PARADIGMA
B. Perkembangan Paradigma
PARADIGMA 11
kehidupan masyarakat sekelilingnya berdasarkan nilai-nilai, norma dan sistem berpikirnya. Sebaliknya, dalam pandangan makroobjektif,
“individu merupakan produk masyarakat” (individual is created by society). Dalam konteks ini, individu dimaknai negatif karena selalu diposisikan dan dibentuk oleh masyarakat. Model ini yang kemudian mendasari pemikiran Emile Durkheim sebagai proponen positivisme atau paradigma fakta sosial dalam sosiologi.
Dalam perkembangan sosiologi, adanya dikotomi pemikiran individu (mikrosubjektif) versus masyarakat (makroobjektif) sebagai determinan dalam perilaku sosial tersebut kemudian coba dijembatani oleh Peter L. Berger dengan mengembangkan model struktural yang melihat dialektika antara individu dan masyarakat yang saling berke- lindan dalam hubungan antaranggota masyarakat. Dalam model ini, individu tidak semata dilihat sebagai produk paksaan yang dibentuk oleh masyarakat, tetapi juga dipandang secara dialektik, bisa aktif membentuk dan mengubah masyarakat.
(eksis) dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Penelitian berupaya untuk mengungkap kebenaran atau realitas yang ada sebagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 yang dipelopori oleh perintis sosiologi bernama Auguste Comte, melalui karyanya yang berjudul The Course of Positive Philosophy (1830–1842). Comte juga memformulasikan hukum tiga tahap perkembangan masyarakat (pe- mikiran dan pengetahuan manusia yang berkembang pada masanya).
Tahap pertama adalah apa yang yang disebut sebagai tahap teologis.
Tahap kedua disebut sebagai tahap metafisis, dan tahap ketiga disebut tahap empiris (van Peursen, 1980; Lubis, 2014).
Tahap teologis adalah tahap perkembangan masyarakat yang pada tahap ini masyarakat atau umat manusia masih mencari sebab- sebab terakhir di balik peristiwa-peristiwa alam dan menemukan- nya dalam kekuatan-kekuatan yang bersifat adikodrati (Dewa atau Tuhan). Tahap metafisis adalah tahap perkembangan selanjutnya setelah tahap teologis. Pada tahap metafisis ini, masyarakat atau umat manusia tidak lagi mencari sebab-sebab terakhir atau kekuatan- kekuatan adikodrati untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam, tetapi dengan cara abstraksi-abstraksi konsep-konsep seperti eter, kausa, dan sebagainya. Tahap empiris (positive) menurut Comte adalah tahap paling dewasa (akhir), yaitu ketika masyarakat atau umat manusia menemukan kematangannya, tidak lagi mencari sebab-sebab terakhir atau mencari sebab-sebab yang bersifat metafisis untuk menjelaskan peristiwa atau fenomena alam, tetapi menjelaskan peristiwa atau gejala alam berdasarkan fakta yang teramati (objective empiric). Pada tahap empiris inilah, menurut Comte, ilmu pengetahuan berkembang secara riil, bersifat pasti, dan berguna.
Pemikiran positivisme empiris ini kemudian menjadi prinsip dasar dari ilmu pengetahuan yang hingga kini masih banyak di- gunakan. Perkembangan selanjutnya, John Stuart Mill dari Inggris memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte dalam karya- nya yang monumental berjudul A System of Logic (1843). Kemudian, Emile Durkheim, sosiolog Prancis yang beraliran positivisme dalam
Buku ini tidak diperjualbelikan.
PARADIGMA 13
bukunya berjudul Roles of the Sociological Method’s (1895) menjadi rujukan dominan bagi periset ilmu sosial yang beraliran positivisme.
Menurut Durkheim, objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social fact), “… Any way of acting, whatever fixed or not, capable of exerting over the individual an external constraint: or some-thing which in general over the whole of a given society whilst having an existence of its individual manifestation” (cara bertindak apa pun, baik tetap atau tidak, yang mampu memaksakan suatu kendala eksternal atas individu:
atau sesuatu yang secara umum mampu memaksa atas keseluruhan masyarakat tertentu sebagai wujud manifestasi individualnya.)
Fakta sosial yang dimaksud oleh Durkheim mencakup bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan lain-lainnya. Untuk mencapai kebenaran itu, prasyarat dalam penelitian positivisme yaitu periset harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti (res- ponden) dan sang objek dapat memberikan jawaban langsung kepada periset yang bersangkutan. Untuk menjaga objektivitas dan netralitas temuan, periset harus berada di belakang layar. Jadi, dalam metode ini, periset dituntut untuk menggunakan metodologi eksperimen empiris atau analisis pengukuran atas angka-angka secara statistik (kuantitatif).
Mencermati dari pemaparan singkat mengenai positivisme, dapat diidentifikasi ciri-ciri utama yang tampak dalam aliran pemikiran ini.
Pertama, positivisme menandaskan fakta hanya pada sesuatu yang teramati atau hal yang bersifat observable. Kedua, positivisme meng- asumsikan bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat niscaya (absolut) dan objektif (bebas dari pengaruh kepentingan di luar ilmu). Ketiga, positivisme mengandaikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu bersifat linear dan pasti.
2. Paradigma Pascapositivisme
Munculnya paradigma ini disemangati oleh keinginan untuk menyem- purnakan kelemahan-kelemahan positivisme. Secara epistemologi, cara pandang aliran ini bersifat critical realism, yaitu mengkritik pandangan realis positivisme yang mengandalkan hanya pada metode
Buku ini tidak diperjualbelikan.
pengamatan untuk memperoleh kebenaran, dan bahwa realitas itu memang ada (eksis) karena mengikuti hukum alam. Menurut pas- capositivisme, mustahil bagi peneliti untuk melihat realitas secara benar apabila peneliti hanya berada di belakang layar, tanpa terlibat langsung dengan subjek penelitian. Menurut Roy Bhaskar dalam buku pertamanya, A Realist Theory of Sience (1975), sains bukanlah tentang mengamati hukum-hukum atau prediksi-prediksi, tetapi tentang memahami apa yang terjadi tentang sifat dasar (nature) dari objek- objek yang menghasilkan hukum-hukum observasional atas hal-hal tertentu. Yang penting, menurut Bhaskar, realitas adalah terstratifikasi.
Selain realitas yang terdiri atas “multilevel realitas” yang bisa diobservasi secara empiris, juga ada realitas “level-level aktual”, dan level realitas tersembunyi (tacit), “deep ontological” yang tidak bisa diobservasi (Bhaskar, 1975, 13). Nature, yang berbeda dari objek- objek sosial itu mensyaratkan bahwa kita harus menggunakan metode berbeda dan pendekatan epistemologi berbeda dengan dengan ilmu alamiah. Oleh karena itu, pendekatan eksperimental ilmu sosial melalui observasi harus dilengkapi dengan metode triangulasi, yaitu penggunaan beragam metode, sumber data, serta teori secara eklektik.
Pascapositivisme menegaskan arti penting hubungan interaktif antara periset dan objek yang diteliti, sepanjang itu dapat bersifat netral.
3. Paradigma Teori Kritis
Aliran teori kritis ini merupakan suatu paham keilmuan yang awalnya muncul di Eropa, yang dikembangkan oleh ilmuwan kritis di Jerman dan kemudian di Inggris dari konsepsi kritis yang ditu- jukan terhadap berbagai pemikiran yang berkembang sebelumnya.
Perbedaan terutama tampak pada aspek metodologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Secara ontologis, cara pandang aliran ini sama dengan pandangan pascapositivisme, khususnya dalam menilai objek atau realitas kritis (critical realism) yang tidak bisa hanya bertumpu pada pengamatan semata dan pengamat berada di belakang layar.
Pada tataran metodologis, aliran ini mengajukan metode dialog sebagai sarana transformasi bagi ditemukannya kebenaran realitas
Buku ini tidak diperjualbelikan.
PARADIGMA 15
yang hakiki. Dalam tataran epistemologis, aliran ini memandang hubungan antara periset dengan objek sebagai hal yang tidak ter- pisahkan karena nilai-nilai yang dianut oleh periset diyakini akan ikut menentukan kebenaran sesuatu hal. Dengan bahasa lain, aliran ini menekankan pada aspek subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan. Dalam tataran aksiologis, aliran ini berpandangan bahwa ada hubungan antara teori dan praktik, dalam artian bersifat politis, ikut berpartisipasi terhadap perubahan sosial dan tidak bersifat netral (memihak).
4. Paradigma Konstruktivisme
Paradigma ini berkembang sebagai kritik dan antitesis atas paradigma sebelumnya yang menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atas ilmu penge- tahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa positivisme dan pascapositivisme keliru dalam memandang dan mengungkap realitas dunia sehingga harus ditinggalkan dan digantikan dengan paham yang bersifat konstruktif. Secara ontologis, aliran ini memandang bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada pihak yang melakukannya. Karena itu, realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para penganut positivisme atau pascapositivisme. Atas dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif, dan merupakan hasil perpaduan interaksi di antara keduanya.
Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermeneutika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Langkah pertama penerapan metode ini adalah melakukan identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang. Langkah kedua adalah mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian,
Buku ini tidak diperjualbelikan.
hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.
5. Paradigma Dekonstruksi
Paradigma atau pendekatan ini dipengaruhi oleh ide-ide pascastruk- turalisme yang berupaya memberontak terhadap pemikiran oposisi biner dan status quo. Jadi, dapat dikatakan bahwa dikonstruksi sebagai sebuah paradigma sebenarnya juga merupakan reaksi/kritik terhadap pendekatan struktural/konstruktivis yang memandang fakta sosial seolah hanyalah terkait hubungan antara pihak-pihak (termasuk hubungan penguasa dan yang dikuasai).
Berpijak dari upaya kritik dan melawan strukturalisme, paradigma penelitian yang berada dalam payung dekonstruksi memiliki tujuan membangun sistem pengetahuan baru yang berpotensi meruntuhkan makna lama yang dominan. Dekonstruksi sendiri tidak berawal dari studi lapangan terhadap kelompok masyarakat dengan tumpukan atau susunan (sistem ide dan bidangnya), tetapi berawal dari makna teks dominan. Makna teks dominan inilah yang digunakan sebagai fokus basis kritik dalam dekonstruksi. Misalnya dalam studi dan pandangan strukturalis bahwa teks-teks tertentu (teks ilmiah, filosofis, dan histo- ris) lebih bereputasi dibanding dengan cerita-cerita dan fiksi. Wacana teks lain yang memiliki makna kebenaran dominan misalnya adalah kebenaran sains dan modernitas yang justru dalam pascamodernisme menjadi basis kritik.
Dekontruksi berpendirian bahwa semua teks sama-sama dapat dipertanyakan sebab semua teks senantiasa menyisakan terjemahan realitas yang bersifat subjektif parsial dan terfragmentasi (tidak lengkap). Tidak ada teks, betapapun diklaim sebagai objektif, yang melukiskan dan merepresentasikan dunia sebagaimana adanya.
Dalam penelitian dekonstruktif, mencari makna tandingan lain dan konstruksi makna baru yang menandingi makna dominan men- jadi fokusnya. Dekonstruksi tidak menganjurkan kita merusak teks, melainkan sungguh-sungguh mengajak kita mengindentifikasi letak teks membongkar dirinya sendiri, ketidakkonsistenan, ambiguitas,
Buku ini tidak diperjualbelikan.
PARADIGMA 17
paradoks, kebisuan, dan gap yang ada pada teks itu sendiri. Dengan demikian, potensi perlawanan terhadap teks dominan menjadi sentral dalam penelitian dekonstruksi.
Satu hal yang mesti ditekankan mengenai penelitian dekonstruksi ini adalah menghindari miskonsepsi atau ketergelinciran terhadap makna dekostruksi sebagai upaya membongkar dalam artian meru- sak, merobohkan segala teks tanpa menghasilkan teks baru sebagai tandingannya. Miskonsepsi lainnya adalah memahami teks sekadar teks tertulis. Teks dianggap hanya ada pada buku, padahal teks yang dimaksud dalam paradigma dekonstruksi adalah teks yang dipahami oleh dan ada di masyarakat.
C. Ikhtisar Paradigma Positivis, Pascapositivis, Kritis,