BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TERJEMAH AL-QUR`AN
A. Pengertian dan Perbedaan antara Terjemah, Tafsir, dan Ta‟wil
3. Pengertian Ta‟wil
Kata Ta‟wil dalam ayat ini bermakna tafsir.
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َََ
َ
“…..Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa[4]:59)
Kata Ta‟wil dalam ayat ini bermakna akibat.
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu…..”(QS. Al-A‟raf[7]:53)
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
َ
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya”.(QS. Yunus[10]:39)
Kata Ta‟wil pada kedua ayat ini bermakna sampai atau datangnya apa yang diberitakan.
Ada juga beberapa lafazh ta‟wil dalam surat Yusuf di ayat 6, 37, 44, 45, dan 100 pada sejumlah ayat ini ta‟wil bermakna maksud dari impian. Sedangkan dalam surat al-Kahfi ayat 78 dan 82 maksud kata ta‟wil pada ayat tersebut ialah penjelasan tentang tujuan perbuatan yang dilakukan Hidhir, yaitu dari melobangi perahu, membunuh seorang anak , membetulkan tiang bangunan, dan bukan
maksudnya adalah tafsir terhadap ucapan.24 Demikianlah beberapa makna ta‟wil dalam Al-Qur`an.
Ta‟wil secara istilah menurut ulama salaf (klasik) ada beberapa definisi:
a. Menafsirkan sebuah teks bacaan atau menjelaskannya dengan tanpa mempermasalahkan apakah penafsiran atau penjelasan tersebut sesuai dengan apa yang tersurat (langsung/lahiriah) atau tersirat (tidak langsung).
Dengan demikian ta‟wil merupakan sinonim dari tafsir.
Sebagaimana ucapan yang pernah dilontarkan oleh Imâm Mujâhid (w. 104 H) dan Ibnu Jarîr Ath-Thabârî (w. 310 H) yang mana kalimat ta‟wil yang diucapkan mempunyai maksud tafsir.
b. Ta‟wil adalah maksud dari ucapan itu sendiri (nafs al-murâd bi al-kalâm). Kalau ucapan itu isinya tuntutan/permintaan, maka ta‟wilnya ialah perbuatan yang dituntut itu sendiri dan jika ucapan itu berupa kalimat berita, maka ta‟wilnya ialah sesuatu yang diberitakan itu sendiri.
Jika dicermati secara mendalam maka keduanya ada perbedaan yang mendasar. Maka yang dimaksud dengan makna ta‟wil pertama ialah ta‟wil masuk dalam bab ilmu dan ucapan, seperti tafsir, syarah, idhoh (penjelasan) dan ia ada dihati dan lisan serta berkaitan dengan keberadaan fikiran, lafazh dan rasm (tulisan), sehingga ta‟wil berwujud pada pemahaman yang bersifat nalar disamping teks. Sedangkan makna ta‟wil kedua yang dimaksud adalah zat dari perkara (sesuatu) itu sendiri yang nampak yang ada di luar, baik yang telah lalu maupun yang sekarang, dalam hal ini
24 Muhammad Husein Adz-Dzahabî, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, judul asli: At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, diterjemahkan. H. Nabbani Idris, cet.1, h. 4-7
adalah Al-Qur`an. Maka jika dikatakan “Matahari itu telah muncul”.
Ta‟wilnya ialah kemunculan matahari itu sendiri. Hal ini menurut pandangan Ibnu Taimiah (w. 728 H) merupakan bahasa Al-Qur`an yang dengannya ia diturunkan. 25
Adapun ta‟wil menurut ulama Mutaakhkhirin (khalaf) yang terdiri dari ulama yang mendalami fiqih, ahli ilmu kalam, ahli hadis dan tasawuf, ialah:
“ Mengalihkan lafazh dari makna râjih (yang lebih kuat) ke makna lain yang dikuatkan atau dianggap kuat (marjûh) karena adanya dalil yang mendukungnya”.26
Maka ketika para ulama tersebut berkata “hadis ini atau ayat ini muawwal” artinya hadis atau ayat ini bisa dita‟wil.
Ta‟wil membutuhkan dalil, maka setiap orang yang melakukannya harus memenuhi dua syarat:
a. Harus menjelaskan bahwa lafazh tersebut bisa dibawa ke makna yang kedua yang dinyatakan sebagai makna yang dimaksud.
b. Harus menjelaskan dalil yang mengharuskan lafazh tersebut dibawa dari makna râjih ke makna marjûh. Jika tidak dijelaskan, maka ta‟wil tersebut dilarang karena termasuk mempermainkan nash syar‟i.
25 Muhammad Husein Adz-Dzahabî, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, judul asli: At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, diterjemahkan. H. Nabbani Idris, cet.1, h. 7-8
26 Muhammad Husein Adz-Dzahabî, At-Tafsîr wa al Mufassirûn, jil. 1, h. 25
Pengarang kitab Jam‟u al-Jawâmi‟ wa Syarhûh bertutur
“Ta‟wil adalah membawa lahiriah lafazh ke makna yang marjûh.
Jika berdasarkan dalil maka ta‟wil tersebut benar, bila berdasarkan sesuatu yang dikira dalil maka ta‟wil tersebut rusak (tidak benar), atau jika tidak ada sandaran/ dalil, maka ta‟wil tersebut merupakan perbuatan main-main, bukan ta‟wil.27
Al-Jurjani (w.392H) dalam at-Ta‟rifat oleh Quraish Shihab mengatakan bahwa ta‟wil adalah mengalihkan makna ayat yang zhahir kepada makna yang lain yang dimungkinkan selama makna tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Sunnah.
Ar-Raghîb al-Isfahânî (w.502H) dalam Mufradatnya oleh Quraish Shihab menjelaskan bahwa tafsir lebih umum dari pada ta‟wil, dilihat dari penggunaannya tafsir lebih banyak digunakan pada lafazh dan mufradat sedangkan ta‟wil digunakan pada makna- makna dan susunan kalimat. Tafsir juga bisa digunakan dalam kitab- kitab yang lain, sedangkan ta‟wil lebih banyak digunakan dalam kitab suci.28 Untuk lebih memudahkan kita lihat skema pengertian ta‟wil secara etimologis dan terminologis berikut:
27 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 8-9
28 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), cet. 1, h. 553-554
Gambar 2: 3 Skema Pengertian Ta’wil
Sumber: Diolah dari beberapa sumber
Sebenarnya sulit untuk membedakan antara tafsir dengan ta‟wil, sebagaimana para ulama berselisih tentang perbedaan keduanya dan keterkaitan antara keduanya sehingga menimbulakan banyak pendapat. Diantara pendapat para ulama tersebut ialah:
a. Tafsir dan Ta‟wil maknanya satu, keduanya adalah sinonim.
Ini pendapat Abu Ubaidah dan sekelompok ulama tafsir mutaqaddimin (ulama terdahulu).
Pengertian Ta’wil
Kembali
Tempat Kembali
Mengatur
Keterangan
Mutaqaddimin/Klasik:
Menafsirkan pembicaraan dan
menerangkan maknanya atau menjelaskan substansi
yang dimaksud dari suatu pembicaraan Ta’wil secara
terminologis berarti
Mutaakhirin:
Mengalihkan makna lafal dari yang kuat (rajih) kepada makna
yang dikuatkan (marjuh) karena ada dalil yang mendukung Ta’wil secara
etimologis berarti
b. Tafsir ialah penjelasan yang dimaksud sesuai dengan lafazhnya dengan didukung oleh dalil qath‟i (pasti) maka penafsirannya shahih, dan jika tidak maka ia adalah penafsiran bir- Ra‟yi (tafsir dengan logika), sebagai tafsir yang dilarang.
Sedangkan Ta‟wil ialah menjelaskan kata dengan cara mentarjih makna salah satu dari beberapa kemungkinan. Ini menurut al-Maturidi (w. 333 H).
c. Tafsir menjelaskan kedudukan kata (lafazh) dari sudut hakikat dan majas, sedangkan ta‟wil menjelaskan dari sudut makna bathiniah. Ini menurut pandangan Abu Thâlib Ats-Tsa‟labî (w.
427 H).
d. Tafsir lebih umum pengertian dan ruang lingkupnya dari ta‟wil dan hanya terdapat pada kata demi kata sedangkan ta‟wil pada kalimat. Ini menurut Raghîb al-Asfihânî (w. 502 H).
e. Tafsir menjelaskan ayat dari sudut ungkapan yang digunakan sedangkan ta‟wil menerangkan ayat dari sudut isyarat atau dengan kata lain yang tersirat dibalik ayat. Ini merupakan pendapat yang masyhur dikalangan ulama mutaakhkhirin.
f. Sedangkan menurut sebagian ulama yang lainnya, tafsir adalah penjelasan tentang ayat-ayat suci Al-Qur`an berdasarkan riwayat yang diterima dari Rasulullah saw. dan sahabat.
Sedangkat ta‟wil adalah menjelaskan tentang ayat-ayat suci Al-Qur`an yang berdasarkan kepada dirayat (ilmu dan akal pikiran).
Itulah beberapa pendapat para ulama mengenai perbedaan antara tafsir dan ta‟wil. Menurut Husein adz-Dzahabî pendapat yang dipilih ialah pendapat yang mengatakan bahwa tafsir kembali kepada riwayat sedang ta‟wil kembali kepada dirayat. Karena makna
tafsir ialah kasyf (mengungkap) atau menjelaskan, yang mana penjelasan tersebut akan valid jika berasal dari Rasulullah dan para sahabat. Sedangkan ta‟wil adalah mentarjih salah satu makna dari beberapa kemungkinan makna yang ditunjukkan oleh lafazh tersebut. Dan tarjih merupakan bagian dari ijtihad.29 Kesimpulan ini dapat kita lihat dalam sebuah skema berikut:
Gambar 2: 4 Skema Ringkasan Persamaan dan Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Sumber: Diolah dari buku Ensiklopedia Tafsir karya Muhammad Husein adz-Dzahabî diterjemahkan oleh H. Nabbani Idris, 2009: 10-11
29 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 10-11
Tafsir dan Ta’wil
Sama-sama sebagai sarana untuk memahami Al-Qur`an
Memiliki tujuan yang sama yaitu menjelaskan Al-Qur`an
Perbedaan
Ta’wil berorientasi pada dirayat atau lebih mengacu kepada makna tersirat (isyarat) dan pemahaman
Persamaan
Tafsir lebih berorientasi pada riwayat dan makna lahir ayat
Sedangkan perbedaan antara tafsir dan terjemah tafsiriah yaitu sebagai berikut:
1. Perbedaan dari sisi bahasa. Tafsir bahasanya menggunakan bahasa asal yaitu bahasa Al-Qur`an, sedangkan terjemah tafsiriah keterangan atau penjelasannya dengan menggunakan bahasa lain atau bahasa sasaran (dalam hal ini adalah bahasa Indonesia)
2. Dilihat dari sisi pembaca atau orang yang ingin mencoba untuk memahami isi maknanya. Karena tafsir ditulis dengan bahasa asal (dalam hal ini bahasa Al-Qur`an / Arab) maka akan mudah untuk mengoreksi jika terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam pemahamnnya. Sedangkan terjemah tafsiriah karena ditulis dengan bahasa lain (dalam hal ini bahasa Indonesia), jika terdapat kesalahan di dalamnya maka akan sulit untuk dikoreksi oleh pembacanya, lebih-lebih jika si pembaca tidak tahu bahasa Al-Qur`an maka akan memungkinkan ia meyakini bahwa terjemahan yang dibaca itu merupakan tafsir yang benar terhadap Al-Qur`an.30 Berikut ini perbedaan tafsir dan terjemah dalam bentuk tabel yang dikutip dari Ummi Hanik:
30 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 18-19
Gambar 2: 5 Tabel Perbedaan Tafsir dan Terjemah31
NO TAFSIR TERJEMAH
1. Menekankan maksud dari kejelasan ayat
Menekankan Peralihan Bahasa
2.
Penafsiran terikat dengan keterangan terutama tentang urutan kata
Bahasa terjemahan adalah bahasa lurus tanpa keterangan
3.
Penafsiran menekankan penyampaian maksud dan pokok ayat yang ditafsirkan
Penerjemahan menyajikan bentuk utuh sesuai dengan teks sumber yang diterjemahkan
4.
Penafsiran penekanannya pada penjelasan maksud tanpa adanya kesan bahwa tafsir sama dengan aslinya
Penerjemahan memerlukan kesan autentisitas makna dan tujuan melalui nama (judul terjemahan) dari pembaca 5.
Penafsiran tidak terkesan lepas dari teks asli atau teks sumber
Penerjemahan terkesan lepas dari bahasa sumber
Sumber: Dikutip dari Ummi Hanik, Skripsi 2014: 33
Berdasarkan perbedaan antara tafsir dan terjemah pada tabel diatas maka dapat dipahami bahwa pada tafsir memungkinkan adanya pemahaman dan arti yang lebih spesifik pada maksud ayat atau lafazh Al-Qur`an, sedangkan terjemah lebih menekankan pada lafazh tanpa ada penambahan di luar teks sumber.
31 Ummi Hannik, Model Terjemah Tafsir Al-Qur`an Berbahasa Lokal; Analisis Terjemahan Tafsir al-Jalalain Bahasa Madura Karya Muhammad „Arifun, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). h. 33
B. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur`an dan Syarat-syaratnya
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa terjemah ialah pemindahan lafazh dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain atau menjelaskan makna satu bahasa dengan menggunakan bahasa lain.
Setelah mengetahui definisi terjemah maka selanjutnya akan dijelaskan tentang jenis-jenis serta syarat-syarat yang harus dilakukan ketika melakukan penerjemahan.
1. Jenis-jenis Penerjemahan Al-Qur`an
Dilihat dari jenisnya, para ulama membagi terjemah Al-Qur`an itu menjadi dua bagian:
a) Terjemah Harfiah
Terjemah harfiah yaitu cara menerjemahkan susunan kalimat Al-Qur`an dengan bahasa lain yang menyerupai serta mengikuti susunan yang ada di dalam Al-Qur`an, menerjemahkan setiap kata demi kata sesuai dengan apa yang ada di dalam Al-Qur`an dan sesuai gaya bahasa yang ada di dalam Al-Qur`an32 serta menjaga semua makna asli yang diterjemahkan.33 Secara ringkasnya dapat dipahami terjemah harfiah ialah menerjemahkan makna Al-Qur`an dengan bahasa lain secara tekstual atau apa adanya yang sesuai dengan susunan yang ada di dalam Al-Qur`an.
Terjemah Al-Qur`an secara harfiah ada yang disebut dengan
“Terjemah bil-Mitsli” ada juga disebut dengan “Terjemah Bighairil- Mitsli”. Terjemah harfiah bil-Mitsli yaitu menerjemahkan susunan kalimat Al-Qur`an kebahasa lain sesuai dengan susunan serta uslub
32 Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulum Al-Qur`an Al-Karim: Cahaya di Atas Cahaya, h. 109, lihat juga Manna‟ Qaththân, Mabâhîts Fî „Ulûm Al-Qur`an, (Muassas al- Risalah: Beirut, 1983), h. 313 dan lihat juga Muhammad Husein Dzahabî, at-Tafsîr wa al- Mufassirûn, Kairo. 1961 jilid. 1, h. 21-30
33 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 14
di dalamnya. Sehingga makna yang dicakup dalam terjemahan tersebut sebagaimana yang dicakup oleh aslinya.34 Namun, menerjemahkan dengan cara ini sangat mustahil untuk dapat dilakukan dikarenakan ada dua sebab penting:
1) Al-Qur`an merupakan mukjizat dari Allah yang tidak ada satu orangpun yang dapat menandinginya dengan membuat perumpamaan satu surah yang sama persis dengan Al-Qur`an.
Walaupun sebagian kaum ada yang pernah mencoba untuk melakukan hal tersebut namun tetap saja Al-Qur`an tak tertandingi.
2) Al-Qur`an merupakan hidayah bagi umat yang ada dimuka bumi ini, yang mana di dalamnya bisa diambil sebuah hukum dan dijelaskan mengenai faidah-faidah serta perintah, larangan dan petunjuk dari-Nya semua ada di dalam Al-Qur`an.
Penjelasan ini tidak hanya diambil dari makna asli yang mudah dipahami dan dijelaskan dengan bahasa lain, tetapi juga banyak diambil dari penjelasan makna kedua seperti isyarah nash dan dalalah nash. Dan penjelasan dari pemaknaan kedua tidak mungkin dapat dijaga karena keharusan Al-Qur`an tidak dapat dipindah ke bahasa lain selain bahasa Al-Qur`an itu sendiri.35
Sedangkan yang dimaksud dengan terjemah harfiah Bighairil- Mitsli yaitu menerjemah susunan Al-Qur`an sesuai dengan kemampuan dan penguasaan bahasa si penerjemah. Terjemahan
34 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 14
35 Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulûm Al-Qur`an Al-Karîm: Cahaya di Atas Cahaya, h. 109-110
seperti ini hanya dapat dilakukan pada ucapan manusia bukan pada kitab Allah swt. yaitu Al-Qur`an.36
b) Terjemah Tafsiriah/Maknawiah
Terjemah Tafsiriah yaitu cara menerjemahkan dengan menjelaskan makna yang terkandung dalam susunan kalimat Al- Qur`an dengan bahasa lain sesuai dengan kemampuan penerjemah37 dan tanpa membatasi susunan kata-kata asli atau perimbangan organisasi bahasanya.38 Pada dasarnya merupakan sebuah penafsiran terhadap makna Al-Qur`an namun dengan cara menggunakan bahasa lain selain bahasa Al-Qur`an. Memahami makna kemudian menjelaskan dengan gaya bahasa penerjemah yang sesuai dengan apa yang ingin disampaikan atau yang dimaksud oleh Al-Qur`an.39
Lebih jelasnya, setelah kita memahami makna yang dimaksud oleh lafazh atau kalimat Al-Qur`an kemudian kita menjelaskannya dengan susunan bahasa terjemahan dengan tidak menyimpang apa yang dimaksud oleh pesan Al-Qur`an.40 Secara ringkasnya dapat dipahami bahwa terjemah tafsiriah adalah menerjemahkan susunan kalimat yang ada di dalam Al-Qur`an dengan cara kontekstual yaitu mencari makna lain yang sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Al-Qur`an dengan menerjemahkan kepada bahasa sasaran. Dan cara
36 Muhammad Husein Adz-Dzahabî : Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 16
37 Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulûm Al-Qur`an Al-Karîm: Cahaya di Atas Cahaya, h. 110
38 Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur`an; Kajian Kritis, Objektif &
Komprehensif, penerjemah, Hasan Basri dan Amroeni, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), cet. 1, h.
90, dan yang dimaksud perimbangan organisasi bahasa ialah susunan serta tata tertib bahasa aslinya lihat Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur`an, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. 1, h. 131
39 Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulûm Al-Qur`an Al-Karîm: Cahaya di Atas Cahaya, h. 110
40 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 17
ini sangat mungkin untuk dilakukan karena belum ada yang menentang metode menerjemahkan dengan cara ini.
2. Syarat-syarat Penerjemahan Al-Qur`an
Telah diketahui menurut para ahli ilmu Al-Qur`an mengatakan bahwa terjemah harfiah itu tidak mungkin untuk dilakukan karena ada beberapa kemungkinan, sedangkan terjemah tafsiriah sangat mungkin untuk dilakukan oleh karena itu dalam hal ini ulama kontemporer membuat rumusan atau syarat-syarat agar terjemah Al- Qur`an dengan cara ini menjadi terjemah yang baik dan benar, mencapai tujuan yang di inginkan dan jauh dari mara bahaya serta kerusakan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat diterima kebenarannya adalah sebagai berikut:
1. Harus sesuai dengan tafsir, tidak boleh menyalahinya.41 Diharuskan kepada para penerjemah untuk menyebutkan makna asli dari penafsiran para ahli bahasa arab. Apabila penerjemah dalam menerjemahkan Al-Qur`an tidak ahli dalam bidang ini, ataupun terjemahan tidak memenuhi syarat ini, maka terjemah tersebut tidak dibenarkan atau diperbolehkan. Bagi siapa saja yang mengatakan segala sesuatu berkaitan dengan Al-Qur`an yang hanya bersandar pada pemikirannya secara mutlak maka mereka telah berbuat dosa, dan dipastikan bagi mereka siksaan yang sangat berat.
2. Tidak cenderung kepada akidah menyimpang dari yang diajarkan oleh Al-Qur`an. Seorang penerjemah harus jauh dari kecondongan terhadap salah satu akidah yang menyimpang atau
41 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 19
menyeleweng dari akidah Al-Qur`an. Jika pemahaman tersebut menguasai pandangannya maka dikategorikan menerjemahkan Al-Qur`an berdasarkan hawa nafsu, dan ini dilarang.42
3. Penerjemah Al-Qur`an harus ahli dalam dua bahasa. Dalam hal ini baik bahasa asli (Arab/ Al-Qur`an) ataupun penerjemah ke bahasa lain (selain Arab) harus memperhatikan 4 hal:
Keduanya harus sama-sama ahli dan paham akan rahasia yang terkandung dalam setiap kalimat yang diterjemahkan dari kedua bahasa.
Mengetahui tingkat kesulitan dan kesamaran dari segi bahasa diantara keduanya.
Mengetahui metode ushlûb (gaya bahasa) dari kedua bahasa tersebut.
Mengetahui setiap perbedaan ushlûb yang digunakan dari masing-masing bahasa yang akan diterjemahkan (bahasa Arab dan bahasa selain Arab).43
4. Dalam proses menerjemahkan tafsiriah, langkah yang harus diperhatikan penerjemah dalam menyusun terjemahan tersebut adalah sebagaimana berikut, pertama-tama penerjemah harus menuliskan atau meletakkan ayat Al-Qur`an yang akan diterjemahkan disusunan awal, selanjutnya diikuti dengan menuliskan terjemahan asli dari bahasa Arab atau tafsirnya yang kemudian diikuti dengan terjemahan tafsiriah. Agar tidak ada kecemasan atau bimbang yang nantinya akan menyimpulkan
42 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 19, lihat juga Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulum Al-Qur`an Al-Karim:
Cahaya di Atas Cahaya, h. 113
43 Muhammad „Alî as-Shâbûnî, Ikhtisâr fî „Ulûmil Qur`an, h. 333-334
bahwa terjemahan yang digunakan merupakan terjemahan harfiah.44
Syarat-syarat yang lain yaitu, untuk pribadi penerjemah dan pekerjaan menerjemah:45
Syarat yang menyangkut pribadi penerjemah meliputi:
1. Penerjemah harus seorang muslim, maka jika yang menerjemahkan adalah seorang non muslim maka hasil terjemahannya tidak boleh diterima secara mutlak tetapi perlu kehati-hatian dan meragukan terjemahnnya.
2. Penerjemah mesti seorang adil dan terpercaya. Jika yang menerjemahkan adalah seorang yang fasik maka terjemahannya tidak diterima.
3. Memenuhi adab mufassir,46 seperti keikhlasan dan tidak mengharap apa-apa dari terjemahannya kecuali penyebaran ajaran Islam.
Syarat yang menyangkut dengan pekerjaan menerjemah, meliputi:
1. Penerjemah mesti menguasai syarat-syarat tafsir.
2. Terjemahan mestilah lafazh dan makna Al-Qur`an, bukan susunannya. Sebab susunan lafazh dan ayat Al-Qur`an adalah mukjizat. Sehingga tidak mungkin manusia dapat membuat semisalnya.
3. Terjemahan mesti menggunakan bahasa yang mudah, memilih makna lafazh yang sesuai, dan menyebutkan makna ayat secara sempurna jika ayat tersebut berbicara mengenai topik yang sama.
Selain itu penerjemah seharusnya meminta bantuan kepada orang yang lebih tau tentang bahasa terjemahan.
44 Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulum Al-Qur`an Al-Karim: Cahaya di Atas Cahaya, h. 113-114
45 Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur`an, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. 1, h. 131-132
46 Penjelasan tentang adab mufassir lihat, Manna‟ Khalîl al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, penerjemah; Mudzakir AS, cet. 18, h. 469
4. Penerjemah harus merujuk pada karya para mufassir untuk mempermudah dalam penerjemahan.
5. Dalam kata pengantar seorang penerjemah haruslah menyebutkan bahwa karyanya adalah hasil terjemahan tafsiriah bukan sebuah karya tafsir.
Demikianlah syarat-syarat dalam penerjemahan Al-Qur`an yang harus dipenuhi sehingga terjemahannya selamat dari kritik dan cacat.
C. Urgensi Terjemah Al-Qur`an
Sebagaimana tafsir Al-Qur`an, terjemah tafsiriah juga wajib di pelajari oleh umat karena memberikan kemaslahatan penting, terutama di era kontemporer ini. Mempelajari ilmu terjemah itu diwajibkan karena banyak hal-hal wajib yang terkandung di dalamnya47, seperti:
1. Menjelaskan makna Al-Qur`an, menyampaikan petunjuk kepada orang Islam selain bangsa Arab, juga termasuk kepada non muslim yang tidak mengerti bahasa Al-Qur`an.
2. Memelihara akidah Islam dari serangan orang-orang kafir dan membela Al-Qur`an dari kesesatan para musuh yang sengaja menerjemahkan Al-Qur`an dengan keyakinan sesat mereka yang menyebabkan timbulnya keraguan pada orang muslim yang membacanya dan memalingkan non muslim dari agama Islam.
Sehingga menimbulkan banyak keluhan dan komentar dari terjemahan yang tidak benar tersebut. Oleh karena itu dibuatlah syarat-syarat penerjemahan Al-Qur`an agar terjemahan tersebut tetap berada dalam koridor yang benar.
47 Muhammad Husein Adz-Dzahabî: Penerjemah. H. Nabbani Idris, Ensiklopedia Tafsir, cet. 1, h. 19, lihat juga Nuruddin Ithir Agung, Terjemahan Ulum Al-Qur`an Al-Karim:
Cahaya di Atas Cahaya, h. 112