BUDAYA LOKAL
C. SUPHEL
lxi
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagian akan terpenuhi dari hasil pengelolaan hutan.
Selanjutnya dengan desentralisasi kehutanan dapat ditingkatkan pemanfaatan sumber daya alam hutan secara optimal. Hal ini dapat dilakukan karena melibatkan secara langsung unsur daerah (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Karena pemerintah daerah dan masyarakat mungkin lebih mengetahui dan memahami karakteristik sumber daya alam yang dimiliki daerahnya.
lxii
pemahaman dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. SUPHEL juga melakukan advokasi-advokasi masyarakat dan konservasi sumber daya alam (hutan) yang berbasiskan prinsip keadilan, non diskriminatif, gender dan berwawasan lingkungan. Hal-hal ini pula yang menjadi visi SUPHEL yaitu, menciptakan pengelolaan sumber daya alam (hutan) yang berkeadilan, berwawasan lingkungan, berperspektif gender, dan nondiskriminatif untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan generasi mendatang.
SUPHEL didirikan oleh beberapa aktifis dan praktisi yang memiliki berbagai latar belakang pengalaman dan keahlian dibidang pengembangan masyarakat, peningkatan kebutuhan dasar, pengalaman sumber daya hutan dan lingkungan, advokasi kebijakan dan penelitian. Lembaga SUPHEL mempunyai dua struktur yaitu badan pengurus dan badan pelaksana. Misi SUPHEL ada tiga hal yaitu:
1. Mendorong penguatan dan dan pendidikan kritis masyarakat terhadap modernisasi pembangunan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam (hutan) untuk kesejahteraan masyarakat dan generasi mendatang.
Penguatan dan pendidikan kritis merupakan pengembangan kualitas setiap warga masyarakat dalam mendapatkan hak secara lebih manusiawi.
Selama ini, warga masyarakat hanya berprofesi sebagai pesanggem.
Sebagai pesanggem, kesejahteraan tak bisa diperoleh, akhirnya muncul praktek-praktek yang cenderung merusak kondisi hutan.
lxiii
Fenomena yang pernah ditemui oleh SUPHEL adalah pada beberapa kondisi tanaman yang sering gagal tumbuh di beberapa wilayah desa hutan di KPH Cepu. Pada saat pohon jati telah mencapai KU (kelompok umur) muda (umur 1-2 tahun) banyak pohon jati yang tumbuh cacat. Baik berupa batang jati yang tumbuh tidak lurus, pohon jati yang tumbuh lebih lambat serta berbagai macam kerusakan lain.
Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata memang terdapat kesenjangan yang mencolok antara kesejahteraan masyarakat dengan apa yang didapatkan oleh pihak Perhutani. Hal ini memunculkan adanya semacam aksi protes tetapi bukan secara vulgar dilakukan terhadap Perhutani tetapi pada sumber daya hutan yang dikelola Perhutani.
Penjelasan dari pihak Perhutani menerangkan tentang adanya pengambilan daun pada pohon-pohon kelompok umur muda yang sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan. Biasanya, para pengambil daun mengambil pada trubusan tetapi mengapa para pengambil daun mengambil dari pohon (KU) muda?, inilah sebuah bentuk protes sosial.
Contoh diatas membuktikan teori yang disampaikan oleh John J.
Macionis bagaimana pola-pola sosial manusia menyebabkan tekanan yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam kaitan ini, sosiolog perlu mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan bagaimana pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi secara khusus mempengaruhi lingkungan alam.
lxiv
2. Memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk terlibat dan memanfaatkan sumber daya alam (hutan) yang ada dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan dan kemanfaatan.
Pedoman yang digunakan oleh SUPHEL untuk melaksanakan kegiatan di KPH Cepu adalah beberapa prinsip yang dituangkan dalam prinsip dan kriteria FSC standar pengelolaan hutan fokus pada aspek sosial. FSC adalah singkatan dari Forest Stewardship Council. Sebuah lembaga yang mempunyai fungsi sebagai penilai sekaligus pemberi sertifikat terhadap hasil produksi kayu agar mampu diterima oleh pasar kayu internasional. Terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi adalah dilaksanakannya tiga aspek yang akan dinilai yaitu aspek sosial, aspek produksi dan aspek lingkungan. Tugas yang dibebankan pada SUPHEL adalah pada aspek sosialnya. Beberapa prinsip tersebut adalah:
a) Ketaatan Terhadap Hukum dan Prinsip- Prinsip FSC.
Pengelolaan kehutanan harus menghormati semua hukum yang berlaku di negara dimana mereka berada dan persetujuan serta kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh negara itu, dan mematuhi semua Prinsip dan Kriteria FSC.
b) Tanggung Jawab dan Hak Tenure.
Hak guna tenure jangka panjang atas sumber daya lahan dan hutan harus dipaparkan dengan jelas, didokumentasikan dan ditegaskan secara hukum.
c) Hak-Hak Penduduk Asli.
lxv
Hak hukum dan adat masyarakat pribumi untuk memiliki, menggunakan dan mengelola tanah, daerah, dan sumber daya alam harus diketahui dan dihormati.
d) Hubungan Kemasyarakatan dan Hak-Hak Pekerja.
Operasi-operasi pengelolaan kehutanan harus menjaga atau meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka panjang para pekerja kehutanan dan komunitas lokal.
e) Keuntungan Hutan.
Operasi pengelolaan hutan harus mendorong penggunaan produk dan jasa hutan secara efisien guna menjamin kelangsungan hidup ekonomi dan keuntungan lingkungan dan sosial berjangkauan luas.
f) Dampak Lingkungan.
Pengelolaan kehutanan harus melindungi keanekaragaman hayati dan nilai-nilai yang berhubungan, sumber air, tanah, dan ekosistem dan bentang alam yang unik dan rapuh, dan dengan begitu, mempertahankan fungsi ekologis dan integritas hutan.
g) Rencana Pengelolaan.
Rencana pengelolaan disini mengandung arti bahwa lembaga mempunyai skala yang layak dan intensitas operasi yang tertulis, dan dilaksanakan, serta diperbarui. Tujuan jangka panjang pengelolaan, dan alat-alat untuk menyelesaikannya, harus disebutkan dengan jelas.
h) Pengawasan dan Perkiraan.
Pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan skala dan intensitas pengelolaan hutan untuk memperkirakan kondisi hutan, pengambilan
lxvi
hasil hutan, rangkaian pemeliharaan, aktivitas pengelolaan serta dampak sosial dan lingkungan
i) Pemeliharaan Faktor Konservasi Bernilai Tinggi.
Aktivitas pengelolaan pada hutan bernilai konservasi tinggi harus mempertahankan sifat-sifat yang mencirikan hutan. Keputusan mengenai hutan bernilai konservasi tinggi harus selalu dipertimbangkan dalam konteks pendekatan kewaspadaan.
j) Penanaman Ulang.
Penanaman ulang harus dirancang dan diatur sesuai dengan Prinsip- prinsip dan Kriteria 1 - 9, dan Prinsip 10 dan Kriterianya. Apabila rancangan ini bisa memberikan keuntungan sosial dan ekonomi, dan dapat memberi kepuasan bagi kebutuhan dunia atas produk-produk hutan, maka rancangan ini harus melengkapi pengelolaan, mengurangi tekanan terhadap dan mendukung pemulihan dan konservasi hutan alami.
Sepuluh prinsip diatas apabila dicermati mempunyai keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat. Kita lihat pada prinsip kedua, ketiga dan keempat, kesemua prinsip tersebut menjelaskan mengenai kewajiban Perhutani apabila ingin mendapatkan sertifikat dari FSC. KPH Perhutani harus melaksanakan beberapa butir-butir yang dicantumkan dalam prinsip yang disebutkan.
Pada prinsip kedua misalnya, maksud dari tanggung Jawab dan hak tenure adalah perlunya Perhutani KPH Cepu untuk memperhatikan aspek-aspek sosial seperti ada batas wilayah yang jelas, tidak merubah
lxvii
status hutan, adanya pemetaan partisipatif, adanya dokumen lokal yang menyebutkan adanya pengakuan hak tenure serta ada evaluasi lokasi dari hak tenurial yang diberikan.
Pada prinsip ketiga mengenai hak-hak penduduk asli atau penduduk lokal, disebutkan beberapa aspek sosial antara lain: adanya penjelasan teknis pengelolaan pada masyarakat lokal, penyelesaian sengketa, tidak ada konflik (kebersamaan dan kesetaraan), kebutuhan masyarakat lokal terpenuhi dengan keterlibatannya dalam program pengelolaan, adanya pelestarian budaya lokal/kearifan lokal misalnya pada beberapa situs budaya lokal, ada peta partisipatif serta ada pengaturan untuk masyarakat dalam pembagian hasil usaha yang diatur dalam PERDA (Peraturan Daerah). Di dalam pengaturan hak-hak kemasyarakatan disebutkan aspek-aspek sosial sebagai berikut: tenaga kerja dari penduduk lokal, adanya rekruitmen kontraktor yang terbuka (sawmill/chainsaw), ada pelatihan peningkatan SDM dan ada kesempatan orang lokal menjadi manajer, ada dukungan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, kontrak kerja yang jelas, Jamsostek, Tunjangan keluarga dan lain sebagainya.
3. Mendorong proses kebijakan yang partisipatif dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam(hutan) dengan melibatkan multi pihak(stakeholder) dalam pembuatan.
Dalam mencapai tujuan dan visi serta misi diatas, SUPHEL membuat beberapa program kerja antara lain:
lxviii
a) Pemberdayaan dan penguatan petani sekitar hutan berbasis kelompok.
Hal ini dilakukan SUPHEL ketika melakukan pendampingan di masyarakat Desa Sambeng, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Dalam pelaksanaannya, SUPHEL yang salah satu pendirinya adalah dosen senior UGM, San Afri Awang, memfasilitasi masyarakat melalui penguatan kelembagaan lokal. Melalui Kelompok Tani Hutan(KTH) Pertiwi Subur, SUPHEL membantu melakukan negoisasi dengan Perhutani untuk mengangkat sebuah usulan warga tentang plong. Yaitu sebuah sistem tanam teknis yang membagi tanah/lahan menjadi dua jalur. Satu jalur adalah areal yang dikelola masyarakat yang dapat diusahakan tanaman pertanian atau kayu- kayuan dengan pola kebun. Satu jalur lain, berisi tanaman hutan yang dikelola Perhutani.
Berbagai hal dilakukan oleh SUPHEL dilaksanakan sebagai bentuk penguatan kapasitas masyarakat. Oleh sebab itu dalam badan pengurus SUPHEL dimasukkanlah sebuah bagian yang disebut Pengembangan Kapasitas Dan Sumber daya manusia.
b) Melakukan studi analisis dan pendapatan(pemetaan) masalah atau potensi desa yang menjadi daerah dampingan atau program.
Program kerja kedua ini dilaksanakan dalam dua tahap yang merupakan langkah-langkah awal dalam setiap permulaan pendampingan yang dilaksanakan oleh SUPHEL. Langkah pertama adalah survey dampak sosial(SDS). Pelaksanaan SDS di cepu ini diusahakan untuk mengetahui perkembangan hutan terhadap
lxix
kondisi sosial masyarakat dalam berbagai aspeknya. Tahap kedua yang dilaksanakan adalah PRA dan PCP. PRA adalah Participatory Rural Appraisal dan PCP adalah Participatory Conservation Planning dua buah metode pendekatan dalam lingkup ilmu sosial yang digunakan untuk mendapatkan penyelesaian atas masalah sosial yang ada dengan mengungkapkan berbagai kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat sendiri dan mengikutsertakan masyarakat yang bersangkutan dalam setiap langkah penyelesaian masalah.
c) Memfasilitasi pelibatan masyarakat atau petani dalam perencanaan dan pembuatan kegiatan.
Hal ini dilakukan di semua daerah dampingan SUPHEL.
Beberapa diantaranya dilaksanakan dalam forum-forum mediasi yang difasilitatori oleh SUPHEL. Mediasi tersebut mempertemukan berbagai pihak antara lain: KBKPH, KKPH, KSPH, Ajun, biro pembinaan SDH, Tim PRA Perhutani (unsur-unsur dalam Perhutani), kelompok tani hutan (KTH), serta LSM.
d) Membangun jaringan antar petani dan multipihak(stake holder) dalam pembuatan kebijakan tentang pengelolaan hutan.
Jaringan antar petani yang dibuat oleh SUPHEL pernah dilaksanakan dalam sebuah momen besar yang diselenggarakan di Jogyakarta. Even tersebut bertajuk Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 2006 diadakan di Grha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, tanggal 19-22 September 2006. Dengan memadukan konsep pertemuan para pihak (summit) dan ajang promosi inisiatif
lxx
kehutanan masyarakat (community forestry festival), event diharapkan menjadi ajang untuk saling berdialog dan mempertemukan berbagai inisiatif Community Forestry (CF) di Indonesia. Salah satu acara yang merupakan wujud adanya jaringan antar petani adalah Belajar Antar Petani (BAP).
e) Mengupayakan pengakuan (advokasi) atas hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan) berbasis masyarakat.
Advokasi atas masyarakat agar dapat ikut serta dalam mengelola sumber daya hutan berbasis masyarakat dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan warga masyarakat dari sisi kapasitas yang dimiliki baik kemampuan berbicara, kemampuan konseptual kemampuan mengorganisir sebuah musyawarah.
Masyarakat desa hutan yang diadvokasi didorong agar mampu sejajar dengan perum Perhutani. Salah satu caranya adalah menghimpun warga masyarakat desa hutan agar dapat menyusun konsep yang dapat ditawarkan kepada pihak Perhutani. Konsep yang sesuai dan layak sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Beberapa kali usaha semacam ini berhasil. Sebagai contoh adalah pada pendampingan masyarakat dua dusun di Desa Sambeng, yaitu Dusun Kedungdawung dan Klumpit. Wilayah kedua dusun ini termasuk dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani KPH Telawa, Unit I Jawa Tengah. Bentuk konsep yang merupakan gagasan masyarakat dituangkan dalam Proposal Pengelolaan Hutan Sekitar Desa oleh Masyarakat. Sebagai sarana untuk melaksanakan tugas advokasi, dalam badan pengurus SUPHEL dibentuklah salah
lxxi
satu bagian yang disebut Advokasi dan Kebijakan. Beberapa contoh lain terkait dengan usulan masyarakat terhadap Perhutani dapat dibaca pada bab selanjutnya, PHBM.
f) Pengembangan dan peningkatan kapasitas organisasi/ kelompok tani sekitar hutan.
Melakukan studi kebijakan, seminar, focuss discussion, dokumentasi dan Pengembangan informasi guna memperkuat hak- hak petani dalam pengelolaan sumber daya hutan.
4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan
Sub bab ini diceritakan dan dianalisis dalam kerangka untuk memperlihatkan dasar-dasar kearifan local secara struktural. Dari masa ke masa, sejarah masyarakat desa hutan menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat desa hutan rendah dan terbatas.
Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan. Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program tersebut adalah program mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi program-program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum.
Sehingga ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada di wilayah hutan
lxxii
Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita dibilang arogan, ya bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas mengajak masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”.
Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap pernyataan, maka dengan cara mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan fenomena sosial yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perhutani memang bersikap arogan. Bagaimana tidak kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan lahan-lahan dibawah tegakan secara tumpangsari maupun dengan adanya pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara mengenai tanaman tumpang sari, LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat desa hutan di wilayah gunung kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat bahwa tumpangsari adalah sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan kemasyarakatan. Tumpang sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman-tanaman pokok seperti jati atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri adalah Sebuah program kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra pengambil kebijakan kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan dimulai dari pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak untuk melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas tahunpun belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi,
lxxiii
baru ketika usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi bahan baku produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja keras mereka?