• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsepsi Umum Tentang Perjanjian Sewa Menyewa dalam Islam

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori

2. Konsepsi Umum Tentang Perjanjian Sewa Menyewa dalam Islam

a. Pengertian Sewa

Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti al-„Iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats- Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru/upah.30

Adapun secara terminologi, para uama fiqh berbeda pendapatnya, antara lain:

1) Menurut Sayyib Sabiq, al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.

2) Menurut Ulama Syafi‟iyah al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan, dengan cara memberi imbalan tertentu.

3) Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.

Al-ijarah dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dlam islam. Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara‟ berdasarkan ayat al-Qur‟an, Al-Sunah, dan ketetapan Ijma Ulama.31 Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-Ijarah sebagai berikut:

َ

32

آُ٘ َس ُْٛجُا آُ٘ ُْٛذٰاَف ُُْىٌَ َْٓؼَظ ْسَا ِْْاَف

29Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2017), hlm.

133.

30Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 277.

31Ibid., hlm 277.

32Qs. Thalaq (65): 6.

Artinya: “Jika mereka telah menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”.

َخ ْشَجْأَرْسا َِِٓ َشْ١َخ اِْاۖ ُٖ ْش ِجْأَرْسا ِدَتَآْٰ٠ اَُّٙىٰذْحِا ْدٌَاَل

َُ

33

َِِْٟ ْلَّاُّ٠َِٛمٌْا

Artinya: “salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Tujuan disyariatkan al-ijarah itu adalah untuk memberi keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Banyak orang yang mempunyai uang, tetapi tidak dapat bekerja.

Dipihak lain banyak orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang. Dengan adanya al-ijarah keduanya saling mendapatkan keuntungan dan kedua belah pihak saling mendapatkan manfaat. 34

b. Macam-macam Sewa

Dilihat dari segi obyeknya akad ijarah dibagi para ulama fiqh kepada dua macam ijarah, yaitu:

1) Ijarah „ala al-manafi

Yaitu ijarah yang objeknya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadi objeknya sebagai tempat yang dimanfaatkan untuk kepentingan yang dilarang oleh syara‟. Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan akad ijarah ini dinyatakan ada. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Akad ijarah dapat ditetapkan sesuai dengan perkembangan manfaat yang dipakai. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa

33Qs. Al-Qashash (28): 26

34Sahrani Sohari, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm 169.

sewa tidak dapat dimiliki oleh pemilik barang ketika akad ini berlangsung melainkan harus dilihat dahulu perkembangan penggunaan manfaat tersebut. Sementara itu ulama Safi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ijarah ini sudah tetap dengan sendirinya sejak akad ijarah terjadi.35

Maka dari itu menurut mereka sewa sudah dianggap menjadi milik barang sejak akad ijarah itu terjadi. Karena akad ijarah sendiri sudah memiliki sasaran atau manfaat dari benda yang disewakan, maka pada dasarnya penyewa berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keperluannya bahkan dapat meminjamkan atau menyewakan ke pada pihak lain sepanjang tidak merugikan dan merusak barang yang telah disewakan.

2) Ijarah‟ala al-„amaal ijarah

Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan sesuatu pekerja. Ijarah seperti ini, menurut ulama Fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, buruh pabrik dan lain-lain. Ijarah atas pekerjaan ini dibagai menjadi dua macam yaitu bersifat pribadi (ijarah khas), dan ada yang bersifat serikat (ijarah musytarak).

a) Ijarah khas

Ijarah khas adalah ijarah yang dilakukan oleh sesorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah. Contohnya pembantu rumah tangga.

b) Ijarah musytarak

Ijarah musytarak adalah sesorang atau kelompok orang yang menjual jasanya untuk

35Ibid., hlm. 278.

kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit.36

c. Rukun dan Syarta Ijarah (Sewa-Menyewa)

Pada dasarnya akad ijarah harus memiliki rukun dan syarat. Rukun adalah sesuatu yang harus terpenuhi dalam sebuah transaksi, sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan rukun tersebut. Rukun dan syarat harus terpenuhi sehingga ijarah tersebut dapat dikatakan dengan sah menurut syara‟. Dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syariah rukun ijarah disebutkan dalam pasal 295, diantaranya terdapat mu‟jir (pihak yang menyewa) dan muajir (pihak yang menyewakan).

1) Rukun Sewa (Ijarah) adalah sebagai berikut:

a) Mu‟jir dan musta‟jir yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah, mujir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, mustajir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu‟jir dan mustajir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan saling meridhai. Dalam firman Allah swt yang berbunyi:

ُُْىَْٕ١َت ُُْىٌَا ََِْٛا ا ٍُُْْٓٛوْأَذ َلَّ ا َُِْٰٕٛا َْٓ٠ِزاٌا اَُّٙ٠َا ْٰٓ٠ ْۗ ُُْىِِّْٕ ٍضا َشَذ َْٓػ ًج َساَجِذ َْ ُْٛىَذ َْْا ْٓ الَِّا ًِِغاَثٌْاِت

37

اًّْ١ ِح َس ُُْىِت َْاَو َ هاللّٰ اِْا ْۗ ُُْىَسُفَْٔا ا ٍُُْْٓٛرْمَذ َلَّ َٚ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diirmu.

36Qomarul Huda: fiqih Mu‟amalah (Yogyakarta, teres, 2011), hlm 86.

37Al-Nisa (4): 29.

Sesungguh, Allah maha penyayang kepada mu.

b) Shighat ijab kabul antara mu‟jir dan mustajir, ijab kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab kabul sewa-menyewa misalnya. “aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000, maka musta‟jir menjawab “aku menerima sewa mobl tersebut dengan harga demikian setiap hari”. Ijab kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata

“kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000”. kemudian musta‟jir menjawah “aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.

c) Ujrab disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.

d. Syarat Ijarah adalah sebagai berikut:

1) Yang terkait dengan dua orang tang berakad. Menurut ulama syafi‟iyah dan hanabalah disyaratkann telah balig dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan tetapi, ulama hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia balig. Oleh karenanya, anak yang baru mumayiz boleh melakukan akad al-ijarah, hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya.

2) Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah apabila salah seseorang diantaranya terpaksa melakukan akad ini, maka akad al- ijarah nya tidak sah.

3) Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.

Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan brapa lama manfaat itu ditangan penyewa.

4) Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya seseorang menyewakan rumah, maka rumah itu dapat langsung diambil kuncinya dan dapat langsung boleh dimanfaatkan.

5) Objek al-ijarah itu sesuatu yang dibolehkan oleh syara‟

oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat mengatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk menyantet orang lain, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain, demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempat-tempat maksiat.

6) Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan seperti, rumah, kendaraan dan alat-alat perkantoran. Oleh sebab itu tidak boleh dilakukan akad sewa-menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewanya sebagai sarana penjemur pakaian. Karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan dimaksudkan seperti itu.

7) Upah atau sewa-menyewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.38

e. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah (sewa menyewa)

Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal- hal yang mewajibkan fasakh.

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:

1) Terjadinya cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa.

2) Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebaginya.

38Ibid., hlm 279-280.

3) Rusaknya barang yang diupahkan (ma‟jur „alaih) seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.

4) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.

Berakhirnya ijarah (sewa menyewa) Secara umum undang-undang memberi beberapa ketentuan tentang berakhirnya sewa-menyewa yakni:

1) Berakhir sesuai dengan batas waktu yang ditentukan secara tertulis (pasal 1576). Dalam perjanjian sewa- menyewa yang masa berakhirnya telah ditentukan secara tertulis; sewa-menyewa dengan sendirinya berakhir sesuai dengan ”batas waktu” yang telah ditentukan para pihak.39

Jadi, jika lama sewa-menyewa sudah ditentukan dalam persetujuan secara tertulis, perjanjian sewa berakhir tepat pada saat yang telah ditetapkan.

Pemutusan sewa hal ini tidak perlu lagi diakhiri dengan surat lain. Kalu sewa kontrak rumah telah ditentukan untuk jangka waktu dua tahun, persewaan akan berakhir setelah lampau waktu dua tahun.

2) Sewa-menyewa yang berakhir dalam waktu tertentu yang diperjanjikan secara lisan yaitu perjanjian sewa dalam jangka waktu tertentu, tetapi diperbuat secara lisan. Perjanjian seperti ini tidak berkahir tepat pada waktu yang diperjanjikan. Dia berakhir, setelah adanya

“pemberitahuan” dari salah satu pihak tentang kehendak mengekhiri sewa-menyewa. Itupun dengan memperhatikan jangka waktu yang layak menurut kebiasaaan setempat. Jadi dalam penghentian sewa- menyewa dengan lisan pengakhiran sewa harus memperhatikan jangka waktu “penghentian” sesuai dengan kebiasaan setempat. Batas waktu antara

39 Harahap Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni Kotak Pos, 1986), hlm 238-240.

penghentian dengan pengakhiran inilah yang di sebut

“jangka waktu penghentian”.

3) Pengakhiran sewa-menyewa baik tertulis maupun dengan lisan yang tidak ditentukan batas waktu berakhirnya. Penghentian dan berakhirnya berjalan pada saat yang “yang dianggap pantas” oleh kedua belah pihak. Pegangan ini kita kemukakan karena undang- undang sendiri tidak mengatur cara mengakhiri perjanjian sewa tanpa batas waktu. yang diatur didalam undang-undang hanya pengakhiran sewa-menyewa tertulis dan lisan yang mempunyai batas waktu tertentu.

Sebaiknya diserahkan kepada penghentian yang selayaknya bagi kedua belah pihak atau batas waktu penghentian yang selayaknya berpedoman pada kebiasaan setempat.

3. Konsepsi Umum Tentang Jual Beli