Sumber data primer bisa kita peroleh dengan cara ngasih kuesioner atau wawancara narasumber secara langsung.
Misalnya saat kita mau bikin dodol garut, kita langsung nanya pengrajin dodol garut untuk mendapatkan data yang otentik dari pakarnya. Atau saat kita mau tahu tanggapan orang tentang suatu film, kita akan nanya gimana tanggapan orang-orang yang udah nonton film tersebut. Ini disebut dengan data primer.
Sumber data sekunder itu data ga langsung, atau data yang kita gunakan adalah hasil dari orang lain. Contohnya seperti data keuntungan kantor gw di judul sebelumnya. Para petinggi perusahaan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan para karyawannya untuk bahan meeting. Para petinggi tersebut ga ngumpulin data sendiri kan? Jadi mereka percaya 100%
pada para karyawannya dalam hal ngumpulin data transaksi tersebut.
Apakah kita harus paham konsep sumber data seperti di atas?
Jawabannya tentu aja kita harus paham. Trus emang ada efeknya kalo kita ga paham? Mungkin kita bisa berkaca pada kerusuhan yang akhir-akhir ini terjadi di sosial media. Kenapa semua kerusuhan itu bisa terjadi? Karena banyaknya berita yang sumber datanya ga kredibel, ga jelas, potongan video yang keluar konteks, klikbait, tendensius dan lain sebagainya.
Hal ini diperparah dengan orang awam yang ga paham konsep sumber data tersebut. Andai para orang awam itu mau sebentar aja nanya dalam hatinya “ini berita bener ga sih?”, minimal mereka bakal cek sumber datanya terlebih dahulu.
Para penganut teori konspirasi juga lebih senang menggunakan data yang sifatnya random. Bahkan mereka percaya pada video narasi yang entah siapa pembuatnya. Padahal dalam dunia sains, kredibilitas seseorang sangat penting untuk menjamin data tersebut memang benar dan sesuai dengan kajian ilmiah.
Setelah selesai bahas sumber data, sekarang kita akan bahas referensi data. Gw mau bahas bagian ini dengan contoh real aja ya biar gampang dipahami. Oh ya, kebetulan gw NU Mania, jadi pake contoh yang sering kejadian di organisasi tersebut.
Gw jamin kasus ini bakal relevan dengan apa yang akan kita bahas.
Ada tiga jenis referensi yaitu primer, sekunder, tersier.
Referensi primer itu lu langsung ngerujuk ke sumbernya.
Misalnya waktu lu nyari hukumnya solat berjemaah, lu langsung nyari dalilnya ke Alquran dan Hadits. Level ini paling keren, karena ga semua orang bisa sampe. Ada referensi sekunder, kalo lu nyari hukumnya solat berjemaah, lu nyari kitab ulama yang bahas tentang itu, misal di kitab anu hukumnya wajib, di kitab anu hukumnya sunnah dll. Kalo referensi tersier, lu cuma nukil pendapat dari ustadz lu yang beliau nukil dari kitab. Misalnya lu nanya ke ustadz "pak ustadz, apa hukumnya sholat berjemaah?", ustadz jawab hukumnya sunnah menurut kitab anu, wajib menurut kitab anu.
Kita mengiyakan tanpa mengecek kitab tersebut, jadi kita bersandar pada ucapan ustadz tersebut. Begitu juga saat lu nyari hukum di website, itu juga sama dengan referensi tersier.
Di website tersebut dijelaskan kitabnya, tapi kita ga rujuk langsung ke kitab-kitab tersebut.
Referensi primer itu digunakan oleh mujtahid mutlak (imam mazhab) yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ga semua orang bisa sampe derajat ini, even para sahabat Rasulullah pun ga semuanya sampe.
Referensi sekunder itu digunakan oleh para pelajar, karena mengasah diri untuk menelaah masalah dan jawabannya dari berbagai pandangan para ulama salaf (terdahulu) atau khalaf (kontemporer).
Referensi tersier itu digunakan oleh orang awam, yang penting dapet jawaban. Jadi mazhabnya orang awam bukanlah Syafiiyah atau yang lainnya, tapi mazhab mereka adalah gurunya. Pada siapa dia bertanya, maka itulah mazhabnya. Dan ini boleh aja ga ada masalah.
Nah... kebetulan gw pernah numpang tidur di pesantren basis NU beberapa tahun. Di tradisi NU, kita biasa jawab pertanyaan juga dengan referensi sekunder. Misal ditanya hukumnya mengusap leher saat wudhu, kita langsung buka beberapa kitab.
Ambil contoh kalo di kitab bidayatul hidayah Imam Al Ghazali hukumnya sunnah, kalo di kitab fathul mu'in hukumnya bid'ah artinya ga boleh dilakukan. Kita jarang banget merujuk suatu masalah langsung dari dalil alquran dan hadits. Mungkin ada beberapa kitab yang mencantumkan dalil alquran dan hadits saat membahas suatu hukum, seperti kitab sulamut taufiq. Tapi
banyaknya kitab fiqih itu ga cantumin dalilnya. Kenapa kah bisa begitu?
Gini... gw kasih penjelasan secara kaidah ilmiah. Kita pake analogi kisah yang mirip dengan itu. Saat newton belum merumuskan hukum gravitasi, kira-kira gaya gravitasi udah ada belum? apakah saat newton belum merumuskannya, kita masih beterbangan? Engga kan? Gaya gravitasi udah ada walaupun newton belum merumuskan hukumnya. Trus kenapa skrg kita pake hukum gravitasi ala newton? kenapa ga pake hukum gravitasi masing-masing? Bukankah kita semua mengalami gravitasi? Jawabannya adalah karena ga semua orang bisa menangkap fenomena itu dan ga semua orang mampu merumuskannya menjadi suatu teori, kemudian teori itu diuji hingga menjadi suatu hukum. Akhirnya, para pelajar itu cuma bisa mengikuti hukum yang udah dirumuskan oleh Newton.
Para guru mungkin bisa ngajarin muridnya hukum newton, tapi ga semua guru fisika bisa tau asal-usul rumus tersebut. Yang bisa tau, kalo udah setingkat professor bidang fisika.
Begitu juga dalam dunia keilmuan Islam, ga semuanya bisa menangkap maksud yang ada pada dalil alquran dan hadits.
Hanya para imam mazhab (mujtahid) yang bisa ngelakuin itu.
Mereka yang merumuskan dalil-dalil yang ada menjadi 5 dasar hukum buat kita, yaitu wajib, sunnah, boleh, makruh, haram.
Contohnya, ada hadits yang melarang minum berdiri. Kita ga tau kan larangan tersebut itu sifatnya makruh atau haram.
Begitu juga saat ada perintah pada dalil tersebut, kita ga tau
perintah itu hukumnya wajib atau sunnah. Ini kerjaannya para imam mazhab tadi. Para kyai kita seperti guru-guru fisika tadi.
Bukan karena bodoh, justru karena hal seperti inilah yang ilmiah untuk dilakukan.
Zaman ini banyak ustad yang nyuruh kita kembali ke alquran dan hadits. Merumuskan langsung dalil dari alquran dan hadits.
Akhirnya banyak yang salah. Kemaren ada yang bilang lagu balonku haram, naik ke puncak gunung itu kristenisasi, kotoran dari hewan yang suci adalah hukumnya suci. Banyak salahnya.
Kenapa bisa seperti itu? karena bukan kapasitas mereka menjadi imam mazhab tapi malah sok tau langsung merujuk ke alquran dan hadits.
Ada juga ustad yang kalo ditanya hukum, langsung jawab
"kalo di alquran ayatnya ini, haditsnya ini", keliatannya keren kan? Tapi justru yang kaya gini ga ilmiah jawabannya.
Yang ilmiah itu lu kasih referensi dari kitab ulama mana. Sama halnya lu lagi skripsian, di bab 2 pasti ada landasan teori yang merujuk pada berbagai literatur ilmiah, seperti buku atau kitab dari orang lain yang mumpuni pada bidang tersebut. Coba aja bikin skripsi trus landasan teorinya lu ga pake referensi, kalo gw jadi penguji bakal gw lempar ke mukanya. Ga ada akhlak.
Sekarang udah mulai paham ya. Lanjutin baca biar makin terbuka jalan pikirannya.