• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Epileptikus (SE) adalah suatu kegawatdaruratan medis mayor yang sering dijumpai pada komunitas, mengenai antara 120.000 - 200.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Rata-rata frekuensi dari SE refrakter berbeda-beda dari kira-kira 10% sampai dengan 40%. Kegagalan dalam mendiagnosa dan mengobati SE secara akurat dan efektif menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang nyata.

DEFINISI

SE merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama 30 menit atau lebih ATAU aktivitas bangkitan hilang timbul yang berlangsung selama 30 menit atau lebih dan selama waktu tersebut tidak terdapat pemulihan kesadaran.

Loweinstein dan kawan – kawan memberikan definisi “operasional” yang bertujuan menentukan waktu pada saat pasien - pasien

KLASIFIKASI DAN DIAGNOSA

Beberapa tipe dari bangkitan epilepsi telah dapat dideskripsikan. SE dapat diklasifikasikan dengan adanya kejang motorik (status epileptikus konvulsivus) atau dari lena/absans (status epileptikus non konvulsivus). Kemudian SE dapat dibagi lagi menjadi SE yang melibatkan seluruh tubuh (SE Umum) atau hanya melibatkan sebagian tubuh (SE Parsial).

Terkait dengan hal tersebut, SE dapat dibagi menjadi konvulsivus umum (SE tonik klonik), non konvulsivus umum (contoh : lena/absans), konvulsivus parsial (kejang motorik parsial simpel) atau non konvulsivus parsial (kejang parsial komplek).

STATUS EPILEPTICUS

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 31 sebaiknya dapat diterapi seolah - olah mereka berada dalam status epileptikus yang sedang berlangsung, termasuk di antaranya bangkitan yang berlangsung kurang dari 5 menit.

Time definition CSE for treatment purposes (operational definition)

Interval within which most seizures spontaneously stop

Optimum interval for initiation of rescue

therapy

Time definition for CSE epidemilogical pathophysiological

and outcome purposes

Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus

SE dapat di diagnosis melalui observasi.

Bangkitan ditandai dengan hilangnya kesadaran, aktivitas tonik-klonik otot, mulut berbusa, lidah tergigit, mata yang menatap keatas, dan inkontinensia urin. Diagnosis dari SE biasanya jelas, dengan diagnosis banding berupa distonia umum dan pseudo- status epilepsi. Pseudo- status epilepsi terdiri dari bangkitan yang bersifat psikogenik.

SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis. Gambaran klinik berupa penurunan kesadaran, agitasi, afasia, confusion amnesia, nistagmus. Diagnosis hanya dapat di konfirmasi dengan pasti melalui

International League Against Epilepsy (ILAE) merekomendasikan klasifikasi Status Epilepsi pada anak (tabel 2).3

Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus Rekomendasi ILAE Berdasarkan Etiologi (1993)

Akut Simtomatik Status Epileptikus pada anak yang sebelumnya normal secara neurologis, dalam seminggu disertai etiologi penyerta termasuk infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP), kejang demam yang memanjang, ensefalopati, trauma kepala, penyakit serebrovaskular, dan kelainan metabolik atau toksik.

Remote symptomatic Status Epileptikus tanpa adanya pencetus akut yang teridentifikasi tetapi dengan riwayat abnormalitas SSP lebih dari seminggu sebelumnya.

Terkait dengan Epilepsi Idiopatik Status epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada anak dengan diagnosis epilepsi idiopatik sebelumnya atau saat terjadi episode status epileptikus adalah kali kedua terjadinya bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah pada diagnosis epilepsi idiopatik.

Terkait dengan Epilepsi Kriptogenik Status Epileptikus yang tidak simtomatik dan terjadi pada anak dengan diagnosis epilepsi kriptogenik sebelumnya atau saat terjadi episode status epileptikus adalah kali kedua bangkitan tanpa provokasi, yang mengarah pada diagnosis epilepsi kriptogenik.

Tidak Terklasifikasi (unclassified) Status epileptikus yang tidak dapat diklasifikasikan dalam kelompok yang lain.

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

32

Konvulsi Non konvulsi

Umum Tonik klonik (grand mal) Absans/Lena Tonik

Mioklonik

Parsial Bangkitan parsial motorik Bangkitan parsial kompleks

pemeriksaan EEG . Pada sebuah 4

studi disebutkan 8% pasien-pasien dengan koma menunjukkan SE non konvulsi . Gambar 2 menunjukkan 5

gambaran EEG pada pasien SE non konvulsi dengan gambaran klinis berupa amnesia.

Gambar 2. EEG wanita umur 20 tahun dengan amnesia

ETIOLOGI

Banyak kasus SE terjadi pada pasien dengan penyakit akut ataupun penyakit neurologis akut. Sekitar 50% kasus terjadi tanpa adanya epilepsi sebelumnya. Individu dengan riwayat epilepsi berisiko mengalami SE. Etiologi SE dapat dibagi dalam proses akut dan kronik (disimpulkan dalam tabel 3)

Tabel 3. Etiologi Status Epileptikus4,6

Proses Akut Proses Kronik

Ketidakseimbangan elektrolit Epilepsi yang sudah ada sebelumnya

Kelainan serebrovaskular C o m p l i a n c e a t a u k e p a t u h a n m i n u m o b a t antikejang/antikonvulsan yang buruk atau perubahan terapi antikonvulsan.

Trauma serebral Alkoholisme kronik

Toksisitas obat Tumor serebri

Kerusakan anoksik-hipoksik serebral Infeksi SSP

Sindrom sepsis Gagal ginjal

K O M P L I K A S I S T A T U S EPILEPTICUS

Berdasarkan perubahan neurofisiologi, SE dibagi menjadi dua fase. Selama Fase 1, permintaan metabolik meningkat yang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik sel serebral yang abnormal, l a l u m e n y e b a b k a n peningkatan tekanan darah arterial dan aktivitas autonom.

Proses ini menyebabkan peningkatan tekanan darah arterial, peningkatan nilai glukosa darah, berkeringat, h i p e r p i r e k s i a d a n salvias/berliur. Fase 2 terjadi 30 menit setelah Fase 1. Fase 2 ditandai oleh kegagalan a u t o r e g u l a s i s e r e b r a l , p e n u r u n a n l a j u d a r a h

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 33 serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial

dan hipotensi sistemik. Hal ini berdampak pada penurunan tekanan perfusi serebral (gambar 3).

S t a t u s E p i l e p t i k u s y a n g m e m a n j a n g dihubungkan dengan perubahan sistemik yang luas, yang turut menyebabkan masalah ketersediaan oksigen otak yang inadekuat. 4,6

Gambar 3. Perubahan Neurofisiologis pada Status Epileptikus

Komplikasi sistemik dari bangkitan umum SE dapat mempengaruhi sistem saraf pusat (hipoksia serebri, edema serebri, perdarahan otak), sistem kardiovaskular (infark miokard, Komplikasi sistemik dari bangkitan umum SE dapat mempengaruhi sistem saraf pusat (hipoksia serebri, edema serebri, perdarahan otak), sistem kardiovaskular (infark miokard,

aritmia, henti jantung), sistem pernafasan (pneumonia aspirasi, hipertensi pulmonal, emboli paru), perubahan metabolik (dehidrasi, perubahan elektrolit, nekrosis tubular akut) 4,6

PENGOBATAN

Terapi harus dilanjutkan secara bersamaan pada empat aspek: hentikan SE; cegah munculnya kejang berulang setelah SE diatasi; atasi penyebab timbulnya SE; atasi komplikasi.4,7

Prinsip utama pengelolaan kegawatdaruratan adalah bantuan hidup dasar yang mencakup menjaga jalan nafas dan pernapasan dan menjaga sirkulasi yang adekuat. Dalam SE, jalan napas harus dijaga mulai dari tahap awal dan intubasi trakhea akan dibutuhkan saat bangkitan sedang diatasi sehingga ventilasi yang adekuat dapat dipastikan dan aspirasi pulmonal dapat dicegah.

Pemantauan harus dimulai, termasuk EKG, mengukur tekanan darah dan pulse oksimetri pada semua pasien.

Pengukuran gula darah di samping tempat tidur harus dilakukan. Jika terdapat tanda hipoglikemi yang signifikan, glukosa 50% 50 ml harus diberikan. Jika sebelumnya terdapat riwayat atau curiga ke arah alkoholisme, thiamin 100 mg intravenous harus diberikan bersamaan dengan glukosa untuk mencegah timbulnya Ensefalopati

1,4,7

Wernicke.

Anamnesa yang teliti tentang riwayat penyakit dahulu pasien dari keluarganya mungkin dapat memberikan keterangan tentang faktor p e n y e b a b s e p e r t i p e n g g a n t i a n o b a t antikonvulsan baru – baru ini, alcohol withdrawal, overdosis obat, dan stroke atau infeksi susunan saraf pusat. Sken Tomografi Komputer (CT Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) mungkin dibutuhkan untuk mengetahui proses fokal.

Pemeriksaan cairan serebrospinal mungkin juga diindikasikan jika tekanan intrakranial tidak ditemukan.

TERAPI FARMAKOLOGI

Tujuan utama dari terapi adalah penghentian bangkitan secara cepat dan aman dan mencegah berulangnya bangkitan. Algoritme penggunaan

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

34

obat untuk SE diperlihatkan pada gambar 4.

BENZODIAZEPIN

Obat ini bekerja sebagai antagonis dari reseptor GABA dan secara potensial menghambat A

aktivitas neuron. Mereka bekerja dengan cepat dan karenanya mempunyai tempat untuk mengontrol SE. Lorazepam 0,1mg/kg intravena (IV) sangat diperhitungkan menjadi obat pilihan pertama untuk penatalaksanaan akut. Tapi sejak lorazepam IV tidak tersedia di Indonesia, diazepam 0,2mg/kg dipertimbangkan untuk menjadi obat pilihan utama di negara kita.

Diazepam mempunyai durasi kerja yang sangat pendek karena cepat diredistribusi ke cadangan lemak tubuh. Diazepam dapat diberikan melalui rektal. Semua benzodiazepine menyebabkan sedasi dan depresi pernapasan, dan dosis yang berulang mempunyai efek akumulasi. Efek sedasi dapat menurunkan pemulihan kesadaran setelah SE berhenti.4,7

HIDANTOIN

Apabila diazepam tidak berhasil menghentikan aktivitas bangkitan dalam waktu 10 menit, atau apabila bangkitan intermiten berlangsung selama 20 menit atau lebih, maka harus ditambahkan obat lain. Fenitoin (atau fosfofenitoin) masih menjadi obat pilihan untuk terapi lini kedua untuk status epileptikus yang tidak berespons terhadap diazepam. Fenitoin sangat larut dalam lemak dan mencapai puncaknya dalam waktu 15 menit setelah pemberian IV. Loading dose fenitoin (20 mg/kg) harus diberikan berdasarkan berat badan dan menggunakan vena besar untuk pemberiannya karena tingginya pH larutan. Pemberiannya harus dengan cairan garam fisiologis dan pemberian bersama obat lain harus dihindarkan, karena adanya risiko presipitasi.

Infus fenitoin merupakan faktor risiko signifikan terjadinya hipotensi, aritmia, pemanjangan gelombang QT. Oleh karena itu, pemantauan EKG dan tekanan darah sangat diperlukan.4,7

Fenobarbital

Penggunaan fenobarbital intravena 10-20 mg/kg cenderung terbatas pada penanganan

status refrakter, yang mana penggunaannya masih efektif. Mekanisme kerjanya dengan memperpanjang inhibisi potensial pascasinaps melalui kerja kanal GABA Cl. Fenobarbital tidak memasuki otak secepat obat-obatan yang lipofilik, akan tetapi kadar terapetik dicapai dalam 3 menit dan dipertahankan untuk jangka waktu yang panjang, Efek samping fenobarbital adalah sedasi dalam, depresi napas, hipotensi.

ANESTESI UMUM

Ini merupakan terapi definitif bagi status epileptikus refrakter dan harus dilakukan di unit rawat intensif. Pengobatan anti epilepsi kerja jangka panjang, seperti fenitoin dan fenobarbital, harus dipertahankan selama fase ini, pengawasan kadar obat dan dipertahankan pada batas atas dari kisaran normal.

Thiopental adalah barbiturat intravena kerja cepat yang digunakan untuk menangani status epileptikus. Thiopental menimbulkan hipotensi.

Barbiturat juga imunosupresif poten dan penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Propofol

dapat digunakan sebagai alternatif.

Propofol memiliki efek seperti barbiturat dan benzodiazepin pada reseptor GABA dan bekerja sebagai antikonvulsan poten pada dosis klinis. Bolus awal sebesar 1 mg/kg diberikan dalam waktu 5 menit dan diulang jika aktivitas bangkitan belum dapat dikendalikan. Infus pemeliharaan harus disesuaikan antara 2-10 mg/kg/jam sampai didapatkan kecepatan pemberian yang paling kecil yang dapat menekan aktivitas epileptiform pada EEG. Penghentian tiba-tiba harus dihindarkan karena berisiko menyebabkan terjadinya presipitasi bangkitan akibat penghentian obat.

TERAPI BARU

Sediaan sodium valproat intravena baru-baru ini diperkenalkan.

Beberapa penelitian membuktikan

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS) 35

C◘ℓ♫╙ś■ŦĊ◘╜■ ﻮﮭ▓┼╫┼ Lë ﺛ ويﮭ▓┼▓╜■

Phenytoin 20mg/kg IV @ 50 mg/min Seizure continuing Diazepam 0.2 mg/kg IV over 1-2 min (repeat 1x if no response after 5 min)

Fosphenytoin 5-10mg/kg IV @ 150mg/min Phenytoin 5-10mg/kg IV @ 50 mg/min

Consider valproate 25 mg/kg IV Seizure continuing

Phenobarbital 20mg/kg IV at 50-75 mg/min

Phenobarbital (additional 5-10 mg/kg)

Seizure continuing

Anesthesia with midazolam or propofol

Time (minutes) Seizure continuing

Seizure continuing

Ć 10 20 30 40 50 60 70 80

{ ś╜ūĵ ʼnś ľ ◘■Ċ╜■ĵ ╜■┼

Proceed immediately to anaesthesia with midazolam or poropofol if the patient develops status epilepticus while in the intensive care unit, has severe systemic disturbance or has seizure that have continued for more than 60 to 90 minutes

sodium valproat intravena cukup efektif dan memiliki profil efek samping yang lebih baik.

Penelitian di Eropa melaporkan 80-83% kasus status epileptikus dapat dikendalikan dengan dosis 12-15 mg/kg.1

HASIL

Mortalitas keseluruhan kasus status epileptikus dewasa sekitar 25%. Pasien yang berusia diatas 60 tahun memiliki mortalitas yang lebih tinggi (38%). Kira-kira 89% pasien meninggal dunia pada saat atau setelah status epileptikus karena penyebab status, dimana hanya 2% kematian yang berhubungan langsung dengan status epileptikus.4,6

Terapi lini pertama efektif dalam mengendalikan bangkitan pada 65% kasus status epileptikus, maka terapi dini sangatlah penting. Pasien dengan status epileptikus yang tidak terkontrol lebih dari satu jam memiliki mortalitas 34,8%

dibandingkan dengan 3,7% bila bangkitan dapat diatasi dalam 30 menit.9

ADVANCED NEUROLOGY LIFE SUPPORT (ANLS)

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Lowenstein DH. The management of refractory status epilepticus: an update.

Epilepsia 2006;47(S1):35-40

2. Treiman DM. Generalized convulsive status epilepticus. In: Engel J, Pedley TA (editors).

Epilepsy: a comprehensive textbook.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 665-73

3. Raspall-Chaure M, Chin RFM, Neville BG, Bedford H, Scott RC. The epidemiology of convulsive status epilepticus in children: a critical review. Epilepsia 2007;48(9):1652- 1663

4. Chapman MG, Smith M, Hirsch NP. Status epilepticus. Anaesthesia 2001;56:648-659 5. Towne AR, Waterhouse EJ, Coggs JG, et al.

Prevalence of nonconvulsive status epilepticus in comatose patients. Neurology 2000; 54: 340-345.

6. Shorvon SD, Pellock JM, DeLorenzo RJ.

Acute physiologic changes, morbidity, and mortality of status epilepticus. . In: Engel J, P e d l e y TA ( e d i t o r s ) . E p i l e p s y : a comprehensive textbook. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 737- 747

7. Alldredge BK, Treiman DM, Bleck TP, Shorvon SD. Treatment of status epilepticus.

. In: Engel J, Pedley TA (editors). Epilepsy: a comprehensive textbook. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2008. pp 13571374

8. Treiman DM, Meyers PD, Walton NY et al. A comparison of four treatments for generalized convulsive status epilepticus.

New England Journal of Medicine 1998;

339: 792-298.

9. DeLorenzo RJ, Towne AR, Pellock JM et al.

Status epilepticus in children, adults and the elderly. Epilepsia 1992; 33 (Suppl. 4): S15-