• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ikhtisar Paradigma Positivis, Pascapositivis, Kritis, Konstruktif, dan Dekonstruktif

Dalam dokumen Ebook Paradigma dan Teori (Halaman 40-48)

PARADIGMA

C. Ikhtisar Paradigma Positivis, Pascapositivis, Kritis, Konstruktif, dan Dekonstruktif

PARADIGMA 17

paradoks, kebisuan, dan gap yang ada pada teks itu sendiri. Dengan demikian, potensi perlawanan terhadap teks dominan menjadi sentral dalam penelitian dekonstruksi.

Satu hal yang mesti ditekankan mengenai penelitian dekonstruksi ini adalah menghindari miskonsepsi atau ketergelinciran terhadap makna dekostruksi sebagai upaya membongkar dalam artian meru- sak, merobohkan segala teks tanpa menghasilkan teks baru sebagai tandingannya. Miskonsepsi lainnya adalah memahami teks sekadar teks tertulis. Teks dianggap hanya ada pada buku, padahal teks yang dimaksud dalam paradigma dekonstruksi adalah teks yang dipahami oleh dan ada di masyarakat.

C. Ikhtisar Paradigma Positivis, Pascapositivis, Kritis,

temuan ini ke dalam pola umum penjelasan sosial. Dalam contoh tersebut, teori ini berusaha mengelaborasi pemahaman teori berskala besar dalam konteks hubungan antara dinamika keluarga—yang terlihat terutama dari angka perceraian—dan kelas serta ras. Teori sosial positivistik mencoba melihat dunia sosial sebagaimana adanya (at it is), yaitu sebagaimana yang ditemukan oleh sosiolog (Agger, 2016, 49–68).

Sejak Talcott Parsons mengembangkan teori struktural fung- sional yang mengambil gagasan Comte, Durkheim, dan Weber, hal ini telah menjadi mode dominan dalam pemikiran teori sosiologi.

Merton, murid Parsons, menyebut peneorian ini sebagai peneorian

“tingkat menengah” (Ritzer & Goodman, 2004). Hal ini karena teori tersebut tidak berhubungan dengan pertanyaan besar tentang sebab sosial, melainkan dibangun dari level yang lebih rendah dari gene- ralisasi yang dimungkinkan oleh penelitian empiris. Istilah teori positivistik banyak menerima model kumulatif dari perkembangan sains yang diambil dari kajian sejarah ilmu alam dan fisika sebelum karya perintis Khun yang secara radikal merumuskan ulang seja- rah sains bukan sebagai suatu perkembangan yang linear, tetapi sebagai rangkaian pergeseran paradigma yang terputus-putus. Khun me ng ira, bahwa para teoretikus (pembangun paradigma) mencipta- kan kemajuan ilmiah, padahal para penganut positivisme berpendapat bahwa kemajuan secara besar-besaran dicapai lewat penelitian empiris tingkat dasar yang terakumulasi menjadi pola-pola yang lebih besar.

Namun, kontribusi yang kadang-kadang diberikan untuk teori sosial positivistik tertentu adalah konstruksi teori yang tidak menekankan bahwa teori membentuk dunia, sebagaimana dikatakan oleh pemikir pascamodern, tetapi teori dibentuk di luar penelitian empiris yang bertumpuk.

Teori sosial positivistik berbeda dengan teori sosial kritis. Teori sosial positivistik berusaha merumuskan hukum sosial yang menje- laskan variasi dalam perilaku sosial, sedangkan teori kritis menolak konsep hukum sosial dan berusaha menjelaskan sejarah sosial untuk mendapatkan pemahaman tentang bagaimana sejarah dapat berubah.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

PARADIGMA 19

Teoretikus positif menekankan penjelasan kausal, teoretikus sosial kritis menekankan historitas, keterarahan data sosial untuk dilihat dalam konteks transformasi yang mungkin terjadi. Teori positivistik tidak memiliki tujuan politik, tidak juga terlibat dalam advokasi par- tisan. Hal ini berawal dari Comte yang menyatakan bahwa sosiologi adalah bentuk fisika sosial, dilanjutkan dengan konsep Durkheim tentang fakta sosial sebagai suatu determinasi eksternal, dan kemudian pandangan Weber tentang keterbatasan objektivitas dalam ilmu sosial.

Teori sosial kritis berpandangan bahwa semua teoretikus bersifat politis karena mereka membuat asumsi jangka panjang tentang sifat fenomena sosial yang kemudian berdampak pada konsepsi tentang kehidupan yang baik (misalnya, asumsi Marx bahwa masyarakat didefinisikan oleh buruh, mereka akan membawa ke konsepsi utopis- nya tentang buruh yang tak teralienasi). Teori sosial kritis tidak malu dengan komitmen politiknya. Teori sosial kritis berpandangan bahwa komitmen politiknya tidak perlu menyingkirkan objektivitas yang kaku, yang melihat dunia sebagaimana adanya, mengarah ke kritik yang menggairahkan dan perubahan sosial yang terorganisasi.

Teoretikus positivistik menanggapi teori sosial kritis ini dengan menyatakan bahwa teori ini telah memorak-porandakan legiti- masi ilmiah sosiologi yang telah dengan susah payah mendapatkan pengakuan sosiologis akademik sebagai satu disiplin yang halus (soft) yang berorientasi kepada masalah sosial. Teoretikus sosial kritis tidak menilai tinggi legitimasi disipliner, utamanya karena mereka berpandangan bahwa pemikiran disipliner makin ketinggalan zaman oleh sifat pengetahuan disipliner saat ini. Begitu juga teoretikus kritis percaya bahwa mereka sepenuhnya objektif dalam analisisnya.

Merujuk pada Marx dan Engels, teori kritis percaya bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk membangunkan kesadaran lalu memberi- kan kontribusi bagi perubahan sosial. Bagi para teoretikus positif, tujuan pengetahuan adalah perumusan hukum sosial. Mengikuti Comte, mereka mengeklaim bahwa pengetahuan atas hukum perkem- bangan evolusioner ini memungkinkan aparat negara mengatur masyarakat mengikuti jalan ke arah kematangan modernitas.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Sejak era 1960-an, teoretikus kritis makin bertambah, menantang dominasi teoretikus positivistik, terutama Parsonsian. Karya C. Wright Mill dan Alvin Gouldner yang berjudul Coming Crisis of Western Society (1970) merupakan pernyataan penting dari posisi kaum kritis yang mematahkan hierarki para teoretikus sosiologi Parsonsian yang menerima konsepsi positivisme dari teori sosiologi. Selama era 1980- an, perkembangan sosial dan intelektual lain dari teori budaya dan sosial Eropa, seperti pascamodernisme dan teori feminisme Prancis, menyegarkan kembali teori sosial kritis. Perkembangan teori inter- pretatif, teori wacana, dan teori budaya (cultural studies) di Eropa telah menyediakan tantangan kuat lain bagi teori sosial positivistik dan penelitian empiris positivisme.

Teoretikus teori sosial positivistik menolak pascamodernisme bukan hanya karena pascamodernisme menentang konsep positivistik representasi (pengetahuan dan kata hanya mencerminkan dunia di luar sana), melainkan juga karena teori pascamodern menantang disiplinaritas sosiologi. Pascamodernis mempertahankan interdisi- plinaritas asli topik dan metode semacam itu sehingga orang dapat terlibat dalam kajian sastra (Humaniora), budaya (Antropologi), dan sosial (Sosiologi). Dalam hal ini, pascamodernisme mengancam identitas sosiologi sebagai disiplin yang mengkaji hukum sosial yang memiliki daya paksa (social order) terhadap perilaku manusia, seperti pertama kali dinyatakan oleh Durkheim.

Tiga versi terbaru teori sosial positivistik yang telah mengambil tantangan sebagaimana yang dilakukan oleh versi teori pascamo- dernisme, feminisme, dan teori kritis, adalah neofungsionalisme, teori pilihan rasional, dan teori pertukaran (Ritzer & Goodman, 2004).

Neofungsionalisme adalah istilah yang mengacu kepada rekonstruksi Jeffrey Alexander atas teori struktural fungsional Talcott Parsons dengan jalan mengambil aspek dari teori Marxian, lalu memecahkan masalah politik Marxis.

Salah satu fokus khas neofungsionalisme adalah apa yang disebut hubungan-hubungan makro, kaitan antara kehidupan sehari-hari yang personal dan yang interpersonal dengan struktur sosial skala besar. Ini

Buku ini tidak diperjualbelikan.

PARADIGMA 21

adalah salah satu dari topik utama Parsons dalam Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951). Parsons, seperti para pengikut neofungsionalisme, berpandangan bahwa adalah mungkin untuk mengonseptualisasasikan sistem kepribadian dan sistem sosial dalam pola integrasi yang sama, dengan menyatakan bahwa tatanan sosial secara simultan didapatkan pada level personal dan sosial.

Habermas, meskipun merujuk pada teori Parsonsian dalam Theory of Communicative Action, dia tidak setuju dengan asumsi Parsons bahwa sistem kepribadian dan sistem sosial mengintegrasikan diri mereka dengan cara yang hampir sama. Dia justru mengonseptualisasikan struktur masyarakat kapitalis akhir sebagai ancaman kehidupan individu, khususnya kemampuan mereka dalam merumuskan makna budaya masing-masing dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, teori interpretatif mencoba memahami tindakan sosial pada level makna yang mengikat manusia. Tidak seperti teori positivistik, teori interpretatif tidak berusaha memproduksi hukum sosial yang berlaku abadi. Teori interpretatif menolak sama sekali gagasan sosiologi yang memodelkan ilmu alam. Mereka menentang usaha semacam itu, merujuk tradisi neo-Kantian sebagai pemisahan ilmu alam dengan ilmu budaya (cultural studies) dan psikologi (ke- sadaran). Teoretikus interpretatif neo-Kantian sangat percaya bahwa sosiologi tidak harus mencoba mirip dengan fisika sosial (Comte), tetapi harus berusaha menemukan makna yang dijalin orang (actor) melalui tindakan mereka sehari-hari.

Meskipun teori sosial interpretatif diterjemahkan dari usaha Weber untuk memahami tindakan sosial “pada level makna”, dengan menggunakan teknik verstehen (empati) yang sistematis, teoretikus interpretatif membedakan dirinya dengan peneorian teori sosial positivistik Weber, sebagai sesuatu yang objektif, yaitu suatu aktivitas yang bebas nilai. Beberapa teoretikus interpretatif (misalnya inter- aksionisme simbolis dari Mazhab Iowa) mengonsepsikan sosiologi interpretatif sebagai struktur berharga bagi penelitian suvei kuantitatif.

Teoretikus interpretatif ini berpandangan bahwa karya interpretatif bahkan dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman atas “keajekan

Buku ini tidak diperjualbelikan.

sosial” kalau dilakukan secara terarah. Namun, teoretikus interpre- tatif lain (misalnya teoretikus etnometodologi, fenomenologi sosial, konstruksionis sosial) sangat tidak setuju dengan “pelintiran” positivis ini. Mereka menganggap sosiologi interpretatif sebagai counter atas penelitian survei yang tidak hanya gagal memahami makna yang dijalin masyarakat dalam kehidupan dan tindakan mereka sehari-hari, tetapi juga secara salah memodelkan ilmu sosial seperti halnya ilmu fisika prediktif sehingga melanggar prinsip inti neo-Kantianisme.

Paradigma dekontruksi berpendirian bahwa semua teks sama- sama dapat dipertanyakan sebab semua teks senantiasa menyisakan terjemahan realitas yang bersifat subjektif parsial dan terfragmentasi (tidak lengkap). Tidak ada teks, betapapun diklaim sebagai objektif, yang melukiskan dunia sebagaimana adanya. Bahasa tidak mem- berikan struktur yang universal, tetapi jejak-jejak, yakni kesan yang hampir tak terbaca tetapi menghalangi sang lain (the other) yang tidak hadir dan sama sekali tidak dapat dipastikan. Semua struktur bersifat sementara (transient) dan semua makna bersifat terbuka (inconclu- sive) karena penanda dan petanda mempunyai sebuah ketangkasan membongkar dan menyatukan kembali kombinasi-kombinasi yang tak terduga dalam tempo dan rentang waktu yang singkat. Pascastruk- tural menganggap gagasan mengenai sebuah sistem universal yang ditopang oleh “oposisi biner” sebagai tindakan kekerasan sehingga model struktural bahasa/konstruktif sebagai paradigma penelitian dianggap tidak lagi dapat diandalkan (Cavallaro, 2001). Bahasa, lebih merupakan sebuah proses terus-menerus yang di dalamnya satu tanda bisa memunculkan makna yang bermacam-macam, dan makna tunggal bisa dimunculkan oleh banyak sekali tanda. Dengan demikian, munculnya paradigma dekonstruksi di samping sebagai reaksi kritis terhadap strukturalisme/konstruktif juga menunjukkan bahwa teks-teks mempertanyakan dirinya sendiri, serta bahasa dan makna tidak dapat dikendalikan sebab keduanya tak henti-hentinya menerjang batas dan wadah-wadah.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

PARADIGMA 23

Perkembangan paradigma dalam dimensi ontologi, epistemologi, aksiologi, dan metode ilmu pengetahuan yang dijabarkan dalam paparan Bab II disarikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perkembangan Paradigma dalam Berbagai Dimensi

Paradigma Positivisme Pascapositivisme Kritis/ Pragma­

tisme

Konstruktif Dekonstruksi Metode Kuantitatif Terutama Kuan­

titatif

Kuantitatif + Kualitatif

Kualitatif Kualitatif

Logika Deduktif Terutama Deduktif Deduktif + Induktif Induktif Induktif Episte­

mologi

Memercayai kebenaran objek­

tif. Orang yang mengetahui dan objek pengeta­

huan merupakan dualisme.

Dualisme yang termodifikasi.

Temuan mungkin memiliki kebe­

naran objektif.

Titik pandang ob­

jektif dan subjektif

Titik pandang subjektif. Orang yang menge­

tahui dan objek pengetahuan tidak terpisah.

Partisipatoris dan emansipa­

toris.

Aksiologi Penyelidikan adalah bebas penilaian

Penyelidikan meli­

batkan nilai, tetapi bisa terkontrol.

Nilai memainkan peran luas dalam penarikan kesim­

pulan.

Penelitian selalu bermuatan nilai.

Tidak bebas nilai, berpihak, bersifat praktis.

Ontologi Realisme naif Realisme transen­

dental

Menerima realitas eksternal. Memilih penjelasan­penje­

lasan terbaik yang lebih memberikan manfaat.

Relativisme Subjektif parsial dan terfragmen­

tasi, sementara, terbuka untuk penafsiran lain.

Keter­

kaitan sebab musabab

Sebab kadang mendahului atau terjadi secara simultan dengan akibat

Ada sesuatu yang sah menurut hukum yang logis diantara fenome­

na sosial. Hal tersebut mungkin diketahui secara tidak sempurna.

Sebab­sebab dapat diidentifi­

kasi dalam bentuk kemungkinan yang selalu berubah.

Terdapat kemung­

kinan hubungan sebab­musabab, tetapi kita tidak akan pernah bisa membuktikannya.

Semua entitas terjadi secara simultan antara satu dengan lain­

nya. Mengenali sebab hanya dari akibatnya adalah mustahil.

Tidak dapat ditetapkan, diken­

dalikan, bersifat multifokus, tidak berpusat, dan lain­lain.

Sumber: Salim (2006), Lincoln dan Guba (2000), dengan penambahan oleh penulis

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

25

BAB III

Dalam dokumen Ebook Paradigma dan Teori (Halaman 40-48)