• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA LOKAL

A. Mentifact

Mentifact yaitu sebuah budaya yang bersifat abstrak yang berupa aspek mental yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat ideologi, sikap kepercayaan dan pemikiran. Semua hal tersebut dapat kita jumpai pada masyarakat desa hutan di wilayah KPH Cepu. Masyarakat berpandangan cukup sederhana.

Ferdinand Tonnies mengemukakan sifat-sifat desa yang menurutnya masih berpikiran tradisional. Masyarakat mempunyai pola pikir yang diistilahkan narimo ing pandum. Konsep ini adalah sebuah bentuk kepasrahan terhadap adanya takdir yang telah dikehendaki oleh Tuhan. Apa-apa yang ia dapatkan (pandum) maka ia terima (narimo).

Berbagai aktifitas yang dilaksanakan dalam keseharian masyarakat merupakan bentuk sikap narimo ing pandum ini. Di tengah-tengah hutan yang dikelola Perhutani, masyarakat desa hutan hanya mengambil hasil hutan yang nilainya tak seberapa. Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi mencari apa yang dapat ia cari asalkan mampu menjadi uang yang mampu

c

memenuhi kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari komposisi di jelaskan dalam angka maka inilah datanya:

Nama desa Sifat desa Jumlah penduduk

petani Buruh tani

Nglobo enclave 2.129 jiwa 217 108

Nglebur enclave 5.112 jiwa 2382 1588

Ngraho enclave 4.477 jiwa 461 1.029

Bagaimana cara membaca data yang sedemikian? perlulah kita memahami dan kritis secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan.

Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani yang seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang

“kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih nampak!

ci

Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak peneliti yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga.

Masyarakat desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak milik tetap menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman keras. Biasanya memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara penanamannya berada di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah yang ada tetap dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut?

Beliau menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal potong kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu.

Hery Santoso, seorang aktifis lingkungan hidup dari Javlec (Java Learning Centre) menyatakan bahwa konsep narimo ing pandum adalah sebuah strategi bertahan masyarakat desa hutan. Etos ini baik untuk kelestarian hutan, tetapi buruk untuk pengembangan kehidupan masyarakat. Apabila dikaji lebih mendalam, nilai narimo ing pandum adalah bentuk inferioritas dari masyarakat desa hutan dalam lingkungannya. Di tengah-tengah hutan yang kaya (rich forest) tetapi masyarakat hidup dengan segala keterbatasan (poor people, meminjam istilah Nancy Lee Peluso). Kekayaan hutan yang dimaksud disini adalah kayu jati yang merupakan kayu produksi unggulan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan membawa kemakmuran dan keuntungan financial tinggi bagi Perhutani sebagai pengelola tunggal di kawasan hutan produksi di Jawa. Akan tetapi dilain pihak, masyarakat desa hutan yang tinggal di wilayah hutan mungkin semenjak lahir bahkan mati disitu tidak dapat mendapatkan sesuatu dari hutan kecuali sedikit.

Konsep lain dari narimo ing pandum ini adalah konsep mangan ora mangan kumpul. Ini pulalah sebuah strategi masyarakat desa hutan dalam mengatasi

cii

sempitnya lahan untuk diolah guna menghasilkan tanah pertanian. Seperti diketahui, masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan hutan tidak mempunyai tanah yang cukup luas dan baik untuk melakukan usaha cocok tanam. Hanya diantara sela-sela pohon jati di atas tanah negara, para warga dapat melakukan penanaman tanaman palawija. Pihak Perhutani menamakan ini sebagai pemanfaatan lahan di bawah tegakan atau sering disingkat PLDT. Para petani hutan yang memanfaatkan lahan ini biasa disebut pesanggem.

Di dalam hutan jati perhutani sendiri dikenal sebuah istilah tanaman tepi atau tanaman pagar. Hal ini adalah sebuah upaya perhutani dalam rangka memisahkan secara tegas antara masyarakat desa hutan dengan wilayah hutan negara. Tanaman tepi yang dipergunakan pun adalah tanaman secang yang mempunyai duri-duri besar sehingga tidak dapat dimasuki oleh hewan maupun oleh manusia apabila tanpa membawa alat pemotong seperti arit atau bendo.

Bentuk mentifact lain adalah pandangan yang menempatkan para pegawai Perhutani sebagai status sosial yang tinggi. Sejarah kehutanan di Jawa menyebutkan bahwa pada zaman Djatibedrijf sedang kokoh-kokohnya, para pegawainya mendapatkan kemakmuran yang luar biasa dan mempunyai kharisma yang tinggi di masyarakat. Prof. Hasanu Simon menulis,

Ketaatan atau ”ketakutan” masyarakat terhadap pemerintah kolonial, khususnya mereka yang bertempat tinggal di sekitar hutan, dapat dilukiskan sebagai berikut: dalam konsep undang- undang kehutanan antara lain disebutkan bahwa rakyat tidak diperkenankan masuk kedalam hutan tanaman jati dengan membawa senjata tajam seperti parang dan kapak. Di musim kemarau, lantai hutan jati penuh ditaburi oleh daun kering yang gugur karena sifat pohon jati sebagai jenis decidious. Oleh karena itu, kalau dalam musim kering ada orang masuk kedalam hutan, walaupun jumlah pejabat kehutanan sangat sedikit dan hanya sebulan sekali masyarakat melihat mereka masuk hutan, orang tersebut akan berjalan dengan sangat pelan-pelan karena suara kaki menginjak daun-daun kering dapat didengar sampai jauh. Tidak hanya berjalan pelan-pelan untuk menghindari suara kemresek juga orang tersebut berjalan sambil membawa daun-daun jati kering untuk menutupi setiap bekas injakan kaki yang daun-daunnya rusak karenanya.

ciii

Perasaan sebagai priyayi mendominasi pandangan para pegawai Perhutani.

Sementara itu, masyarakat desa hutan pun mempunyai pandangan yang sama.

Pandangan ini menyebabkan warga masyarakat sering menunjukkan pola perilaku seperti mengirimkan makanan pada pegawai Perhutani ketika melaksanakan acara- acara tertentu, istilah di masyarakat disebut punjung. Apabila melihat kondisi seperti ini dapat dianalisis bahwa budaya feodal warisan pemerintah kolonial masih sangat kental di dalam jajaran perum Perhutani.

Feodalisme adalah suatu tertib sosial yang ditandai dengan memerintahnya golongan aristrokat atau bangsawan. Seorang administratur yang lebih sering dipanggil “Pak Adm” merupakan jabatan yang “wah”. Tidak mudah untuk menemui beliau. Bahkan untuk staff-nya sendiri. Fasilitas yang luar biasa diperoleh para administratur ini. Biasanya pada setiap KPH dapat dijumpai rumah dinas Adm yang mewah. Pola ini merupakan warisan dari apa yang terjadi pada masa Djatibedrijf.

Prof . Hasanu Simon menulis,

Pada waktu itu, Boshwezen telah memisahkan antara pengelolaan hutan jati dengan nonjati, masing-masing disebut Djati-hout dan Wild-hout Boschen. Kedua badan tersebut bernaung dibawah Jawatan Kehutanan Jawa Madura, tetapi masing-masing ditangani secara terpisah yaitu pengelola hutan jati dan pengelola hutan rimba. Bagi para pejabat Boschwezen, bekerja di Djatibedrijf dianggap lebih bergengsi dibanding kalau menjadi pejabat yang mengelola hutan rimba. Hal ini disebabkan karena pendapatan Djatibedrijf lebih tinggi dibanding dengan pendapatan pegawai hutan rimba, dan masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks dan menantang.

Berbagai istilah untuk para pejabat kehutanan di Perhutani menjadi sebuah simbol-simbol status, istilah-istilah tersebut masih dipakai oleh masyarakat hingga saat ini. Beberapa contoh diantaranya adalah, polisi hutan yang pada masa Djatibedrijf bernama boschwagter di lidah masyarakat Jawa menjadi pak waker, pejabat bagian pendidikan disebut ndoro BA dari istilah Belanda Bosch-Architeck.

Adapula istilah pak sinder dan pak siner untuk menyebut bagian opziener yaitu para

civ

pejabat lapangan Djatibedrijf dan bagian pendidikan kehutanan. Sapaan-sapaan diatas hingga saat ini masih terbawa.

Dokumen terkait