• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Teori Hukum Progresif Dalam Informed Consent Pada Perjajian Terapeutik

Dalam dokumen DI MASA PANDEMI COVID-19 (Halaman 77-81)

MENINGGAL TERDUGA COVID-19 DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM PROGRESIF

2. Penerapan Teori Hukum Progresif Dalam Informed Consent Pada Perjajian Terapeutik

Perjanjian terapeutik juga merupakan suatu perikatan sebagai mana terdapat dalam Buku III KUH Perdata yang mana dalam

83 Kinanti, Armanda Dian, Dika Arum Permatasari, And Dita Clara Shinta. “Urgensi Penerapan Mekanisme Informed Consent Untuk Mencegah Tuntutan Malpraktik Dalam Perjanjian Terapeutik.”

Privat Law 3, No. 2 (2015): 164465. hlm. 111 Doi:

https://www.Neliti.Com/Publications/164465/Urgensi-Penerapan-Mekanisme-Informed-Consent- Untuk-Mencegah-Tuntutan-Malpraktik

perjanjian ini berisi pihak-pihak yang saling terikat dalam perjanjian yakni dokter berkedudukan sebagai pihak yang melakukan dan memberikan pelayanan kesehatan, kemudian pasien yang berkedudukan sebagai penerima pelayanan kesehatan. Namun dalam perjanjian ini, memiliki keistimewaan, yaitu mengenai cara para pihak membuat perjanjian, yakni pada perjanjian ini datangnya pasien untuk berobat pada dokter, yang bertujuan melakukan pengecekan kesehatan atau untuk berobat, secara tidak langsung telah terwujudnya perjanjian terapeutik84. Pada hukum perikatan sendiri terdapat 2 macam hukum kontrak atau perjanjian, yaitu 85:

a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau memiliki kesepakat untuk berdaya upaya secara maksimal demi mewujudkan apa yang diperjanjikan.

b. Resultaatverbintenis, adalah suatu bentuk perjanjian yang akan memiliki resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.

Apabila di lihat dari 2 macam perjanjian ini, maka perjanjian terapeutik dapat digolongankan inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, sebab isi dalam perjanjian yang menjadi dasar hubungan hukum antara paisen dan dokter adalah untuk berbuat sesuatu dalam rangka menyembuhkan pasien berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, sehingga dokter tidak bisa berjanji dapat menyembuhkan penyakit yang di derita pasien, akan tetapi yang dapat diperbuat oleh dokter hanyalah memberikan tindakan medis sebagai bentuk usaha untuk memberikan kesembuhan kepada pasien.

Informed consent dalam perjanjian terapeutik merupakan perwujudan dari syarat subjetif perjanjian yaitu kesepakatan antara dokter dan pasien maupun keluarga pasien, sehingga dalam informed consent berisi informasi mengenai semua tindakan medis yang akan diberikan kepada pasien. keterbukaan informasi dalam

84 Gani, Evy Savitri. “Tinjauan Yuridis Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Terapeutik.”

Tahkim 14, No. 2 (2018): 157-174, Hlm 164 Doi:

Https://Jurnal.Iainambon.Ac.Id/Index.Php/Thk/Article/View/617

85 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006) Hlm. 61

perjanjian ini berisi pihak-pihak yang saling terikat dalam perjanjian yakni dokter berkedudukan sebagai pihak yang melakukan dan memberikan pelayanan kesehatan, kemudian pasien yang berkedudukan sebagai penerima pelayanan kesehatan. Namun dalam perjanjian ini, memiliki keistimewaan, yaitu mengenai cara para pihak membuat perjanjian, yakni pada perjanjian ini datangnya pasien untuk berobat pada dokter, yang bertujuan melakukan pengecekan kesehatan atau untuk berobat, secara tidak langsung telah terwujudnya perjanjian terapeutik84. Pada hukum perikatan sendiri terdapat 2 macam hukum kontrak atau perjanjian, yaitu 85:

a. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau memiliki kesepakat untuk berdaya upaya secara maksimal demi mewujudkan apa yang diperjanjikan.

b. Resultaatverbintenis, adalah suatu bentuk perjanjian yang akan memiliki resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.

Apabila di lihat dari 2 macam perjanjian ini, maka perjanjian terapeutik dapat digolongankan inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, sebab isi dalam perjanjian yang menjadi dasar hubungan hukum antara paisen dan dokter adalah untuk berbuat sesuatu dalam rangka menyembuhkan pasien berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, sehingga dokter tidak bisa berjanji dapat menyembuhkan penyakit yang di derita pasien, akan tetapi yang dapat diperbuat oleh dokter hanyalah memberikan tindakan medis sebagai bentuk usaha untuk memberikan kesembuhan kepada pasien.

Informed consent dalam perjanjian terapeutik merupakan perwujudan dari syarat subjetif perjanjian yaitu kesepakatan antara dokter dan pasien maupun keluarga pasien, sehingga dalam informed consent berisi informasi mengenai semua tindakan medis yang akan diberikan kepada pasien. keterbukaan informasi dalam

84 Gani, Evy Savitri. “Tinjauan Yuridis Kedudukan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian Terapeutik.”

Tahkim 14, No. 2 (2018): 157-174, Hlm 164 Doi:

Https://Jurnal.Iainambon.Ac.Id/Index.Php/Thk/Article/View/617

85 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum Dan Sanksi Bagi Dokter, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006) Hlm. 61

informed consent tidak hanya merupakan kewajiban etik bagi dokter yang di bebankan pada setiap profesi yang bekerja dibidang kesehatan, tetapi juga kewajiban hukum sebab hak memperoleh informasi atau penjelasan merupakan hak asasi pasien yang paling utama bahkan dalam tindakan-tindakan khusus yang diberikan kepada pasien seperti saat ini penerapam protokol kesehatan pada pasien yang meninggal akibat covid-19 merupakan salah satu tindakan khusus yang memerlukan persetujuan medis yang dalam hal ini adalah informed consent yang di tandatangani oleh pasien ataupun keluarga pasien.

Akan tetapi dalam penerapannya informed consent kadang kala tidak dapat berjalan dengan baik, sehingga terjadi penyalahgunaan kekuasaaan yang diberikan pasien kepada tenaga kesehatan sebab pada dasarnya perjanjian terapeutik merupak perjanjian sepihak atau perjanjian baku, yang mana isi dari informed consent telah di tentukan oleh pihak rumah sakit. Sehingga muncul permasalahan ketika terjadinya informasi asimetris yaitu terjadinya ketidakseimbangan perolehan informasi, karena salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya, yakni hubungan dokter dengan pasien, dokter memiliki posisi yang dominan atau kuat dibandingkan dengan posisi pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat dimengerti karena tenaga kesehatan khususnya dokter yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi penyembuhan yang dibutuhkan oleh pasien. oleh karena itu kadang kala terjadi tindakan yang merugikan pasien yang berujung pada penuntutan terhadap tenaga kesehatan.

Upaya penuntutan juga terjadi terhadap tenaga kesehatan pada masa covid-19 ini, salah satu penyebabnya adalah karena pemberian informed consent tidak dapat dilakukan secara baik, sehingga menimbulkan permasalah pada pasien maupun pihak keluarga. Namun tidak jarang upaya penuntutan terhadap tenaga kesehatan selama pandemi, tidak terlaksana, yang disebabkan dikarenakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan belum mengakomodir dengan baik permasalahan yang timbul di masa pandemic. Oleh karena itu penegakan hukum yang dilakukan dibidang kesehatan ini tidka dapat berjalan dengan baik.

Penegakan Hukum dalam Perjanjian pada masa sekarang ini tidak hanya dilihat dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dianut dalam teori hukum positivism sebab dalam pelaksanaan peraturan mengenai perjanjian sering kali menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak misalnya pada perjanjian yang tertulis yang dibentuk oleh pihak yang memiliki perekonomian yang lebih mapan ketika membuat perjanjian baku (standard form Contract) seperti perjanjian terapeutik, sehingga pihak yang posisi ekonominya lebih rendah /lemah tidak memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam pembuatan perjanjian yang dalam penerapanya sering kali menjadi penyebab kerugian bagi pihak yang ekonominya lebih rendah, oleh karena itu peraturan perundang-undang dalam hal perjanjian kadangkan menimbulkan masalah bagi pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, sehingga di butuhkan suatu konsep hukum yang dapat mengatasi masalah ini tersebut,maka terjadilah pergeseran ke arah hukum progresif.

Penegakan hukum progresif artinya dalam melaksanakan hukum tidak boleh hanya di berdasarkan perkataan hitam putih dalam peraturan perundang-undangan, tetapi didasarkan pada motivasi yang besar dalam pemaknaan yang dalam dari suatu aturan yang ada86 dengan demikian dalam konsep hukum progresif menurut Satjipto Raharjo yang menyatakan pada dasarnya hukum itu adalah untuk manusia, sehingga hukum progresif mempunyai tujuan besar yaitu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri dan tidak bersifat final, sehingga apabila hukum itu tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi manusia, maka harus dilakukan perubahan.87 Dengan demikian pada dasarnya hukum progresif bertujuan untuk membuat hukum kembali pada jalan yang seharusnya, yaitu selain bertujuan untuk kepastian hukum. Tetapi hukum juga harus melihat kepada konsep kemanfaatan dan keadilan, untuk mewujudkan kriteria hukum yang berkemanusiaan dan mewujdukan kesejahteraan,

86 Sajipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Pt Kompas, 2006), Hlm. 6

87 Badriyah, Siti Malikhatun. “Pemuliaan (Breeding) Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Perjanjian Leasing Di Indonesia.” Yustisia Jurnal Hukum 1, No. 2 (2012), Hlm. 54 Doi:

Https://Jurnal.Uns.Ac.Id/Yustisia/Article/View/10624

Penegakan Hukum dalam Perjanjian pada masa sekarang ini tidak hanya dilihat dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dianut dalam teori hukum positivism sebab dalam pelaksanaan peraturan mengenai perjanjian sering kali menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak misalnya pada perjanjian yang tertulis yang dibentuk oleh pihak yang memiliki perekonomian yang lebih mapan ketika membuat perjanjian baku (standard form Contract) seperti perjanjian terapeutik, sehingga pihak yang posisi ekonominya lebih rendah /lemah tidak memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam pembuatan perjanjian yang dalam penerapanya sering kali menjadi penyebab kerugian bagi pihak yang ekonominya lebih rendah, oleh karena itu peraturan perundang-undang dalam hal perjanjian kadangkan menimbulkan masalah bagi pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, sehingga di butuhkan suatu konsep hukum yang dapat mengatasi masalah ini tersebut,maka terjadilah pergeseran ke arah hukum progresif.

Penegakan hukum progresif artinya dalam melaksanakan hukum tidak boleh hanya di berdasarkan perkataan hitam putih dalam peraturan perundang-undangan, tetapi didasarkan pada motivasi yang besar dalam pemaknaan yang dalam dari suatu aturan yang ada86 dengan demikian dalam konsep hukum progresif menurut Satjipto Raharjo yang menyatakan pada dasarnya hukum itu adalah untuk manusia, sehingga hukum progresif mempunyai tujuan besar yaitu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri dan tidak bersifat final, sehingga apabila hukum itu tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi manusia, maka harus dilakukan perubahan.87 Dengan demikian pada dasarnya hukum progresif bertujuan untuk membuat hukum kembali pada jalan yang seharusnya, yaitu selain bertujuan untuk kepastian hukum. Tetapi hukum juga harus melihat kepada konsep kemanfaatan dan keadilan, untuk mewujudkan kriteria hukum yang berkemanusiaan dan mewujdukan kesejahteraan,

86 Sajipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Pt Kompas, 2006), Hlm. 6

87 Badriyah, Siti Malikhatun. “Pemuliaan (Breeding) Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Perjanjian Leasing Di Indonesia.” Yustisia Jurnal Hukum 1, No. 2 (2012), Hlm. 54 Doi:

Https://Jurnal.Uns.Ac.Id/Yustisia/Article/View/10624

Perwujudkan informed consent yang dilihat dari sudut padang hukum progresif adalah mewujudkan keadilan berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dikarenakan informed conset yang merupakan bagian dari perjanjian terapeutik tersebut merupakan perjanjian baku sepihak, sehingga dalam substansi yang terdapat dalam perjanjian ini berisi informasi yang bagi pasien yang merupakan informed consent, yang kadang kala pemberian informasi yang kurang baik, akan menimbulkan kerugian bagian pasien, sehingga apabila dilihat dari sudut padang hukum progresif maka yang memiliki lebih mengutamakan manusia dibandingkan hukum, oleh karena itu informed consent menurut hukum progresif lebih mengarah pada sosiologis, dengan menunjukkan gambaran nyata perilaku dalam setiap transaksi atau dalam setiap kontrak. Ini merupakan peluang bagi hukum progresif dimana hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau perundang-undangan, tetapi juga bergerak pada arah non-formal.

3. Informed Consent Pelaksanaan Protokol Kesehatan Terhadap

Dalam dokumen DI MASA PANDEMI COVID-19 (Halaman 77-81)