• Tidak ada hasil yang ditemukan

JANGAN BERPEGANGAN PADA DATA OUTLIER

Dalam dokumen buku tutorial berpikir benar irwansyah (Halaman 72-81)

10

Jangan Berpegangan Pada Data Outlier

Photo by Spencer Backman on Unsplash Gw pernah baca hasil penelitian dari Smeru Research Institute:

mayoritas anak yang lahir dari keluarga miskin, saat dewasa akan miskin juga. Ekspresi gw saat baca hasil riset ini biasa aja sih karena ya emang kenyataannya kaya gitu. Kita ini suka

JANGAN BERPEGANGAN

meniadakan fakta lapangan untuk kebahagiaan sesaat.

Misalnya ada kalimat motivator “semua orang yang berusaha keras itu akan kaya dan sukses”. Pemulung, kurang keras apa mereka berusaha tiap hari? Mulung dari subuh sampe malem?

Inilah yang bikin gw mikir ulang untuk dengerin kata-kata motivasi dari para motivator, karena ada juga yang bahaya kalo dilakukan. Coba aja kita telaah kalimat motivator ini “semua orang yang berusaha keras itu akan kaya dan sukses”, sekilas kalimat ini emang bagus buat dijadiin inspirasi agar hidup kita selalu semangat. Tapi kalo kalimat itu kita pahami dengan mafhum mukhalafah (pemahaman berbalik) malah jadi bahaya.

Maknanya berarti kalo ada orang yang miskin, artinya dia kurang berusaha keras. Coba gw tanya, berapa banyak orang kaya yang memandang orang-orang miskin sebagai orang yang pemalas? Banyak banget kan? Mereka menganggap orang- orang miskin itu usahanya kurang, pemalas, jadi masih tetep miskin sampe sekarang. Padahal variabel kemiskinan itu banyak, bukan cuma sekedar usaha. Tapi akses pada fasilitas, peran negara, lingkungan, sistem yang berjalan dan masih banyak lagi. Artinya, kemiskinan itu sifatnya sistemik, bukan ranah personal.

Kalo ada orang kaya yang muncul dari keluarga miskin seperti Jack Ma, itu bisa kita sebut dengan nilai outlier. Nilai outlier itu artinya ekstrim, nilai yang ga wajar. Gw mau ajak mikir, berapa banyak orang-orang yang seperti Jack Ma (maksudnya kaya dari sebelumnya miskin)? Ga banyak kan? Apalagi kalo

dibandingin dengan orang yang tetep miskin turun temurun. Itu lah yang disebut dengan nilai outlier. Andai kita punya keyakinan “semua orang yang berusaha keras itu akan kaya dan sukses”, kita ga bisa pake landasan Jack Ma dan temen- temennya, karena faktanya mayoritas orang yang lahir dari keluarga miskin akan tetep miskin.

Mungkin sekarang udah mulai ada yang mau ngegas gw dengan kalimat “terus kita harus terima nasib jadi orang miskin aja gitu? Ga usah ngapa-ngapain?”

Inilah yang paling gw ga suka kalo debat sama orang yang levelnya ga sama (anjay sombong), maksud gw kan yang lagi kita bahas ini fakta lapangan, jadi ga boleh loncat-loncat kalo berargumen. Lu ga bisa bantah dengan kalimat-kalimat indah motivasi kaya di atas itu. Lu ga bisa cuma teriak-teriak di seminar, semangat dalam waktu dua jam abis itu males lagi.

Karena di awal, gw udah bilang yang namanya kemiskinan itu sistemik. Ga Cuma sekedar masalah urusan “kerja keras”, tapi banyak hal yang berkaitan dengan itu yang bisa jadi penyebab kenapa orang tetep miskin. Artinya, disini gw mau jelasin kalo masalah kemiskinan itu bukan cuma sekedar salah orang miskinnya, tapi bisa juga kita yang merasa tercukupi hidupnya malah ga ngebantuin mereka, bisa juga negara yang abai dengan mereka (ga ngasih akses pendidikan gratis, fasilitas yang memadai, lapangan kerja, dll). Pahami konteks ini dengan baik. Kalo udah paham, lu ga bakal mau berargumen dengan Jack Ma dan temen-temennya.

Mungkin ada lagi yang bilang “trus sekarang gw harus gimana? Apakah ga boleh jadiin Jack Ma dan temen-temennya sebagai inspirasi?”

Tentu aja boleh. Semua orang berhak untuk hidup yang layak, gw, lu dan kita semua. Kita boleh jadiin siapapun sebagai inspirasi agar hidup kita lebih baik. Gw pun sama, gw mengagumi Elon Musk karena level dia itu tinggi banget, sehingga gw sadar untuk jadi dia itu ga bakal kesampean, minimal setengahnya aja hehe. Di atas udah gw bahas ada yang namanya nilai outlier, faktor x itu bener adanya. Bisa jadi, Jack Ma menggunakan faktor x dalam bentuk kerja keras, fasilitas internet yang memadai, ga pantang menyerah sebagai landasan dia biar bisa keluar dari kemiskinan. Kita harus lakuin itu juga, kalo faktor eksternalnya ga mendukung. Faktor eksternal itu seperti lingkungan yang abai, fasilitas negara yang ga memadai dan lain-lain. Apa yang bisa kita lakuin, kita lakuin dari sekarang.

Akhirnya kita tahu kalo nilai outlier itu ga bisa kita jadiin landasan argumen, bakal kalah. Karena pada faktanya, banyak orang miskin yang udah kerja keras tapi tetep miskin karena terhalang oleh faktor eksternal. Inilah yang menyebabkan gw menganggap kalo kemiskinan adalah masalah sistemik.

Walaupun begitu, sebagai pribadi yang ingin bebas dari kemiskinan, kita ga bisa meniadakan faktor internal dalam diri seperti semangat yang tinggi, kerja keras dan usaha-usaha lainnya agar kita lebih dekat pada apa yang kita mau. Jadi poin

di tulisan ini bukanlah untuk larang kalian keluar dari kemiskinan, tapi menyadari dulu fakta yang ada seperti apa, seberat apa masalah yang harus dihadapi, faktor internal dan eksternal yang menjadikan orang tetap miskin, setelah kita tahu barulah kita bisa perang lawan masalah-masalah tersebut.

Bukankah kita bakal menang perang kalo kita tahu senjata dan strategi apa yang dipake musuh?

Ada contoh lain yang mau gw bahas, masih berkaitan dengan judul bab ini. Pernah ga denger atau baca kalimat “semua kampus itu sama aja, yang penting pribadi individunya”

Sering denger ucapan kaya gitu? Itu adalah paradigma berpikir yang salah, dangkal dan ga substansial banget. Orang yang punya paradigma kaya gitu mungkin berkhayal kalo dirinya lagi ada di Finlandia. Karena di sana semua kampus setara, ga ada kampus favorit dan non favorit. Gw mau ngutip ucapan jubir menkes saat wawancara terkait covid-19 “THIS IS INDONESIA BRO”. Pada kenyataannya, ga semua kampus memiliki kualitas yang sama. Kampus yang terakreditasi A ga bakal pernah sama dengan yang terakreditasi B, begitu seterusnya. Ini paradigma berpikir yang benar. Karena bagaimanapun, Badan Akreditasi Nasional punya standar untuk mengklasifikasikan suatu kampus masuk akreditasi A, B, atau C.

Lagi pula, kalo emang semua kampus itu sama atau setara, kenapa ada persyaratan “minimal kampus terakreditasi B” saat mau daftar jadi ASN? Di beberapa program doktoral PTN pun

bikin syarat lulusan magister yang mau daftar harus dari PTN juga atau swasta yang terakreditasi minimal B. Kenapa bisa seperti itu? Silakan jawab sendiri. Jadi, jangan pernah mikir semua kampus itu sama aja, trus yang jadi objek derita adalah mahasiswanya. Karena faktanya banyak mahasiswa yang semangat kuliah, tapi ga difasilitasi dengan baik. Apa itu fasilitas? Bisa gedung, ruangan, dosen yang kompeten, lingkungan yang memadai, sistem penunjang kampus dan sebagainya.

Contoh termudahnya ada kampus yang punya jurusan IT, tapi perkuliahannya ga pake sistem berbasis IT. Aneh kan?

Pembuktian jurusan IT nya dimana kalo begitu? Gimana mahasiswa mau percaya iklan kampus kalo apa yang diajarin di materi ternyata malah ga diterapin di lingkungan kampusnya sendiri.

Terutama yang jadi fokus lain adalah dosennya. Banyak kampus swasta, agar tetap bertahan hidup mereka menyewa dosen yang ga kompeten bahkan masih berstatus sarjana, bukan magister. Dosen ga kompeten punya ciri-ciri seperti sering nyuruh mahasiswa presentasi tapi ga mampu nyimpulin hasil materi, sering ngobrol kesana kemari di luar konteks kuliah tapi setelah mau pulang malah ngasih tugas sesuai materinya, terkadang datang 30 menit sebelum pulang, ga pernah nyuruh mahasiswanya untuk merujuk jurnal-jurnal terakreditasi nasional ataupun internasional. Kampus-kampus tersebut hanya sekedar “yang penting ada yang ngajar di

kelas”. Ya, ini fakta di lapangan. Lantas, gimana kualitas mahasiswanya kalo begini?

Mungkin ada yang bakal bilang, “Ah... Sarjana yang pengalamannya banyak, bakal ngalahin magister yang baru lulus”

Ya bisa aja itu bener, tapi masalahnya ilmu pengetahuan ga dilandasi dari pengalaman individu yang ga pake metode ilmiah. Tanpa mengurangi rasa hormat, daya nalar kritis anak magister bakal lebih baik dari lulusan sarjana. Kalo pernyataan tersebut salah, trus buat apa ada level sarjana, magister hingga doktoral? Lagi pula, syarat dari pemerintah adalah dosen itu harus S2, ga bisa ditawar.

Jangan karena berpikir semua kampus itu sama aja lalu kamu pilih kampus yang inkompeten. Jangan. Jangan pernah!. Biarin aja mereka mati dengan sendirinya kalo emang belum layak jadi kampus. Kalo emang ga bisa mengidealiskan diri sesuai aturan pemerintah, jangan bikin kampus! Karena yang bakal jadi korban adalah manusia. Mahasiswa yang bayar tiap semester itu punya harapan agar kehidupan mereka lebih baik.

Begitu juga dengan orang tua mereka yang kerja keras biayain SPP anaknya. Mereka semua yang dikecewakan. Para orang tua tersebut berharap setelah anaknya lulus nanti akan jadi kebanggaan, tapi malah dikecewakan dengan kualitas kampus yang buruk, cuma manis di iklan aja.

Oh ya gw juga tau, sebagus apapun kampus ada aja mahasiswa yang otak atau kelakuannya minus. Tapi dengan lingkungan kampus yang baik, seenggaknya dia akan terpengaruh sedikit banyak sebab faktor itu. Dalam ilmu statistika, kalo ada 40 orang dalam satu kelas, lalu ada 2 orang yang ga ahli (ga sesuai target) setelah lulus, maka kita akan tetap memandang populasi tersebut itu baik. Artinya 2 orang error tersebut ga mewakili populasi, tapi yang mewakili populasi itu adalah 38 orang lainnya.

Begitu juga kalo ada yang bilang “ah, gw lulus dari kampus yang punya fasilitas kurang bagus, dosen jarang datang, tapi gw sekarang bisa kerja di perusahaan bagus dengan gaji yang gede kok”.

Ya, faktanya emang ada kasus seperti ini. Tapi coba lu cek, dari satu kelas, yang punya keberuntungan seperti lu ada berapa orang? Kalo cuma ada satu atau dua orang, itu disebut dengan nilai outlier atau nilai ekstrim. Ga bisa lu jadiin argumen bantahan terhadap teori yang lagi gw bahas. Kalau dari satu kelas lu mayoritas jago, itu baru boleh lu jadiin anti tesis dari teori yang gw bahas.

Karena sejatinya, banyak mahasiswa yang semangat buat belajar di tempat kuliah tapi lingkungannya yang ga memadai, teman yang ga optimis dan/atau dosen yang kurang kompeten.

Semua hal tersebut bikin mahasiswa yang semangat jadi malas.

Mungkin cuma satu atau dua mahasiswa yang punya imunitas lebih kuat untuk belajar lebih giat secara otodidak, tapi

nyatanya secara mayoritas di kelas gimana? Silakan cek saja sendiri. Jadi sekali lagi... Seriuslah nyari kampus yang baik.

Karena itu mesin pemroses akal lu dalam 4 tahun ke depan. Dia jadi penunjuk jalan lu, sebagai penuntun ke arah yang lebih baik. Kalo kampus yang bagus itu lebih mahal sedikit, bayarlah... Mungkin lu ngerasa kasihan sama orang tua yang biayain lu, tapi kalo mereka masih sanggup, rasa kasihan lu ganti dengan belajar sungguh-sungguh selama kuliah. Setelah itu lu kerja dan bahagiain mereka (JANGAN KAWIN DULU...

BAHAGIAIN ORTU YANG RAWAT LU DARI KECIL!!!).

Oh ya sebelum gw tutup kasus kedua ini, gw mau kasih informasi kalo tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan kampus mana pun atau mahasiswa mana pun. Karena kampus kuliah S1 gw pun punya akreditasi C. Dengan belajar sungguh- sungguh, kita semua akan mendapatkan hasil dari proses tersebut, dari manapun kita berasal.

Sebenernya gw bisa angkat lebih banyak kasus lainnya, tapi gw cukupkan dengan dua kasus aja biar ga terlalu panjang.

Poinnya adalah jangan pernah berargumen dengan data outlier, kita bakal kalah karena akan bertentangan dengan fakta yang ada. Kita harus nerima fakta dulu atas apa yang jadi diskusi ilmiah terkait suatu kasus atau fenomena. Setelah itu, kita boleh nyari solusinya.

11

Dalam dokumen buku tutorial berpikir benar irwansyah (Halaman 72-81)