DRAMATURGI ERVING GOFFMAN
C. Teori Diri Erving Goffman
DRAMATURGI ERVING GOFFMAN 81
formal yang mengabaikan kekhususan historis dalam pencarian atau menemukan generalisasi universal.
Goffman juga mendapatkan gagasan dari Kenneth Burke yang merupakan filsuf dan kritikus Amerika mengenai pemahaman yang layak atas perilaku manusia yang harus bersandar pada tindakan.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresi atau impresif aktivitas manusia, yakni bahwa kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Selain itu, Goffman juga terinspirasi oleh pemikiran Herbert Blumer bahwa orang tidak bertindak terhadap kebudayaan, struktur sosial, atau semacamnya, tetapi mereka bertindak terhadap situasi. Di sini Blumer menekankan pada kemampuan individu untuk berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol dan memaksakan definisi-definisi realitas subjektif mereka sendiri terhadap situasi sosial yang mereka hadapi.
dan bermain melalui adegan-adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain. Di sini, Goffman memandang interaksi sebagai suatu sistem yang menjadi dasar kebudayaan. Sistem ini mempunyai norma-norma, mekanisme dan regulasi.
1. Panggung Depan-Panggung Belakang
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater. Di teater terdapat dua panggung, yaitu panggung depan (front region/stage) dan panggung belakang (back region/stage) ini hampir serupa di dalam kehidupan. Menurut Goffman, kehidupan sosial dibagi menjadi wilayah depan dan wilayah belakang. Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau menampil- kan peran formalnya. Mereka seperti sedang memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkin- kannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan yang ditonton khalayak penonton, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Goffman, membagi panggung depan ini menjadi dua bagian, yaitu front pribadi dan setting, yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan. Front pribadi (private) terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Front pribadi ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh sang aktor, misalnya berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan sebagainya.
Panggung belakang memungkinkan pembicaraan dengan meng- gunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentar-komentar seksual yang terbuka, duduk dan berdiri dengan sembrono, merokok, berpakaian seenaknya, menggunakan dialek atau bahasa daerah, mengomel, berteriak, bertindak agresif, berolok-olok, bersenan-
Buku ini tidak diperjualbelikan.
DRAMATURGI ERVING GOFFMAN 83
dung, bersiul, mengunyah permen karet, bersenda gurau, dan kentut.
Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung anasir struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung terlemba- gakan alias mewakili kepentingan kelompok atau organisasi.
Menurut Goffman, jarak peran merujuk kepada sejauh mana aktor memisahkan diri mereka dari peran yang mereka pegang.
Goffman berpendapat, jarak peran itu merupakan fungsi status sosial seseorang. Orang berstatus tinggi sering menunjukkan jarak peran dengan alasan yang berbeda apabila dibandingkan dengan orang berstatus rendah. Selain itu, istilah mistifikasi sering digunakan oleh sebagian aktor untuk menciptakan karisma mereka. Aktor sering cenderung memistifikasikan pertunjukan mereka dengan menjauhkan jarak sosial antara diri mereka dengan khalayak. Pandangan Goffman, kehidupan sosial bagaikan teater yang memungkinkan sang aktor memainkan berbagai peran di atas suatu atau beberapa panggung, dan memproyeksikan citra diri tertentu kepada orang yang hadir, sebagaimana yang diinginkan sang aktor dengan harapan bahwa kha- layak bersedia menerima citra diri sang aktor dan memperlakukannya sesuai dengan citra dirinya itu.
Dalam usaha untuk mempresentasikan dirinya, terkadang sang aktor menghadapi kesenjangan antara citra diri yang ia inginkan dilihat orang lain dan identitas yang sebenarnya karena ia memiliki stigma atau cacat, baik stigma fisik (orang buta, orang lumpuh, orang pincang, bertangan atau berkaki satu, dan sebagainya) maupun stigma sosial (mantan pembunuh, mantan perampok, mantan anggota PKI, homoseksual, lesbian, dan sebagainya). Dalam hal ini, Goffman menelaah interaksi dramaturgis antara orang-orang yang memiliki stigma dan orang-orang normal. Bagi aktor yang punya stigma fisik, problem dramaturgisnya adalah mengelola ketegangan yang berasal dari fakta bahwa orang lain mengetahui cacat fisik sang aktor, sedang- kan bagi aktor dengan stigma sosial, problem dramaturgisnya adalah mengelola informasi agar stigma sosial tersebut tetap tersembunyi bagi khalayak.
Buku ini tidak diperjualbelikan.
2. Penggunaan Tim
Fokus perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, melainkan juga kelompok atau apa yang ia sebut tim. Selain mem- bawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat bekerja, partai politik maupun organisasi lainnya yang mereka wakili, yang Goffman sebut sebagai tim pertunjukan yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Seperangkat teknik harus diciptakan dan diterapkan untuk menjaga kewibawaan dan kekompakan pertunjukan kelompok, antara lain penekanan kesetiaan anggota pada kelompok, membatasi kontak antara anggota kelompok dengan khalayak, dan melakukan pertunjuk an dengan mengubah khalayak secara periodik agar kha- layak tidak banyak tahu tentang tim pertunjukan.
3. Interaksi Sebagai Ritual
Kehidupan manusia tampaknya akan berjalan normal apabila kita mengikuti ritual-ritual kecil dalam interaksi ini meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket adalah kata lain untuk ritual-ritual itu, seperangkat pengharapan yang sama yang melandasi apa yang pantas atau tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi. Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota- anggotanya untuk menjadi para peserta yang mengatur diri sendiri, yang mengajari kita apa yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerja sama untuk mengonstruksi diri yang diterima secara sosial. Salah satu cara memobilisasikan individu untuk tujuan ini adalah lewat ritual, mereka diajari untuk perseptif dan berperasa- an peka yang harus mereka ekspresikan lewat wajah agar tampak memiliki kebanggaan, kehormatan, martabat, kepedulian, kebijaksanaan dan ketenangan. Istilah wajah dapat didefinisikan sebagai nilai teori sosial positivistik yang secara efektif diklaim seseorang bagi dirinya dan diasumsikan orang lain selama suatu kontak tertentu. Pendeknya,
Buku ini tidak diperjualbelikan.
DRAMATURGI ERVING GOFFMAN 85
wajah adalah suatu citra diri yang diterima secara sosial. Wajah adalah salah satu komponen penampilan kita yang terpenting sekaligus pelik.
Oleh karena itu, orang mungkin menampilkan wajah pesta, wajah pemakaman, dan berbagai wajah institusional. Menampilkan wajah yang layak ini adalah bagian dari tata krama situasional, yakni aturan- aturan mengenai kehadiran diri yang harus dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir. Konsep diri ini dituangkan dalam karya Goffman yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1966).