• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Keamanan (Sekuritisasi)

nasional banyak negara, baik anggota ASEAN maupun negara- negara besar seperti China, Amerika Serikat, hingga beberapa negara Eropa seperti Inggris, Rusia, dan Jerman. Apa yang disampaikan Irawan bukan hal baru. Menjadi hangat karena publik baru mengetahui hal tersebut. Kepala Bagian Humas dan Protokol Bakamla Kolonel Wisnu Pramandita menjelaskan soal kondisi di Laut Natuna Utara masih stabil dan aman. Kehadiran ribuan kapal asing, terutama dari China dan Vietnam tidak dalam satu waktu bersamaan, tapi secara umum (Media Indonesia, 18 September 2021).

Mengapa ribuan kapal China dan Vietnam dapat masuk hingga ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia?

Hal itu disebabkan karena kedua negara tersebut memiliki satuan milisi nelayan yang digerakkan oleh militer untuk

‘menghidupkan’ kawasan yang diklaim sebagai kawasan mereka. Menurut Irawan, Bakamla juga sedang menyusun rencana aksi terkait rekomendasi kebijakan mendorong konsep pembentukan Nelayan Nasional Indonesia yang bertujuan mendorong kehadiran pelaku ekonomi sekaligus mendukung kegiatan monitoring di wilayah penangkapan ikan di Laut Natuna Utara (Media Indonesia, 18 September 2021). Sementara Vietnam telah membentuk milisi maritim jauh lebih dulu, yang terdiri dari 8.000 kapal dengan personel hingga 46.000 milisi nelayan. Uni Eropa memperkirakan jumlahnya hingga 70.000 milisi. Pembentukan milisi ini berdasarkan undang-undang 2009 yang memberi kewenangan kepada milisi tersebut untuk melakukan patroli pengawasan laut, termasuk pengusiran kapal asing yang masuk ke dalam teritori kedaulatan Vietnam (CNBC Indonesia, 27 April 2021).

Data dari Asosiasi Eksportir dan Produsen Makanan Laut Vietnam (Vietnam Association of Seafood Exporters

and Producers/VASEP) menyebutkan bahwa negeri sosialis- demokratis tersebut saat ini memiliki 110.000 kapal nelayan, dan 33.000 di antaranya merupakan kapal jelajah jauh yang mampu mencapai perairan Indonesia, bahkan Filipina. Operasi ekspansi perikanan Vietnam menggunakan strategi seperti yang dilakukan China. Sejak 2009, Hanoi mendorong nelayan untuk lebih sering melaut ke kawasan yang diperebutkan dengan melegalkan “milisi perikanan” (dw.com, 8 Februari 2019).

Namun eskalasi di Laut China Selatan meningkat bukan saja karena intensitas Vietnam melalui milisi nelayannya yang sering masuk ke dalam teritorial ZEE Indonesia, tetapi juga lebih disebabkan peningkatan kapasitas kekuatan ekonomi dan militer China yang mempengaruhi dinamika di Indo-Pasifik dalam satu dasawarsa terakhir. Sejak 2014, negeri Tirai Bambu tersebut secara aktif dan masif melakukan reklamasi pulau buatan di sekitar kepulauan Spratly dan Paracel. Dari pencitraan yang dilakukan satelit Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukan adanya landasan udara yang dibangun di atas pulau buatan. China juga membangun sebuah mercusuar serta membangun pangkalan militer di atas pulau buatan tersebut. Hal ini tentu saja menimbulkan pertentangan sejumlah negara baik yang berbatasan langsung maupun tidak dengan wilayah di sekitar kepulauan Spratly dan Paracel (Pamungkas, 2016).

Tindakan China mendominasi Laut China Selatan telah mengundang reaksi negara-negara besar lainnya. Amerika Serikat, Inggris, Prancis hingga India mengirimkan kapal- kapal perangnya ke kawasan ini yang disusul dengan India.

Belakangan, Amerika Serikat bersama Australia dan Inggris membentuk aliansi pertahanan AUKUS, sebuah Pakta

Pertahanan untuk membendung pengaruh kebangkitan China di Indo-Pasifik. Australia dalam kerja sama AUKUS membangun kapal selam bertenaga nuklir.

Indonesia menjadi negara besar di Asia Tenggara yang paling terdampak dari eskalasi ketegangan di Indo-Pasifik, khususnya Laut China Selatan. Lalu, kebijakan sekuritisasi apa yang dilakukan Indonesia menyikapi ancaman di Laut China Selatan?

Pertama, penamaan Laut Natuna Utara di perairan sebelah utara kepulauan Natuna yang selama ini diklaim masuk ke dalam Laut China Selatan. Penamaan tersebut terdapat dalam peta baru Negara Kesatuan Republik Indonesia 2017.

Penamaan Laut Natuna Utara merefleksikan politik luar negeri Indonesia sebagai wujud kepentingan nasional Indonesia dalam menyikapi perkembangan kawasan, dan sekaligus sebagai proses pengamanan (to securitize) kedaulatan teritorial Indonesia di lautan yang berbatasan dengan Laut China Selatan (Muhaimin, 2018). Kebijakan penamaan itu juga menjadi bentuk perlawanan halus (low-profile) terhadap ekspansi China, serta bentuk perlawanan terhadap Sembilan Garis Putus-putus China (China’s Nine Dash Line) yang melanggar hak ekonomi negara-negara tetangga yang memiliki ZEE (Lake Hunt, 2017). Penamaan itu juga sesuai dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo, “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritime”( Nawa Cita, 2014).

Dimensi diplomatik pada kebijakan sekuritisasi Laut Natuna Utara juga dapat dilihat dari reaksi China yang

menentang penamaan tersebut. Dalam dokumen tertanggal 25 Agustus 2017, pemerintah China menyebut tindakan Indonesia yang mengubah ‘nama yang sudah diakui secara internasional’

justru menimbulkan ‘sengketa yang makin meluas dan kompleks, dan berdampak pada kedamaian dan stabilitas’.

“Hubungan Indonesia-Tiongkok berkembang dalam kondisi yang stabil dan sehat, dan sengketa di Laut China Selatan juga menunjukan kemajuan yang baik. Tindakan unilateral Indonesia mengubah nama (laut) sangat tidak kondusif untuk menjaga situasi yang sudah baik ini.” (Ismail, 2017)

Ketika Indonesia mengajukan proposal kedaulatan laut bagi negara kepulauan, yang dikenal sebagai Proposal Djuanda pada tahun 1958, negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Belanda, Australia dan New Zealand menolak dengan keras proposal tersebut. Meskipun pada akhirnya PBB menerima proposal usulan Indonesia dan diadopsi menjadi United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada tahun 1982 (Muhaimin, 2018). Kali ini, langkah serupa yang dilakukan Indonesia melalui penamaan Laut Natuna Utara pada peta baru NKRI 2017 mendapat penolakan keras dari China. Bahkan kapal-kapal China berulang kali melakukan ulah unilateral di Laut Natuna Utara.

Kebijakan sekuritisasi kedua melalui peningkatan anggaran pertahanan. Peningkatan anggaran pertahanan dalam skema Minimum Essential Force (MEF) TNI memang tidak dikhususkan terkait langsung dengan eskalasi Laut China Selatan. Namun dalam Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Penyelarasan Minimum Essential Force, disebutkan bahwa pembangunan MEF disusun berdasarkan pada: Pertama, skala prioritas dalam menghadapi ancaman aktual dengan tidak

mengesampingkan ancaman potensial (threat based design);

Kedua, kemampuan yang menjadi kemandirian (capability based defense); Ketiga, berdasarkan pada penganggaran sesuai kemampuan ekonomi negara; dan keempat, dapat terwujudnya faktor penggentar (deterrence factor) sebagai bagian dalam mewujudkan saling percaya dengan negara sahabat CBM (Kemenhan, 2012). Berdasarkan dokumen tersebut, secara tidak langsung bahwa MEF terkait dengan potensi ancaman yang berkembang dalam dinamika di kawasan, baik ancaman aktual maupun potensi ancaman (threat perception).

Ancaman aktual merupakan ancaman yang memerlukan penanganan sangat mendesak, mengingat ancaman tersebut telah, sedang, dan akan terjadi setiap saat, yang tidak dapat diprediksi secara pasti karena dimensi waktu sangat cepat serta prosesnya dapat merambah dari lokal, nasional, regional, dan global. Ancaman aktual seperti terorisme, separatisme, pelanggaran di wilayah perbatasan dan pulau terluar, bencana alam, beragam kegiatan ilegal, konflik horizontal, cyber crime, hingga kelangkaan energi. Ancaman potensial merupakan ancaman yang akan terjadi dan waktunya dapat bisa diprediksi.

Eskalasi waktu dan potensi ancaman cukup besar, seperti pemanasan global, beragam kegiatan ilegal di ALKI, pencemaran lingkungan, pandemik, krisis finansial, agresi militer, hingga kelangkaan air bersih dan pangan (Kemenhan, 2012).

Artinya, ulah unilateral kapal-kapal asing seperti dari China dan Vietnam yang menerobos Laut Natuna Utara bisa saja dipandang sebagai ancaman aktual, karena kapal-kapal tersebut tidak hadir secara tradisional, melainkan terporgram dalam pengawalan militer kedua negara. Termasuk peningkatan eskalasi di Laut China Selatan di mana China membangun

infrastruktur militer di sana. Sehingga penguatan postur pertahanan Indonesia melalui MEF TNI adalah keniscayaan.

MEF dicanangkan pemerintah sejak tahun 2007 yang terbagi menjadi tiga fase, yaitu tahap fase pertama dimulai sejak 2010 hingga 2014, fase kedua 2015 - 2019, fase ketiga 2020 - 2024, dan fase keempat direncanakan tahun 2025 hingga 2029 (Pusat Kajian Anggaran DPR, 2021). MEF merupakan standar kekuatan pokok minimum TNI, yang harus disiapkan sebagai prasyarat utama dan mendasar bagi terlaksananya tugas pokok dan fungsi TNI secara efektif dalam menghadapi ancaman yang sesungguhnya (Pusat Kajian Anggaran DPR, 2021). Secara sederhana, MEF adalah agenda strategis pertahanan untuk memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Kebijakan MEF ini secara aktif selalu didukung konsisten oleh anggaran pertahanan yang cenderung selalu meningkat setiap tahunnya (Zahara & Rizky, 2020).

Anggaran pertahanan sejak tahun 2018 sebesar Rp 106,8 triliun menjadi Rp 127,35 triliun di tahun 2020. Pada tahun 2021, alokasi anggaran pertahanan Indonesia mencapai Rp 118,19 triliun, dan diperkirakan akan meningkat sekitar 13%

di tahun 2022. Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), anggaran pertahanan Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi sebesar Rp 133,92 triliun (Andre, 2021). Untuk memenuhi target MEF, maka ditargetkan sejumlah alutsista meliputi, 160 jet tempur, 15 kapal selam hingga 48 heli canggih. (Kompas, 2020).

Kebijakan sekuritisasi ketiga dilakukan Indonesia melalui penguatan postur pertahanan militer di Natuna. Indonesia berulang kali menolak klaim China atas Laut Natuna Utara sebagai bagian dari Laut China Selatan. Klaim historis China atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah

lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah relevant waters yang diklaim oleh China karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982 (CNBC Indonesia, 3 Januari 2020). Untuk itu, tidak ada pilihan bagi Indonesia untuk meningkatkan status kekuatan militer dan pertahanan di Natuna.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan sejak dua tahun terakhir TNI membangun pangkalan terpadu tiga matra (Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut) di Natuna. TNI mengerahkan alutsista di Natuna, seperti 8 KRI jenis korvet, fregat, dan kapal pengangkut logistik seperti KRI Ahmad Yani, KRI Karel Satsuit Tubun, KRI Usman Harun, KRI Tjiptadi, KRI Teuku Umar, KRI John Lie, KRI Sutendi Senoputra, dan KRI Tarakan; membangun pangkalan jet tempur Sukhoi dan F-16; empat unit helikopter serang AH-64E Apache;

dan penambahan pasukan hingga 1 batalyon (Merdeka.com, 25 Maret 2015; Warta Ekonomi, 9 Januari 2020). Peningkatan kekuatan tersebut dalam rangka menjaga kedaulatan Indonesia di landas kontinen maupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Laut Natuna Utara (Kompas, 7 Januari 2020).

Selain ketiga kebijakan Indonesia yang dilihat sebagai sekuritisasi atas kedaulatan di Laut Natuna Utara diatas, Bakamla RI juga mengusulkan konsep Nelayan Nasional Indonesia. Konsep ini menyusul militerisasi yang dilakukan China dan Vietnam terhadap para nelayannya sehingga mereka tidak hanya memiliki keleluasaan, tetapi juga keberanian untuk melaut hingga menerobos perairan negara lain yang diklaim

negaranya sendiri. Upaya para nelayan tersebut mendapat pengawalan dari armada Coast Guard.

Konsep serupa dengan China dan Vietnam, Nelayan Nasional Indonesia merupakan implementasi Komponen Cadangan (Komcad) sesuai dengan UU NO 23 Tahun 2019 tentang pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara. Komponen Cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama (TNI) (Times Indonesia, 12 Oktober 2021). (*)

Referensi

__________,”Bersiap di Natuna, Begini Kekuatan Militer Indonesia yang Dikerahkan”, Warta Ekonomi, 9 januari 2020. https://www.wartaekonomi.co.id/read265643/

bersiap-di-natuna-begini-kekuatan-militer-indonesia- yang-dikerahkan, diakses pada 10 Oktober 2021

__________.”Demi Kedaulatan, Vietnam Dorong militerisasi Armada Nelayan”. Deutsche Welle, 28 Februari 2019.

https://www.dw.com/id/demi-kedaulatan-vietnam- dorong-militerisasi-armada-nelayan/a-47721454, diakses 10 Oktober 2021

___________.”Inilah Penjelasan Bakamla RI terkait Situasi Laut Natuna Utara”. Media Indonesia, 18 September 2021. https://mediaindonesia.com/politik-dan- hukum/433609/inilah-penjelasan-bakamla-ri-terkait- situasi-laut-natuna-utara, diakses pada 10 Oktober 2021 Andre, R. Kementerian Pertahanan Dapat Alokasi Rp 133,9

Triliun di RAPBN 2022. Diambil 08 September 2021, dari Kompas: https://money.kompas.com/

r e a d / 2 0 2 1 / 0 8 / 1 6 / 1 5 1 3 2 5 3 2 6 / k e m e n t e r i a n - pertahanan-dapat-alokasi-rp-1339-triliun-di-rapbn- 2022?page=all (16 Agustus 2021)

Djunaedi, Edi. “Pengamat: Konsep Nelayan Nasional Indonesia oleh Bakamla RI perlu Didukung”. Times Indonesia, 12 Oktober 2021. https://www.timesindonesia.co.id/read/

news/375539/pengamat-konsep-nelayan-nasional- indonesia-oleh-bakamla-ri-perlu-didukung, diakses 15 Oktober 2021.

Hasibuan, Linda. “Ribuan Kapal China Serrbu Natuna, Begini Penjelasan BAKAMLA RI”. CNBC Indonesia, 18

September 2021. https://www.cnbcindonesia.com/

news/20210918192046-4-277362/ribuan-kapal-china- serbu-natuna-begini-penjelasan-bakamla-ri, diakses pada 10 Oktober 2021

Hunt, Lake. “Indonesia New North Natuna Sea: A Response to an Old Tiongkok Problem”, The Diplomat, 2017,http://

thediplomat.com/2017/08/indonesia-new-north- natuna-sea-a-response-to-an-old-Tiongkok-problem, diakses pada 10 Oktober 2021

Ismail, Saeful Bahri. “Tiongkok Demands Indonesia Rescind Decision to Rename Part of South Tiongkok Sea”, 2017, http://www.channelnewsasia.com/news/asiapacific/

Tiongkok-demands-indonesia-rescind-decision-to- rename-part-of-south-9179992?view=DEFAULT, diakses 10 Oktober 2021

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG KEBIJAKAN PENYELARASAN MINIMUM ESSENTIAL FORCE KOMPONEN UTAMA KEBIJAKAN PENYELARASAN MINIMUM ESSENTIAL FORCE KOMPONEN UTAMA.

Muhaimin, Ramdhan. “Kebijakan Sekuritisasi dan Persepsi Ancaman di Laut Natuna Utara,” Jurnal Politica, DPR RI., Vol. 9, No. 1 (Juni 2018): 17-37.

Santosa, Iwan. “Panglima TNI: Kekuatan Penuh di Laut Natuna Utara”, Kompas, 7 Januari 2020. https://www.kompas.

id/baca/utama/2020/01/07/panglima-tni-kekuatan- penuh-di-laut-natuna-utara/, diakses pada 10 Oktober 2021

Sebayang, Rehia. “RI Kembali Tegaskan Tolak Klaim China Atas Laut Natuna”, CNBC Indonesia, 3 Januari 2020. https://

www.cnbcindonesia.com/news/20200103072615-4- 127277/ri-kembali-tegaskan-tolak-klaim-china-atas- laut-natuna, diakses pada 10 Oktober 2021

Sorongan, Tommy Patrio. “Jreeng! Vietnam Bangun Milisi Maritim di Laut China Selatan”, CNBC Indonesia, 27 April 2021. https://www.cnbcindonesia.com/

news/20210427072520-4-241079/jreeng-vietnam- bangun-milisi-maritim-di-laut-china-selatan, diakses pada 10 Oktober 2021

Visi Misi Program Aksi Joko Widodo-Jusuf Kalla, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014, http://www.kpu.go.id/

koleksigambar/Visi_Misi_JOKOWI-JK.pdf, diakses 10 Oktober 2021

Zahara, E., & Rizky, A. “Anggaran Pertahanan Indonesia”, Analisis Ringkas Cepat: Pusat Kajian Anggaran badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI 2020, April 2020, 1-6.

ASEAN RCEP sebagai Moda

Dalam dokumen Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global (Halaman 73-85)