• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

BAB IV POLA ASUH DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

B. Pengaruh Pola Asuh Terhadap Pembentkan Akhlak Anak

1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

g. Pendidikan jasmani.

Masa anak-anak adalah masa pertumbuhan otot dan tulang serta pertumbuhan jasmani seutuhnya.Setelah periode ini, tubuh sulit untuk berkembang lagi atau ditingkatkan kepada yang lebih baik.Bermain dan olahraga dapat membantu perkembangan jasmani anak, terutania permainan yang mendidik.

Pendidikan yang dianjurkan oleh Nabi adalah:

1. Belajar berenang, memanah (menembak), dan naik kuda, Perlombaan olahraga antar anak, Perlombaan olahraga dapat menimbulkan kecerdiaan dan menumbuhkan motivasi dan perhatian dari anak. Dia belajar menghargai aturan main dan melihat kemampuan orang lain.

2. Permainan orang dewasa bersama anak-anak.

3. Bermain bersama anak-anak sebaya.

B. Pengaruh Pola Asuh Terhadap Pembentkan Akhlak Anak

psikis dan moralitas anggota keluarga) dan faktor eksternal (perubahan sosial- budaya), maka setiap keluarga mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh dalam menerapkan fungsinya (fungsional-normal) tetapi ada juga keluarga yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan (disfungsional/yang tidak normal).

Amini, (2011: 95) Menguraikan bahwa seorang ayah dan ibu harus selalu aktif memantau perkembnagan fisik dan psikologis anak-anaknya, mentalnya serta ibadahnya. Berikan mereka waktu untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya.Ada beberapa keterampilan yang harus di pelajari anak dalam usia perkembangan seperti ini di antaranya:

Cara berbicara, cara mengunyah makanan, memakai pakaian,menjaga kebersihan dan kesehatan, cara bergaul, bertanggungjawab dan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan agama.

Ayah dan ibu sebagai pendidik pertama dalam kehidupan seorang anak Keluarga yang fungsional (normal) yaitu keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsinya sebagaimana yang sudah dijelaskan. Di samping itu, keluarga yang fungsional ditandai oleh karakteristik:(a) saling memperhatikan dan mencintai, (b) bersikap terbuka dan jujur, (c) orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya, (d) ada "sharing" masalah atau pendapat di antara anggota keluarga, (e) mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (g) orangtua

dengan baik, (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya, dan (j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Menurut Dadang Hawari anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi mempunyai risiko yanglebih besar untuk bergantung tumbuh kembang jiwanya (misalnya, berkepribadian anti sosial), daripada anak yang dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan utuh (sakinah).

Ciri-ciri keluarga yang mengalami disfungsi itu adalah:

(a) kematian salah satu atau kedua orangtua; (b) kedua orangtua berpisah atau bercerai (divorce); (c) hubungan kedua orangtua tidak baik (poor marriage);

(d) hubungan orangtua dengan anak tidak baik (poor parent-child relationship);

(e) suasalla rumah tangga yang tegang dan tanpa kehangatan (high teasion and low warmth); (f) orangtua sibuk dan jarang berada di rumah (parent's absence); dan (g) salah satu atau kedua orangtua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan (personality or psychological disorder).

Untuk merespon berbagai masalah yang mengganggu keharmonisan keluarga, Covey telah mengajukan suatu "resep" yang dia namakan The 7 Habits of Highly Effective Families. Yang dimaksud "effective family" adalah "a beautiful family culture" (budaya keluarga yang indah), yaitu sebagai (1) semangat keluarga, perasaan, iklim atau atmosfir keluarga; (2) karakter keluarga, kedalaman kualitas dan kematangan hubungan; (3) cara para anggota keluarga dalam berhubungan satu sama lainnya dan bagaimana mereka dapat merasakan satu sama

kolektif yang .,menandai interaksi keluarga."Culture" keluarga dapat diartikan sebagai peralihan orientasi dari "me" (aku) ke "we" (kami). Keluarga sendiri merupakan suatu pengalaman "we", yaitu mentalitas "we". Peralihan "me" ke "we"

berarti peralihan independensi ke interdependensi (yang dipandang sebagai salah satu tantangan dari aspek yang sulit dalam kehidupan keluarga). Covey mengatakan, "Jika kebahagiaan anda berasal dari kebahagiaan orang lain, anda mengetahui bahwa anda telah beralih dari "me" ke "we".

Sedangkan kata "beautiful" digunakan untuk menggambarkan pemeliharaan budaya: (1) para anggota keluarga secara mendalam, tulus dan jujus menyenangi satu sama lainnya, (2) mereka saling menukar keyakinan dan nilai- nilai, (3) mereka berinteraksi dalam cara-cara kerja yang nyata yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang dibangun dalam seluruh kehidupan.

Keindahan budaya keluarga merupakan (1) budaya "we", sebagai suatu jenis kebudayaan yang memungkinkan anda bekerjabersama untuk mereaksi dan bergerak ke arah nasib orang lain dan memberikan kontribusi, (2) juga memungkinkan anda memiliki kekuatan untuk menolak cuaca yang bergelora di luar kapal keluarga.

Tujuh kebiasaan keluarga yang efektif itu adalah berikut ini.

Kebiasaan Pertama: "Be Proactive" (menjadi agen pembaharu dalam keluarga). Keluarga dan para anggotanya bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri dan mempunyai kebebasan untuk memilih berdasarkan prinsip-prinsip dan

menggunakan empat anugerah kemanusiaan yang unik (kesadaran diri, kata hati, imajinasi dan independensi), dan mengambil pendekatan untuk menciptakan perubahan. Mereka memilih bukan untuk menjadi korban,bersifatreaktif atau mencelaorang lain.

Kebiasaan Kedua: "Begin with The End in Mind". Keluarga membangun masa depannya sendiri melalui upaya menciptakan visi mental dan tujuan untuk berbagai persoalan besar atau kecil. Mereka tidak hanya hidup dari hari ke hari tanpa tujuan yang jelas dalam pikirannya. Bentuk kreasi mental yang paling tinggi adalah pernyataan misi pernikahan atau keluarga.

Kebiasaan Ketiga: "Put First Things First" (menjadikan keluarga sebagai prioritas). Keluarga mengorganisasikan dan melaksanakan prioritas-prioriiasnya yang sangat penting, seperti yang diekspresi- kan dalam pernyataan misi pribadi, pernikahan dan keluarganya.

Mereka mempunyai waktu untuk setiap minggunya dan secara reguler satu sama lainnya sudah mengontrak (menjanjikan) waktu tersebut.

Kebiasaan Keempat: "Think Win-win" (Bergerak dari "me" ke

"we"). Para anggota keluarga berpikir dalam tatanan yang saling menguntungkan.

Mereka memelihara dukungan dan sikap saling menghormati (mutual respect).

Mereka berpikir secara interdependensi, yaitu dengan budaya "we" bukan "me"

dan mengembangkan kesempatan "win-win". Mereka tidak berpikir secara "self_

ishly" (win-lose = menang – kalah) atau seperti martir (lose-win = kalah –

Kebiasaan Kelima: "Seek first to Understand … Then to be Understood"

(Memecahkan masalah keluarga melalui komunikasi yang empatik). Para anggota keluarga kali pertama mendengarkan secara intensif untuk memahami pikiran dan perasaan anggota lainnya sehingga mampu berkomunikasi secara efektif terhadap pikiran dan perasaannya sendiri. Melalui pemahaman, mereka membangun hubungan kepercayaan dan kasih sayang yang mendalam.

Kebiasaan Keenam: "Synergize" Para anggota keluarga mengembangkan kekuatan-kekuatan keluarga dan para anggotanya melalui sikap menghormati dan penilaian terhadap perbedaan masing-masing, dalam hal ini keutuhan menjadi lebih penting daripada sejumlah bagian-bagian. Mereka membangun saling meme- cahkan masalah dan kesempatan untuk memahami budaya keluarga. Mereka memelihara spirit keluarga dalam kasih sayang, belajar dan saling memberi kontribusi (sumbangan).

Kebiasaan Ketujuh: "Sharpen the saw" (Memperuncing gergaji:

memperbaharui spirit keluarga melalui tradisi). Keluarga mengembangkan efektivitasnya melalui pembaharuan pribadi dan keluarga secara reguler dalam empat bidang dasar kehidupan, yaitu (1) Fisik (olahraga, memelihara gizi, dan mengelola sires); (2) Sosial/Emosional (menjalin persahabatan, memberikan bantuan, mendengarkan orang lain secara empatik dan menciptakan sinergi); (3) Spiritual (berdoa, salat, membaca kitab suci); dan (4) Mental (membaca, menulis, mengembangkan bakat dan belajar keterampilan).

Covey mengajukan empat prinsip peranan keluarga, yaitu:

a) Modelling (example of trustworthness). Orangtua adalah contoh atau model bagi anak. Tidak dapat disangkal bahwa contoh dari orangtua mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi anak. Ketika Abert Schweitzer ditanya tentang bagaimana mengembangkan anak, dia menjawab: "ada tiga prinsip, yaitu: Pertama contoh, kedua contoh dan ketiga contoh". Orangtua merupakan model yang pertama dan terdepan bagi anak (baik positif atau negatif) dan merupakan pola bagi "way of life" anak. Cara herpikir dan berbuat anak dibentuk oleh cara berpikir dan berbuat orangtuanya. Melalui "modelling" ini, orangtua telah mewariskan cara berpikirnya kepada anak, yang kadang- kadang sampai pada generasi ketiga atau keempat. Oleh karena itu, maka peranan "modelling" orangtua bagi anak dipandang sebagai suatu hal yang sangat mendasar, suci dan perwujudan spiritual. Melalui "modelling" ini juga anak akan belajar tentang (1) sikap proaktif, (2) sikap respek dan kasih sayang.

b) Mentoring, yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur, pribadi dan tidak bersyarat. Kedalaman dan kejujuran atau keikhlasan memberikan perlindungan ini akan mendorong orang lain untuk bersikap terbuka dan mau menerima pengajaran, karena dalam diri mereka telah tertanam

menjalin hubungan dan memberikan kasih sayang secara mendalam, baik secara positif atau negatif, orangtua mau tidak mau tetap menjadi mentor bagi anak. Orangtua menjadi sumber pertama bagi perkembangan perasaan anak:

rasa aman atau tidakaman, dicintai atau dibenci. Ada lima cara untuk memberikan kasih sayang kepada orang lain, yaitu (1) Empathizing:

mendengarkan hati orang lain dengan hati sendiri; (2) Sharing: berbagi wawasan, emosi dan keyakinan; (3) Affirming: memberikan ketegasan (penguatan) kepada orang lain dengan ~kepercayaan, penilaian, konfirmasi, apresiasi dan dorongan; (4) praying: mendoakan orang lain secara ikhlas dari jiwa yang paling dalam; dan (5) Sacrificing: berkorban untuk diri orang lain.

c) Organizing, yaitu keluarga seperti perusahaan yang memerlukan tim kerja dan kerjasama antaranggota dalam menyelesaikan tugas-tugas atau memenuhi kebutuhan keluarga. Peran organizing adalah untuk meluruskan struktur dan sistem keluarga dalam rangka membantu menyelesaikan hal-hal yang penting.

d) Teaching. Orangtua berperan sebagai guru (pengajar) bagi anakanaknya (anggota keluarga) tentang hukum-hukum dasar kehidupan. Melalui pengajaran ini, orangtua berusaha memberdayakan (empowering) prinsip- prinsip kehidupan, sehingga anak memahami dan melaksanakannya. Mereka juga mempercayai, prinsip tersebut dan juga dirinya sendiri, sebab mereka telah terintegrasi. Artinya, ada keseimbangan antara prinsip-prinsip yang universal dengan kebutuhan dirinya. Peran orangtua sebagai guru adalah

mengalami tentang apa yang mereka kerjakan dan alasan tentang mengapa mereka mengerjakan itu.

e. Pola Hubungan Orangtua Terhadap Anak

Syamsu, (2012: 49-50) mengutip Hurlock,Schneiders, dan Lore. Pola-pola hubungan orangtua terhadap anak hal tersebut dapat disimak pada tabel berikut. :

TABEL 4.1

Sikap atau Perlakuan Orangtua dan Dampaknya terhadap Kepribadian Anak POLA

PERLAKUAN ORANGTUA

PERILAKU ORANGTUA PROFIL TINGKAH LAKU ANAK

1. Overprotection (terlalu melindungi)

1. Kontak yang berlebihan dengan anak

2. Perawatan/pemberian bantuan kepada anak yang terus menerus, meskipun anak sudah mampu merawat dirinya sendiri

3. Mengawasi keinginan anak secara berlebihan 4. Memecahkan masalah

anak

1. Persaaan tidak aman 2. Agresif dan dengki 3. Mudah merasa gugup 4. Melarikan diri

darikenyataan 5. Sangat tergantung 6. Ingin menjadi pusat

perhatian

7. Bersikap menyerah 8. Lemah dan “ego

strength”. Aspiratif dan toleransi terhadap frustasi 9. Kurang mampu

mengendalikan emosi 10. Menolak tanggung jawab 11. Kurang percaya diri 12. Mudah terpengaruh 13. Peka terhadap kritik 14. Bersikap “yes men”

15. Egois/selfish 16. Suka bertengkar

17. Troublemaker (pembuat onar)

19. Mengalami “homesick”

2. Permissiveness (Pembolehan)

1. Memberikan kebebasan berfikir atau berusaha 2. Menerima

gagasan/pendapat 3. Membuat anak merasa

diterima dan merasa kuat

4. Toleran dan memahami kelamahan anak

5. Cenderung lebih suka memberi yang diminta anak daripada menerima

1. Pandai mencari jalan keluar

2. Dapat bekerjasama 3. Percaya diri

4. Penuntut dan tidak sabaran

3. Rejection (Penolakan)

1. Bersikap masa bodoh 2. Bersikap kaku

3. Kurang mempedulikan kesejahteraan anak 4. Menampilkan sikap

permusuhan dan

dominasi terhadap anak

1. Agresif (mudah marah, gelisah, tidak patuh/keras kepala, suka bertengkar dan nakal)

2. Submissive (kurang dapat mengerjakan tugas, pemalu, suka mengasingkan diri, mudah tersinggung dan penakut)

3. Sulit bergaul 4. Pendiam 5. Sadis 4. Acceptance

(Penerimaan)

1. Memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak 2. Menempatkan anak

dalam posisi yang penting di dalam rumah 3. Mengembangkan

hubungan yang hangat dengan anak

4. Bersikap respek terhadap anak

5. Mendorong anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya 6. Berkomunikasi dengan

anak secara terbuka dan mau mendengarkan

1. Mau bekerjasama (kooperatif)

2. Bersahabat (friendly) 3. Loyal

4. Emosinya stabil 5. Ceria dan bersikap

optimis

6. Mau menerima tanggungjawab 7. Jujur

8. Dapat dipercaya 9. Memiliki perencanaan

yang jelas untuk mencapai masa depan 10. Bersikap realistik

(memahami kelamahan dan kekuatannya dirinya

5. Dimination (Dominasi)

Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat berhati-hati

2. Pemalu, penurut, inferior, dan mudah bingung 3. Tidak dapat bekerjasama 6. Submission

(Penyerahan)

1. Senantiasa memberikan sesuatu yang diminta oleh anak

2. Membiarkan anak berprilaku semaunya di rumah

1. Tidak patuh

2. Tidak bertanggung jawab 3. Agresif dan teledor/lalai 4. Bersikap otoriter

5. Terlalu percaya diri 7. Puntiveness/

Overdiscipline (Terlalu Disiplin)

1. Mudah memberikan hukuman

2. Menanamkan

kedisiplinan secara khas

1. Implusif

2. Tidak dapat mengambil keputusan

3. Nakal

4. Sikap bermusuhan atau agresif

Dari ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak bahwa sikap

"acceptance" merupakan yang baik untuk dimiliki atau dikembangkan oleh orangtua. Sikap seperti ini ternyata telah memberikan kontribusi kepada pengembangan kepribadian anak yang sehat.

Dalam membahas hal yang sama, Diana Baumrind Lioyd, mengemu- kakan hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa taman kanak-kanak. Penelitian ini dilakukannya, baik di rumah maupun di sekolah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya perlakuan orangtua (parenting style) dan kontribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional dan intelektual siswa. Dalam penelitian ini ditemukan: (1) empat gaya perlakuan orangtua, yaitu Authoritarian, Permissive, Authoritative, dan Neglectful; dan (2) dampak gaya perlakuan orangtua terhadap perilaku anak (kompetensi emosional, sosial, dan intelektual).

Braumrind. Untuk memperoleh kejelasan tentang gambaran hasil penelitian tersebut, dapat disimak dalam tabel berikut.

TABEL 4.2

Pengaruh "Parenting Style" terhadap Perilaku Anak

PARENTING STYLES

SIKAP ATAU PERILAKU ORANG

TUA

PROFIL PERILAKU ANAK

1. Authoritarian 1. Sikap “acceptance”

rendah, namun kontrolnya tinggi

2. Suka menghukum secara fisik

3. Bersikap mengomando (mengharuskan/memerin tah anak untuk

melakukan sesuatu tanpa kompromi)

4. Bersikap kaku (keras) 5. Cenderung emosional dan bersikap menolak

1. Mudah tersinggung 2. Penakut

3. Pemurung, tidak bahagia 4. Mudah terpengaruh 5. Mudah stress

6. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas 7. Tidak bersahabat

2. Permissive 1. Sikap “acceptance” nya tinggi, namun

kontrolnya rendah 2. Memberi kebebasan

kepada anak untuk menyatakan

dorongan/keinginannya

1. Bersikap implusif dan agresif

2. Suka memberontak 3. Kurang memiliki rasa

percaya diri dan pengendalian diri 4. Suka mendominasi 5. Tidak jelas arah hidupnya 6. Prestasinya rendah

3. Authoritative 1. Sikap “acceptance” nya dan kontrolnya tinggi 2. Bersikap responsif

terhadap kebutuhan anak 3. Mendorong anak untuk

menyatakan pendapat atau pernyataan

4. Memberikan penjelasan

1. Bersikap bersahabat 2. Memiliki rasa percaya diri 3. Mampu mengendalikan

diri (self control) 4. Bersikap sopan 5. Mau bekerjasama 6. Memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi

perbuatan yang baik dan yang buruk

hidup yang jelas.

Selanjutnya Braumrind mengemukakan tentang dampak "parenting styles" terhadap perilaku remaja, yaitu (1) remaja yang orangtuanya bersikap

"authoritarian", cenderung.bersikap bermusuhan dan memberontak; (2) remaja yang orangtuanya "permisif', cenderung berperilaku bebas (tidak kontrol); dan (3) remaja yang orangtuanya "authoritative", cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan, atau perilaku nakal.

b. Kelas Sosial dan Status Ekonomi

Maccoby & McLoyd telah membandingkan orangtua kelas menengah dan atas dengan kelas bawah atau pekerja. Hasilnya, menunjukkan bahwa orangtua Kelas Bawah atau pekerja cenderung: (a) sangat menekankan kepatuhan dan respek terhadap otoritas, (b) lebih restriktif (keras) dan otoriter, (c) kurang memberikan alasan kepada anak, (d) kurang bersikap hangat dan memberi kasih sayang kepada anak.

Pikunas mengemukakan pendapat Becker, Deutsch, Kohn, dan Sheldon, tentang kaitan antara kelas sosial dengan cara atau teknik orangtua dalam mengatur (mengelola/memperlakukan) anak, yaitu bahwa:

a) Kelas Bawah (Lower Class): cenderung lebih keras dalam "toilet training" dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah. Anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual.

b) Kelas Menengah (Middle Class): cenderung lebih memberikan pengawasan,

terhadap tingkah laku anak-anaknya, dan menerapkan kontrol yang lebih halus.

Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau latihan profesional.

c) Kelas Atas (Upper Class): cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya. Anak-anaknya cenderung memiliki rasa percaya diri, dan cenderung bersikap memanipulasi aspek realitas.

Adapun pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian anak, adalah bahwa orangtua dari status ekonomi rendah cenderung lebih menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas kelas menengah dan atas cenderung menekankan kepada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreativitas anak.

Rand Conger dan perkumpulannya mengemukakan bahwa orangtua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi masalah finansialnya, cenderung menjadi depresi, dan mengalami konflik keluarga, yang akhirnya mempengaruhi masalah remaja, seperti kurang hargadiri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, mengalami masalah penyesuaian diri (kareria depresi dan agresi). Secara visual, penjelasan di atas dapat disimak pada bagan berikut.

Bagan 1. Pengaruh Ekonomi Keluarga terhadap Kepribadian Remaja