• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA LOKAL

C. Artifact

5.3. Saran

Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan untuk menghadapi beberapa kesulitan dalam proses penelitian maupun dari hasil penelitian ini.

cxxiv

Pertama, dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang atau pola pembahasan penelitian. Dari mencari-cari bentuk budaya semata, kearah penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai berusaha untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan dikembangkan dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju tujuan akhir yaitu kelestarian ekologi hutan secara komprehensif.

Kedua, dalam sisi hasil penelitian. Hasil penelitian perlunya adanya perubahan yang lebih bersifat memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan antara berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar cita- cita besar kelestarian hutan sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benar- benar tercapai yaitu dengan meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat men”damai”kan antara berbagai pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah kesetaraan dan kebersamaan. Inilah saran penulis kepada perum perhutani, juga kepada lembaga masyarakat desa hutan. Dengan penyamaan persepsi dan sinergisitas langkah akan menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih maksimal dengan manfaat-manfaatnya yang dapat dinikmati secara adil dan merata.

cxxv

DAFTAR PUSTAKA

Agar, Michael H. The Professional Stranger :An Informal Introduction to Ethnography. Orlando: Academic Press Inc. 1980

Anonymous, Ada Apa dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia.

Surakarta. Gema Pembebasan. 2004

Awang, San Afri. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta. Center For Critical Social Studies(CCSS). 2003

Awang, San Afri. Dekonstruksi Social Forestry;Reposisi Masyarakat Dan Keadilan Lingkungan.Yogyakarta. Bigraf Publishing. 2004

Bogdan, R & Taylor Steven, J. Kualitatif : Dasar – Dasar Penelitian.Surabaya.

Usaha Nasional. 1983

Buttel, Frederick, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75

Dietz, Ton. Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam; Kontur Geografi Lingkungan Politik. Insistpress. 2005

Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2006

Mangunjaya, Fachruddin M. Dkk. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007

Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta. Penerbit universitas Indonesia. 1992

Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Penerbit Rake Sarasin.

1989

Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa. Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Ri. 2006

Santana, Septian K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007

Simon, Hasanu. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004

Simon, Hasanu. Aspek Sosioteknis Pengelolaan Hutan Jati Di Jawa. Yogyakarta.

Pustaka Pelajar. 2004

Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta. CV Rajawali. 1985

Spradley, James P.. Metode Etnografi.Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 1997

cxxvi Sumber lain:

Affianto, Agus. Mekanisme Bagi Hasil dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Atau Pengelolaan Hutan Biaya Murah? Artikel dalam situs Javlec(Java Learning Centre) di down load tanggal 6 Juli 2007

Dwi Susilo, Rachmad K., Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004

C. Filer dkk. Interactions Between Local/Indigenous Communities and the Natural Environment in Far North Queensland and Southern New Guinea. A Partial Review of Research To Date.

Series: Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No. 52 http://rspas.anu.edu.au/papers/rmap/Wpapers/rmap_wp52.pdf. tanggal down load 26 Mei 2009.

Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002.

Elmqvis, Thomast. Indigenous institutions, resilience and failure of co-management of rainforest

preserves in Samoa.

http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/00000568/00/elmqvistt041300.pdf. di down load tanggal 26 Mei 2009

www.infojawa.org. Geliat Pinggir Hutan. Di down load tanggal 6 Juli 2007

cxxvii

Lampiran

cxxviii

CATATAN LAPANGAN

Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan. Peneliti menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley. Spradley menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi, dan langkah pertama adalah menentukan informan.

Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian. Informan yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu, peneliti juga melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut Bogdan (1993:66),Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan dapat bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat, dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum, berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73).

Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat.

Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf beliau yang mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal lapangan karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang penulis tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian ini.

cxxix

Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai

profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi penjelasan pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai

‘natural relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan penjelasan yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan masyarakatnya.

Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga).

Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan.

cxxx

Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal) dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan lokal.

Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung Sugiarta, staf KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat) adalah mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani.

Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran.

Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan. Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program tersebut adalah program mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi program-program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Sehingga ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–

program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah

cxxxi

Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada di wilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita dibilang arogan, ya bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas mengajak masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”.

Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap pernyataan, maka dengan cara mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan fenomena sosial yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perhutani memang bersikap arogan. Bagaimana tidak kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan lahan-lahan dibawah tegakan secara tumpangsari maupun dengan adanya pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara mengenai tanaman tumpang sari, LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat desa hutan di wilayah gunung kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat bahwa tumpangsari adalah sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan kemasyarakatan. Tumpang sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman- tanaman pokok seperti jati atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri adalah Sebuah program kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra pengambil kebijakan kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan dimulai dari pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak untuk melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas tahunpun

cxxxii

belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi, baru ketika usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi bahan baku produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja keras mereka?

Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari program Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974 mengikuti arus besar pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu yaitu multiple use of forest land.

Menurut Prof.Simon, pendekatan Mantri Lurah menunjukkan kecerdasan pencetusnya tentang perpaduan antara perencanaan kehutanan konvensional dengan perencanaan sosial ekonomi masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan tersebut memerlukan rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan perencanaan tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum perhutani masih menggunakan pola timber management yang merupakan pola-pola teknis pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu. Padahal dalam perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat diserupakan dengan pola-pola teknis dalam timber management itu. Professor Hasanu Simon pada akhirnya mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi masyarakat memerlukan keluwesan rencana kerja yang landasannya adalah kerjasama saling menguntungkan, saling pengertian dan saling kepercayaan dan kejujuran yang semuanya tidak mudah diwujudkan dalam angka-angka. Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity Approach yang mengalami kegagalan.

Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun 1980-an ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk mengatasi masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan dari program ini

cxxxiii

diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan gabungan dari doctor- doktor antropologi kenamaan dengan para sarjana kehutanan Indonesia yang berada dalam jajaran perhutani. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama Nancy Lee Peluso yang meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah buku berjudul Rich Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya tidak dijadikan pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya berupa system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau buah- buahan lain.

Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru mulai melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan program-program sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya. Pada program ini dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa hutan yang dinotariskan.

Sistem yang digunakan pada masa ini adalah dengan sistem sharing yaitu penentuan proporsi bagi hasil dalam bentuk uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai aktifitas warga masyarakat desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi kita berusaha merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan atau interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya untuk menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah sesuatu yang musykil.

Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis bahwa masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Betapa tidak?

Mereka hidup dan berinteraksi secara intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan

cxxxiv

budaya. Kebiasaan dan tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan kelestarian hutan tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi”. Apa sajakah kebiasaan-kebiasaan dan tradisi –tradisi masyarakat itu?

Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita mendengar dari lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah singkatan dari Solidaritas Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup. Sebuah lembaga nirlaba yang berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis terhadap persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan terutama kerusakan hutan. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu sendiri.

Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam SUPHEL menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan.

Beberapa Hal Penting Dari SUPHEL.

Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan

cxxxv

melakukan pengolahan lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem(istilah untuk warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan) wajib menjaga hutan milik Perhutani.

Ketika penulis melakukan pengamatan diwilayah KPH Cepu, banyak warga yang mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini menurut Mas Wasis, salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu. Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap diperbolehkan? Karena KPH Perhutani belum mempunyai solusi terhadap aktifitas yang dilaksanakan. Apabila terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh masyarakat. Dengan kata lain, inilah kebijakan lokal dari KPH Cepu. Kebijakan local yang berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat.

Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka berperan dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas inisiatif Perhutani.

Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat desa hutan di Jawa? MDH mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana akses sangat dibatasi sehingga tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang masih berlaku dan dianggap biasa yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang digolongkan kaum priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani pun merasa demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental di dalam jajaran perum Perhutani. Hal ini perlu dibuktikan! Dan pembuktian ini akan diketemukan pada tulisan berikutnya.

Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit perubahan yaitu dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari hasil panenan hutan baik dari tebang penjarangan maupun untuk tebang produksi untuk masyarakat desa hutan) padahal pembagian uang ini adalah agar masyarakat “berperan” dalam artian

cxxxvi

tidak mengambil hasil hutan. Inipun sebuah pola yang sama dengan yang selama ini sudah ada bukan? Untuk lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah tulisan karya aktivis lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang PHBM ini.

Menurut Agus Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec(Java Learning Centre)hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: mekanisme bagi hasil dalam PHBM: pengelolaan hutan bersama masyarakat atau pengelolaan hutan biaya murah?kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada keras yaitu, apabila dalam suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian sedang pihak lain 1 bagian, apakah saudara akan bersedia membagi pendapatan usaha tersebut dengan proporsi yang sama(1:1)dengan pihak lain?

Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur oleh keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang berhak diterima masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil tebangan habis. Artinya pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal yang bertegakan.

Beginilah redaksi keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu:

KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI(PERSERO) NO.001/KPTS/DIR/2002

TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU:

Bagian Kedua

Tebangan yang Direncanakan Pasal 5

Proporsi hak kelompok masyarakat desa hutan terhadap hasil hutan kayu jati atau kayu selain jati yang perjanjian kerjasamanya dilakukan pada kondisi hutan

cxxxvii

Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluative yaitu:

d. Dapatkah proporsi sebagaimana yang tercantum dalam keputusan manajemen perhutani tersebut diberlakukan secara umum di seluruh wilayah kerja Perhutani?

e. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses produksi yang sama?

f. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan pertama) dan maksimum 25%(untuk penjarangan lanjutan dan terakhir) tersebut?

Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan karakteristik pada wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja Perhutani di pulau Jawa yang mencakup provinsi banten hingga Jawa timur tentunya harus dipertimbangkan dalam penetuan proporsi bagi hasil tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari sisi umur maupun dari jenis tanaman .

Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir sederhana saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang merupakan input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan tegakan siap tebang pada umur yang dikehendaki. Apabila memang demikian halnya, dapatkah proporsi bagi hasil untuk penjarangan dan tebangan akhir tersebut dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan penghitungan petani disalah satu desa dalam lingkup KPH kuningan, nilai proporsi

cxxxviii

bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani.

Melihat contoh proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas, mungkin akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat mengidentifikasi besaran input pengelolaan yang dikeluarkan oleh perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan proporsi yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah memiliki dasar perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru inilah diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk bersama mendiskusikan proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa “bersama” seperti yang disebutkan dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001 tentang pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat menekankan bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan nilai factor produksi yang diberikan oleh masing-masing pihak(Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak lain).

Sebelum program PHBM dilaksanakan, konsep Perhutani yang diterapkan adalah sistem tanaman tepi yang bertujuan untuk memisahkan masyarakat dengan lingkungan hutan. Tanaman tepi yang digunakan adalah tanaman secang yang mempunyai duri-duri tajam sehingga masyarakat dan hewan ternak gembalaan tidak bisa masuk. Tetapi, manusia yang telah dikaruniai akal serta dorongan kebutuhan hidup membuat tanaman tepi itupun bisa disikapi dengan cara tertentu. Seperti apa cara tertentu itu? Inilah suatu hal yang akan kita cari. Bahwa masyarakat yang hidup didalam hutan dengan tidak ada hak terhadap hutan kecuali terdapat kesempatan yang diberikan Perhutani dalam bentuk kesempatan menjadi buruh atau memanfaatkan lahan untuk menjadi ladang, padahal mereka hidup disitu tentu akan melakukan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana akan memenuhi kebutuhan hidupnya apabila akses terhadap hutan malah ditutup kecuali

Dokumen terkait