• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis - Jenis Pola Asuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak dan Pola Asuh Orangtua

3. Jenis - Jenis Pola Asuh

Pola Asuh tidak pernah lepas dari konteks sosial suatu masyarakat.

Dan bahkan tingkah laku anak hanya dapat dipahami dengan konteks

sosialnya. Sebagian besar para orang tua mewarisi pola asuh yang didapatkan secara turun temurun dari orang tua sebelumnya. Namun pada saat pola asuh tersebut diterapkan pada anak tidak dapat memperoleh hasil yang diharapkan karena telah terjadi pergeseran nilai tatanan dalam masyarakat dahulu dan sekarang.

Jenis-jenis pola asuh, secara garis besar menurut Baumrind, yang dikutip oleh Kartini Kartono terdapat 4 macam pola asuh orang tua, yaitu:

a. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh seperti ini cendrung bersikap rasional,toleran dan moderat selalu mendasari setiap tindakkannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran.

Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan pada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakkan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat dan bersahabat.

ciri-ciri sikap demokratis orang tua dalam mendidik adalah sebagai berikut:

1) Komunikasi orangtua dan anak

Amin-Najib, (1993:104).Komunikasi merupakan salah astu alat bagi manusia untuk mengekspresikan apa yang di rasakan dalam bentuk uraian-uraian kalimat,atapun dalam bentuk tindakan tolok ukur keberhasilan sebuah hubungan baik itu hubungan persahabatan,keluarga,masyarakat maupun hubungan antar

negara bisa di lihat sejauh mana kedua belah pihak mampu memahami serta mengaktualisasikan pola komunikasi yang baik.

Sikap demokratis orang tua dalam mendidik anaknya sangat penting.

Sebab hal itu akan sangat membantu dalam pertumbuhan jiwa dan kepribadian anak, sehingga anak akan merasa aman karena diliputi oleh rasa cinta kasih, merasa diterima dan di perhatikan oleh orang tuanya.

Sebaliknya, orangtua yang bersikap acuh tak acuh atau membebaskan anak tanpa ada aturan yang membatasi dan sedikitpun tidak mempunyai ikatan emosional dengan anak, akan mengakibatkan anak menjadi menentang, memberontak, keras kepala, tidak disiplin, dan kurang bertanggung jawab.

Sehingga dalam pergaulannya, anak kurang disenangi oleh teman-temannya, sebab anak yang demikian cendrung memiliki sifat masa bodoh dalam bergaul dan bersikap.

Basri, (1997:80) Peranan komunikasi dalam keluarga sangat penting dan di pandang perlu untuk dibina dan dilestarikan kelancaran serta efektivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab komunikasi antara orang tua dengan anak dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan kasih sayang, media menyatakan penerimaan atau penolakan atas pendapat yang disampaikan, sarana untuk menambah keakraban hubungan sesama warga dalam keluarga, dan komunikasi menjadi barometer bagi baik buruknya kegiatan dalam sebuah keluarga.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi dalam keluarga tidak hanya sekedar hal yang nyata yang berupa ucapan, namun juga berupa simbol-simbol yang mengarah pada maksud dan tujuan penyampaian informasi atau pesan.

2) Menerima kritik

Cara mendidik secara demokratis adalah dengan menentukan peraturan, akan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak. Bentuk pendidikan seperti ini dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah. Dengan demikian dalam pelaksanaan setiap keputusan tidak dirasakan sebagai kegiatan yang dipaksakan, tidak ada perasaan tertekan dan takut, namun pemimpin selalu dihormati dan di segani secara wajar.

Jadi, di sini sikap demokratis menekankan aspek kepada anak di mana orangtua menggunakan diskusi atau musyawarah dan penalaran untuk membantu anak mengerti terhadap suatu sikap dan perilaku orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil keputusan atas ide anak, sehingga anak terlatih untuk berfikir dan bertindak mandiri hal tersebut sangat membantu dalam perkembangan anak selanjutnya. orang tua hendaknya memberi kesempatan kepada anak untuk mengajukan pendapat, memberi pengarahan tentang perbuatan yang baik dan perlu dipertahankan, yang tidak baik supaya ditinggalkan.

Thoha, (1996: 111) Sikap demokrasi orangtua tercermin dalam interaksinya terhadap anak di mana setiap kebijakan yang buat tidak

mendiskreditkan keberadaan anak,memahami kondisi fisik dan psikisnya serta menilainya sebagai individu yang mepunyai kedudukan dan hak yang sama dalam menerima perlakuan yang baik dari siapaun,orangtua dengan sikap demokratisnya akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan kondisi anak sehingga apapun aturan yang di buat tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai demokratis,anak yang hidup dalam keluarga seperti ini akan merasa di hargai dan perhatikan sehingga ia tumbuh menjadi anak yang menghargai orang lain,moderat dalam berpikir serta toleran dalam bersikap.

3) Memberikan pertimbangan

Dalam pandangan Islam, anak adalah perhiasan yang diberikan Allah kepada manusia. Hadirnya anak akan membuat bahagia ketika memandangnya, hati akan terasa tentram dan suka cita setiap bercanda dengan mereka, dialah bunga kehidupan di dunia,keberadaan anak dalam keluarga dapat memberikan suasana damai bagi orangtua sehingga apapun masalah yang di hadapi orangtua seringkali akan tertawarkan karena adanya si buah hati di samping mereka.Bagi orangtua keberadaan anak bagaikan keindahan yang menyejukkan hati serta menentramkan jiwa sebagaimana di firmankan oleh Allah dalam QS.Ali-Imran (3 : 14)



















































Terjemahnya:

“Di jadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa- apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)

Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa kedudukan anak bagi orang tua merupakan amanah Allah dan sekaligus menjadi tanggung jawabnya kepada Allah untuk mendidiknya. Allah memberikan dua potensi bagi anak untuk dikembangkan, yaitu bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk atau dikenal dengan fitrah adalah suci dan baik. Oleh karena itu, jika dikemudian hari anak berperilaku buruk, maka bukan pengaruh potensi fitrahnya, tetapi karena pengaruh lingkungan yang buruk. Dengan kata lain, baik dan buruknya anak sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

Orangtua hendaknya terbiasa mengikutsertakan anak dalam berbagai bentuk persoalan ataupun kegiatatan keluarga, baik yang mengembirakan maupun yang sedang dipertimbangkan.Orang tua memberi penjelasan tentang berbagai hal kepada anak mengenai apa yang sedang dibicarakan,dalam kondisi tertentu keterlibatan anak juga sangat di butuhkan dalam menyelsaikan persoalan paling tidak anak di minta untuk ikut serta memberikan pandangannya sehingga pemberian pertimbangan mendukung bertumbuhan dan perkembnagan komunikasi anak.

Suwaid, (1998:292) Dalam memberikan pertimbangan kepada anak ada beberapa hal yang mesti di perhatikan orangtua terlebih dahulu yaituh ketepatan waktu, kondisi fifik dan psikis anak hal ini di pandang penting karna pemberian pertimbngan bertujuan untuk membantu pertumbuhan dan berkembngan anak.bila kondisi,ketepatan waktu fisik dan psikis anak tidak di perhatikan orangtua maka kemungkinan terwujudnya kepribadian akhlak yang baik pada anak sangat kecil.

Pendidikan orangtua yang demokratis lebih menekankan sistem masyarakat dalam memecahkan suatu masalah. Di sinilah, peran orangtua sebagai pusat penerima kritik dengan keterbukaan ternyata begitu penting bagi anak, karena disamping anak dibiasakan untuk bertanggung jawab anak juga dibiasakan untuk berkerjasama dengan orang tua sehingga diharapkan anak akan tumbuh dengan daya kreativitas yang besar, percaya diri sehingga dengan demikian anak akan mampu menyelesaikan permasalahan dirinya baik di rumah maupun di luar rumah.

4) Memberikan penghargaan

Manusia secara fitrah ingin di puji,di mengerti dan di hargai,kebutuhan akan cinta dan kasihsayang,ingin selamat serta keinginan akan pengetahuan dan pengalamanpun semua ini tidak terlepas dari kebutuhan tersebut,Atas dasar inilah manusia dengan berbagai karakteristiknya mengekspresikan diri lewat beragam aktifitas sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan fitrahnya tersebut cara yang umum di lakukan manusia untuk memenuhi kebtuhan ini adalah

berinteraksi dengan orang lain, bersahabat, berkeluarga, dan bernasyarakat bahkan kehidupan bernegarapun sejatinya tidak terlepas dari kebutuhan tersebut.

Jalaluddin, (2000:62) Penghargaan dalam dunia pendidikan memiliki peran yang positif dalam membangun emosional anak. W.H. Thomas melalui teori The Four Wishes sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin secara umum kebutuhan fitrah manusia terbagi menjadi empat yaituh:

1) Keinginan untuk selamat (security)

Tak ada satupun manusia di pentas bumi ini yang tidak menginginkan keselamatan,bahkan binatang sekalipun secara penciptaan mempunnyai potensi tersebut,namun keinginan manusia untuk selamat berbeda dari keinginan binatang yang hanya menggunakan kekuatan insting atu naluri sementara manusia dengan daya akalnaya mampu untuk menguraikan setiap persoalan yang berakibat fatal bagi dirinya sehingga dengan kekuatan akal inilah manusia dengan segala upaya dapat menghindarkan diri dari bahaya yang akan mengancam keselamatan jiwanya hal tersebut tampak jelas dalam kenyataan di mana manusia dalam keadaan tertekan serta terancam akan mencari perlindungan untuk menghindar dan menyelamatkan diri.

2) Keinginan untuk mendapatkan penghargaan (recognition)

Keinginan ini merupakan dorongan yang menyebabkan manusia melakukan banyak hal dalam kehidupannya berkecimpung di dunia olahraga supaya di akui sebagai olahragawan,berkecimpung di dunia seni supaya di akui sebagai seniman hebat ini di lakukan karna manusia mendambakan adanya rasa

ingin dihargai dan dikenal orang lain. seseorang mendambakan dirinya untuk selalu menjadi orang yang terhormat dan dihormati.

3) Keinginan untuk ditanggapi (response)

Manusia sebagai makhluk sosial menuntut adanya keterbukaan dan kecocokan dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya namun tidak semua yang di lakukan seseorang berjalan tanpa penolakan dari orang lain hal inilah yang terkadang membuat manusia frustasi sehingga membuat ia terdorong melakukan berbagai macam aktifitas sosial agar bisa di terima sebagai teman,sahabat atau paling tidak sebagai orang yang patut di hargai.keinginan untuk di tanggapi merupakan bagian dari kebtuhan jiwa manusia karna pada prinsipnya manusia secara fitrah selalu mempunyai keinginan agar setiap tang harapannya terpenuhi.

4) Keinginan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experience) Kehidupan manusia di warnai dengan berbagai macam persoalan aktifitasnya di penuhi dengan berbagai rintangn ada persolan yang secara sepontan bisa di selesaikan namun ada juga persoalan yang tak mampu di selesaikan sehingga umur panjang bagi manusia tidak cukup untuk menjawab persoalan yang di hadapinya karna itu menusia membutuhkan sesuatu yang dapat membantunya untuk bisa menyelsaikan persoalan yang di hadapi. kecendrungan ini hadir karna manusia tidak cukup puas dengan kondisi yang ada .Pengetahuan akan dunia luar dan pengalaman yang cukup bagi manusia akan lebih membantu menyelsaikan persoalan kehidupannya

Dari pendapat di atas jelas bahwa penghargaan merupakan kebutuhan bagi seseorang. Sehingga pemberian penghargaan kepada anak akan berpengaruh cukup besar terhadap jiwa anak untuk melakukan perbuatan yang positif dan bersifat progresif. Di samping itu, penghargaan juga memiliki kekuatan yang dapat mendorong anak untuk melakukan kebaikan.

Karena dengan penghargaan ini, anak merasa bahwa perbuatan baik yang telah dilakukannya telah membuatnya semakin dihormati dan disayangi orang lain, terutama oleh orangtuanya.

Jadi dalam pola asuh demokratis menggunakan metode penjelasan, diskusi, penalaran, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Selain itu juga menggunakan hukuman dan penghargaan, dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman yang di berikanpun tidak pernah keras dan biasanya tidak berbenuk hukuman fisik sehingga apapun hukuman yang di berikan kepada anak tidak akan berdampak pada tertekannya psikologis anak .

b. Pola asuh otoriter

Setiap manusia terlahir dengan beragam potensi,namun dalam perkembangannya manusia hanya mampu meluapkan potensi dirinya dari apa yang di pahaminya hal tersebut terjadi oleh berbagai macam faktor baik waktor lingkungan maupan keluarga,keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak seringkali menjadi faktor penentu terhadap baik tidaknya akhlak anak, polah asuhpun seringkali menjadi metode ampuh dalam menyelsaikan masalah yang di hadapi anak tak terkecuali metode otoriter.Dalam penerapannya metode ini di

anggab tidak sesuai dengan kebutuhan jiwa manusia karna orangtua memaksakan kehendak mereka agar anak menuruti semua aturan dalam rumah, akibatnya anak merasa tidak nyaman berada dalam rumah sehingga ia mengambil alternatif ain sebagai bentuk perlawanan akan ketidakpuasannya terhadap aturan orangtua.Anak yang hidup dalam keluarga seperti ini akan tumbuh menjadi orang yang egois,suka melawan dan ingin menang sendiri.

Gunarsa, (2002:87) Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua sehingga apapun yang di lakukan anak harus dalam kontrol aturan yang ada dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang dibuat .Sehingga anak yang berada dalam kondisi seperti ini tidak mampu menguraikan pendapat ataupun pandangannya meskipun hal itu di anggab sesuatu hal yang penting terhadap pertumbuhan dan berkembngan.

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orangtua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orangtua, maka orang tua itu tidak segan-segan untuk menghukum anak. Orangtua seperti ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi bersifat satu arah. Orangtua seperti ini tidak membutuhkan umpan balik dari anaknya karna bagi orangtua seperti ini mengerti dan memahami kondisi anak tidaklah terlalu penting. Pola asuh ini ditandai dengan cara memberikan peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan

perilaku yang diinginkan. Seorang anak dipaksa untuk berperilaku seperti orangtuanya. Pola asuh ini juga ditandai dengan adanya hukuman yang berat, terutama hukuman badan, jika terjadi kegagalan memenuhi harapan atau keinginan orang tua.

Ditinjau dari aspek penerapan pendidikan agama dalam keluarga, pola asuh bentuk otoriter ini lebih tepat untuk menekankan akidah dan mengaktifkan ibadah bagi si anak. Contoh, orang tua harus mampu menanamkan kepercayaan pada anak bahwa agama yang paling benar dalam pandangan Allah adalah Islam. Juga dalam hal menanamkan kedisiplinan shalat. Sabda Nabi SAW:

ات ىكدلأاأشي :ىهعٔ ّيهع الله ٗهط الله لٕعس لال :لال ُّع الله يضشْذج ٍع ّيتا ٍع ةيعش ٍتٔشًع ٍع ضأ ٍيُع ءاُتا ىْٔ جلاظنا )دٔدٕتا ِأس سيذح( عجاضًنا ٗف ىُٓيت إلشفٔ ،ششع ءاُتا ىْٔ آيهع ىْٕتش

Artinya:

“Dari Amru bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya RA berkata:

Rasulullah SAW bersabda: perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat, ketika mereka sampai di usia 7 tahun, kemudian pukul mereka karena meninggalkan shalat jika telah sampai usia 10 tahun dan pisahkan diantara mereka di tempat tidurnya”. (H.R. Abu Daud)

shalat merupakan ibadah ritual yang mencerminkan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah,di dalamnya juga terkandung hikmah sosial di mana pada ahir shalat kita mendoakan orang yang berada di samping kanan dan kiri kita.begitu pentingnya ibadah ini Allah S.W.T.secara ekplisit menyeru kepada manusia untuk mengajak anggota keluarga atau anaknya untuk melaksanakan shalat,sebagaimana yang di firmankan-Nya dalam QS.Taha (20 :132)









Terjemahnya

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat”

Kandungan ayat di atas menjelaskan perintah shalat kepada keluarga secara umum namun ayat lain yang terkait dengan perintah shalat secara spesifik kepada anak adalah sebagaimana yang di firmankan Allah dalam QS. Luqman ( 31:17)





































Terjemahnya:

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan.

Kandungan kedua ayat di atas memberikan indikasi bahwa orangtua bertanggung jawab atas keselamatan dan kebahagiaan anaknya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sehingga pola asuh ini boleh diterapkan dalam rangka menanamkan akidah islamiyah dan ibadah kepada anak. Tekanan yang seharusnya dilakukan pada pola asuh otoriter ini adalah bagaimana memahamkan tingkah laku tertentu bisa diterima, sedang yang lain tidak.

Penerapan pola otoriter dengan kadar yang berlebihan akan berakibat buruk pada anak itu sendiri. Karena sebagai manusia kecil yang sedang tumbuh dan berkembang, anak mempunyai keinginan untuk dihargai, mandiri, ingin

diperlakukan secara wajar, serta ingin mendapatkan kesempatan belajar sendiri,saat sepert ininilah yang sebenarnya di btuhkan anak untuk mengembanagkan kepekaan kretifitasnya dan pola pikirnya sehingga anak mendapat pengetahuan yang mampu membuatnya bisa mengatasi perbagai persoalan yang di hadapinya.

Akibat kesalahan menaksir anak terlalu rendah, orangtua terlalu banyak memberi nasehat, perintah, larangan bahkan hukuman dengan harapan anak nantinya menjadi seorang yang sebagaimana diinginkannya justru membuat anak merasa tidak nayaman berada dalam lingkungan keluarga sehingga pola asuh yang demikian tidak cukup efektif dalam menumbuhkan perkembangan fisik dan psikis anak. Jika pola asuh seperti ini di lestarikan dalam keluarga Hal tersebut akan berimplikasi terhadap timbulnya kesalahan dalam proses pendidikan karna mendidik dan membimbing anak dengan banyak menasehati atau menghukum karna kesalahannya justru akan membuat anak terus merasa bersalah dan di salahkan.

Perilaku yang dapat mencirikan orang tua atau pendidik otoriter diantaranya sebagai berikut sebagaimana yang di uraikan

Djamarah, (2002:1) Adapun ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut:

1. Orang tua mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan anak 2. Orang tua kurang memberi kepercayaan kepada anak untuk melakukan

sesuatu.

3. Orang tua kurang memberikan kesempatan anak-anak untuk mengeluarkan pendapat agar mampu mengekspresikan perasaannya.

Seringkali keberadaan anak dalam keluaraga seperti ini di jadikan sebagai kelinci percobaan di mana oranguta dengan segala aturan yang di buatnya membuat anak seperti robot mainan yang program geraknya di atur sedemikian rupa oleh penciptanya, akibatnya anak hanya merasa seperti air yang mengikuti bentuk wadah yang tak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk mengubah apa yang di tetapkan.

Jika pola asuh otoriter orangtua di terapkan dalam jangka waktu yang lama maka anak akan tumbuh menjadi orang yang suka melawan dan ini akan menjadi ciri khas tersendiri bagi anak dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. ciri pola asuh ini tampak dimana orangtua suka memaksakan kehendak dan menuntut anak agar melakukan peraturan tanpa memberikan kelonggaran pada anak untuk mengemukakan keberatan bila aturan itu tidak sejalan dengan kebutuhan anak,ciri lain dari pola asuh ini terlihat di mana anak di paksa untuk belajar dan menguasai pelejaran tertentu di sekolah walapun yang sebenarnya anak tersebut tidak bermianat untuk mempelajari bidang studi itu.

c. Pola asuh permisif

Pola asuh ini ditandai dengan cara orangtua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa yang bisa melakukan apa saja yang dikehendaki namun pada dasarnya orang tua atau pendidik permisif berusaha menerima dan mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif ketika

sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi ketidak patuhan.

Pola permisif tidak begitu menuntut, juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anak, karena meyakini bahwa anak seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya.

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan apabila anak sedang dalam masalah atau bahaya. Dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orangtua tipe ini biasanya hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Idris, (1992: 89-90) Adapun ciri pola asuh permisif di tandai dengan sikap orangtua yang terlalu memberikan kebebasan kepada anak dalam bertindak dan bergaul tanpa sedikitpun memonitor setiap aktifitasnya, bersikap pasif dan acuh tak acuh terhadap persoalan yang hadapi anak,ciri pola asuh ini juga terlihat di mana orangtua bersikap dingan tanpa membangun keakraban dengan anak,bagi orangtua dengan ciri seperti ini terpenuhnya kebutuhan materi menjadi tolok ukur baginya bahwa apakah ia bertanggunajawab atau tidak tanpa memikirkan hal yang substansial dalam persolan pendidikan moral,setiap aktifitas dalam keluarga dengan ciri permisif terlihat seperti kegiatan tanpa arah, keadaan rumah dengan ciri seperti ini cendrung tanpa mengenal aturan ini terlihat karna orangtua tidak memberikan sebuah aturan yang mengikat anggota keluarga, ciri lain yang nampak pada orangtua dengan tipe permisif dalah

menganggab keberadaan semua anggota keluarga dalam rumah sudah cukup sebagai suatu kepuasan tersendiri padahal sebuah keluarga mestinya di bangun atas dasar cinta dan kasih sayang sehingga suasana keluarga nampak seperti tempat yang sejuk lagi damai.

Pola asuh permisif mempunyai banyak kelemahan apabila diterapkan dalam pendidikan agama anak. Dalam mendidik agama anak orang tua tidak bisa membiarkan anak yang sudah berusia 7 tahun tanpa memerintah anak untuk melaksanakan shalat, atau mempelajari agama sehingga apabila orang tua menggunakan cara permisif maka akan berakibat buruk pada anak, baik dalam hal keimanannya maupun akhlak anak. Semakin luas orang tua memberi kebebasan kepada anak, maka akan berakibat semakin jauh anak dari nilai-nilai releigius yang ada, dan ini akan berakibat anak lebih banyak meninggalkan ajaran agama.

Dalam keluarga yang permisif tidak ada peraturan-peraturan dan pembatasan. Apabila disiplin terlalu longgar, anak akan merasa bingung dan kurang aman. Akibat dari pengalaman yang terbatas dan kehidupan mental masih belum matang, mereka sulit membuat keputusan tentang perilaku mana yang sesuai dengan harapan sosial, mereka tidak tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sebagai hasil dari itu mereka cenderung untuk menjadi ketakutan, gelisah, dan sangat agresif.

Yati dkk, (1991:97) Pola asuhan permisif ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya