Nia Asriani, SKM., M.Epid Alumni Universitas Airlangga
Pencegahan dan pengendalian PTM merupakan salah satu target SDG’s tahun 2030 sehingga menjadi prioritas seyiap negara. Data WHO menyatakan penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian hampir 75% di dunia dan 80% terjadi di negara berkembang (WHO, 2018). Di Indonesia 100 penderita PTM sebanyak 70 orang tidak menyadari dirinya mengidap PTM, sehingga terlambat dalam mendapatkan penanganan yang mengakibatkan terjadinya komplikasi, kecacatan bahkan kematian. Target Global Pencegahan dan Pengendalian PTM Tahun 2025 Berdasarkan UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, upaya pencegahan dan pengendalian PTM merupakan salah satu upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2014).
Upaya penanggulangan penyakit tidak menular yang utama adalah fokus terhadap penurunan faktor risiko yang berhubungan dengan PTM. Solusi penanggulangan dengan pengeluaran biaya yang rendah adalah dengan memodifikasi faktor risiko seperti dengan berhenti merokok, mengurangi makanan manis, rutin melakukan aktifitas fisik dan makan buah dan sayur (Sangadji, 2020)
56
Strategi Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia
Upaya penanggulangan penyakit tidak menular yang utama adalah fokus terhadap penurunan faktor risiko yang berhubungan dengan PTM. Program utama pencegahan dan pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan adalah Promosi, Pencegahan, deteksi dini dan pengobatan. Pada Penyakit tidak menular prioritas program lebih di utamakn pada promosi Kesehatan dan pencegahan serta deteksi dini pada faktor risiko. Melalui Kementrian Kesehatan, Indonesia berkomitmen untuk menjadikan program pencegahan dan pengendalian PTM sebagai prioritas. Kebijakan dan beberapa strategi telah dikembangkan untuk menciptakan program dan strategi yang tepat dalam mengatasi beban PTM di Indonesia. Strategi nasional berfokus pada promosi dan pencegahan melalui intervensi dan Pendidikan berbasis komunitas, Surveilans serta deteksi dini faktor risiko berbasi bukti, kemitraan dan manajemen (Kemenkes, 2016).
Pencegahan dan pengendalian Penyakit Tidak Menular berbasis bukti dilakukan 4 cara, yaitu:
1. Advokasi, Kerjasama, bimbingan dan manajemen PTM.
2. Promosi, pencegahan dan deteksi dini factor risiko melalui pemberdayaan masyarakat.
3. Penguatan kapasitas dan kompetensi layanan Kesehatan serta kolaborasi sector swasta dan professional.
4. Penguatan surveilans, pengawasan dan riset Penyakit Tidak Menular.
57
Program Pengendalian PTM Berbasis Bukti
Program pengendalian PTM berbasis bukti yang telah dilakukan di Indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Pos Pembinaan Terpadu PTM (POSBINDU)
Posbindu PTM merupakan peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor risiko PTM Utama yang dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan berkesinambungan. Pengendalian faktor risiko PTM dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui kegiatan Posbindu PTM (Pos Pembinaan Terpadu) dengan biaya yang terjangkau. Posbindu PTM merupakan wujud peran serta masyarakat dalam kegiatan deteksi dini, monitoring dan tindak lanjut dini faktor risiko PTM secara mandiri dan berkesinambungan. Posbindu PTM menjadi salah satu bentuk upaya kesehatan masyarakat atau UKM yang selanjutnya berkembang menjadi upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) dalam pengendalian faktor risiko PTM dibawah binaan Puskesmas (Purwati,2020). Jumlah Posbindu yang terbentuk semakin bertambah berdasarkan data tahun 2015 terbentuk 9.850 sampai tahun 2017 terbentuk sebanyak 33.679 yang tersebar di seluruh Indonesia.
58
Gambar 4.1 Jumlah POSBINDU PTM Per Desember 2017 Fokus kegiatan Pencegahan dan Pengendalian PTM di Posbindu antara lain (Kemenkes, 2012):
a. Deteksi dini faktor risiko dengan wawancara sederhana tentang riwayat PTM pada keluarga dan diri peserta, aktifitas fisik, merokok, konsumi asupan makanan sayur dan buah, potensi terjadinya cedera dan kekerasan dalam rumah tangga, serta informasi lainnya yang dibutuhkan untuk identifikasi masalah kesehatan berkaitan dengan terjadinya PTM. Kegiatan ini dilakukan saat pertama kali kunjungan dan berkala sebulan sekali.
b. Pengukuran berat badan, tinggi badan, Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut, analisis lemak tubuh, dan tekanan darah yang dilakukan 1 bulan sekali. Analisa lemak tubuh hanya dapat dilakukan pada usia 10 tahun ke atas.
c. Pemeriksaan fungsi paru sederhana yang dilakukan 1 tahun sekali bagi yang sehat, sementara yang berisiko 3 bulan sekali dan penderita gangguan paru-paru dianjurkan 1 bulan sekali. Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi
59
dengan peakflow meter pada anak dimulai usia 13 tahun. Pemeriksaan fungsi paru sederhana dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah terlatih dan kompeten.
d. Pemeriksaan gula darah bagi individu sehat paling sedikit dilakukan 3 tahun sekali dan bagi yang telah mempunyai faktor risiko PTM atau penyandang diabetes melitus paling sedikit 1 tahun sekali. Untuk pemeriksaan glukosa darah dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat/bidan/analis laboratorium dan lainnya).
e. Pemeriksaan kolesterol total dan trigliserida, bagi individu sehat dilakukan 5 tahun sekali dan bagi yang telah mempunyai faktor risiko PTM 6 bulan sekali dan penderita dislipidemia/gangguan lemak dalam darah minimal 3 bulan sekali. Untuk pemeriksaan Gula darah dan Kolesterol darah dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ada di lingkungan kelompok masyarakat tersebut.
f. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) dilakukan minimal 5 tahun sekali bagi individu sehat, setelah hasil IVA positif, dilakukan tindakan pengobatan krioterapi diulangi setelah 6 bulan, jika hasil IVA negatif dilakukan pemeriksaan ulang 5 tahun, namun bila hasil IVA positif dilakukan tindakan pengobatan krioterapi kembali. Pemeriksaan IVA dilakukan oleh bidan/dokter yang telah terlatih dan tatalaksana lanjutan dilakukan oleh dokter terlatih di Puskesmas.
g. Pemeriksaan kadar alkohol pernafasan dan tes amfemin urin bagi kelompok pengemudi umum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat/bidan/analis laboratorium dan lainnya).
60
h. Penyuluhan dan konseling dilakukan setiap pelaksanaan Posbindu PTM. Hal ini penting dilakukan karena pemantauan faktor risiko kurang bermanfaat bila masyarakat tidak tahu cara mengendalikannya.
i. Kegiatan aktifitas fisik dan atau olah raga bersama, sebaiknya tidak hanya dilakukan jika ada penyelenggaraan Posbindu PTM namun perlu dilakukan rutin setiap minggu.
j. Kegiatan rujukan ke fasilitas layanan kesehatan dasar di wilayahnya dengan pemanfaatan sumber daya tersedia termasuk upaya respon cepat sederhana dalam penanganan pra-rujukan.
2. Upaya Promotif dan Preventif
Penguatan kesadaran masyarakat adalah Kunci Utama keberhasilan upaya promotif preventif PTM, untuk itu sejak tahun 2015, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian PTM Sudah membuat terobosan peningkatan kesadaran masyarakat melalui website dan media Sosial secara masif dan berkesinambungan. Upaya juga dilakukan dengan berbagai mitra swasta, pers online maupun cetak, blogger, bioskop, kereta api, media televisi serta internet.
3. Program Pengendalian Tembakau
Penggunaan tembakau merupakan factor risiko pada enam dari 8 penyebab kematian terbesar di dunia Selama abad ke-20 melalui penyakit-penyakit yang terkait dengan penggunaan tembakau. Jika tidak segera di kendalikan, pada tahun 2030 diperkirakan akan ada 8 juta jiwa melayang karna tembakau (Mathers, 2006).
61
Konsumsi tembakau (rokok) merupakan salah satu faktor risiko umum dari empat kelompok utama Penyakit Tidak Menular/PTM atau lebih dikenal sebagai Non Communicable Diseases (NCDs). Empat kelompok NCDs ini adalah penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit paru-paru kronis dan diabetes.
NCDs diperkirakan dapat mengakibatkan kematian lebih dari 75% di seluruh dunia dan 80% berasal dari negara miskin dan berkembang seperti Indonesia (WHO, 2011).
Untuk memandu keberhasilan kegiatan pengendalian tembakau, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40/2013 tentang Jalur Pengendalian Tembakau (2009-2024) yang dapat mengurangi prevalensi merokok sebesar 10% pada tahun 2024.
Langkah dan kebijakan yang diterapkan secara bertahap dalam pengendalian dampak konsumsi rokok dengan peta jalan sebagai berikut:
a. Empowering PP 109/ 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dengan penyusunan peraturan turunan dan pengembangan sistem implementasinya di lapangan, termasuk monitoring dan evaluasi kepatuhan penerapan Kawasan Tanpa Rokok, KTR.
b. Mempercepat proses agar pemerintah mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dengan melembagakan advokasi dan sosialisasi kepada pengambil keputusan dan pemangku kepentingan dalam rangka memperoleh dukungan dalam pengendalian dampak konsumsi rokok
62
c. Mengedukasi masyarakat akan bahaya merokok dengan membangun kesadaran masyarakat terhadap ancaman bahaya merokok, terutama pada generasi muda, perokok pemula, dan perempuan melalui pemanfaatan DBH CHT untuk programprogram Kesehatan berhenti merokok.
d. Penurunan prevalensi perokok dengan mempertegas penetapan KTR, peningkatan cukai rokok dan peringatan kesehatan bergambar, serta pelarangan iklan dan sponsorship yang ditayangkan di berbagai media elektronik secara lebih ketat sampai tidak ada iklan secara total.
e. Melakukan kajian-kajian epidemiologis dan perilaku merokok masyarakat dalam rangka membangun lingkungan bebas rokok dan memodifikasi perilaku masyarakat melalui promosi kesehatan serta konseling quit tobacco.
f. Pengembangan jaringan pengendalian dampak konsumsi rokok dan pelembagaan jejaring organisasi pengendaliannya dari tingkat nasional hingga ke daerah sebagai bentuk perlindungan masyarakat dari bahaya merokok bekerja sama dengan masyarakat maupun pemerintahan setempat dan berkoordinasi dengan lembagalembaga swadaya terkait.
g. Memberikan pelayanan berhenti merokok secara terintegrasi dengan pengendalian penyakit tidak menular dengan dukungan 100% dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan milik Pemerintah dan pemerintah daerah melalui Sistem Primary Health Care, hingga Quit line berfungsi dan berjalan berkesinambungan.
63 4. Kawasan Tanpa Rokok
Merokok merupakan perilaku yang menjadi permasalahan kesehatan masyarakat Indonesia.
Indonesia menempati posisi ketiga jumlah perokok tertinggi di dunia. Sebanyak 64,9% laki-laki dan 2,1%
perempuan usia 15 tahun ke atas merupakan perokok aktif. Peningkatan konsumsi rokok akan berdampak pada peningkatan beban negara dalam menanggung penyakit terkait merokok baik bagi dari perokok aktif maupun perokok pasif (Ilmaskal,2017).
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.
Penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini perlu diselenggarakan difasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat beribadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang diterapkan untuk melindungi masyarakat yang ada dari paparan asap rokok (Permana,2021).
Kebijakan yang mengatur tentang Kawasan tanpa rokok di muat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Menurut kebijakan ini, kawasan atau area bebas asap rokok meliputi:
a. Tempat Umum. Kriteria yang dimaksud dengan tempat umum ini seperti pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata, tempat hiburan, hotel dan restoran, taman kota, tempat rekreasi, halte dan terminal angkutan. Termasuk dalam kategori tempat umum ini umum adalah di tempat atau
64
gedung tertutup sampai batas kucuran air dari atap paling luar. Namun tidak termasuk dalam larangan bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dengan tempat umum ini tempat atau gedung tertutup serta lembaga dan/atau badan untuk menjual, dan/atau membeli, mempromosikan, mengiklankan, produk rokok.
b. Tempat Kerja. Setiap orang dilarang merokok di tempat kerja yang meliputi perkantoran pemerintah baik sipil maupun Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), perkantoran swasta, dan industri. Tempat kerja sebagai Kawasan Tanpa Rokok ini adalah di tempat dan/atau gedung tertutup sampai batas kucuran air dari atap paling luar terhadap empat dan/atau gedung tertutup.
c. Tempat Ibadah. Kawasan Tanpa Asap Rokok yang termasuk dalam kategori tempat ibadah ini meliputi masjid/mushola, gereja, vihara, klenteng, dan pura. Pada kawasan ini setiap lembaga dan/atau badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli produk rokok di tempat ibadah sampai dengan batas luar pagar area lingkungan peribadatan.
d. Tempat bermain dan/atau berkumpulnya Anak- Anak. Kawasan yang termasuk dalam kategori dilarang merokok di tempat bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak meliputi kelompok bermain, penitipan anak, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak dengan batasan areanya hingga batas pagar terluar. 5.
Kendaraan Angkutan Umum. Kategori kendaraan angkutan umum yang termasuk sebagai Kawasan
65
Tanpa Asap Rokok ini seperti bus umum, angkutan kota, termasuk kendaraan wisata, bus angkutan anak sekolah, dan bus angkutan karyawan. Termasuk juga larangan dalam kawasan ini, setiap lembaga dan/atau badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli produk rokok.
e. Lingkungan tempat proses belajar mengajar.
Kawasan Tanpa Asap Rokok yang termasuk dalam kategori kawasan ini meliputi seperti sekolah, perguruan tinggi, balai pendidikan dan pelatihan, balai latihan kerja, bimbingan belajar, dan kursus. Selain sebagai ditetapkan kawasan tanpa asap rokok, juga dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli produk rokok.
f. Fasilitas pelayanan kesehatan. Kriteria kawasan fasilitas kesehatan yang termasuk sebagai Kawasan Tanpa Asap Rokok ini meliputi rumah sakit, rumah bersalin, poliklinik, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), balai pengobatan, posyandu, dan tempat praktek kesehatan swasta.
Di kawasan ini juga dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli produk rokok.
g. Prasarana olah raga. Setiap orang dilarang merokok di tempat prasarana olah raga, baik pada lapangan olah raga atau tempat/gedung terbuka atau tertutup yang dipergunakan untuk kegiatan olahraga sampai batas luar pagar area prasarana olahraga. Selain dilarang merokok, pada prasarana olah raga ini juga dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli produk rokok (Winengan,2017).
66
5. Pengendalian faktor risiko dengan menerapkan perilaku CERDIK
Program pemerintah dalam pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular melalu Gerakan perilaku CERDIK.
C : Cek kondisi kesehatan secara berkala E : Enyahkan asap rokok
R : Rajin aktifitas fisik
D : Diet sehat dengan kalori seimbang I : Istirahat yang cukup
K : Kendalikan stress
6. Program gerakan nusantara tekan angka obesitas (gentas)
Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi dalam waktu yang lama. Orang yang Obesitas memeiliki resiko mengalami diabetes, penyakit jantung iskemik dan kanker. Pengendalian dapat berjalan optimal jika kebijakan penanggulangan PTM didasari pada partisipasi dan tanggung jawab Bersama masyarakat (Kemenkes, 2017).
Salah satu upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah obesitas adalah Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (GENTAS). GENTAS ditujukan kepada masyarakat untuk peningkatan kepedulian dan peran serta dalam pencapaian berat badan ideal. Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (GENTAS) bertujuan menekan laju angka obesitas.
7. Kemitraan dan pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat dalam rangka deteksi dan intervensi modifikasi faktor risiko dengan
67
menerapkan kegiatan Posbindu telah dimulai sejak tahun 2006 dan diperluas hingga meliputi 34 provinsi di negara kita. Selama dekade terakhir, pemerintah Indonesia telah memperkuat kolaborasi antara pihak pemerintah dan swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), guna melengkapi keterlibatan organisasi profesional dalam kampanye promosi kesehatan, pembangunan kapasitas penyedia jasa kesehatan dan memperkuat sistem mentoring layanan PTM. Pelayanan PANDU PTM juga ditanggung oleh skema asuransi kesehatan nasional di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier, termasuk fasilitas swasta yang berpartisipasi.
Indonesia telah mencapai sebagian besar target yang telah diberlakukan selama tahun 2013. Indonesia telah melakukan Stepwise Surveillance atau STEPS secara berkala pada tahun 2007 dan 2013,2018, dan selanjutnya akan dilakukan pada tahun 2023, dimasukkan ke dalam kesiapan fasilitas tempat untuk Ketersediaan Layanan dan Kesiapan Penilaian atau Service Availability and Readiness Assessment (SARA) pada tahun 2010 dan 2014, membangun sistem pengawasan PTM online, dan memperluas layanan PTM untuk masyarakat lewat Puskesmas dan Posbindu (Sangadji, 2020).
68 Daftar Pustaka
Achadi, Anhari.(2008). Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di Indonesia. Administrasi Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Ilmaskal,R Y. S. Prabandari, dan T. A. Wibowo.(2017).
“Evaluasi Penerapan Kebijakan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok di Kota Padang Panjang,”.
Berita Kedokteran Masyarakat, vol. 33, no. 5, hlm.
255–260.
Kemenkes RI. (2012). Buletin Penyakit Tidak Menular Semester II, ISSBN 2088-270X, Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. (2013). Pedoman Surveilans Penyakit Tidak Menular, Jakarta: Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI.(2014). Penyelenggaraan Posbindu PTM.
Jakarta : Direktorat Pengendalian PTM Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI.(2016). Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia, Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. (2017). Panduan pelaksanaa Gerakan nasional tekan angka obesitas. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI.(2019).Buku Pedoman Manajemen Penyakit Tidak Menular, Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mathers,CD. Lonar D.(2006). Projection Of Global Mortality and burden of disease from 2022 to 2030. Ploza Medicine.
Nurhidayanti.(2019). Evaluasi Implementasi Program Penyakit Tidak Menular di Puskesmas Simeulue Timur.
Medan ; Institut Kesehatan Helvetia.
Permana, Dani.(2021). Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Mewujudkan Perilaku Hidup Sehat.
Universitas Jendral Achmad Yani.
69
Purwati, Alfi Noviyana, Dea Roudhotul.(2020). Upaya Pengendalian Faktor Resiko PTM (Penyakit Tidak Menular). Jurnal ABDIMAS-HIP Vol 1 No 2.
Sangadji, W. Namira.(2020). Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Jakarta : Universitas Esa Unggul.
Wahidin, Mugi.(2022). Beban Penyakit dan Program Penjegahan Penyakit Tidak Menular di Indonesia.
JurnaL Epidemiologi Kesehatan.
Winengan. (2017). Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Asap Rokok Di Kota Mataram. Jurnal Ilmu Administrasi.
70 Profil Penulis Nia Asriani, SKM., M.Epid.
Penulis di lahirkan di Kendari, tanggal 15 Januari 1994. Saat Penulis Berdomisili di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Penulis memulai Pendidikan dari SDN 1 Menui Kepulauan Kab. Morowali, Sulawesi Tengah kemudian melanjutkan Pendidikan di SMPN 2 Unaaha dan SMA 1 Unaaha Kab, Konawe Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2015 penulis berhasil menyelesaikan studi S1 Kesehatan Masyarakat di Universitas Haluole Knedari. Tahun 2015 Penulis bekerja di Kantor Kementrian Agama Ssebagai admin Penyelenggaraan haji dan Umroh. Kemudian pada tahun 2016, penulis melanjutkan Pendidikan S2 Program Studi Epidemiologi Kesehatan di Universitas Airlangga Surabaya dan berhasil menyelesaikan Pendidikan pada tahun 2018. Setelah menyelesaikan Pendidikan penulis kemudian bekerja di Puskesmas Motaha Kabupaten Konawe Selatan Prov Sulawesi Tenggara sampai tahun 2021.
Email Penulis: [email protected]
71