• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diplomasi dan Kepemimpinan RI

pada partisipasi esensial. Bahkan bagi sebagian orang, OKI terdengar sangat lawas dan sudah jarang terdengar lagi.

Pertanyaannya kini, bagaimana kiprah diplomasi Indonesia selama ini di OKI? Apakah Keketuaan RI di OKI akan berjalan efektif? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, maka kita perlu melihat kembali bagaimana asal muasal OKI dibentuk dan kiprah Indonesia di OKI selama ini.

OKI untuk umat atau bangsa?

Atas inisiatif Raja Faisal (Arab Saudi) dan Raja Hussein (Maroko), Organisasi Konferensi Islam berdiri atas keputusan penting 25 negara berpenduduk mayoritas muslim (termasuk Indonesia) pada sebuah Konferensi Tingkat Tinggi bersejarah yang diadakan di Rabat, Kerajaan Maroko, pada 25 September 1969. Setahun kemudian, pertemuan perdana Konferensi Menteri Luar Negeri Islam (Islamic Council of Foreign Minister, ICFM) diadakan di Jeddah, Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1970, dan menyepakati untuk pendirian sekretariat permanen di kota itu, yang akan dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.

Meskipun selalu menekankan peran sentral Islam dalam ideologi pendiriannya dan berdiri atas dasar umat Islam, OKI tidak dapat dianggap sebagai bentuk kelembagaan khilafah (supranational) baru pasca runtuhnya Imperium Utsmaniyah.

Justru, OKI tampil sebagai organisasi internasional yang unik, jika tidak ambigu. Pada satu sisi, OKI menekankan pada status dasar ide Islam tentang ummah dalam kerja sama negara-negara muslim. Dalam masa umat kehilangan pemimpin simbolis dan perpecahan dalam bentuk negara-bangsa, OKI lahir sebagai organisasi yang mengurusi kepentingan umat dengan ikatan emosi muslim dunia melampaui ikatan geografis, bangsa, dan bahasa.

Terlepas dari ambiguitas dan dilema konseptual yang menyelimuti OKI, Piscatori & Saikal (2017) membela bahwa OKI adalah pelembagaan Pan-Islam kontemporer paling konkrit di mana organisasi antarnegara modern yang didasarkan pada prinsip-prinsip penghormatan terhadap kedaulatan anggota. Dalam upaya mencari persatuan umat, OKI konon dibentuk sebagai konsekuensi dari visi Pan-Islam dan refleksi kelembagaan dari keinginan umat Islam untuk menyatukan dan mendirikan semacam organisasi untuk mengatasi masalah yang akan dihadapi umat pasca runtuhnya kekhalifahan (Akhtar, 2002; Al-Ahsan, 2004; Bacik, 2011). Bacik (2011) lebih lanjut menjelaskan bahwa pendirian organisasi Pan-Islam ini sebagai bentuk kegagalan visi sekulerisme dalam membela kepentingan umat Islam. Pendekatan Pan-Islami kembali diperkenalkan untuk mengelola diplomasi multilateral di kalangan umat Islam dalam politik pasca-khilafah.

Saat ini, OKI adalah organisasi antarpemerintah terbesar kedua di dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan 57 negara anggota yang tersebar di 4 kawasan, yaitu Arab, Afrika, Asia, dan Amerika. OKI juga merupakan satu- satunya organisasi antarpemerintah yang berlandaskan agama.

Berdiri atas reaksi pembakaran Masjid Al-Aqsa (1969), OKI menjadikan Al-Quds Al-Sharif dan perjuangan kemerdekaan Palestina sebagai sebab musabab (raison d’etre) sekaligus kesepakatan dasar organisasi.

Secara umum, struktur OKI dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Pada tingkat teratas terdiri dari Islamic Summit (KTT), Council of Foreign Minister (CFM), dan Sekretariat Jenderal.

Adapun pada lapisan tengah terdiri dari komite-komite khusus yang bertanggung jawab atas urusan Al-Quds, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, dan keuangan; dan

organ-organ khusus pada lapisan bawah. Sebagai semacam “PBB Muslim” terdapat 37 badan subsider, spesialisasi, dan afiliasi OKI yang menangani berbagai isu ummat, dari mulai Komite Al Quds, Islamic Solidarity Fund (ISF), Statistical, Economic, Social Research and Training Center for Islamic Countries (SESRIC), Islamic Center for the Development of Trade (ICDT), International Islamic Fiqh Academy (IIFA), Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC), Islamic Development Bank (IDB), hingga Women Development Organization (WDO).

Kiprah RI di OKI

Islam moderat (wasthiyah) telah menjadi identitas politik luar negeri (polugri) Indonesia sejak pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu di mana Islam, demokrasi, dan modernitas hidup berdampingan.

Indonesia tampil percaya diri sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia sekaligus demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Indonesia memberikan wajah alternatif Islam ketika persepsi negatif, ekstremisme, dan terorisme mencoba mencoreng kemuliaan Islam, khususnya di negara-negara Barat, pasca tragedi 9/11. Itu adalah pertama kalinya dalam sejarah bangsa, Islam moderat disebut sebagai komponen formatif dalam kamus polugri RI.

Hasil kajian Anwar (2011) menemukan bahwa hubungan antara Islam dan demokrasi di Indonesia, serta konsekuensinya bagi politik luar negeri, mendapat banyak perhatian pada masa pemerintahan SBY. Temuan tersebut diperkuat oleh Al Anshori (2016) yang menunjukan bahwa polugri RI semakin terintegrasi dan mengakomodasi unsur-unsur Islam dan tujuan ormas Islam.

Sejalan dengan itu, Baihaqie (2017) berargumen bahwa status sebagai negara mayoritas Muslim terbesar telah menjelma menjadi sumber identitas internasional Indonesia. Kedekatan negara dan Islam yang semakin meningkat menghasilkan ikatan yang bersahabat dan produktif, memungkinkan Islam untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri, baik secara dialektis melalui tekanan kelompok Muslim terhadap pemerintah atau secara damai melalui penerimaan sukarela negara atas tujuan kelompok muslim.

Namun demikian, efektivitas identitas luar negeri Islam moderat ala Indonesia ini akan terus diuji dan ditentukan oleh kepemimpinan RI pada forum internasional, khususnya pada OKI, di samping sebagai proyeksi dan konsekuensi dari situasi domestik.

Meskipun termasuk pendiri OKI sejak tahun 1969, Indonesia menolak menandatangani Piagam OKI pada tahun 1972 dengan alasan bukan negara Islam. Situasi politik domestik menjadikan Indonesia berjarak dengan isu dunia Islam. Baru pada tahun 1991, RI secara resmi menjadi anggota penuh OKI dan Presiden Suharto pertama kali hadir pada KTT OKI di Dakar, Senegal. Pada tahun 1996, RI bahkan menjadi tuan rumah CFM ke-24 OKI di Jakarta dan otomatis menjadi anggota Executive Committee OKI.

Sejak itu, RI mulai sering hadir dan menjadi tuan rumah sejumlah forum OKI, antara lain pertemuan menteri urusan perempuan (2012), International Forum on Islamic Tourism (2014), dan pertemuan menteri urusan tenaga kerja (2015).

Semasa menjabat, Presiden SBY pun tercatat sebagai kepala negara RI yang paling sering menghadiri KTT OKI. Dan puncaknya adalah penyelenggaraan KTT Luar Biasa OKI

tentang Palestina dan Al-Quds Al-Sharif yang digelar di Jakarta dan dipimpin oleh Presiden Jokowi (2016).

Meskipun sempat menjadi anggota “setengah hati”, dewasa ini Indonesia semakin menunjukan reputasi kepemimpinannya pada forum-forum OKI. Terdapat beberapa level di mana RI dipercaya dan dapat menunjukan karakter Islam moderat ala Indonesia kepada dunia.

Pertama, pada level individu. Mantan Presiden SBY, sejak 2016, dipercaya oleh Sekjen OKI untuk menjadi salah satu anggota Wise Persons Council (WPC) OKI. Sebagaimana namanya, WPC merupakan dewan para pemimpin bijak dunia yang memiliki kredibilitas untuk meningkatkan peran OKI dalam penyelesaian sengketa secara damai dan pencegahan konflik melalui diplomasi preventif, promosi dialog, dan mediasi. Anggota WPC terdiri antara lain dari mantan kepala negara RI (SBY), Turki (Abdullah Gul), dan Nigeria (Abdulsalami Abubakr), serta sejumlah menteri negara anggota OKI.

Pembentukan WPC ini berangkat dari kegelisahan bahwa menurut SESRIC (badan subsider OKI), sebanyak 61% konflik bersenjata tahun 2016 terjadi di negara anggota OKI, baik yang dimotivasi oleh ideologi maupun keinginan untuk membangun sistem politik baru, seperti Aljazair (AQIM), Nigeria (Boko Haram), Somalia (Al-Shabaab), Afghanistan dan Pakistan (Al-Qaeda dan Taliban), Yaman (AQAP dan Al-Houthis), Irak (ISIS) dan Suriah (ISIS dan Front Al-Nusra). Para anggota WPC diharapkan dapat menggunakan pengalaman dan jasa baiknya untuk melakukan diplomasi preventif dan mendukung dialog, mediasi, dan negosiasi di antara pihak-pihak yang berkonflik di dunia Muslim.

Keanggotaan WPC menguatkan pengakuan keberhasilan RI pada penanganan konflik dan deradikalisasi. Indonesia sejak

peristiwa Bom Bali (2002) telah menghadirkan suatu model deradikalisasi dengan tingkat keberhasilan yang baik, terlepas dari dukungan SDM dan pendanaan yang relatif rendah (Sheridan, 2008). Indonesia telah mengubah pola pendekatan tindakan koersif menjadi pendekatan yang lebih humanis, deradikalisasi ideologi, dan moderasi Islam.

Kedua pada level kelompok di OKI, Indonesia memiliki peran dan jejak yang kuat dalam mendorong dialog dan perdamaian dengan mendirikan Contact Group on Peace and Dialogue (CGPD) sejak 2019. Pada awalnya, CGPD ini dimaksudkan sebagai terobosan untuk membangun strategi solusi atas masalah yang dihadapi oleh negara-negara dunia Islam.

Namun pada perkembangannya, ketika terjadi serangan teror terhadap Masjid di Christchurch, Selandia Baru (2019), CGPD mendapat mandat untuk menguatkan upaya pencegahan diskriminasi agama, Islamofobia, intoleransi, dan kebencian terhadap umat Muslim. Melalui wasilah CGPD pula, RI mendorong OKI bekerja sama dengan PBB dan Uni Eropa dalam pemantauan dan pelaksanaan dialog konstruktif terhadap isu Islamofobia.

Melalui CGPD ini, prinsip Islam moderat pada kepemimpinan RI diuji. CGPD dengan cepat berkembang menjadi forum anggota OKI untuk membahas isu-isu non- tradisional yang sulit mendapatkan tempat pada struktur formal OKI dan menjadi forum pertemuan negara anggota OKI untuk mencari titik temu pada isu sensitif tanpa hambatan politis. Hasilnya, Indonesia berhasil memasukkan prinsip Islam moderat melalui dokumen keluaran CGPD yang disebut Plan of Action on Islamophobia, Religious Discrimination, Intolerance

and Hatred Towards Muslims 2020-2023 yang kini menjadi patokan seluruh dunia.

Ketiga, pada level struktur kelembaggaan, OKI memiliki badan subsider yang mengemban tugas menjadi “think-tank”

rujukan fikih (yurisprudensi Islam) bagi komunitas-komunitas muslim di dunia, yaitu International Islamic Fiqh Academy (IIFA).

Dewan IIFA mewadahi 57 ulama wakil dari negara OKI merupakan organisasi fikih terbesar di dunia yang secara periodik menyelenggarakan seminar mengenai fatwa dan pandangan terhadap isu-isu terkini, menerbitkan jurnal dan publikasi, serta proyek ilmiah seperti ensiklopedia hukum Islam.

Menariknya, IIFA tidak melulu berkutat pada kaidah fikih tradisional, melainkan berperan strategis dalam penentuan kaidah fikih kontemporer, seperti zakat untuk pengungsi (UNHCR), pemberantasan terorisme dan ekstrimisme, persaudaraan Sunni-Syiah, vaksin Covid-19, dan etika penelitian medis (transplantasi organ, kematian otak, puasa untuk orang diabetes).

Sayangnya, sudah dua dekade, RI tidak memiliki wakil pada Dewan IIFA. Pada tahun 1983, Indonesia sangat aktif di Dewan IIFA dengan wakil Dr. Ahmad Azhar Basyir (pernah menjabat Ketum PP Muhammadiyah 1990-1995), lalu dilanjutkan oleh Prof. Satria Effendi (1996-2000).

Padahal kehadiran wakil Indonesia pada Dewan IIFA sangat bernilai strategis, mengingat dapat mewakili khazanah pemikiran mazhab Syafi’i dan muslim Nusantara. Hal yang tidak kalah penting adalah keaktifan kembali RI pada Dewan IIFA bernilai strategis untuk mewarnai pemikiran negara anggota

OKI dengan Islam moderat ala Indonesia; sekaligus menjadi lokomotif pemikiran fikih perihal instrumen keagamaan kontemporer, seperti Badan Wakaf, Gerakan Wakaf Uang, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai sovereign welfare fund.

Kepemimpinan RI di OKI

Sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah natural leader dunia muslim yang memiliki kewajiban moral untuk mengembangkan OKI. Selain inisiatif existing, Indonesia direncanakan akan menggelar dua hajatan besar di OKI, yakni Donor Conference for East Jerusalem tahun 2022 dan Keketuaan RI pada OKI tahun 2025-2027 (selama 2-3 tahun).

Inisiatif penyelenggaraan Donor Conference for East Jerusalem dikemukakan RI pada CFM ke-47 OKI di Niger (2020) sebagai upaya menghimpun dana untuk mempersiapkan Yerusalem Timur sebagai ibukota masa depan Palestina.

Inisiatif ini merupakan implementasi dari Sectorial Strategic Development Plan for East Jerusalem (2018—2020) dan termaktub dalam paragraf 10 Resolusi No. 3/47-PAL hasil Council of Foreign Minister OKI di Niger, 27-28 November 2020

Yerusalem sebagai ibukota masa depan Negara Palestina terus mengalami perusakan dan Yahudisasi demografi, fisik, dan budaya oleh Israel melalui perluasan pemukiman, evakuasi paksa, penghapusan hak tinggal, pembongkaran rumah, penyitaan properti, pencabutan kewarganegaraan warga Palestina, dan praktik kekerasan lainnya. Kerusuhan Sheikh Jarrah (Mei 2021) hanya puncak gunung es dari protes kebijakan Yahudisasi Yerusalem.

Hajat besar kedua ialah pada tahun 2024/2025, Indonesia untuk pertama kalinya akan menjadi tuan rumah KTT reguler

ke-16 OKI. Ini berarti RI akan menjadi Ketua Executive Committee OKI hingga pelaksanaan KTT selanjutnya 2-3 tahun mendatang. Sebagai Ketua OKI, RI akan memimpin dunia muslim untuk merespon berbagai isu dunia dengan cepat dan solutif.

Berbeda dengan keketuaan pada organisasi/forum internasional seperti ASEAN atau G20 yang digilir sesuai urutan alfabetis, Keketuaan pada OKI diupayakan dengan diplomasi dan mewakili kelompok geografis negara anggota (Asia/Arab/

Afrika). Sejak KTT ke-11 OKI di Dakar, Senegal, pada tahun 2008, Indonesia telah menyatakan diri berkeinginan menjadi tuan rumah KTT OKI mewakili kelompok Asia. Permintaan menjadi tuan rumah ini disuarakan terus menerus oleh Indonesia pada KTT OKI ke-12 (Cairo, 2013), KTT ke-13 (Istanbul, 2016), dan KTT ke-14 (Makkah, 2019).

Roadmap RI di OKI

Selain untuk kebaikan dan solidaritas umat, periode penyelenggaraan Donor Conferece for East Jerusalem dan Keketuaan RI di OKI untuk pertama kalinya kelak dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kerangka kerja sama bilateral dengan negara-negara kunci di OKI, seperti Arab Saudi, Turki, Mesir, dan Qatar. Di samping itu, Indonesia juga berkesempatan mengembangkan untuk manfaat ekonomi (kuantitatif) berupa optimalisasi pasar non-tradisional di negara-negara anggota OKI. Lebih jauh lagi, aktivitas RI di OKI dapat menjadi additional vehicle Pemerintah Indonesia untuk penetrasi lebih dalam bagi pelaksanaan politik luar negeri di Kawasan Afrika.

Dua hajatan akbar ini memerlukan roadmap persiapan infrastruktur, modalitas, dan substansi diplomasi agar tidak

berujung sekedar rutinitas seremonial. Sebagai organisasi terbesar kedua dengan sebaran anggota di 4 kawasan, OKI merupakan grouping yang efektif untuk konsolidasi isu dunia muslim di PBB dan organ-organ lainnya, seperti isu Palestina, Afghanistan, atau pengungsi Rohingya. Melalui dua hajatan ini, karakter Islam moderat seperti inklusif, moderasi, dan eksternalisasi yang telah mewarnai pola diplomasi RI di ASEAN dapat menjadi model baru untuk dibawa ke OKI.

Perlu diambil langkah strategis untuk masalah kontribusi RI di OKI. Berdasarkan Perpres No. 30 Tahun 2019, keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional dikelola oleh instansi penjuru. Perlu dorongan dari Kementerian Luar Negeri kepada masing-masing instansi penjuru untuk reaktivasi/

memanfaatkan keanggotaannya pada badan-badan subsider OKI. Manfaat berbanding lurus dengan aktivitas setiap anggota OKI. Apabila Indonesia ingin mengunduh manfaat optimal dari badan-badan subsider OKI, maka instansi penjuru perlu meningkatkan aktivitas pada badan-badan subsider terkait.

Instansi penjuru sebagai pemain utama perlu reaktivasi/

memanfaatkan keanggotaannya pada badan-badan subsider OKI.

Khusus pada keketuaan RI di OKI, prinsip Islam moderat ala Indonesia akan mendapatkan panggung terbaik sekaligus ujian terberatnya yang belum pernah dimiliki sebelumnya.

Apakah Islam moderat ala Indonesia dapat mendorong solusi bagi permasalahan dunia? Atau hanya akan menjadi ajang pembuktian tesis Sukma (2004) bahwa isu Islam dalam polugri RI hanya bergumul pada aspek non-substansi dan kemelut dilema identitas ganda politik dalam negeri kita.(*)

Referensi

Akhtar, S. (2002). The Role of the Organization of the Islamic Conference in Political and Economic Co-Operation of the Muslim World [Bahauddin Zakaryia University Multan, Pakistan]. http://173.208.131.244:9060/xmlui/

handle/123456789/6994

Al Anshori, M. Z. (2016). The role of Islam in Indonesia’s contemporary foreign policy.

Al-Ahsan, A. (2004). Conflict among Muslim Nations: Role of the OIC in Conflict Resolution (Vol. 12).

Anwar, D. F. (2011). Foreign policy, Islam and democracy in Indonesia. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 3, 37-54.

Bacik, G. (2011). The genesis, history, and functioning of the Organization of Islamic Cooperation (OIC): A formal- institutional analysis. Journal of Muslim Minority Affairs, 31(4), 594–614. https://doi.org/10.1080/13602004.201 1.630864

Baihaqie, A. (2017). Islam and Indonesian foreign policy under the Yudhoyono presidency/ Akhmad Baihaqie (Doctoral dissertation, University of Malaya).

Piscatori, J. P., & Saikal, A. (2017). Islam beyond borders : the umma in world politics. Cambridge University Press.

Sheridan, G. (2008). “Jakarta’s terrorist rehab. The Australian, May 31

Politik Keamanan (Sekuritisasi)

Dalam dokumen Indonesia dalam Pusaran Disrupsi Global (Halaman 61-73)