• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Dimensi Etika Publik dalam Merumuskan Kebijakan Berbasis Gender pada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat

Wewen Kusumi Rahayu

Abstrak

Permasalahan gender masih menjadi perhatian khusus pemerintah. Ditambah dengan dimasukkannya indikator Kesetaraan Gender dalam konsep Suistanable Development Goals (SDGs) semenjak tahun 2016. Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender menjadi salah satu alat ukur kesetaraan gender di suatu wilayah. Semakin tinggi angka Indeks Pembangunan dan Pemberdayaan Gender berarti semakin tipis angka kesenjangan gender pada wilayah tersebut. Dari tahun 2010-2016, Indeks Pembangunan Gender di Provinsi Sumatera Barat berada di atas Indeks Nasional. Hal ini berarti kesetaraan gender di Sumatera Barat sudah mulai terwujud. Aspek yang dinilai dalam menentukan Indeks Pembangunan Gender adalah aspek pendidikan, kesehatan dan standar hidup yang layak. Namun dari data yang diperoleh menggambarkan masih terjadi kesenjangan gender khususnya pada bidang kesehatan. Kesempatan mengakses layanan kesehatan masih dirasa berbeda antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan Kesenjangan Gender di bidang kesehatan tentunya harus diminimalisir dengan kebijakan publik bidang kesehatan yang responsif gender.

Dalam proses perumusan kebijakan publik tersebut dituntut adanya penerapan Dimensi Etika Publik. Dimensi Etika publik yang dimaksud terdiri dari kompetensi teknis, kompetensi leadership dan kompetensi etia. Pelaksanaan Dimensi Etika Publik ini ditujukan dapat memetakan permasalahan yang dihadapi dan alternatif kebijakan yang mungkin digunakan untuk penyelesaian permasalahannya.

Dengan menganalisis penerapan dimensi etika publik dalam proses perumusan kebijakan berbasis gender bidang kesehatan di Provinsi Sumatera Barat, diharapkan memberikan gambaran utuh kondisi kesetaraan gender di Provinsi Sumatera Barat.

Kata Kunci: Dimensi Etika Publik, Kebijakan Berbasis Gender, Formulasi 1.PENDAHULUAN

Permasalahan kesetaraan gender bukanlah hal yang baru. Berawal dari menjadi salah satu indikator dalam Millenium Development Goal’s, hingga Suistanable Development Goal’s. Tentunya kesetaraan gender meliputi semua aspek kehidupan.

Kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki di dalam mengangkses hasil pembangunan dan menikmati manfaatnya merupakan tujuan dari pembangunan yang berbasis gender. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya diawali dari ketersediaan kebijakan publik yang berbasis gender.

Kebijakan publik yang berbasis gender

menjadi syarat awal dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam setiap aspek kehidupan. Proses kebijakan publik yang berawal dari tahap formulasi tentunya menjadi penentu di dalam memenuhi tuntutan ketersediaan kebijakan yang berbasis gender. Tahap formulasi atau dikenal juga dengan tahap perumusan kebijakan sama pentingya dengan tahap implementasi kebijakan. Kesalahan dan kekeliruan pada tahap formulasi tentunya akan melahirkan sebuah kebijakan yang tidak tepat, sehingga bukannya menyelesaikan permasalahan yang ada, akan tetapi bukannya tidak mungkin akan memunculkan masalah baru akibat dari

pelaksanaan kebijakan yang dirumuskan dengan tidak tepat.

Menurut Amitai Etzioni (1968), melalui proses perumusan kebijakanlah komitmen- komitmen masyrakat yang acapkali masih kabur dan abstrak, sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik, menjadi tindakan-tindakan dan tujuan yang konkrit ( Solichin, 2012; 72). Yang dimaksud dengan komitmen spesifik dan

tindakan yang konkrit adalah berupa program kerja dan kegiatan dalam upaya mewujudkan kebijakan publik yang telah dirumuskan sebelumnya. Perumusan Kebijakan Publik yang Berbasis Gender merupakan upaya mengidentifikasi pemasalahan, memilih alternatif dan menyusun kebijakan publik dengan memperhatikan dan mengutamakan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki di dalam mengakses dan menikmati hasil-hasil pembangunan, sehingga melahirkan sebuah kebijakan publik yang tidak hanya menguntungkan salah satu pihak.

Dalam tataran praktik, Permendagri No. 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang

Pedoman Umum Pelaksanaan

Pengarusutamaan Gender di Daerah, Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan responsif gender dalam RPJMD, Renstra SKPD dan Renja SKPD. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut jelas mewajibkan semua SKPD mulai dari pusat hingga daerah untuk bisa merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang berbasis gender secara baik. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan pembangunan manusia dengan memfokuskan kesetaraan gender pada

setiap lini kehidupan masyarakat secara komprehensif dari pusat hingga daerah.

Upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam mewujudkan pembangunan manusia yang mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender dapat dilihat dari adanya Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 25 Tahun 2015

tentang Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender. Pergub ini bertujuan sebagai pedoman bagi aktor pembangunan pelaksanaan program

Pengarusutamaan Gender, sehingga setiap SKPD dapat menyusun renstra sesuai dengan bidang kerjanya. Kondisi pembangunan yang berbasis gender di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender. Di dalam Panduan Pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, dinyatakan bahwa Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender merupakan indikator untuk mengukur kesenjangan gender (2000;1). Tingginya Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan dimaknai sebagai rendahnya angka kesenjangan gender yang terjadi. Indeks Pembangunan Gender dapat dilihat dari bidang pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang layak. Sedangkan untuk mengukur Indeks Pemberdayaan Gender dapat dilihat dari aspek keatifan perempuan dalam bidang politik, ekonomi dan pengambilan keputusan.

Kondisi Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 1;

Tabel 1

Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender

Provinsi Sumatera Barat dan Nasional Tahun 2010-2016

Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Sumatera

Barat 67,74 68,5 69,55 70,11 70,57 94,05 93,5 60,32 63,04 64,62 65,22 65,4 61,86 62,4 Nasional 66,77 67,2 67,8 68,52 69,57 90,34 82,4 63,52 68,15 69,14 70,07 70,46 70,86 71,55

Sumber: Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2017

Dari tabel 1 tersebut dapat kita ketahui bahwa Indeks Pemberdayaan Gender di Provinsi Sumatera Barat masih mengalami penurunan dari tahun 2010-2016, dan bahkan masih berada di bawah Indeks Nasional. Ini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan pada bidang politik, ekonomi dan pengambilan keputusan di Provinsi Sumatera Barat masih rendah. Hal sebaliknya ditunjukkan oleh Indeks Pembangunan Gender di Provinsi Sumatera Barat yang mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2016.

Bahkan peningkatan yang signifkan terlihat dari tahun 2014 ke 2015. Jika dibandingkan dengan Indeks Pembangunan Gender Nasional, maka terlihat Indeks Pembangunan Gender di Provinsi Sumatera Barat lebih tinggi daripada Nasional. Hal ini berarti, kondisi kesetaraan gender di Provinsi Sumatera Barat pada bidang pendidikan, kesehatan, dan standar hidup yang layak sudah baik.

Kondisi ini menjadi salah satu keberhasilan bagi Provinsi Sumatera Barat.

Terbukti dengan memperoleh penghargaan Anugrah Parahita Ekapraya (APE) pada tahun 2012-2015. Penghargaan APE merupakan pengakuan dan dukungan dari Pemerintah Pusat kepada daerah yang telah berhasil mewujudkan pembangunan yang berbasis dan respon terhadap perempuan dan perlindungan anak, dengan menjadikan Indeks Pembangunan Gender sebagai salah satu indikator penilaian.

Kenyataan di lapangan, kondisi layanan pembangunan di bidang kesehatan masih belum responsif gender. Banyak hal yang menguatkannya. Antara lain, angka kematian perempuan akibat penyakit HIV/AIDS pada tahun 2016 mencapai 25 orang sedangkan laki-laki sebanyak 5 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar, 2017). Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat menunjukkan sepanjang tahun 2016 dari 60 akseptor KB, hanya 8 orang laki-laki dan sisanya perempuan.

Masyarakat secara umum juga meyampaikan bahwa seringnya kegiatan kesehatan seperti penyuluhan KB hanya difokuskan kepada perempuan saja, sehingga laki-laki bersifat acuh dan hanya menuntut perempuan saja yang menjadi akseptor KB. Bahkan menurut catatan Dinas Kesehatan, ibu hamil di Provinsi Sumatera Barat masih enggan memeriksakan kandungan secara rutin, ataupun mengikuti sosialisasi kesehatan seputar gizi dan tumbuh kembang anak yang diadakan oleh tenaga kesehatan ataupun LSM pemerhati kesehatan. Secara kelembagaan, menurut pihak Dinas Kesehatan masih belum tersedia anggaran khusus untuk pelaksanaan kegiatan yang berbasis gender, sehingga masih diambilkan dari anggaran rutin yang bersumber dari APBD.

Kondisi tersebut, tentu bertolak belakang dengan Indeks Pembangunan Gender yang memperlihatkan bahwa kondisi pembangunan di salah satu bidang kesehatan sudah tinggi dan cukup baik.

Jika diruntun, maka penyebab dari kondisi tersebut adalah progam dan kegaiatan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat masih bersifat umum, belum berbasis gender. Hal ini dikarenakan dalam merumuskan kebijakan hinggan ke program kerja dan kegiatan tidak memasukkan nilai-nilai kesetaraan gender.

Kembali ke konsep perumusan kebijakan bahwa dalam menghasilkan kebijakan yang tepat dan sesuai dengan tuntutan untuk menjawab permasalahan yang sedang dihadapi, maka perlu memasukkan nilai-nilai etis. Nilai etis atau Dimensi Etika Publik merupakan nilai profesional yang harus dimiliki oleh aktor perumus kebijakan publik sehingga menghasilkan sebuah kebijakan publik yang berpihak pada penyelesaian permasalahan, yang terdiri dari dimensi teknis, dimensi leadership dan dimensi etis (Haryatmoko, 2011;20).

Menurut Haryatmoko(2011;20); (1) Kompetensi Teknis merupakam

kompetensi yang menuntut keahlian secara profesional di dalam merumuskan sebuah kebijakan ataupun program kerja. Sifat profesionalisme dapat dilihat dari dasar pengambilan kebijakan apakah berdasarkan pada faktor kepentingan baik secara pribadi ataupun kelompok, atau berdasar kepada kepentingan umum. Pada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat dirasa pengaruh kepentingan kelompok masih besar. Hal ini terlihat dari program kerja pada tahun 2016 masih mengacu kepada kegiatan tahun sebelumnya, kurang memperhatikan permasalahan yang sedang berkembang. Seperti kebijakan masih mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit berbahaya seperti DBD.

Seharusnya dalam proses perumusan kebijakan dengan menggunakan dimensi etika teknis, maka kebijakan seharusnya lebih aplikasi berupa mengubah pola hidup masyarakat dan menambah wawasan masyarakat, baik perempuan maupun laki- laki. Kompetensi teknis juga harus didukung dengan kemampuan manajerial program dan sumber daya organisasi.

Tidak hanya tataran konsep saja. Sehingga program pencegahan penyakit menular dan berbahaya tidak cukup hanya dengan memberikan vaksin saja. Akan tetapi aktor perumus kebijakan harus mampu merumuskan apa alternatif yang mungkin dilaksanakan guna mendorong sumber daya manusia (staf) dan dana yang ada.

Sehingga kegiatan pelaksanaan kebijakan tidak hanya dilakukan di pusat layanan kesehatan, akan tetapi memungkinkan dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat secara langsung.

(2). Kompetensi Leadership merupakan ketrampilan manajemen organisasi baik secara soft skill maupun hard skill yang meliputi kemampuan dalam berkomunikasi dan bernegosiasi. Dalam merumuskan kebijakan, komunikasi tentunya harus terjaga dengan baik sesama pihak internal ataupun dengan masyarakat secara luas.

Hal ini ditujukan untuk dapat mengetahui kondisi permasalahan kesehatan

masyarakat. Terkait dengan kebijakan berbasis gender, maka komunikasi yang harus dibangun adalah komunikasi dengan masyarakat secara luas. Sehingga mendapatkan informasi, gambaran dan data secara terpilah (perempuan dan laki- laki) mengenai kondisi kehidupan dan kesehatan masyarakat secara kuantitas dan kualitas. Pada Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, masih memfokuskan kepada ketersediaan informasi dan data terpilah secara kuantitaif. Sehingga masih belum bisa menyentuh akar permasalahan kesetaraan gender bidang kesehatan.

Seperti alasan mengapa lebih banyak perempuan yang menjadi akseptor KB dibandingkan laki-laki, mengapa banyak ibu hamil ataupun ibu menyusui yang memeriksakan kesehatannya tanpa didampingi suami, atau mengenai alasan mengapa perempuan lebih rentan terpapar penyakit menular dan berbahaya dibandingkan dengan laki-laki. Tentunya dengan kemampuan berkomunikasi dan pendekatan yang baik kepada masyarakat, akan mampu memberikan gambaran dan jawaban yang konkrit. Kondisi konkrit dan faktual di lapangan yang didapatkan dengan kemampuan berkomunikasi dan negosiasi yang baik, akan menjadi modal dalam proses perumusan kebijakan yang berbasis gender. Sehingga kebijakan dan program kerja tidak hanya bersifat teknis akan tetapi lebih menyentuh kepada permasalahan yang sebenarnya berkembang di tengah-tengah masyarakat.

(3) Kompetensi Etika, merupakan kemampuan secara moral yang meliputi moral pribadi dan institusi hingga kemampuan mengendalikan moral negatif baik organisasi maupun individu. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap moral pribadi aktor perumus kebijakan cenderung mempengaruhi objektifitas dalam melihat permasalahan yang sedang dihadapi.

Sehingga berpengaruh kepada kebijakan yang sedang dirumuskan. Kebijakan yang dirumuskan di dalam organisasi dengan

budaya kerja yang negatif, maka tentunya menghasilkan kebijakan yang cenderung berpihak kepada salah satu kepentingan kelompok tertentu. Adanya pola pikir di tengah-tengah aktor mengenai perempuan adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam kelangsungan hidup layak dalam keluarga terutama anak, tentu mempengaruhi bentuk kebijakan yang dirumuskan. Seperti program penyuluhan makanan bergizi seimbang bagi anak hanya difokuskan kepada perempuan saja.

Program pemberian ASI eksklusif hanya dipaparkan kepada ibu saja. Padahal kedua hal tersebut sama-sama menjadi tanggung jawab perempuan dan laki-laki. Standar hidup yang layak tidak dapat diperbaiki apabila laki-laki sebagai kepala rumah tangga bersifat acuh dan tidak mau tahu, serta seorang ibu tidak akan bisa memberikan ASI eksklusif dengan mudah tanpa dukungan suaminya.

Mengingat bahwa, permasalahan kesetaraan gender adalah masalah yang harus diwujudkan namun sulit dalam aktualisasinya, karena merupakan hal yang sensitif dan sarat dengan pengaruh nilai budaya dan pola pikir aktor dan masyarakat. Oleh karenanya, permasalahan kesetaraan gender tersebut harus didekati dengan kebijakan yang berbasis gender.

Alasannya tentu saja bahwa semua program kerja dan kegiatan harus memiliki dasar hukum guna dijadikan panduan pelaksanaan. Maka kebijakan publik yang berbasis gender akan menjadi awal dalam merumuskan program kerja dan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap SKPD, termasuk Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Barat. Kebijakan yang berbasis gender tersebut harus dirumuskan dengan pendekatan Dimensi Etika Publik.

Tujuannya tentu saja agar kebijakan dirumuskan secara profesional oleh semua aktor yang terlibat, dengan dukungan kemampuan manajerial, komunikasi dan negosiasi yang baik, serta yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh etika moral dalam melihat suatu masalah. Sehingga harapan bahwa permasalahan kesetaraan gender bidang kesehatan bukan lagi hanya menjadi harapan dan impian aktor perempuan saja, akan tetapi sudah menjadi kesadaran bagi aktor laki-laki dan semua masyarakat secara umum.

2. DAFTAR PUSTAKA

Haryatmoko. 2011. Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dna Politisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Wahab, Solichin Abdul. 2012. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke

Penyusunan Model-model

Implementasi Kebijakan Publik.

Jakarta: Bumi Aksara Regulasi

Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Permendagri No. 67 Tahun 2011 tentang Pedomam Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah Peegub Sumatera Barat No. 25 tahun 2015

tentang Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender.

PENDEKATAN JALUR PARALEGAL