BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR „ILMI, HAKIKAT ALAM
A. Tafsir ‘Ilmi
2. Sejarah Perkembangan Tafsir „Ilmi
17 pengetahuan modern yang ada pada saat ini. Sehingga penafsiran ini tidak dianggap sebagai sebuah “kelatahan” yang hanya berusaha
“menjustifikasi” setiap temuan-temuan sains saat ini sebagai sesuatu yang sudah terdapat dalam Al-Qur‟a>n.10
munculnya penemuan-penemuan ilmiah modern pada abad ke-20.
Keempat, munculnya pengakuan bahwa mempelajari Al-Qur‟a>n dengan pendekatan sains modern bisa menjadi sebuah “ilmu kalam baru”.11
Corak ini muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur‟a>n yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur‟a>n mendorong umat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-belenggu berfikir dan mendorongnya untuk mengamati ayat kauniyyah, disamping ayat-ayat qur‟a>niyya>h. Pada masa khalifah Harun ar-Rasyi>d dan Makmun (w. 218 H) telah diterjemahkan berbagai karya ilmiah dari luar Islam terkait dengan kedokteran, matematika, perbintangan (nuju>m), filsafat dan lain sebagainya. Kemudian puncak semangat keilmuan seperti ini terjadi pada abad ketiga dan keempat hijriah dengan ditandai munculnya karya besar seperti al-Qa>nu>n (dibidang kedokteran) dan as-Syifa> (dibidang filsafat) karya Ibn Sina>.12
Seorang ilmuan modern Einstein mengungkapkan bahwa, “tiada ketenangan dan keindahan yang dapat dirasakan hati melebihi saat-saat ketika memperhatikan keindahan rahasia alam raya. Meskipun rahasia dirahasiakan, itu tetap ada. Itu bahkan lebih indah dari yang pernah kita bayangkan, melampaui semua batas. Inti dari ketaatan semacam ini adalah mempelajari rahasia ini dan mengalami keindahan ini. Dari kutipan ini tampak bahwa Einstein bermaksud menunjukkan bahwa pengetahuan sejati adalah apa yang dapat membawa pemenuhan jiwa
11 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟a>n, Badan Litbang Diklat, Kementrian Agama RI, Waktu dalam Perspektif Al-Qur‟a>n dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur‟a>n, 2013). H. 22-23.
https://pustakalajnah.kemenag.go.id/public/koleksi/safelik/70757374616b616c6a6e61682d31 3534 (20 Juli 2022).
12 Kerwanto, Metode Tafsir Esoekletik, (Bandung: al-Mizan, 2018), h. 136-137.
19 dan kebahagiaan dengan membiarkan seseorang bertemu dan mengalami kehadiran Sang Pencipta melalui keberadaan alam semesta. Sejarah sains dan agama mengungkapkan kesejajaran tertentu di antara keduanya, termasuk sumber inspirasi dan metode umum untuk mencapai tujuan ini.
Ada kecenderungan untuk menafsirkan Al-Qur‟a>n menurut teori- teori ilmiah atau yang kemudian dikenal sebagai "interpretasi ilmiah"
ketika gelombang Hellenisme memasuki dunia Islam melalui penerjemahan buku-buku ilmiah pada masa dinasti Abbasiyah, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. pemerintahan al-Makmu>n (w.853 M).
Mafa>tihul ghai>b karya ar-Ra>zi>, dapat dibilang sebagai tafsir yang pertama memuat secara panjang lebar penafsiran ilmiah terhadap ayat- ayat Al-Qur‟a>n. Tafsir „ilmi adalah sebuah upaya memahami ayat-ayat Al-Qur‟a>n yang mengandung isyarat ilmiah dari perspektif ilmu pengetahuan modern.13
Menurut H}usain az\-Z\aha>bi “interpretasi ilmiah mulai berkembang dari budaya kerja para akademisi mutaqaddimi>n, seperti yang dilakukan al-Gha>zali> dalam kitab Ih{ya>’ Ulum al-Di>n, yang menjelaskan bahwa ilmu adalah manifestasi dari aktivitas dan dan kualitas Tuhan, adalah jenis pengetahuan.14 Al-Qur‟a>n yang penuh dengan ilmu digunakan untuk menggambarkan sifat, af'al (perbuatan), dan sifat-sifat Allah.
Serupa dengan ini, al-Suyu>t{i> mengeksplorasi banyak bagian dari Al- Qur‟a>n, hadits, dan atsar dalam buku al-Itqa>n yang menunjukkan bagaimana Al-Qur‟a>n mencakup berbagai bidang. Kemudian, perkembangan "interpretasi ilmiah" berkembang pesat, menjadi subjek yang disukai di kalangan akademisi. Kitab Tafsir Kasyf al-Asrar al-
13 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟a>n, Badan Litbang Diklat, Kementrian Agama RI, Waktu dalam Perspektif Al-Qur‟a>n dan Sains, h. 20-22.
14 Al-Zahabi, Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, juz 2 (Mesir:Da>r al-Kutub al-Misriyyah, 1297 H), h. 475.
Nura>niyya>h al-Qur‟a>niyya>h yang memuat ayat-ayat Kauniyah, memiliki banyak uraian tentang benda-benda langit, bumi, makhluk, tumbuhan, permata, dan logam. Muh{ammad ibn Ah{mad al-Iskandari> seorang dokter yang sangat terampil, adalah penulis karya ini. Ia belajar pada abad 13 H.
Kitab Tafsir ini terbagi menjadi tiga jilid besar, awal diterbitkannya di Mesir pada tahun 1297 H oleh penerbit Da>r al-Kutub al-Misriyya>h.
Dalam sebuah kitab yang berjudul T}aba>i>‟ al-Istibda>d wa Masa>ri> al- Isti>’ba>d karya „Abd al-Rahma>n al-Kawa>kibi>, mengungkapkan bahwa Al- Qur‟a>n adalah sumber dari semua pengetahuan dan digambarkan sebagai
“Sya>ms al-„Ulum wa Kanz al-H}ika>m (Matahari Pengetahuan dan Asosiasi Kebijaksanaan)" Sesuai dengan musim, Ia mengklaim, segala sesuatu yang ada di alam melalui proses peremajaan setiap hari.
Oleh karena itu, Islam harus membutuhkan peneliti Al-Qur‟a>n yang dapat menunjukkan bahwa klaim dan tanda-tanda dalam Al-Qur‟a>n itu nyata meskipun telah ditulis selama ribuan tahun jika umat Islam tidak ingin tertinggal dari pemikiran ilmuwan barat.15
Seiring dengan perkembangannya, kitab tafsir yang bercorak „ilmi dengan susunan berurutan, mulai dari Surat al-Fa>tiha>h hingga Surat an- Na>s, kini telah tersedia. Buku-buku ini disusun menurut tema pilihan komentator. Seperti dalam buku tafsir al-Jawa>hir karya T}ant{awi Jauhari, kitab yang terdiri dari 25 jilid yang awal diterbitkan di Mesir antara tahun 1341 dan 1351 H. Buku ini ditulis secara Tahlili, dan setiap baris berisi penjelasan informasi yang mendalam. Selain itu, sejak 2010 hingga 2016, Kementerian Agama Republik Indonesia menerbitkan sejumlah tafsir berupa penelitian ilmiah tentang topik tertentu yang dirangkai oleh pakar dari LIPI dan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
15 Khanifatur Rahma, “Al-Bahr fi> Al-Qur‟a>n Telaah Tafsir „Ilmi Kementerian Agama RI”, h. 17-18.
21 Qur‟a>n ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Semua pihak terkait memenuhi tanggung jawabnya masing-masing guna menghasilkan interpretasi yang memadukan kajian ilmu-ilmu keislaman dan ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan seimbang.16
Berdasarkan asumsi yang berlandaskan pada konsep t{abat al-na>sh wa tagha>yyur al muhta>wa> (teks Al-Qur‟a>n itu tetap, sedangkan pemahaman mengenai kandungannya bersifat dinamis). Menurut Sya>hru>r dengan melakukan takwil, seseorang akan dapat membuktikan kemukjizatan Al-Qur‟a>n tidak hanya dari aspek linguistic atau keilmiahannya. Hal tersebut karena Al-Qur‟a>n tidak hanya untuk orang Arab, melainkan untuk seluruh manusia. perlu digaris bawahi, meskipun ayat Al-Qur‟a>n bisa ditakwil oleh manusia, namun yang dapat menakwilkan secara sempurna hanyalah Allah Swt. sebab pengetahuan Allah bersifat sempurna dan mutlak, dan pengetahuan manusia bersifat nisbi. Dengan konsekuensinya, takwil harus bersifat sairu>ra>h (on going process) berkembang terus-menerus seiring kemajuan dan perkembangan teori ilmu pengetahuan.17
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟a>n melalui kacamata sains dan teknologi oleh para sarjana Muslim kemudian memunculkan semacam penafsiran ilmiah tertentu. Penafsiran ilmiah ini dilakukan dengan tujuan semata-mata untuk mencapai kompromi antara Islam dan konsep-konsep asing yang muncul pada saat itu, serta sains yang ditemukan oleh umat Islam sendiri. Karena kurangnya kemajuan umat Islam dalam ilmu
16 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟a>n, Samudra dalam Perspektif Al-Qur‟a>n dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟a>n, 2013), h. 23.
https://pustakalajnah.kemenag.go.id/detail/38 (11 Agustus 2022).
17 Kusroni, “Menelisik Sejarah dan Keberagaman Corak Penafsiran Al-Qur‟a>n,”
Jurnal el-Furqania 5, no. 2, (2017): h. 138.
pengetahuan dan teknologi, kecenderungan ini menyebar pada akhir abad ke-19.18
Pada abad kedelapan belas di Eropa, kemajuan ilmu pengetahuan bertabrakan dengan agama yang ada. Bertentangan dengan kepercayaan gereja bahwa bumi itu "datar" dan bahwa jika seseorang pergi sejauh mata memandang, mereka akan jatuh ke dalam jurang yang dalam, teori ilmiah menyatakan bahwa dunia itu "bulat." Peneliti Muslim saat ini berkonsentrasi untuk mempertahankan eksistensi Islam. Mereka berusaha untuk belajar lebih banyak tentang Al-Qur‟a>n, dan sebagai hasilnya, buku-buku tafsir Al-Qur‟a>n dengan kerangka "ilmiah" mulai bermunculan. Para cendekiawan Muslim memiliki perbedaan pandangan tentang adanya penafsiran 'ilmi ini karena kriteria yang belum jelas.
Sedangkan bukti diperlukan untuk mendukung klaim bahwa Al-Qur‟a>n adalah kitab mukjizat yang memasukkan ilmu pengetahuan. Hanya pada abad kedua puluh, di bawah kondisi umum dan unik yang disebutkan sebelumnya, kehadiran interpretasi ilmiah ini diakui.19
Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memicu inisiatif untuk menghubungkan ilmu Al-Qur‟a>n. Baik Muslim sendiri maupun sejumlah besar akademisi Barat telah melakukan ini. Tak seorang pun dibebaskan dari tantangan penafsiran Al-Qur‟a>n. Banyak ulama kemudian mencoba untuk menerapkan ayat-ayat Al-Qur‟a>n melalui penelitian langsung atau dengan hanya menggabungkan temuan penelitian ilmiah dengan hipotesis dari ilmu-ilmu yang telah dikembangkan oleh ilmuwan lain, sehingga muncul corak ilmiah.
18 Binti Nasukah, “Prospek Corak Penafsiran Ilmiah al-Tafsir al-„ilmiy dan Tafsir bil „Ilmi dalam Mengintepretasi dan Menggali Ayat-ayat Ilmiah dalam Al-Qur‟a>n,” Ibnu Sina Kepanjen Malang, h. 20.
19 Udi Yuliarto, “Al-Tafsir al-„Ilmi Antara Pengakuan dan Penolakan,” h. 42.
23 Terlepas dari pro kontra hadirnya penafsiran ilmiah ini, memiliki potensi prospek yang sangat besar bagi kemajuan umat Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Penafsiran ini dapat menunjukkan keajaiban Al-Qur‟a>n, memajukan pengetahuan yang berasal Al-Qur‟a>n, dan digunakan untuk menyebarkan Islam di kalangan non-Muslim selain untuk meningkatkan pemahaman terhadap makna- makna yang terkandung dalam Al-Qur‟a>n. sebuah. Pola penafsiran ini dapat dikembangkan lebih lanjut di masa yang akan datang. Tampaknya beralasan bahwa penafsiran akan lebih akurat bagi para ilmuwan yang memiliki signifikansi ilmiah terhadap ayat yang ditafsirkan dari pada ilmuan yang tidak memiliki relevansi keilmuan dengan ayat yang akan ditafsirkan.20