• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA LOKAL

C. Artifact

4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan

Warisan yang sangat berharga dari nenek moyang kita adalah tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Indonesia mempunyai kemajemukan religi, akar budaya dan keragaman kearifan tradisional, yang dapat menjadi modal dasar dalam menjalankan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Kearifan lingkungan (KL) adalah tata nilai dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi bahkan religi, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan berada di tengah-tengah masyarakat. Ciri yang melekat dalam kearifan lingkungan adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima di

cviii

masyarakat. Kearifan lingkungan mewujud dalam bentuk agama, aturan, pengetahuan, dan juga keterampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas dan terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Banyak contoh baik yang ada di masyarakat desa hutan di Indonesia maupun di bagian hutan-hutan diseluruh dunia. Bagaimana pengetahuan masyarakat dari hasil pengalaman-pengalaman dengan hutan mampu menjadikan warga masyarakatnya mampu menghadapi alam yang ganas. Sebagaimana yang tersebut dalam jurnal internasional yang diterbitkan oleh Swedish Biodiversity Centre karangan Thomas Elmqvist berjudul Indigenous Institutions, Resilience And Failure of Co-Management of Rain Forest Preserves In Samoa. Elmqvist menulis,

In Samoa, an archipelago in the western part of Polynesia, local societies use an array of institutions and management techniques to cope with uncertainties in their environment.

Tropical cyclones are highly unpredictable both on a temporal and spatial scale and may cause widespread destruction of villages and plantations. Examples of institutions and resource management systems used under these circumstances include a sophisticated land tenure system enabling a buffer capacity for growing crops, the use of taboos for protecting specific species and techniques for long-term storage of food and. The extent of damage to crops by cyclones is very variable both within and between crop species.

Inilah sebuah wujud adanya budaya masyarakat lokal yang luar biasa sebagai wujud strategi menghadapi alam. Alam berhasil ditaklukkan. Tetapi terkadang kearifan masyakat desa hutan ini dilemahkan oleh pihak pemerintah karena dianggap tidak ilmiah dan kuno. Padahal di Samoa tidak terbukti apa yang ditakutkan oleh pemerintah. Elmqvist melanjutkan,

Several local indigenous initiatives to conserve biodiversity were taken in the early 1990’s and resulted in village-based rain Forest preserves that are owned, controlled and managed by the villagers. Although these preserves appear to be a robust local approach to rain forest conservation, their establishment resulted in significant conflicts between the villagers and Western NGOs that assisted in raising funds for the preserves. The principles of indigenous control were unexpectedly difficult to accept by some western conservation organizations that ultimately were unwilling tocede decision-making authority to the indigenous leaders. In this case, co-management failed completely when a village decided to severe all relationships and refuse any further financial assistance from the Western NGOs. The reasons for co-management failure need to be analyzed in the context of the crucial role of local institutions and the importance of mutual trust.

cix

Pengetahuan-pengetahua lokal/indegenuous knowledge ini hampir tidak dapat dilakukan oleh masyarakat di luar masyarakat desa hutan itu sendiri. Seperti LSM baik dari pemerintah maupun LSM internasional. Ini menunjukkan perlunya pemberdayaan dalam arti pemberian hak untuk mengelola hutan dalam rangka menjaga kelestarian hutan.

Salah satu gerakan lingkungan yang terkenal di wilayah kabupaten Blora adalah gerakan lingkungan yang dipelopori oleh Samin Surya Sentiko. Gerakan ini berkembang semasa penjajahan kolonial belanda. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora, perubahan pola pemakaian tanah komunal, pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk. Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Masyarakat desa hutan di wilayah hutan KPH Cepu dapat dikatakan mempunyai potensi kearifan lingkungan yang cukup tinggi. Akan tetapi, potensi ini masih dapat dioptimalkan lagi untuk membangun lingkungan yang lebih baik dan bernilai positif. Bentuk optimalisasi ini adalah dalam bentuk pemberdayaan yaitu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat desa hutan dalam proses pengelolaan hutan.

Salah satu contoh kasus adalah apa yang penulis temukan di wilayah Nglebur. Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa

cx

hutan di wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan sumber daya hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan antara warga masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah nglebur antar warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani berlangsung dengan sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat dianalisis bahwa keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan Pak Agung Sugiartha staf KSS PHBM bahwa Nglebur adalah wilayah di KPH Cepu yang potensi hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan oleh Rachmat K. Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya.

Tetapi persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan penulis adalah proses kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam berinteraksi social diantara actor-aktor dalam wilayah hutan.

tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung dengan arif. Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap bahwa hutan itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil hutan, maka akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika masa 1998 dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian.

Hal ini memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana

cxi

selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan dampaknya.

Proses pengelolaan hutan dengan partisipasi masyarakat didalamnya ada berbagai macam pola. Apabila kita mempelajari pada berbagai kasus yang terjadi di berbagai wilayah kehutanan dimana disitu terdapat beberapa aktor kehutanan, maka akan kita ketahui berbagai variasi bentuk partisipasi dan pemberdayaan. Sebagai contoh yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu bentuk pengelolaan hutan di wilayah Sambeng Boyolali yang melibatkan masyarakat dalam penjagaan kelestarian hutan. Disitu muncul sistem plong, yang bermanfaat untuk menambal lahan hutan yang bolong yang manfaatnya dapat diterima oleh setiap aktor kehutanan di wilayah Sambeng itu sendiri. Dengan model plong, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh kedua pihak. Misalnya, model plong memungkinkan petani bisa ikut terlibat menjaga hutan. Kemudian, dari lahan plong tersebut bisa diperoleh hasil pertanian cukup berarti untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, penggarapan lahan oleh petani juga bisa lebih intensif.

Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan kawasan perlindungan setempat( KPS) yang merupakan kawasan yang tidak dilaksanakan proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan, proses penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan vegetasi di kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan sekarang, penentuan suatu wilayah menjadi KPS itu apa? Pak Agung menyebutkan bahwa penentuannya adalah karena kawasan tersebut dipakai oleh warga dan disitu terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan merupakan tempat yang dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang menurut saya luar biasa adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024 KPS yang tersebar di

cxii

seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS yang diberikan perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai sebuah signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya wilayah KPS.

Kasus lain yang merupakan bukti pentingnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat adalah kasus hutan rakyat di wilayah kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat petani di desa dekat hutan Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, mencatat langkah maju. Sistem pengelolaan hutan rakyat yang mereka terapkan, pada September 2006 berhasil mendapatkan sertifikat ekolabel dari badan sertifikasi bertaraf internasional. Peristiwa bersejarah bagi praktek pengelolaan hutan rakyat di Gunungkidul itu berlangsung di Auditorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 21 September 2006.

Penyerahan sertifikat itu merupakan bagian dari rangkaian acara dalam Pekan Raya Hutan dan Masyarakat oleh Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Java Learning Center (Javlec).

Dalam perhelatan tersebut, pengurus dan anggota Koperasi Wana Manunggal Lestari Gunungkidul layak disebut sebagai aktor utama. Sebab, kepada merekalah sertifikat ekolabel tersebut diserahkan oleh lembaga sertifikasi berkaliber dunia yang berbasis di Jerman, melalui perwakilannya di Indonesia, PT TUV International Indonesia. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan bahwa masyarakat anggota koperasi tersebut telah melakukan pengelolaan hutan rakyat secara lestari.

Sebagai tambahan, dapat kita sebutkan satu contoh lagi di wilayah Ngawi Jawa Timur. Rendahnya penghasilan dan kerasnya perjuangan hidup petani di desa dekat hutan membuat para generasi muda pedesaan enggan menekuni pekerjaan bertani.

cxiii

Paryono adalah salah satu contohnya. Lelaki muda asal Desa Dampit, Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur, ini pernah pergi dari kampungnya untuk mengejar impian memperbaiki kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mapan dengan bertransmigrasi ke Sumatera pada 1990. Pada awalnya ia memang dapat mewujudkan harapan itu. Tapi krisis ekonomi pada 1997 membuat berantakan kehidupan yang telah ia bangun. Terutama oleh fanatisme daerah di kalangan warga asli yang berujung pada ketegangan etnis dengan para pendatang, termasuk Paryono dan beberapa rekan sekampungnya yang pada saat itu ikut bertransmigrasi. Situasi tersebut membuat Paryono dan kawan-kawan sekampungnya asal Dampit tak lagi merasa aman. Dan akhirnya mereka pun memutuskan pulang kampung, kendati di benak mereka belum terlintas akan melakukan apa untuk menyambung hidup.

Semenjak 1998 hingga 2000, penjarahan kayu jati di hutan negara marak di hampir seluruh wilayah Jawa, tak terkecuali di hutan jati dekat kampung Paryono.

Bagi Paryono dan warga Dampit yang menganggur, membabat kayu jati di hutan negara merupakan pilihan untuk mendapatkan penghasilan yang sulit dielakkan.

Rata-rata tiap orang bisa memperoleh pemasukan Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu per hari dari berdagang kayu jati hasil curian. Kian hari makin banyak orang menjarah hutan jati. Peristiwa itu tak hanya berlangsung di Desa Dampit, melainkan juga di Desa Kenongorejo, dan Desa Bringin di kecamatan yang sama. Pada September 1998 massa menjarah dan merusak 5.000 hektare hutan jati yang dikelola Perum Perhutani di Wilayah Kabupaten Ngawi. Bentrok fisik antara massa dengan polisi pun pecah mengakibatkan seorang warga tewas. Polisi menahan 115 orang.

Akibatnya, hutan jati di Kecamatan Bringin ludes dalam sekejap. Kondisi alam pun berubah kering dan gersang di musim kemarau, sementara di musim hujan banjir dan tanah longsor mudah datang. Mereka miris melihat bencana alam yang datang

cxiv

menyusul gundulnya hutan di kampung mereka. Maka, ketika orang-orang masih terus menjarah isi hutan, Paryono dan rekan-rekan sekampungnya memutuskan berhenti ikut menguras kayu jati di hutan. Lebih-lebih ketika mereka menyadari bahwa menjarah hutan tak serta merta membuat hidup mereka lebih sejahtera.

Bersama beberapa pemuda sekampungnya, Paryono lantas bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin yang gundul.

Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi untuk ditanami tanaman pertanian. Inisiatif model penanaman selangseling yang lazim disebut “model plong” atau alley cropping ini datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan di Madiun. Bagi Paryono dan kawan-kawannya sesama penggarap lahan hutan, itu merupakan awal perjuangan mereka menghindarkan diri dari nasib para petani hutan pendahulu mereka.

Itulah beberapa contoh kearifan lingkungan yang menunjukkan pentingnya partisipasi dan pemberdayaan dari setiap aktor kehutanan. Adanya satu pihak yang lebih mendominasi pengelolaan hutan tidak serta merta memperbaiki alam lingkungan hutan akan tetapi memunculkan adanya masalah laten yang dapat sewaktu-waktu meledak menjadi konflik yang besar pengaruhnya bagi kehidupan ekologi yang melibatkan unsur dalam ekosistem dan sistem sosial.

cxv

cxvi

cxvii

cxviii

cxix

cxx

cxxi BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Pelajaran tentang ekologi dapat kita ketahui dari hasil penelitian dalam tulisan ini. Pelajaran paling terkait dengan tulisan ini adalah adanya kearifan lokal yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda yang dimiliki oleh warga masyarakat desa hutan adalah sebuah interaksi yang dapat ikut serta dalam mendukung kelestarian sumber daya hutan hutan milik KPH Perhutani Cepu.

Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan produk budaya dan ditemukan di dalam masyarakat desa hutan ini mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri.

Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang secara dinamis, dari segi cara berpikir masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar dariapada apa yang telah didapatkan selama ini.

Hal diatas secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk pada saat ini hanyalah kelestaraian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan hutan itu sendiri.

Dokumen terkait