• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Tidak seperti stroke ataupun cedera kepala, penyakit neuromuskular tidak terlalu sering dijumpai. Akibatnya banyak dokter dan tenaga medis yang tidak mengenali penyakit ini.

Gangguan neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda yang cukup luas. Mulai dari kesemutan di ujung jari hingga kegagalan pernapasan yang dapat mengancam nyawa.

Oleh karenanya mengenali penyakit ini sejak

Perbedaan upper motor neuron dan lower motor neuron adalah sbb:

UMN LMN

Bentuk kelumpuhan Hemiparesis, quadriparesis,

paraparesis. Kelemahan pada otot

tertentu sesuai distribusi radiks atau pleksus

Atrofi Disuse atrophy (muncul

belakangan dan tidak terlalu jelas)

Atrophy akibat denervase (muncul lebih cepat dan lebih jelas)

Fasikulasi dan fibrilasi - +

Refleks fisiologis Meningkat Menurun atau hilang

Klonus + -

Tonus Hipertonus Hipotonus

Refleks patologis + -

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 51

Bila berbicara tentang kelainan UMN berarti merujuk pada kelainan sepanjang traktus motorik atau kortikospinal yaitu dari korteks serebri hingga kornu anterior. Sedangkan kelainan LMN dimulai dari kornu anterior (motor neuron) hingga otot.

Eksplorasi riwayat penyakit pasien akan sangat membantu menegakkan diagnosis.

1. Selalu tanyakan ada tidaknya riwayat trauma baik pada ekstremitas, leher maupun pinggang. (ingat VITAMINS)

2. Pastikan pola kelemahannya.

J cr_i jcqg Pola kelainan Contoh

Motor Neuron Kelemahan, atrofi, fasikulasi, tidak ada gangguan sensorik.

Pada ALS, gejala LMN disertai UMN Polio: kelemahan asimetrik, riw. Infeksi

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS), spinal muscular atrophy, polio

Radiks Kelemahan dan gangguan sensorik sesuai

dengan inervasi radiks yang terkena Kompresi radiks ec HNP

Sindrom Kauda ekuina Pleksus (Plexopathy) Sesuai inervasi pleksus yang terkena Trauma pleksus

Neuritis brakialis akut Saraf perifer

Mononeuropati Kelainan sesuai distribusi saraf perifer

yang terkena Sindrom terowongan

carpal/tarsal Mononeuropati

multiplex Proses multifokal yang hanya mengenai

bagian tertentu dari saraf perifer Kelainan saraf tepi pada Morbus Hansen Polineuropati Difus, simetris, stocking-glove pattern,

distal hyporefleksia Neuropati DM

Poliradikuloneuropati Ascending paralisis, anteceden infeksi (GIT atau ISPA), refleks patela menurun GBS Neuromuscular

Junction Kelemahan berfluktuatif terutama setelah aktivitas, tidak ada gangguan sensorik, refleks fisiologis normal

Myastenia Gravis Botulism

Otot Kelemahan otot proksimal yang difus,

tidak ada defisit sensorik Polimiositis, muscular distrofi.

Beberapa penyakit neuromuskular yang sering ditemui:

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

52

3. Kelainan miogen, kelemahan lebih dominan di proximal. Sedangkan kelainan neurogen seperti polineruopati di distal.

4. Adakah gejala sensorik?

5. Mintalah pasien untuk melokalisasi gejala sensorik yang dirasakannya.

6. Apakah pasien merasakan kedutan otot (fasikulasi) dan kram?

7. Gejala ini sering dijumpai pada kelainan motor neuron dan kelainan miogen.

8. Adakah nyeri?

9. Nyeri mungkin berhubungan dengan kelainan struktur muskuloskeletal seperti HNP, trauma pleksus. Atau mungkin juga kelainan neuropatik.

10. Adakah gejala otonom?

11. Gangguan BAB dan BAK, gangguan penglihatan, impotensi, anhidrosis, ortostatik dizziness.

KEGAWATDARURATAN YANG MUNGKIN DIJUMPAI PADA PENYAKIT NEUROMUSKULAR Kelemahan akut yang diakibatkan oleh suatu gangguan neuromuscular dapat terjadi pada seseorang karena terjadinya disfungsi pada kornu anterior, saraf perifer, paut saraf-otot (Neuromuscular Junction), atau otot (Tabel 1).

Walaupun mula-mula penyebab gangguan neuromuscular belum dapat ditegakkan dengan tepat, dan diagnosa pasti juga belum dapat ditegakkan, penting diperhatikan fungsi-fungsi vital pasien seperti fungsi kardiopulmonal dan bila perlu memberikan tindakan-tindakan suportif untuk menyelamatkan hidup. Setelah fungsi kardiopulmonal stabil, harus dilakukan p e m e r i k s a a n s e r u m , l i k u o r, E M G (elektromiografi), kecepatan hantar saraf (KHS/

NCV = nerve conduction velocity), biopsy otot atau saraf dapat dilakukan agar dapat dibuat suatu diagnosis yang pasti sehingga dapat diberikan pengobatan yang lebih optimal.

Umumnya kegawatdaruratan neuromuscular berkembang sebagai suatu problema sekunder

pada pasien yang diketahui mempunyai suatu penyakit neuromuscular atau sistemik (Tabel 2).

Hal ini penting sekali untuk mengantisipasi terjadinya komplikasi.

Table 1. Penyebab kelemahan yang akut pada penderita yang sebelumnya sehat1

Sel Kornu Anterior :

Poliomyelitis/ enterovirus yang lain Motor Neuron Disease (MND) (subakut) Saraf Perifer :

AIDP (Sindroma Guillain Barre) Paralisis oleh gigitan serangga Difteri

Intoksikasi logam berat Paut Saraf – otot :

Miastenia gravis

Miastenia yang disebabkan oleh obat- obatan

Eaton Lambert (myasthenic) Syndrome (ELS)

Botulism

Keracunan organofosfat Otot :

Poliomyelitis

Paralysis periodic (PP) Miopati toksik

Mioglobinuri/ rabdomiolisis

Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) KELEMAHAN AKUT AKIBAT GANGGUAN SARAF PERIFER

A c u t e i n fl a m m a t o r y d e m y e l i n a t i n g polyneuropathy (AIDP atau Guillan Barre Syndrome/ GBS) mengenai kira-kira 0.75-2.00%

per 100.000 penduduk setahun. Semua golongan umur di berbagai daerah geografis rentan terhadap terjadinya serangan system imun pada selaput myelin perifer yang tidak bersifat keturunan (non-familial) ini. Telah disebutkan adanya suatu autoreactive limfosit T yang spesifik untuk antigen dan antibody myelin,

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 53

dan juga untuk berbagai macam glikoprotein dan glikolipid. Biasanya ada suatu infeksi pada saluran nafas atau gastrointestinal yang mendahuluinya, juga bisa terjadi setelah imunisasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya AIDP yang menjadi pencetus terjadinya penyakit ini. Salah satu infeksi utama yang sering menyebabkan AIDP adalah Campylobacter jejuni, dan pada beberapa pasien ini bisa didefinisikan sebagai suatu subgroup yang berbeda secara klinis dan merupakan suatu bentuk AIDP yang lebih berat.

Table 2. Keadaan emergensi pada penderita penyakit neuromuskulaer yang diketahui1

Kegagalan respiratorik atau disfungsi bulber Gangguan neuromuskuler yang reversible :

Miastenia gravis AIDP

Poliomiositis

Gangguan neuromuskuler yang irreversible : Motor Neuron Disease (MND)

Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) Spinal muscular atrophies (SMA) Distrofi muskuler

Duchenne's/ Becker's (X-linked) Miotonik

Gelang bahu/ gelang panggul Defisiensi asam maltase Defisiensi karnitin Komplikasi pada jantung :

Gangguan konduksi Distrofi miotonik Polimiositis

Sindroma Kearns-Sayre

Sindroma lain dengan oftalmoplegi eksternal yang progresif

Distrofi muskuler Emery-Dreyfuss Disfungsi Otonomik

AIDP

Gangguan elektrolit Paralysis periodik

Yang khas pada AIDP adalah bahwa gejala dimulai dengan parestesi bagian distal diikuti dengan terjadinya paresis yang subakut, yang relative simetris yang mengenai otot-otot bagian distal maupun proksimal. Kelemahan bulbar dan ataksia atau disfungsi otot-otot pernafasan bisa lebih menonjol, dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan dapat terjadi juga gangguan otonom seperti aritmia jantung dan tekanan darah yang fluktuatif. Seringkali, mula-mula pasien mengeluh nyeri pada otot-otot disertai “cramps”, dan dapat terjadi suatu iritasi radiks yang terdeteksi dengan suatu tes mengangkat tungkai secara lurus. Paresis n.

facialis bisa terjadi pada 50% pasien.

Derajat kelemahan bervariasi yang melibatkan ekstremitas dan otot-otot yang dipersarafi saraf cranial, dan juga terjadi hiporefleksi atau arefleksi (Tabel 3).

Table 3 Pertimbangan Adanya Emergensi pada AIDP

Klinik

Arefleksia/ atau refleks yang menurun sekali Kelemahan yang relative simetris dan progresif

Pemeriksaan straight leg raising ynag positif Gangguan sensorik obyektif yang minimal Infeksi yang terjadi sebelumnya atau imunisasi

Laboratoris

CSF dengan peningkatan protein disertai sel kurang dari 10 (mononuclear) (disosiasi sito- albuminik)

EMG dengan F-wave yang memanjang KHS/ NCV yang menurun atau Adanya conduction block

Pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap HIV

Penatalaksanaan

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

54

Rawat di rumah sakit

Pertimbangan plasmaferesis/pemberian IVIg Evaluasi fungsi pernafasan secara berkala dan serial, adakan ventilasi bila perlu monitor aritmia kardial dan hipotensi

Tetapkan progresivitas penyakit

Berikan dorongan/ support yang adekuat dengan perawawtan kulit dan respiratory toilet

Infeksi yang rekuren harus diobati

Bila ada kecurigaan adanya AIDP perlu dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal untuk melihat peningkatan protein cairan likuor yang tanpa disertai pleiositosis. Walaupun disosiasi sito- albuminik ini merupakan suatu tanda khas pada AIDP, namun kadang-kadang ditemukan hasil likuor yang normal pada 72 - 96 jam pertama dari penyakit ini. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = Nerve Conduction Velocity/ NCV) dan juga termasuk EMG sangat bernilai dalam m e n g k o n fi r m a s i d i a g n o s a A I D P.

Tanda-tanda demielinisasi terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantar saraf, blok hantar saraf (conduction block) atau disperse temporal, dan gelombang F (F- wave) yang hilang atau memanjang.

Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 sampai 10 hari dan terdiri dari F-wave yang melambat karena terkenanya radiks, diikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction block) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari adanya penurunan kecepatan hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.

Perjalanan penyakit AIDP pada kira-kira 95%

kasus adalah monofasik dengan kelemahan yang progresif selama 4-6 minggu, diikuti suatu penyembuhan motorik yang datar (plateau in strength), lalu perlahan-lahan mengalami

perbaikan. Derajat kelemahan sangat bervariasi, dimana sekitar ¼ dari jumlah pasien memerlukan dukungan ventilator. Ventilator seharusnya digunakan bila kapasitas vital menurun kurang dari 800 ml. Karena sistim otonom umumnya terkena, maka harus waspada terhadap terjadinya aritmia dan hipotensinya. Prognosis untuk penyembuhan sangat baik, lebih dari 90%

p a s i e n m e n g a l a m i p e r b a i k a n t a n p a meninggalkan defisit yang bermakna, namun pada 3-5% pasien bisa berkembang menjadi kronis (CIDP = Chronic Inflammator y Demyelinating Polyneuropathy) atau gejala- gejala berulang (CRPN = Chronic Recurrent Polyneuropathy). Alat untuk menentukan prognosa yang paling bermakna dari perbaikan yang terjadi adalah dengan mengukur degenerasi aksonal yang ditunjukkan dengan adanya Low Amplitude Compound Motor Amplitude Potential (CMAPs) pada pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS = NCV).

Adalah penting sekali untuk mengobservasi pasien secara teliti untuk melihat progresivitas penyakitnya. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-otot pernafasan harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmaferesis atau immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmaferesis menggunakan suatu plasma exchange lebih kurang 20 L (200-250 ml/ kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada AIDP, namun beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg. Suatu tim The Dutch Guillan-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg (0.4 g/kg selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan y a n g l a i n k u r a n g m e y a k i n k a n d a n mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pengobatan IVIg disbanding plasma exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya dengan

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 55

komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dari IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange sehingga hanya salah satu saja terapi yang direkomendasikan.

KELEMAHAN AKUT AKIBAT KERUSAKAN PAUT SARAF (Neuromuscular Junction)

Myastehenia gravis adalah suatu gangguan pada paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang biasanya menyebabkan suatu kelemahan yang subakut dan fluktuatif tanpa gejala-gejala gangguan sensorik.

Terdapat antibody terhadap reseptor asetilkolin (Acethylcholine receptor Antibody = AChR Ab) yang menyebabkan terjadinya kesalahan transmisi pada paut saraf-otot (neuromuscular junction) Karena mencegah asetilkolin menstimulasi otot-otot untuk berkontraksi.

Peningkatan titer AChR Ab terlihat pada 90%

penderita Myasthenia gravis yang umum (generalized) tapi dalam evaluasi kasus-kasus kegawatdaruratan kegunaannya terbatas karena waktu dan hasil pemeriksaan yang lama.

Diagnosa dapat ditegakkan dengan suatu stimulasi repetitive dengan frekuensi 3/detik pada suatu saraf motorik, dimana suatu respon dekremental dengan penurunan amplitude CMAP yang melebihi 10% adalah positif.

Kekuatan (dan amplitude CMAP) seharusnya mengalami perbaikan yang cepat dengan pemberian edrofonium (tensilon) iv. (Edrofonium adalah suatu inhibitor asetilkholinesterase yang secara transient membuat lebih banyak asetilkolin tersedia untuk menstimulasi reseptor post-sinaps).

Umumnya gejala Myasthenia gravis adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai ptosis.

Selain disfungsi ocular, yang terjadi pada lebih banyak dari 80% pada penderita yang menderita myasthenia gravis, dapat terjadi juga gangguan mengunyah, berbicara dan menelan, kelemahan otot-otot leher serta otot-otot proksimal. Jarang terjadi disfungsi bulbar yang bisa menyebabkan suatu dyspnoe atau suatu pneumonia aspirasi.

Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita usia 15 - 30 tahun dan pria > 40 tahun.

Bisa ditegakkan diagnosa bila kelemahan dapat ditimbulkan dengan terjadinya fatique. Pada pemeriksaan penderita dengan gejala-gejala ocular, pasien disuruh melihat ke atas terus selama 1 menit (persistent upward gaze) dan harus diobservasi akan terjadinya ptosis yang progresif.

Bila tidak ada perbaikan dengan tensilon, hentikan pemberian inhibitor kholinesterase. Bila keluhan penderita adalah kelemahan ekstremitas setelah kecapaian (fatique), suatu pemeriksaan berulang dengan melipat lutut atau lengan terhadap tahanan akan menyebabkan kelemahan lebih tampak lagi. Tidak seperti AIDP atau AMAN, refleks tetap ada pada pasien dengan Myasthenia gravis (Tabel 4).

Tes tensilon adalah pemeriksaan tambahan pada evaluasi kasus-kasus emergency, tapi interpretasi secara subjektif dari suatu respon ringan sampai sedang dapat mengarah ke suatu misdiagnosis. Setelah pemberian suatu dosis 2 mg tensilon, di observasi efek kholinergik yang tidak dikehendaki (takikardi, sinkop) disusul dengan pemberian 8 mg untuk mengobservasi perbaikan klinis.

Beberapa obat-obatan dapat menimbulkan gejala-gejala miastenik pada individu yang normal. Gejala sekunder D-penicillamine (yang juga meningkatkan titer AChR Ab) dan aminogikosid akan berubah bila salah satu dari obat-obatan tersebut dihentikan. Obat-obatan tertentu juga dapat memperberat gejala-gejala myasthenia gravis (Tabel 5).

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

56

Magnesium sulfat pada wanita miastenik dengan pre eklamsi atau eklamsi terutamaa bisa mengganggu karena obat ini mendepresi pelepasan Ach di presinaps dan bisa mengakibatkan perburukan klinis yang mendadak.

Penatalaksanaan myasthenia gravis pada penderita yang baru di diagnosa sebagai myasthenia gravis tergantung pada beratnya gejala-gejalanya.

Evaluasi segera harus dilakukan terhadap fungsi paru-paru dan menilai resiko terjadinya aspirasi bila fungsi menelan terganggu. Pengobatan dapat dimulai dengan pemberian piridostigmin (Mestinon) dosis rendah, 30-60 mg setiap 4 jam, dimana terjadi perbaikan simptomatik, sambil mengevaluasi secara keseluruhan.

Diperlukan suatu evaluasi yang lengkap termasuk stimulasi saraf berulang (repetitive nerve stimulation), mengukur AchR Ab, suatu CT scan dada untuk mengevaluasi adanya suatu timoma dan persiapan timektomi dan juga tes fungsi tiroid.

Timektomi selalu diindikasikan pada pasien dengan suspek timoma dan memberikan keuntungan/ benefit pada semua penderita miastenia yang sedang dan berat. Timektomi sebaiknya dipertimbangkan hanya pada penderita dimana gejala-gejala telah stabil dan sebaiknya tidak dilakukan sebagai suatu prosedur emergency.

Imunosupresan dengan prednisone atau azatioprin, atau dua-duanya efektif pada penyakit autoimun ini, dimulai dengan dosis rendah secara alternating, peningkatan dosis prednisone perlahan-lahan akan meminimalkan perburukan yang mungkin terjadi pada 10 hari pertama akibat efek steroid-induced blockade.

Azathioprin lebih baik diberikan pada penderita yang berespons tidak lengkap terhadap kortikosteroid, efek samping steroid, atau terdapat suatu kontraindikasi terhadap

penggunaan steroid. Karena efektivitas imunosupresan dan timektomi, banyak penderita akhirnya tidak perlu melanjutkan terapi dengan pyridostigmin.

Penghentian obat piridostigmin ini penting, karena pada pemberian yang terlalu lama dengan dosis tinggi, pyridostigmin bisa menurunkan pengaturan reseptor di post-sinaps (dowm regulation) yang membuat inhibisi asetilkholinesterase oleh pyridostigmin tidak efektif lagi.

Plasmaferesis, IVIg dan imunoadsorbsi dari plasma memberi hasil perbaikan yang cepat dengan keuntungan yang menetap selama beberapa minggu atau bulan. Penggunaan plasmaferesis atau IVIg pada krisis miastenia atau persiapan operasi adalah menguntungkan.

Krisis miastenia merupakan suatu keadaan dimana terjadi keadaan klinis yang memburuk sebagai akibat penyakitnya sendiri atau adanya suatu keadaan akut yang mempresipitasi seperti suatu infeksi yang interkuren, hipokalemia, penyakit tiroid atau pemberian obat-obat yang menyebabkan terjadinya neuromuscular blocking (Tabel 4-5). Krisis miastenia yang terjadi pada penderita yang diketahui menderita penyakit miastenia ditandai dengan adanya kelemahan yang akut dan progresif yang jika tidak diobati, menghasilkan suatu kuadriparesis, disfungsi bulbar, kemungkinan aspirasi dan kegagalan ventilasi. Sebelum ditemukannya terapi imunosupresan, krisis kholinergik sekunder sebagai akibat dari overdosis pemberian inhibitor kholinesterase dan juga depolarisasi dari motor end plate merupakan penjelasan yang lain mengapa terjadi perburukan tersebut. Dengan adanya pilihan pengobatan yang beragam akhir-akhir ini, krisis kholinergik dan efek samping muskarinik lainnya, seperti diare, kejang perut, keringat dan salvias berlebihan, dapat diminimalkan dengan penggunaan inhibitor kholinesterase yang lebih bijaksana. Bila pasien diberikan atropine untuk

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 57

meredakan efek samping muskarinik, kelemahan yang bertambah mungkin merupakan tanda-tanda satu-satunya adanya ekses kholinergik. Respon terhadap edrofonium iv bisa menolong membedakan apakah suatu kelemahan pasien bersifat miastenik atau kholinergik; pada krisi miastenik, gejala-gejala akan tetap tidak berubah dan pada krisis kholinergik gejala-gejala menjadi lebih buruk, karena kelemahan diakibatkan oleh kelebihan kholinergik.

Tabel 4. Pertimbangan emergency pada miastenia gravis.

Klinis :

Kelemahan yang fluktuatif, ptosis atau diplopia Gejala-gejala yang bilateral

Gangguan bulbar (disfagia/disartri) dengan respons pupil yang normal

Kelemahan proksimal lebih dari distal

Aktivitas yang terus menerus akan memperberat gejala

Refleks dan sensibilitas normal Laboratories :

Tes tensilon (edrofonium) yang positif

Penurunan amplitude (decrement) pada stimulasi repetitive

AchR Ab yang positif Penatalaksanaan Akut :

Monitoring fungsi pernafasan dan menelan Periksa dan obati infeksi, hipokalemia dan

gangguan pada tiroid

Pertimbangan plasmaferesis atau pemberian IVIg

Tabel 5. Obat-obatan yang memperburuk miastenia gravis. Antibiotika :

Neomisin Streptomisin Kanamisin Gentamisin Tobramisin Polimiksin B Kolistiin Oksi tetrasiklin

Linkomisin Klndamisin Obat-obatan Antireumatik :

d-penisilamin khloroquin Obat-obatan Kardiovaskuler :

Lidokain Kinin Kuinidin Prokainamid Propanolol Oksprenolol Antikonvulsan :

Fenitoin Trimetadon Obat-obatan Psikotropik

Garam litium Khlorpromasin Hormon :

Kortikosteroid (pada permulaan) ACTH Hormon tiroid Obat-obatan Lain :

Garam magnesium

Narkotika Barbiturat

Plasma exchange (55 ml/ kg/ hr selama 5 hari) adalah pilihan terapi untuk pengobatan kelemahan yang membahayakan hidup.

Perbaikan biasanya tampak pada pemberian ke- 3 dan seharusnya menetap dalam 2-4 minggu.

Suatu studi terbatas menduga bahwa IVIg kurang menguntungkan dalam pengobatan krisis miastenik dibandingkan dengan plasmaferesis, namun penyelidikan-penyelidikan yang lebih banyak dibutuhkan untuk menjelaskan isu tersebut. Dosis tinggi kortikosteroid (prednisone, 40-60 mg/ hr) atau Azatioprine (2-4 mg/kg/hr), atau dua-duany diberikan setelah plasma exchange akan melindungi pasien dari suatu krisis yang berulang bila efek perbaikan dari plasma exchange mulai berkurang.

Gejala dari Botulism secara superficial bisa menyerupai myasthenia gravis. Bagaimanapun, onset biasanya mendadak dan progresif secara cepat disertai gejala-gejala gastrointestinal.

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

58

Toksin botulinum mempengaruhi pelepasan Ach dari membrane presinaptik. Bila dosis toksin rendah, akan terjadi suatu kelemahan yang ringan dan disfagia.

Kebanyakan penderita botulism menderita kelemahan, pandangan yang kabur, nausea dan vomitus dalam 18-36 jam setelah terkena toksin.

Reaksi pupil yang menghilang membantu membedakan botulismus dari gangguan paut saraf-otot (neuromuscular junction) yang lain.

Bantuan ventilatior untuk otot-otot pernafasan sering kali diperlukan. Serum dan feses seharusnya diperiksa untuk menemukan toksin botulinum dan C.botulinum. sebagai tambahan, makanan yang dicurigai sebagai penyebab seharusnya juga diperiksa.

Pada stimulasi repetitive dengan frekuensi 3x/detik, tampak suatu penurunan amplitude (decrement) CMAP, sedangkan adanya fasilitasi respons motorik dengan stimulasi dengan frekuensi cepat 50x/detik mendukung suatu diagnosis botulism.

Bila dicurigai suatu botulism, iv infuse 2 vial trivalent (ABE) antitoksin botulism (10.000 IU dari setiap antitoksin dalam setiap vial) harus diberikan segera.

Diperlukan kewaspadaan terhadap suatu kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis karena derivat antitoksin ini berasal dari serum kuda. Antitoksin tidak menetralisir toksin yang mengikat reseptor tapi efektif sebagai antidote terhadap toksin sebelum ia mengikat reseptor tersebut; dengan demikian, gejala-gejala klinis mungkin tidak mengalami perbaikan segera.

Katartik dan enema bisa menurunkan level toksin, gastric lavage dan emetika sebaiknya diberikan, juga harus dihindari terjadinya aspirasi karena kelemahan bulbar.

KELEMAHAN AKUT AKIBAT GANGGUAN OTOT M i o p a t i i n fl a m a s i ( p o l i m i o s i t i s d a n dermatomiositis) dapat menghasilkan

kelemahan yang nonfluktuatif secara akut dan subakut. Biasanya kelemahan lebih banyak di proksimal, termasuk otot-otot leher, berkembang dalam beberapa minggu sampai bulan, dan bisa berhubungan dengan disfagia, mialgia, artralgia dan kemerahan pada kulit.

Tabel 6 Pertimbangan emergency pada polimiositis1

Klinis :

Kelemahan yang proksimal dan non fluktuatif Rash atau penyakit jaringan ikat yang

berhubungan Muscle tenderness

Refleks seringkali masih ada Laboratories :

Peningkatan CK

EMG dan biopsy yang abnormal Penatalaksanaan :

E v a l u a s i p e n y a k i t a u t o i m u n y a n g berhubungan dan malignancy

Terapi imunosupresif

Follow-up klinis dan laboratories yang ketat Terapi awal biasanya dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi (Prednison 50- 100mg). Pada beberapa penderita yang berat penyakitnya, diperlukan pemberian makanan secara parenteral, monitoring jantung dan kadang kala alat Bantu pernafasan. Follow-up klinis yang ketat mengenai derajat kelemahannya dan peningkatan CPK diperlukan untuk menentukan lama dan besarnya dosis steroid yang diberikan. Pasien yang intoleran atau refrakter terhadap steroid lebih baik menggunakan imunosupresan yang lain seperti azathioprine, siklofosfamid dan metotreksat. Bila berfluktuasi maka lakukan evaluasi kardiologis dan pernafasan.

KOMPLIKASI PARU AKIBAT GANGGUAN NEUROMUSKULAR

Pasien-pasien dengan penyakit neuromuscular

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 59