• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Konsepsi Kebudayaan

Dalam dokumen Ebook Paradigma dan Teori (Halaman 60-65)

KEBUDAYAAN

A. Definisi dan Konsepsi Kebudayaan

Terdapat keragaman definisi konsep dan teori tentang kebudayaan sehingga kita tidak mungkin membuat suatu generalisasi. Walaupun demikian, dalam pembahasan ini dipandang perlu untuk disajikan beberapa definisi konsep kebudayaan yang pernah dan sering dijadi- kan acuan ketika kita mendiskusikannya. Dalam pembahasan tentang kebudayaan, pada buku ini akan dijabarkan empat definisi kebudayaan yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh antropologi dan cultural studies.

1. Sir Edward Bennet Tylor

Definisi klasik kebudayaan yang dirumuskan oleh Tylor yang termuat dalam buku Primitive Culture (1971), yakni “Culture or civilization, taken in its wide ethnografic sense, culture as that complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, custom and any other capa- bilities and habit acquired by man as a member of society”. Kebudayaan atau peradaban, diambil dari pemahaman etnografinya yang luas, yaitu keseluruhan aktivitas manusia yang bersifat kompleks yang memuat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dimiliki manusia sebagai bagian anggota suatu masyarakat. Kondisi kebudayaan di kalangan masyarakat yang beraneka ragam—sepanjang dapat diteliti berdasar- kan prinsip umum—merupakan subjek yang sesuai untuk dilakukan studi tentang hukum-hukum pemikiran dan tindakan manusia.

Definisi kebudayaan Tylor tersebut memuat elemen-elemen kunci tentang konsepsi deskriptif kebudayaan. Berdasarkan konsepsi terse- but, kebudayaan dapat dilihat sebagai susunan yang saling berkelindan antara keyakinan, kebiasaan, hukum, bentuk-bentuk pengetahuan, seni, dan lain-lain yang dimiliki individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat serta yang dapat dipelajari secara ilmiah. Keyakinan dan kebiasaan selanjutnya membentuk “keseluruhan yang kompleks”, yang kemudian menjadi karakteristik masyarakat tertentu dan mem- bedakannya dari anggota masyarakat yang lain yang hidup dalam rentang ruang dan waktu yang berbeda. Salah satu tugas studi kebu- dayaan, menurut pemahaman Tylor, adalah membedah keseluruhan

Buku ini tidak diperjualbelikan.

tersebut menjadi bagian-bagian kecil kemudian mengklasifikasinya dan membandingkannya secara sistematik. Tugas ini sama dengan yang dilakukan oleh ahli tumbuh-tumbuhan dan ahli hewan, seperti halnya katalog yang memuat seluruh jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang dari suatu wilayah yang mencerminkan jenis flora dan fauna yang dimiliki, demikian juga daftar dari seluruh item kehidupan masyarakat secara umum mencerminkan keseluruhan dari apa yang disebut kebudayaan.

Berangkat dari pernyataan tersebut, jelas bahwa pendekatan Tylor melingkupi serangkaian asumsi metodologis tentang bagaimana kebu- dayaan itu harus dipelajari. Asumsi tersebut menjadikan kebudayaan sebagai objek penelitian yang sistematis dan ilmiah; menggunakan cara kerja atau paradigma yang digunakan dalam disiplin ilmu-ilmu alamiah yang positivistik. Asumsi tersebut menghasilkan apa yang kita sebut sebagai “proses pengilmiahan konsep kebudayaan” (scientization of the concept of culture) (Thompson, 2015, 180).

2. Koentjaraningrat

Menurut Koentjaraningrat (1980), kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil kaya manusia yang dijadikan milik bersama melalui proses belajar. Kebudayaan terdiri atas tiga wujud, yaitu sebagai berikut.

1) Wujud ide-ide, gagasan-gagasan yang bersifat abstrak yang berada di benak atau kepala sebagian besar anggota masyarakat, berupa nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, dan hukum. Ini sering disebut sistem nilai budaya (culture system).

2) Wujud tindakan, berupa interaksi antarindividu sebagai anggota masyarakat dari waktu ke waktu berdasarkan kebudayaan atau tata nilai yang dianut, ini sering disebut sistem sosial (social system).

3) Wujud benda-benda fisik, terdiri atas benda-benda produk manusia, dari yang bentuknya kecil dan sederhana hingga yang besar dan kompleks sifatnya, ini disebut artefak. Koentjaraningrat juga menjelaskan tentang unsur-unsur kebudayaan yang bersifat

Buku ini tidak diperjualbelikan.

KEBUDAYAAN 39

universal yang dapat dijumpai di hampir seluruh kebudayaan di dunia yang terdiri dari tujuh unsur kebudayaan:

a) sistem teknologi, b) sistem bahasa,

c) sistem mata pencaharian hidup, d) sistem pengetahuan,

e) sistem organisasi sosial, f) sistem kesenian, dan g) sistem religi.

Lebih lanjut juga ditegaskan, bahwa setiap unsur dari tujuh kebudayaan universal tersebut memiliki tiga wujud kebudayaan sebagai satuan ide-ide/gagasan, tindakan dan perwujudan benda- benda budaya (artefak budaya). Konsepsi kebudayaan seperti itu mengisyaratkan bahwa kebudayaan dipandang secara positivistik sebagai produk yang sudah jadi, sebagai gejala fisika sosial dengan pemaknaan yang bersifat stabil dan objektif, karena tindakan sosial atau pola perilaku individu-individu dalam kelompok tersebut dianggap sebagai representasi dari budaya yang dianutnya. Contoh pola perilaku yang dimaksud adalah sistem interaksi yang sudah dimantapkan, bahkan dilembagakan; dan kebudayaan material yang diperhatikan adalah benda-benda fisik yang sudah jadi.

3. Clifford Geertz

Clifford Geertz, dalam esai “Thick Description”, The Interpretation of Culture yang diterbitkan pertama tahun 1973-an, menyatakan bahwa seluruh ahli antropologi sepakat dan menerima bahwa kebudayaan adalah satu konsep sentral dalam keseluruhan sejarah munculnya disiplin ilmu ini. Namun, dalam waktu bersamaan, kebudayaan didefinisikan, dimaknai, dan digunakan oleh para antropolog dan ilmu sosial lain sebagai paradigma dalam studi kebudayaan.

Di samping menunjukkan variasi yang sangat luas, ia juga me- ngandung elemen-elemen yang kontradiktif dan konfliktual (Keesing, 1974; Crehan, 2002).

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Geertz (1973) dalam bukunya, The Interpretation of Culture, memaparkan tentang kebudayaan,

“Culture denotes an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols, a system inherited conceptions expressed in symbolic forms by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and their attitudes toward life … culture is an ordered system of meaning and symbols, in terms of which sosial interaction takes place”. Culture is a set of shared ideals, values, and standards of behaviour, it is the common denominator that makes the actions of individual intelligible to the group.”

(Kebudayaan menunjukkan pola makna yang ditransmisikan secara historis yang diwujudkan dalam simbol, suatu sistem yang mewarisi konsepsi yang dinyatakan dalam bentuk simbol yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuannya tentang dan sikapnya terha- dap kehidupan ... budaya adalah sistem makna dan simbol yang teratur, dalam hal mana interaksi sosial terjadi”. Budaya adalah seperangkat cita-cita bersama, nilai-nilai, dan standar perilaku, itu adalah denominator umum yang membuat tindakan individu dapat dipahami oleh kelompok.).

Selanjutnya, oleh karena mereka umumnya membagi kebudayaan (common shared) dalam perasaan dan makna-makna di antara anggota masyarakat, maka orang-orang dapat mengevaluasi dan memprediksi tindakan satu dengan yang lain dalam mengisi dan bereaksi terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, kebudayaan dalam perspektif ini dipahami sebagai jaring-jaring pola makna (webs of meaning) yang diwarisi secara generik dan historis bergenerasi dalam wujud sistem pengetahuan, sistem nilai, dan sistem simbol.

Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan terdiri atas konsepsi, persepsi, dan kepercayaan yang dimiliki dan diwarisi oleh anggota masyarakatnya yang berfungsi sebagai pola bagi kelakuan (pattern for). Kebudayaan sebagai sistem nilai terdiri atas sesuatu yang di-

Buku ini tidak diperjualbelikan.

KEBUDAYAAN 41

anggap baik atau buruk, wajar-tidak wajar, sehat-sakit, boleh-tidak boleh dilakukan dan sebagainya, yang berfungsi evaluatif terhadap tindakan individu (pattern of) dalam kehidupan sosialnya. Sementara itu, kebudayaan sebagai sistem simbol terdiri atas tanda-tanda fisik maupun nonfisik berupa objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk- bentuk tulisan yang diberi makna oleh pendukung budaya tersebut.

Sistem simbol ini berfungsi menengahi atau menjembatani hubungan antara sistem pengetahuan dan sistem nilai sehingga ia bersifat publik, sekaligus berfungsi sebagai media komunikatif dalam adaptasinya dengan lingkungan, baik fisik maupun budayanya.

Dalam konsepsi ini, maka kebudayaan dianggap sebagai produk yang sudah jadi dan terbagi (shared) begitu saja sejak awal/dari sananya (given from the beginning) sebagai miliknya. Implikasinya, kebudayaanlah yang dianggap membentuk orang-orang yang hidup di dalam masyarakat sehingga kebiasaan serta kepribadian partisipan bergantung pada esensi kebudayaan itu yang dianggap selesai dan tetap. Dalam pemahaman ini, kebudayaan cenderung dipandang dengan cara yang relatif apolitis, bias konflik kepentingan dan kekua- saan sehingga paham kebudayaan seperti ini dianggap masih bersifat esensialis dan statis.

4. Raymond Williams

Williams (1983) dalam kajian kritisnya terhadap pemikiran kebu- dayaan mengelompokkan penggunaan istilah budaya ke dalam tiga arus besar pemikiran, yaitu

1) mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari individu, sebuah kelompok atau masyarakat;

2) mengacu pada khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan dalam berbagai bentuk (film, benda seni, dan teater), yang dalam konteks ini budaya diartikan sebagai seni (the arts); dan

3) mengacu pada keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan- keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, sebuah kelompok, atau masyarakat.

Buku ini tidak diperjualbelikan.

Menurut Williams, kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup, praktik dan pemaknaan kehidupan sehari-hari sejumlah orang, sebuah kelompok, atau masyarakat. Dalam pandangan teoretikus pascamodern, kebudayaan diinterpretasikan sebagai suatu proses negosiasi makna. Kebudayaan adalah konstruksi kognitif dari orang- orang dan waktu yang berbeda-beda. Para Foucaultian menginter- pretasikan kebudayaan sebagai “wacana atau diskursus kekuasaan”, termasuk kontestasi konstan dari kekuasaan antara individu-individu dan sosial mereka. Menyimak terminologi kebudayaan seperti ini dapat diartikan bahwa pandangan mereka bersifat antiesensialis.

Pascamodernis cenderung memandang kebudayaan sebagai suatu konstruksi dari peneliti (observer) tanpa objek referensi yang nyata.

Dalam dokumen Ebook Paradigma dan Teori (Halaman 60-65)