• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR „ILMI, HAKIKAT ALAM

A. Tafsir ‘Ilmi

3. Pandangan Ulama terhadap Tafsir „Ilmi

23 Terlepas dari pro kontra hadirnya penafsiran ilmiah ini, memiliki potensi prospek yang sangat besar bagi kemajuan umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Penafsiran ini dapat menunjukkan keajaiban Al-Qur‟a>n, memajukan pengetahuan yang berasal Al-Qur‟a>n, dan digunakan untuk menyebarkan Islam di kalangan non-Muslim selain untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna- makna yang terkandung dalam Al-Qur‟a>n. sebuah. Pola penafsiran ini dapat dikembangkan lebih lanjut di masa yang akan datang. Tampaknya beralasan bahwa penafsiran akan lebih akurat bagi para ilmuwan yang memiliki signifikansi ilmiah terhadap ayat yang ditafsirkan dari pada ilmuan yang tidak memiliki relevansi keilmuan dengan ayat yang akan ditafsirkan.20

al-Qur‟a>n, ia membahas bagaimana ilmu pengetahuan yang lazim dalam Al-Qur‟a>n pada fasal kelima termasuk ilmu kedokteran, astronomi, ilmu alam, anatomi manusia, dan bahkan sihir yang berasal dari Al-Qur‟a>n. Dia juga menghubungkan banyak contoh Al- Qur‟a>n sebagai tambahan dengan teori-teori lain.

b. Fakhru>ddin al-Ra>zi (w. 606 H), seorang ahli tafsir, menggunakan pembenaran bahwa bumi itu diam untuk mencoba mendamaikan isu- isu ilmiah dengan Al-Qur‟a>n. Pada QS. al-Baqa>ra>h: 22; َ

ل َػ َج ْي ِذه لا ا ًشا َس ِف َض ْرَ

اْ لا مكَ

ل ((Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu), dalam uraian ayat ini ia mencoba menafsirkan dengan mengambil pandangan para astronom kuno dari barat, seperti Ptolemy, serta para ahli dari India, Cina, Mesir kuno, Babilonia, dan Roma. Dalam ayat QS. al- Baqa>ra>h [2]: 164.

c. Alla>ma>h al-Ma>jlisi (w. 1111 H), seorang ulama yang mengkritik kitab “Bih{a>r al-Anwa>r” menegaskan bahwa ayat tersebut tidak mengandung frasa " al-Sama>wat al-Sab‟u>” (dalam surah al- Baqa>rah: 29), yang didukung oleh teori astronomi tentang " al-aflak al-tis‟a>h” (planet Sembilan). Karena yang dimaksud dengan "aflak"

dalam bentuk jamak di sini menurut untuk Al-Qur‟a>n terjemahan bahasa Arab adalah Kursi atau arsy dan bukan langit.

Para ulama di atas yang mendukung penafsiran 'ilmi' tersebut telah berusaha untuk mengekstrapolasi informasi dari Al-Qur‟a>n dan tetap mempertahankan bahwa dalil-dalil Al-Qur‟a>n mencakup semua pengetahuan yang dapat dicapai dengan memikirkan bagaimana ayat- ayat-Nya berhubungan dengan berbagai bidang. Atau mereka bisa menggunakan strategi sebaliknya, menunjukkan bahwa Al-Qur‟a>n

25 kompatibel dengan kemajuan ilmu pengetahuan dengan menghubungkan hipotesis ilmiah dengan ayat-ayat Al-Qur‟a>n.

Namun masih banyak para ulama yang mempermasalahkan keabsahan penafsiran ilmiah ini, seperti:

1) Abu> Isha>q al-Sya>tibi> (w. 790 H), seorang ahli fiqh Andalusia bermadzhab Maliki, berpandangan bahwa bangsa Arab sudah mengenal berbagai ilmu sebelum Al-Qur‟a>n diturunkan, antara lain astronomi, meteorologi, geofisika, kedokteran, retorika, meramal, dan perdukunan. Sementara itu, Islam telah memisahkan ilmu ke dalam dua kategori: ilmu yang hakiki dan ilmu yang palsu, serta telah dijelaskan kelebihan dan resiko dari masing-masing kategori tersebut. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan Al-Qur‟a>n, dan tujuan diturunkan Al-Qur‟a>n untuk menguraikan hukum-hukum dan segala yang berkenan dengan akhirat.

Dengan itu al-Sya>tibi membantah penafsiran orang-orang yang mengakui keberadaan “tafsir „ilmi” yang berdalilkan pada ayat 89 surat al-Na>hl: “tibya>nan likulli syai>‟ “ (pengurai dari segala sesuatu) dan ayat 38 surat al-An‟a>m: “ma> farra>t{an fil kita>bi> min syai> “ (tidak ada satupun yang kami luputkan di dalam kitab” dengan pendapatnya, bahwa kata kullu> syai> pada ayat di atas tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan tetapi berkaitan dengan taklif (beban syariat) dari Allah dan ibadah, sedangkan maksud kata al-kita>b pada ayat 38 surat al-An‟a>m di atas adalah bukan Al-Qur‟a>n akan tetapi lauh al-Mah{fu>zh. Maka menurutnya ayat-ayat di atas yang digunakan untuk memperkuat alasan keberadaan tafsir „ilmi tidak tepat.

2) Mah{mu>d Sya>ltu>t (w. 1964 M), seorang syekh al-Azha>r yang beranggapan bahwa, sesungguhnya pandangan tentang tafsir „ilmi

pada ayat-ayat Al-Qur‟a>n ini adalah salah besar. Al-Qur‟a>n diturunkan untuk berbicara kepada manusia bukan untuk menguatkan teori-teori keilmuan, karena hal demikian dapat mengajak pelakunya tenggelam kepada penakwilan Al-Qur‟a>n tanpa dilandasi kebenaran dan menafikan kemukjizatan Al-Qur‟a>n itu sendiri. Selain itu menjadikan Al-Qur‟a>n sibuk memaparkan ilmu pengetahuan yang saat ini boleh jadi benar, akan tetapi belum tentu dikemudian hari. Karena ilmu pengetahuan itu selalu berkembang dan tidak tetap.21

3) Na>shr H}a>mid Abu> Za>yd (w. 2010 M), seorang tokoh kontroversial yang berasal dari Mesir. menunjukkan kelemahan metodologis dalam penafsiran ilmiah, yaitu mengesampingkan konteks historis Al-Qur‟a>n dari latar sejarah di mana ayat itu diturunkan tepatnya faktor terpenting yang mempengaruhi keakuratan penafsiran Al- Qur‟a>n.22

Di tengah perdebatan keabsahan dan tidak tafsir „ilmi membuat para ulama Islam agar lebih selektif melihat jenis-jenis penafsiran yang abash.

Disatu sisi Al-Qur‟a>n telah memberikan jawaban tepat terhadap permasalahan yang timbul dari perkembangan ilmu pengetahuan, dan keberadaan tafsir „ilmi memberi kontribusi baik bagi pemahaman dan peningkatan keimanan terhadap Al-Qur‟a>n sebagai pedoman hidp manusia. disisi lain penafsiran denga corak „ilmi ini telah membawa mufassir terperangkap kepada penafsiran bi> al-Ra>‟yi> (pendapat murni) yang dapat menjadikan firman Allah itu kehilangan nilai kewahyuannya.

21 Udi Yuliarto, “Al-Tafsi>r al-„Ilmi antara Pengakuan dan Penolakan,” Khatulistiwa 1, no. 1, (2011): h. 38-39.

22 Binti Nasukah, “Prospek Corak Penafsiran Ilmiah al-Tafsir al-„ilmiy dan Tafsir bil „Ilmi dalam Mengintepretasi dan Menggali Ayat-ayat Ilmiah dalamAl-Qur‟a>n,” h. 32-33.

27 Berkenaan dengan hal itu para mufassir kontemporer dapat memaklumi keberadaan tafsir „ilmi. Mereka yang lebih moderat dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan yang dikolerasikan dengan teks-teks Al-Qur‟a>n. Di antaranya ialah:

a) Muh{ammad Must{afa> al-Mara>ghi> (w. 1945 M), salah seorang syekh al-Azha>r. Ia berkomentar dalam pengantar buku al-Isla>m wa al- T}hi>bb al-H}adi>s karya Abd al-„A>zi>z Ismail, mengungkapkan bahwa Al-Qur‟a>n bukanlah kitab suci yang mencakup segala ilmu pengetahuan secara terperinci dengan metode pengajarannya yang terkenal, akan tetapi sesungguhnya Al-Qur‟a>n itu meliputi kaidah dasar umum yang sangat urgen untuk diketahui oleh setiap manusia agar dapat mencapai kesempurnaan jiwa dan raga. Menurutnya Al- Qur‟a>n telah membuka pintu yang luas bagi ahlinya untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan agar dapat diuraikan kepada semua orang secara terperinci, sesuai dengan zaman yang sang mufassir itu hidup. Akan tetapi ia mengingatkan tidak dibolehkan bagi seorang mufassir menarik ayat-ayat Al-Qur‟a>n kemudian menggunakannya untuk menguraikan kebenaran ilmu pengetahuan, atau sebaliknya menarik ilmu pengetahuan untuk menafsirkan ayat- ayat Al-Qur‟a>n. Akan tetapi jika terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan yang sudah tetao dan pasti dengan zahir ayat-ayat Al- Qur‟a>n makan tidak mengapa menafsirkan Al-Qur‟a>n dengan bantuan ilmu pengetahuan ini.

b) Ah{mad Uma>r Abu> Ha>jar penulis buku al-Tafsi>r al-„Ilmi>y fi> al Mi>za>n. Ia mengungkapkan alasannya setelah memperhatikan perbedaan pendapat para ulama terhadap tafsir „ilmi, dan menurutnya mereka yang beranggapan bahwa Al-Qur‟a>n jauh dari pada tafsir „ilmi telah melakukan suatu kebenaran jika tafsir yang

dimaksud berlandaskan pada ilmu pengetahuan yang bersifat perkiraan dan tidak pasti atau ilmu itu hanya berlandaskan pendapat murni tanpa bukti otentik penelitian ilmiah. Akan tetapi jika berlandaskan ilmu yang sudah pasti kebenarannya maka tidak ada halangan untuk mengambil manfaat kebenaram ilmu ini guna menjelaskan Al-Qur‟a>n. Dia juga menambahkan bahwa Al-Qur‟a>n merupakan kalam Allah sedangkan alam adalah bagian dari ciptaan- Nya, maka pasti ayat-ayat Al-Qur‟a>n tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan.

c) Aya>tulla>h Maka>rem al-Syira>zi> salah seorang mufassir Iran bermadzhab syiah imamiyah. Ia termasuk ulama yang moderat dalam menanggapi keberadaan tafsir „ilmi ini. Dalam bukunya tafsir al-Amtsa>k ia menggunakan sebagian tafsir „ilmi untuk mengungkapkan kemukjizatan Al-Qur‟a>n dari sisi keilmuannya. Ia beranggapan bahwa ilmu pengetahuan saat ini telah mengambil posisinya dalam menafsirkan Al-Qur‟a>n, dan yang dimaksud ilmu disini adalah ilmu yang sudah tetap. Adapun ilmu pengetahuan seperti ilmu biologi dan astronomi yang mengkaji alam dan pergerakan bumi menurutnya adalah jenis dapat diterima untuk menguraikan Al-Qur‟a>n.23

B. Hakikat Alam Semesta