• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 Epidemiologi

3.5 Populasi

Seperti sosiologi dan demografi, epidemiologi merupakan sains populasi (population science). Epidemiologi mempelajari distribusi dan determinan penyakit pada populasi dan kelompok-kelompok individu, bukan pada individu. Populasi bisa merupakan masyarakat di sebuah kota, negara, atau kelompok umur tertentu, komunitas pekerja tertentu, ras tertentu, masyarakat miskin, dan sebagainya. Pengelompokan individu menurut karakteristik sosio- ekonomi-demografi-geografi, dengan mengabaikan keunikan masing-masing individu, dapat memberikan petunjuk awal tentang hubungan antara karakteristik itu dan terjadinya perbedaan distribusi penyakit pada kelompok tersebut.

Perspektif populasi mengandung implikasi, epidemiologi mengidentifikasi masalah kesehatan masyarakat yang penting (public health importance), mengidentifikasi penyakit dan kematian yang banyak terjadi pada masyarakat, mengidentifikasi kelompok-kelompok yang berisiko tinggi untuk mengalami penyakit, menjelaskan kausa terjadinya perbedaan risiko antar kelompok- kelompok di dalam populasi. Fokus studi epidemiologi bukan individu, melainkan kelompok individu, misalnya kelompok pasien tertentu di rumah sakit, kelompok pekerja pabrik, kelompok pekerja seks komersial, kelompok perokok tembakau, kelompok bayi prematur, kelompok bayi dengan berat badan lahir rendah, dan sebagainya.

Perspektif populasi juga mengandung arti, epidemiologi memperhitungkan kausa penyakit yang terletak pada level makro, yaitu populasi dan lingkungan.

Seperti ilmu-ilmu sosial lainnya, epidemiologi mempelajari faktor lingkungan, sosial, ekonomi, kultural, politik, sebagai kausa jauh (distal cause) untuk terjadinya penyakit pada level individu dan populasi (Hidayani, 2020).

Mengapa perlu memperhitungkan kausa pada level populasi dan lingkungan?

Secara teoretis variasi distribusi penyakit pada berbagai populasi tidak hanya ditentukan oleh paparan langsung agen kausal penyakit. Sebab individu- individu merupakan mahluk hidup dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik, sosial, ekonomi, maupun kultural. Implikasinya, kualitas dan kuantitas paparan kausa dekat dipengaruhi oleh determinan kontekstual/ lingkungan tersebut. Dengan kata lain, berjalannya mekanisme kausal karena paparan oleh kausa dekat tergantung dari faktor-faktor lingkungan fisik, sosial, ekonomi, kultural, dan politik. Sebagai contoh, insidensi infeksi HIV/AIDS di Sub- Sahara Afrika yang meningkat pesat relatif dibandingkan dengan belahan dunia lainnya kiranya tidak hanya ditentukan oleh karakteristik mikroba HIV (misalnya, infektivitas dan patogenesitas HIV), tetapi juga faktor-faktor lingkungan sosial, kultural, ekonomi, seperti poligami, subordinasi perempuan, perilaku seksual yang longgar, kemiskinan, kelangkaan sarana dan infrastruktur kesehatan, dan sebagainya, yang memengaruhi laju transmisi HIV (Katiandagho, 2015)

Perspektif populasi dalam epidemiologi berguna untuk mempelajari tiga hal:

(1) Mengidentifikasi variasi frekuensi penyakit pada berbagai populasi yang berbeda menurut orang, tempat, dan waktu; (2) Menentukan kausa yang melatari penyakit pada populasi, baik determinan lingkungan, ekonomi, sosial, kultural, dan politik; (3) Memahami mekanisme sosial yang memengaruhi distribusi penyakit pada. Pengetahuan yang diperoleh dengan perspektif populasi berguna untuk menciptakan lingkungan fisik, sosial, ekonomi, kultural, politik, yang dapat meningkatkah status kesehatan dan kesejahteraan populasi secara keseluruhan (Lapau, 2013)

Di samping perspektif populasi, epidemiologi mempelajari distribusi dan determinan penyakit dengan menggunakan perspektif biomedis (sistem mikro)

Gambar 3.2: Perspektif BIomedis dan Populasi dalam Epidemiologi Secara historis epidemiologi memang berkembang dari ilmu kedokteran.

Dengan perspektif biomedis epidemiologi mempelajari pengaruh biologis paparan oleh kausa dekat (proximate cause), disebut juga kausa langsung (immediate cause), yang terletak pada level mikro, yaitu molekul, sel, dan sistem tubuh, terhadap terjadinya penyakit. Kausa dekat meliputi agen infeksi, toksin, dan gen. Demikian pula dengan menggunakan paradigma “Black box”

(kotak hitam), epidemiologi mempelajari pengaruh kausa antara (intermediate cause) yang terletak pada level individu terhadap risiko terjadinya penyakit, seperti kebiasaan merokok, aktivitas fisik, dan kebiasaan makan.

Pendekatan biomedis dalam riset epidemiologi bertujuan mengidentifikasi kausa-kausa langsung dan memahami mekanisme biologis tentang terjadinya penyakit maupun penyebaran penyakit. Dengan perspektif biomedis, sasaran penerapan riset epidemiologi adalah mengendalikan penyakit pada individu- individu, baik dengan cara mengurangi paparan dengan agen penyakit, atau memberikan intervensi kesehatan preventif secara langsung kepada individu- individu yang telah mengalami paparan tersebut agar tidak mengalami proses patologis lebih lanjut secara klinis.

Eko-epidemiologi menganalisis determinan dan penyakit pada berbagai level tatanan (organisasi), baik di dalam masing-masing level maupun lintas konteks dengan menggunakan teknik analisis canggih dan teknologi biologi molekuler untuk mempelajari paparan dengan lebih mendalam sampai ke level gen dan molekul. Eko-epidemiologi menganalisis sistem yang menghasilkan pola penyakit pada populasi. Dengan “sistem” dimaksudkan kumpulan dari faktor- faktor yang terkoneksi satu dengan lainnya dalam suatu bentuk hubungan yang koheren; semua faktor itu bekerja menuju tujuan yang sama atau tujuan bersama, yaitu terjadinya penyakit. Jadi fokus eko-epidemiologi adalah

memperluas hubungan antara variabel-variabel paparan dan penyakit yang biasa dilakukan dalam epidemiologi klasik, menjadi analisis tentang sistem yang menyebabkan terjadinya paparan dan menyebabkan paparan itu berlangsung untuk menyebabkan penyakit (Ismah, 2018)

Informasi genetik (genome) pada manusia berubah secara perlahan (evolusi) karena pengaruh lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya variasi genetik pada populasi manusia antar wilayah di dunia. Variasi genome manusia dapat dianalisis pada level individu untuk mempelajari perbedaan genome antara satu orang dengan orang lainnya dan efeknya terhadap terjadinya penyakit.

Tetapi variasi genome dapat juga dianalisis pada level populasi untuk mempelajari penyebab mengapa genome antar populasi atau antar ras, misalnya perbedaan genomik antara populasi di Amerika, Afrika, dan Asia, dan dampaknya terhadap variasi geografis distribusi penyakit pada berbagai populasi tersebut. Pengetahuan tentang relasi paparan-penyakit yang diperoleh melalui analisis multilevel berguna untuk mengendalikan penyakit pada level individu, keluarga, hingga populasi (Susser and Susser, 1996)

Dengan paradigma eko-epidemiologi, proses yang menyebabkan perbedaan distribusi penyakit/ status kesehatan menurut variasi lingkungan sosial pada suatu populasi dapat digambarkan sebagai sebuah garis berkelanjutan (kontinum). Pada satu ujung terletak karakteristik makropolitik dan ekonomi dari sebuah masyarakat, dilanjutkan dengan karakteristik budaya, ekonomi, dan dinamika sosial dari suatu wilayah atau komunitas, diteruskan dengan lingkungan sosial di suatu keluarga, lingkungan rumah dan lingkungan kerja, dilanjutkan dengan proses psikologis dan perilaku individu, diteruskan dengan fungsi fisik dan sifat berbagai sistem tubuh, dan berujung pada variasi pada level sel dan variasi genomik pada level molekul. Perbedaan distribusi penyakit/ status kesehatan menurut lingkungan sosial di suatu populasi merupakan hasil interaksi antara berbagai elemen yang berbeda pada kontinum tersebut. Implikasinya, untuk menjawab masalah riset epidemiologi tentang proses yang menghasilkan perbedaan status kesehatan/ penyakit pada populasi menurut lingkungan sosial diperlukan pendekatan multidisipliner (Murti, 2012).

Dalam dokumen Buku Ilmu Kesehatan Masyarakat (Halaman 51-55)