengelola industri pariwisata dalam mengelola produk wisata termasuk dalam melakukan strategi promosi wisata bagi keberhasilan pariwisata negaranya. Salah satu strategi promosi dalam upaya menarik minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke suatu negara tertentu adalah melalui perancangan slogan kampanye dan logo sebagai branding.

Data tersebut beralasan karena data kunjungan wisata tahun-tahun sebelumnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Jumlah Wisatawan Mancanegara dan Jumlah pengeluaran di Indonesia Tahun 2007 - 2011

Tahun

Wisatawan Man-

canegara Rata- rata Lama Ting-

gal

Rata-rata pengeluar-

an per Orang (USD) Penerimaan Devisa Jumlah

tum-Per- buhan

(%)

HariPer Per Kun-

jungan Jumlah

(juta USD) Pertumbu- han (%) 2007 5,505,759 13.02 9.02 107.70 970.98 5,345.98 20.19 2008 6,234,497 13.24 8.58 137.38 1,178.54 7,347.60 37.44 2009 6,323,730 1.43 7.69 129.57 995.93 6,297.99 -14.29 2010 7,002,944 10.74 8.04 135.01 1,085.75 7,603.45 20.73 2011 7,649,731 9.24 7.84 142.69 1,118.26 8,554.39 12.51

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011)

Hasilnya, slogan “Wonderful Indonesia” telah dapat diluncurkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik di forum internasional pada event ASEAN Tourism Minister Forum 17-18 Januari di Kamboja. Di event tersebut Jero Wacik mulai mengumumkan kepada dunia bahwa slogan Indonesia yang tadinya “Indonesia Ultimate in Diversity” yang dianggap terlalu panjang dan kurang menarik, berubah menjadi “Wonderful Indonesia” yang dianggap lebih simpel, lebih menarik, mudah untuk diucapkan, dan mudah diingat.

Slogan ‘Wonderful Indonesia’ menggambarkan kesatuan berbagai elemen pariwisata di Indonesia. Elemen yang tercangkup di dalamnya adalah people, culture, national beauty, natural resources, dan opportunity investment. Kata

‘wonderful’ menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Makna luar biasa dalam konteks ini adalah luar biasa alamnya, budayanya, kulinernya, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Bagi suatu negara, slogan wisata merupakan destination brand yang dapat mengindentifikasi dan menawarkan pembeda keunikan daerah tujuan yang menyenangkan dari sebuah destination experience. Jika ini terwujud maka akan berdampak pada Pencitraan Negara.

Dari fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tentang bagaimana

“Slogan Wisata ‘Wonderful Indonesia’ Dalam Perspektif “Marketing Public RelationsBerdasarkan fenomena di atas, maka dalam tulisan ini akan dikaji tentang permasalahan tentang: Bagaimanakah reposisi makna logo ‘Wonderful Indonesia’? Bagaimanakan pemahaman konsep slogan ‘Wonderful Indonesia

yang diluncurkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ? Bagaimanakah strategi slogan ‘Wonderful Indonesia’ ditinjau dari perspektif Marketing Public Relations khususnya dalam konteks Pull Strategy, Push Strategy dan Pass Strategy ?

Konsep Slogan, Branding, dan Marketing Public Relations Slogan

Secara harfiah, slogan adalah perkataan atau kalimat pendek yang menarik, mudah diingat, dan bersifat persuasif dengan tujuan untuk menyampaikan informasi sesuai dengan visi, misi, dan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, partai politik, negara, dan sebagainya, dengan harapan slogan akan dapat mempengaruhi pandangan dan pendapat orang tentang informasi tersebut. Dikemukakan dalam kamus Indonesia to Indonesian adalah: perkataan atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu; perkataan atau kalimat pendek yang menarik, mencolok, dan mudah diingat untuk menjelaskan tujuan suatu ideologi golongan, organisasi, partai politik, dan sebagainya: usaha peningkatan kesejahteraan rakyat tetap merupakan--yang selalu memikat (http://www.

artikata.com/arti-169160-slogan.html)

Umumnya slogan banyak digunakan dalam dunia periklanan dan dunia kampanye seperti pada kampanye dalam konteks politik, komersial, agama, termasuk kampanye wisata dan sebagainya. Setiap hari, seseorang akan banyak diterpa dengan berbagai slogan yang dikampanyekan organisasi, perusahaan, maupun oleh lembaga negara melalui berbagai media massa sebagai alat komunikasi yang dianggap efektif untuk mencapai sasaran dalam jumlah yang tidak terbatas.

Agar slogan dapat memikat, menarik perhatian, dan mudah diingat publik penerima, maka slogan perlu dikemas secara singkat dan memenuhi syarat-syarat slogan yang baik, komunikatif, simpel, tidak berbelit-belit dan tidak menimbulkan ambigu dari sisi pengertian dan pemahaman, diantara penyampai dan penerima pesan. Tidak semua slogan bernilai positif dan bahkan ada kecenderungan slogan yang tidak sesuai dengan kenyataan, oleh karena itu para penerima slogan dapat mengantisipasi kemungkinan berkembangnya slogan yang negatif yang dapat menjebak siapa saja yang menerimanya. Untuk menghindari adanya persepsi negatif atau sinisme publik terhadap kehadiran slogan maka pembuat slogan harus secara cermat pada saat merancang dan mengemas slogan agar tidak menimbulkan prejudice terhadap pemahaman publik. Pembuat slogan harus tahu persis latar belakang visi, misi, tujuan, dan filosofis dari konsep strategi yang akan dijalankan seseorang, organisasi, perusahaan, pemerintahan, dan lain-lain. Untuk itu berikut, dalam Wikipedia the free encyclopedia yang dikutip dari Merriam-Webster (2003), p. 1174, dinyatakan bahwa: “A slogan is a memorable motto or phrase used in a political, commercial, religious and other context as a repetitive expression of an idea or purpose”.

Dari berbagai arti slogan di atas, maka untuk melakukan kampanye wisata melalui pembuatan slogan sebagai ekspresi pengungkapan gagasan atau ide para pengelola produk wisata memerlukan ketepatan pertimbangan keputusan

dan kebijakan dikeluarkannya suatu kata atau suatu kalimat yang kiranya tidak menyinggung pihak lain, artinya pertimbangan etika perlu dikedepankan agar tidak berdampak pada penolakan slogan yang akan diluncurkan. Slogan yang dikemas sebaiknya dalam bentuk retorika baik, tidak berbohong, tidak menipu, dan beretika agar dapat memberi ruang untuk menyampaikan informasi yang tepat, akurat, dan netral yang dapat diekspresikan secara sosial untuk mencapai tujuan bersama.

Terkait dengan berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan agar slogan tidak menimbulkan kontra komunikasi dan pertentangan yang dapat memicu konflik, maka, perlu kiranya dipahami tentang fungsi slogan terutama bagi mereka yang akan merancang slogan agar dapat diterima secara sosial antara lain:

1. memberikan informasi singkat, tepat, dan akurat yang sangat dibutuhkan publik tentang isu kampanye yang dilancarkan.

2. mengekspresikan eksistensi seseorang, organisasi, lembaga, instansi, negara, dan lain-lain, sehingga mendapat pengakuan, citra, dan dukungan publik penerima pesan, dimana selanjutnya diharapkan berdampak positif pada reputasi .

3. mempersuasi publik sasaran agar berminat dan tertarik untuk mengikuti pesan yang disampaikan.

4. memantapkan visi dan misi yang telah dirumuskan para pengelola promosi.

5. membantu mengorbitkan dan mempopulerkan seseorang, organisasi, lembaga, instansi, negara, program, dan lain-lain, agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

6. membantu ingatan publik terhadap produk yang dipromosikan melalui slogan.

7. pendidikan sosial masyarakat terkait sistem nilai yang diemban oleh seseorang, organisasi, lembaga, negara, dan lain-lain.

Intinya, secara prinsip slogan dibuat dan dirancang untuk menarik minat yang bersifat informatif, edukatif, dan persuasif pada sudut pandang seseorang tentang makna slogan yang dimunculkan. Oleh karenanya slogan sebaiknya dibuat dalam kalimat yang dapat merepresentasikan visi, misi, dan tujuan pembuat slogan.

Branding

Konsep dasar branding adalah melakukan berbagai aktifitas kampanye komunikasi seperti periklanan, publisitas, dan lain-lain yang dapat dilakukan dengan berbagai cara sehingga aktifitas ini dapat membangun dan membesarkan brand, yang memberi konsekuensi pada dikenalnya suatu produk sampai pada tahap dikonsumsi. Dikonsumsinya sebuah produk wisata melalui proses branding dapat dilakukan melalui berbagai pertimbangan publik peminatnya

seperti: pertimbangan kualitas produk wisata, intensitas komunikasi di tengah persaingan dengan brand dari berbagai produk wisata di negara lain, dan proses pengaruh interaksi sosial yang terjadi di antara publiknya, serta proses publik peminat dalam mengambil keputusan untuk memilih brand dari produk wisata di negara tertentu. Brand menuntut adanya makna secara simbolis dalam komunikasinya, melalui makna simbolis inilah brand dimaksudkan agar tetap menjadi yang terbaru.

Istilah branding berasal dari kata dasar brand, yang berarti merek. Dewi (2005: 14) menyatakan bahwa brand adalah:

ide, kata, desain, desain grafis atau suara/bunyi yang menyimbolkan produk, jasa, dan perusahaan yang memproduksi produk dan jasa tersebut. Semua aspek ini menerbitkan asosiasi khusus dalam benak konsumen, misalnya tentang kualitas produk, makna simbolis yang terkandung dalam pengalaman emosional dan psikologis yang dialami konsumen dalam bersentuhan dengan brand tersebut.

Dalam hal lain, Maulana (Sindo, Selasa 27 April 2010) membedakan istilah brand dan branding:

Brand adalah merek yang dimiliki oleh perusahaan, sedangkan branding adalah kumpulan kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka proses membangun dan membesarkan brand. Tanpa dilakukannya kegiatan komunikasi kepada konsumen yang disusun dan direncanakan dengan baik, maka sebuah merek tidak akan dikenal dan tidak mempunyai arti apa-apa bagi konsumen atau target konsumennya.

Sementara itu, Jean-Noel Kapferer dalam bukunya Strategic Brand Management menyatakan bahwa :

branding merupakan kegiatan yang sangat diperlukan, itu hanya tahap terakhir dalam proses yang melibatkan sumber daya perusahaan dan semua fungsinya, fokus mereka pada satu tujuan strategis:

menciptakan perbedaan. Hanya dengan memobilisasi semua sumber internal dari nilai tambah perusahaan maka akan bisa berbeda dari para pesaingnya.

Secara prinsip, pemilihan sebuah konsep brand produk wisata dipengaruhi oleh berbagai asumsi, apakah itu asumsi publik itu sendiri, asumsi pengelola negara, asumsi pemasar produk wisata, asumsi perancang pesan komunikasi (tim kreatif perancang pesan komunikasi pariwisata), dan lain-lain yang merupakan representasi dari eksistensi suatu brand produk. Oleh karenanya branding wisata menjadi hak prerogatif eksklusif pemasaran wisata dan perancang komunikasi wisata. Konsekuensinya, jika berbicara branding wisata maka akan sangat kental dan memiliki kedekatan dengan konteks ‘pemasaran wisata’ dan ‘komunikasi wisata’, dimana perhatian terbesar dalam proses branding wisata adalah adanya keterlibatan partisipasi di bidang pariwisata dari pemasar, perancang komunikasi,

artis, grafik, dan pengiklan terkait dengan produk wisata tersebut. Oleh karena itu, darinya memunculkan istilah ‘komunikasi pemasaran wisata’.

Jelas bahwa brand wisata akan memiliki keterkaitan dengan konsep komunikasi pemasaran tentang suatu poduk wisata. Konsep produk wisata mempunyai pengertian yang sangat luas, tidak hanya mencakup barang dan jasa wisata tetapi juga meliputi: ide/gagasan, konsep, organisasi/institusi, kota, negara, bangsa, orang, objek wisata, dan berbagai bentuk produk wisata lainnya yang dapat ditawarkan untuk memenuhi keinginan publik baik nasional maupun internasional

Marketing Communication

Dinyatakan DeLozier (1976 : 168), bahwa: “komunikasi pemasaran adalah suatu dialog yang berkesinambungan di antara pembeli dan penjual dalam suatu pangsa pasar”. Sedangkan Nickels (1984: 7) mendefinisikan komunikasi pemasaran adalah: “pertukaran informasi dua arah dan persuasi yang menunjang proses pemasaran agar berfungsi secara efektif dan efisien”. Di sisi lain Schultz et.al., memandang komunikasi pemasaran sebagai:

kontinuum dari mulai tahap perancangan (design) produk, distribusi, sampai pada kegiatan promosi (melalui iklan, pemasaran langsung, dan special events) dan tahap pembelian dan penggunaan di kalangan konsumen. Selanjutnya, mereka menegaskan bahwa komunikasi adalah pemasaran, sebaliknya pemasaran adalah komunikasi.

Keduanya tidak dapat dipisahkan (Sendjaja, S.D, 1996: 3).

Sehubungan dengan konsep produk ini, Nickels (1984: 111) menyatakan bahwa: “Product is not merely something to be exchanged. A product may also be defined as a perceived set of symbols that have meaning to consumers”.

Pernyataan ini memberi arti bahwa produk bukan saja sebagai sesuatu yang dapat dipertukarkan, suatu produk dapat juga didefinisikan sebagai satu set penerimaan yang berkaitan dengan simbol yang memiliki arti bagi para konsumennya. Dengan demikian, sifat dan nilai dari produk wisata suatu negara tidak hanya ditentukan oleh pihak pengelola produk negara melainkan tergantung dari citra atau persepsi dari publiknya tersebut.

Peran Public Relations dalam rangka menunjang pemasaran akhir-akhir ini sering dibicarakan dan dirasakan semakin penting. Karena pada era persaingan bisnis yang semakin ketat, pengelola produk baik barang maupun jasa berusaha keras agar produk yang dihasilkannya tidak tenggelam terkalahkan produk sejenis yang telah dan dapat bertahan membentuk brand image. Dengan semakin banyaknya bermunculan produk sejenis, tentu saja hal ini memerlukan pemikiran ekstra para pebisnis terutama dalam rangka memperkenalkan, menginformasikan, menawarkan, mempengaruhi, dan mempertahankan tingkah laku konsumen dan pelanggan potensialnya.

Pemasaran modern telah menuntut para pelaku pasar multinasional untuk dapat menghadapi sejumlah tantangan pada era yang penuh persaingan, tidak hanya pada aspek menawarkan, mendistribusikannya, dan mengembangkan produk, tetapi pihak pengelola produk perlu memahami, mendalami, menerapkan, serta dapat mengembangkan strategi komunikasi melalui konsep Public Relations yang dapat dilakukan untuk menunjang pemasaran.

Konsep pemasaran terkait Public Relations dikemukakan oleh empat orang pakar yaitu: Social Marketing (Philip Kotler), Relationship Marketing (RegisMc Kenna), Individualised Marketing (Stan Rapp)., dan Marketing Public Relations (Thomas L. Harris). Inti gagasan yang mereka perkenalkan adalah:

menerapkan konsep pemasaran yang menarik simpati publik, memperlakukan konsumen dengan sentuhan pribadi, membina hubungan yang erat dan saling percaya untuk jangka panjang, serta menunjukkan tanggungjawab sosial kepada masyarakat luas (Huseini, 1994 : 95).

Pada era sekarang ini, fenomena memasarkan barang atau jasa tidak lagi dilihat dari aspek fungsionalnya, tapi juga harus menyentuh pada aspek-aspek psikologis dari si pembeli barang atau pengguna jasa. Dalam melihat fenomena ini Francis C. Rooney mengemukakan bahwa:

Orang membeli sepatu tidak lagi untuk menjaga agar kaki tetap hangat dan kering. Orang membeli sepatu karena sepatu itu membuatnya merasa jantan, feminin, keras, eksklusif, modern, muda, mewah, dan bergaya. Membeli sepatu telah menjadi suatu pengalaman emosional.

Sekarang ini bisnis kita adalah menjual kesenangan daripada sekedar sepatu (dalam Kotler, 1997: 204).

Dari fenomena di atas, jelas untuk dapat menyentuh aspek kebutuhan sasaran, pemasar harus memiliki kemampuan komunikasi sesuai selera pasar atau harus peka terhadap segala kebutuhan pasar baik secara ekonomis, sosiologis, antropologis, maupun secara psikologis. Keseluruhan aspek tersebut sebisa mungkin dapat tersentuh dimulai pada saat pihak perusahaan merancang dan mengelola komunikasi pemasaran. Komunikasi pemasaran yang dilakukan sebisa mungkin tidak hanya melulu memasarkan produk melalui kegiatan komunikasi, tapi lebih dari itu, harus dapat menyentuh aspek menjalin hubungan dengan publik sebagai sasaran pemasaran. Untuk konsep ini diperlukan pemasaran dalam perspektif public relations yang dikenal dengan istilah “Marketing Public Relations”.

Tidaklah aneh, jika Marketing Public Relations yang disingkat MPR memegang peranan dan menjadi minyak pelumas untuk melancarkan pemasar mendekati konsumennya. Namun demikian, dalam kenyataannya melakukan kegiatan promosi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu jika pemasaran ingin berhasil, maka pihak pengelola produk perlu

merancang dan menetapkan strategi Marketing Public Relations secara tepat dan terarah sesuai dengan kebutuhan dan selera pasar pada saat melakukan berbagai kegiatan promosi produk.

Dalam bukunya “The Marketer’s Guide to Public Relations”, Thomas L. Harris (dalam Ruslan, 2002: 253) menyatakan bahwa Marketing Public Relations adalah:

the process of planning and evaluating programs, that encourage purchase and customer through credible communication of information and impression that identify companies and their products with the needs, concern of costumer.

MPR adalah suatu proses perencanaan dan pengevaluasian program yang dapat merangsang pembelian dan kepuasan konsumen. Hal tersebut dilakukan melalui pengkomunikasian informasi yang kredibel dan kesan-kesan positif yang ditimbulkan dan berkaitan dengan identitas perusahaan atau produknya sesuai dengan kebutuhan, keinginkan, perhatian dan kepentingan para konsumennya”.

Dari pernyataan di atas secara umum Marketing Public Relations dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari strategi pemasaran dalam konteks public relations, dalam arti lain MPR dapat dipertimbangkan sebagai penunjang program komunikasi pemasaran, dimana secara prinsip dimaksudkan untuk mempromosikan suatu produk sebagai bagian dari kebutuhan konsumen atau pelanggan potensial seperti: periklanan, kampanye, publisitas, corporate identity, Word Of Mouth (WOM), dan lain-lain dari suatu konsep promosi yang diupayakan pelaksanaanya secara terpadu. Sehubungan dengan konsep promosi dalam konteks MPR, berikut didefinisikan bahwa Marketing Public Relations adalah :

upaya untuk mendokumentasikan minat konsumen dalam mendo- rong motivasi pembelian produk melalui informasi yang mempunyai nilai kredibilitas. Pendekatan dari Marketing Public Relations berori- entasi pada minat, harapan, aspirasi, dan kepedulian konsumen un- tuk kemudian mengaitkan kesan yang terjadi pada produk (Alifahmi, 1994:89).

Dengan demikian, agar aktivitas MPR dapat menarik minat konsumen, maka perlu digunakan strategi MPR yang cermat untuk dapat berorientasi pada minat, harapan, aspirasi, dan kepedulian konsumen untuk kemudian mengaitkannya dengan kesan yang terjadi pada produk yang dipasarkan.

Strategi Marketing Public Relations

Dalam upaya mengimplementasikan strategi MPR Chris Fill mengemukakan bahwa MPR dilakukan adalah:

As result it is possible to identify three main marketing communication strategies :

- Pull strategies – to influence end user customer (consumer and b2b).

- Push strategies – to influence marketing (trade) channel buyer.

- Profile strategies – to influence a range of stakeholders.

These can be refered to as the 3Ps of marketing communication strategy.” (Fill, 2006;331).

Dengan demikian, secara garis besar terdapat tiga strategi (three ways strategy) dalam mengimplementasikan MPR agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, ketiga strategi tersebut meliputi:

• Pull strategy, MPR dipandang memiliki kekuatan untuk mendorong berhasilnya pemasaran.dalam upaya menarik perhatian publik. Dalam konteks ini MPR memiliki potensi untuk mempengaruhi konsumen akhir (konsumen dan bisnis to bisnis/b2b) dimana komunikai pemasaran difokuskan pada target pasar atau konsumen akhir dalam upaya memunculkan kesadaran (awareness), membangun sikap, dan berupaya untuk mendorong atau memotivasi target pasar untuk membeli produk.

• Push strategy, dikenal juga dengan istilah Power Strategy. Dalam konteks ini, MPR memiliki kekuatan untuk mendorong berhasilnya pemasaran.MPR memiliki potensi untuk mempengaruhi pembeli yang melalui penyalur, yang bertujuan untuk mendorong pemasaran produk sampai pada pengguna akhir melalui saluran tertentu

• Profile strategy, dikenal dengan istilah Pass Strategy. Dalam konteks ini, public relations memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini publik yang menguntungkan. Dalam hal ini MPR berupaya untuk mempengaruhi stakeholder dalam membangun citra dan reputasi. Baik itu stakeholder internal maupun eksternal. Untuk mencapai citra dan reputasi yang positif, strategi MPR dapat dilakukan melalui aktivitas promosi seperti sponsoship, periklanan, publisitas, personal selling dan lain-lain sebagai bagian dari mix marketing.

Terkait Three Ways Strategy dalam perspektif Marketing Public Relations, maka untuk melaksanakan program agar mencapai tujuan (goals) berikut dinyatakan Ruslan:

Pertama bahwa Public Relations merupakan potensi untuk menyandang suatu taktik Pull strategy (menarik), sedangkan yang kedua adalah power (kekuatan) sebagai penyandang, push strategy (untuk mendorong) dalam hal pemasaran, dan taktik ketiga, pass strategy sebagai upaya mempengaruhi atau menciptakan opini publik yang menguntungkan (Ruslan, 2002:254).

Program Marketing Public Relations tersebut di satu sisi taktik pull strategy (strategi untuk menarik), berupaya untuk mendorong (push) suatu pembelian dan sekaligus dapat memberikan nilai-nilai (added value) atau kepuasan bagi pihak pelanggannya (satisfied customer) yang telah menggunakan produknya, dan di sisi lain melalui kiat Public Relations dalam menyelanggarakan komunikasi