INTERAKSIONISME SIMBOLIS
C. Interaksionisme Simbolis Herbert Blumer
1. Dasar Pemikiran
Bersamaan dengan konsep fenomenologi, pendekatan ini berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi, dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, seba- liknya, pengertian itu diberikan untuk mereka. Teori ini menekankan pada kemampuan individu untuk berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol dan memaksakan definisi-definisi realitas subjektif mereka sendiri terhadap situasi sosial yang mereka hadapi (Sanderson, 1993).
Seorang penganut interaksionisme simbolis pada masa awalnya ialah William Isaac Thomas yang menciptakan istilah “definisi situasi”, yang dia jelaskan dengan kalimat, “Jika orang-orang mendefinisikan situasi tertentu sebagai situasi yang riil, situasi itu akan menjadi riil”.
Thomas menekankan bahwa definisi subjektif orang-orang tentang realitas dapat begitu kuat sehingga ia akan melahirkan konsekuensi- konsekuensi objektif yang sesuai dengan definisi subjektif tersebut, terlepas dari definisi itu pada awalnya benar atau tidak secara objektif.
Dua penganut interaksionisme simbolis kontemporer adalah Herbert Blumer dan Howard Becker. Dalam konteks ini yang akan dibahas adalah hanya pandangan Herbert Blumer.
Konsep interaksionisme simbolis Blumer dalam mengamati dan mempelajari manusia terbentuk atas dasar kesamaan serangkai- an pendapat umum sarjana-sarjana, seperti George Herbert Mead, John Dewey, W.I. Thomas, Robert E, Park, William James, Charles Horton Cooley dan Robert Redfield. Perspektif-perspektif teoretis yang dikembangkan adalah teori peran, teori kelompok referensi, perspektif persepsi sosial dan persepsi pribadi, teori diri (self), dan teori dramaturgi. Menurut Blumer, ia sendiri lebih sependapat dengan Mead, yang dianggap peletak dasar pendekatan interaksi simbolis, tetapi mengembangkannya dengan versinya sendiri, terutama dalam metodologinya. Perdebatan yang serius di antara ahli interaksionisme simbolis terfokus pada gambaran mengenai hakikat kenyataan sosial yang digambarkan berbeda, bahkan bertentangan di antara ahli interaksionisme simbolis. Misalnya, Khun yang pertama mengem-
Buku ini tidak diperjualbelikan.
bangkan strategi untuk pengukuran realitas empiris yang bersifat objektif mengenai konsep-konsep utama dalam interaksi simbolis.
Karyanya dipusatkan pada pengukuran dan analisis konsep diri, dengan mengembangkan pengukuran respons terhadap pertanyaan,
“Siapa saya?” (Who I am?) dengan model twenty statements test (TST). Model TST itu memperlihatkan cara respons-respons terhadap pertanyaan ini dapat dianalisis dan dikorelasikan dengan pelbagai variabel sosiologis lainnya.
Komitmen Kuhn terhadap pengukuran empiris objektif mengenai variabel-variabel seperti konsep diri dikecam oleh beberapa ahli interaksi simbolis, antara lain Helbert Blumer. Kritiknya adalah bahwa Kuhn mengesampingkan atau mengubah sifat munculnya kenyataan sosial itu. Mereka mempertanyakan bahwa “konsep diri” itu muncul dalam proses aksi dan interaksi. Setiap usaha untuk mengukur
“konsep diri” secara terpisah dari konteks interaksional yang sedang berlangsung atau yang bersifat situasional atau yang mengandung implikasi bahwa hal itu dapat diukur dengan satu cara yang tetap, akan mengalami kegagalan untuk menangkap sifat yang muncul. Arti atau makna tidaklah tetap, melainkan muncul dan berubah-ubah dalam proses interaksi. Karena itu, peneliti harus mengembangkan strategi yang mau menerima atau menyadari dinamika-dinamika proses interaksi sambil menangkap arti konsep-konsep dan variabel-variabel yang berkembang dalam proses ini dan menjadi peka terhadap sifatnya yang tidak tetap atau selalu berubah-ubah. Atas dasar itu, metode pengamatan terlibat (partcipant observation) merupakan satu metode penting yang harus digunakan oleh para peneliti yang bekerja dalam kerangka interaksi simbolis.
Tekanan pada pandangan bahwa sifat kenyataan sosial atau fakta sosial yang tidak tetap seperti itu membedakan interaksionisme sim- bolis secara keseluruhan dengan fungsionalisme atau strukturalisme.
Para penganut interaksionisme simbolis mengkritik fungsionalisme karena terlampau menekankan pengaruh-pengaruh struktural dan budaya terhadap perilaku individu dan tidak berhasil mengerti bahwa institusi sosial atau sistem sosial muncul melalui proses
Buku ini tidak diperjualbelikan.
INTERAKSIONISME SIMBOLIS 67
interpretasi subjektif dan komunikasi antarpribadi (Johnson, 1986).
Herbert Blumer merupakan seorang wakil utama dari perspektif interaksionisme simbolis yang bertentangan dengan pendekatan yang menekankan pada kategori-kategori struktur sosial. Sebaliknya, Blumer menaruh tekanan pada proses interaksi yang terus-menerus.
Melalui proses ini, individu menginterpretasi dan berembuk tentang arti-arti bersama atau definisi tentang situasi yang dimiliki bersama.
Dalam sebuah artikel, Blumer (1982) menulis:
“Pada umumnya tentu para ahli sosiologi tidak mempelajari masyarakat manusia menurut satuan-satuan tindakannya (acting units). Sebaliknya, mereka cenderung melihat masyarakat manusia menurut struktur dan organisasi, dan memperlakukan tindakan sosial sebagai suatu kategori-kategori sosial, seperti sistem sosial, kebudayaan, norma-norma, nilai- nilai, stratifikasi sosial, posisi status, peran-peran sosial dan organisasi institu- sional”.
Tekanan pada faktor struktural yang menentukan makna meng- abaikan proses interpretatif yang di dalamnya individu secara aktif mengonstruksikan tindakan-tindakannya dan proses interaksi ketika individu menyesuaikan diri dan mencocokkan pelbagai macam tin- dakan dengan mengambil peran dan komunikasi simbol. Singkatnya, bagi interaksionisme simbolis, organisasi sosial tidak menentukan pola-pola interaksi; organisasi sosial muncul dari proses interaksi.
Menurut Blumer, orang tidak bertindak terhadap kebudayaan, struk- tur sosial, atau semacamnya, tetapi mereka bertindak terhadap situasi.
Organisasi sosial masuk ke dalam tindakan hanya ketika dia memben- tuk situasi di tempat orang itu bertindak. Selain itu, organisasi sosial adalah satu kerangka yang di dalamnya satuan-satuan yang bertindak itu mengembangkan tindakan-tindakannya. Segi-segi struktural, seperti “kebudayaan” dan “sistem-sistem sosial, stratifikasi sosial, atau peran-peran sosial”, membentuk kondisi-kondisi bagi tindakan mereka, tetapi tidak menentukan tindakan mereka.
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Organisasi sosial mungkin relevan dengan perilaku karena diperhitungkan oleh individu dalam interpretasi subjektif mereka mengenai harapan-harapan orang lain atau kesadaran mereka tentang saling ketergantungan dari pelbagai macam tindakan. Jadi, institusi sosial tidak dapat bertahan dengan sendirinya, terlepas dari definisi subjektif individu. Persilangan pendapat di kalangan sosiolog menge- nai pendekatan yang digunakan dalam mengamati dan mempelajari manusia hingga kini masih berlangsung. Persilangan tersebut teru- tama antara pendekatan behaviorisme dan pendekatan ideasional atau kognitivisme; atau perspektif individual (aktor) dan masyarakat atau struktur. Walaupun demikian, Blumer berpendapat bahwa tingkah laku tidak dapat dijelaskan semata-mata dari faktor umur, ras, status sosial, dan penghasilan, tetapi juga harus mempertimbangkan “makna objek” dan definisi setiap aktor atau subjek dalam situasinya. Ia men- dukung pendapat kaum relativisme, yaitu bahwa objek dan peristiwa tidak mengisyaratkan maknanya.
Sementara ahli-ahli sebelumnya menggunakan pengetahuan yang mengatur tingkah laku sebagai fokus, Herbert Blumer justru meletak- kan interaksi sosial sebagai pusat perhatian. Pengetahuan budaya tidak dibatasi pada informasi yang secara sosial diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya (sui generis), tetapi diciptakan secara sosial oleh generasi baru sebagai usaha melanjutkan interaksi simbolisnya. Dalam proses inilah tindakan manusia terbentuk. Kebiasaan-kebiasaan tidak terlalu kaku membentuk perilaku. Dalam hal ini, masyarakat yang membentuk dan menegakkan kebiasaan, bukan sebaliknya. Interaksi simbolis berposisi di antara aktor yang menerima pesan, menafsirkan, menentukan situasi, mengantisipasi tindakan orang lain, meren- canakan sesuatu, mengubah keputusan menjadi tindakan-tindakan, menangkap informasi baru, dan memperbaiki rencana-rencananya.
Perlu dicatat terlebih dahulu bahwa pengetahuan adalah subkultur dengan gambaran tentang dunianya sendiri.
Buku ini tidak diperjualbelikan.
INTERAKSIONISME SIMBOLIS 69
2. Hakikat Interaksionisme Simbolis Herbert Blumer