107 Hukumonline.com, diakses pada 03 Juni 2022
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hakikat tujuan dari kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari Debitor terhadap para Kreditornya. Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil. Dimensi keadilan dari proses kepailitan adalah terletak pada dilindunginya kepentingan dari kedua belah pihak baik para kreditor pailit maupun debitor pailit. Pada prinsipnya kepailitan bukanlah alat penekan bagi debitor untuk memenuhi kepentingan kreditor ansich. Terdapat banyak aspek- aspek hukum yang juga memerhatikan kepentingan-kepentingan debitor untuk meminimalisasi kerugian-kerugian terhadap harta kekayaan debitor. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dalam ketentuan masa tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, ketentuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), ketentuan rehabilitasi, dan lain sebagainya.108
Kepentingan debitor perlu dilindungi karena debitor memiliki banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Dengan diputuskannya debitor pailit oleh Pengadilan, maka bukan saja pada umumnya piutang para kreditor tidak dapat kembali dalam jumlah penuh (hanya sebagian saja dari piutang para kreditor yang terbayar kembali), tetapi juga banyak pihak lain yang merupakan stakeholders dari debitor menjadi korban pailitnya debitor, yaitu:
Negara, yang terpaksa kehilangan subjek pajak; Para Pegawai, yang kehilangan pekerjaannya; Para Pensiunan, yang tidak lagi dapat memperoleh
108 Hadhi Subhan. Op.cit, hal 59
pembayaran pensiunnya; dan Masyarakat, yang kehilangan produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan debitor. Secara makro, “pertumbuhan ekonomi negara” akan terpengaruh pula. 109
Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suatu debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan keuangan (financial distress) dari usaha debitor.110
Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo Simanjuntak yang menyatakan bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Agar perusahaan tetap berhubungan baik secara emosional maupun bisnis dengan setiap pihak-pihaknya, satu-satunya cara adalah perusahaan akan meminta untuk dimohonkan pailit. Status permohonan pailit akan membuat harta yang tersisa dibagikan dan perusahaan akan keluar kembali kemudian membuat usaha
109 Sutan Remy Sjahdeini. Op.cit, hal.147 110 Hadhi Subhan. Op.cit, hal. 189
baru. 111
Pada prinsipnya kepailitan Perseroan Terbatas adalah merupakan salah satu dari bentuk pembubaran Perseroan Terbatas yang berujung pada likuidasi perseroan tersebut dan bukan pranata hukum yang terpisah sama sekali dengan pengakhiran Perseroan Terbatas pada umumnya. Dalam hukum Perseroan Terbatas di Indonesia, pembubaran Perseroan Terbatas merupakan pranata hukum yang diatur dalam Pasal 142 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dinyatakan bahwa pembubaran Perseroan terjadi:
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
111 Ibid
Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan
b. Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan Perseroan dalam rangka likuidasi.
Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator. Dalam hal pembubaran Perseroan terjadi dengan dicabutnya kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pengadilan niaga sekaligus memutuskan pemberhentian kurator dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang- Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilanggar, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan Perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng. Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi mutatis mutandis berlaku bagi likuidator.
Ketentuan dalam Pasal 142 ayat (1) huruf d dan huruf e mengelaborasi
pembubaran perseroan, di mana bubarnya perseroan juga karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan serta karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Kepailitan. 112
Prinsip commercial exit from financial distress tidak dianut oleh ketentuan kepailitan di Indonesia. Prinsip yang dianut dalam UUK-PKPU adalah kemudahan untuk mempailitkan subjek hukum yang berkaitan dengan debt collective proceeding. Kemudahan dalam mempailitkan suatu badan hukum bukan dalam konteks untuk mempercepat proses kepailitan terhadap badan hukum yang memang sudah seharusnya demikian. Proposisi ini terlihat dari ditentukannya syarat materiil untuk mempailitkan subjek hukum, yakni mempunyai dua atau lebih kreditor serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Prinsip kemudahan mempailitkan tersebut bahkan ditambah lagi dengan ketentuan pembuktian yang sederhana. 113
Padahal sebagaimana yang dikatakan oleh Volkmar Gessner, bahwa fungsi kepailitan penghukuman dalam kepailitan lambat laun akan kehilangan maknanya karena digantikan oleh fungsi sistem kompetisi sebagaimana dianut dalam teori ekonomi liberal. Kepailitan tidak lagi dilihat sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh atau menjatuhkan martabat individu.
Ketidakmampuan si pailit dianggap lebih disebabkan ketidakmampuannya
112 Ibid
113 Ibid. Hal. 196
untuk memenuhi permintaan pasar. Kepailitan dilihat sebagai suatu risiko yang tidak dapat dicegah dalam perdagangan bebas. Pailitnya debitor dianggap sebagai kontribusi fungsional terhadap reorganisasi dan stabilisasi permanen atas sistem ekonomi. Stigma corporate failure sekarang berubah menjadi corporate rescue. Seharusnya Undang-Undang Kepailitan Indonesia mengikuti konsep modern ini dan tidak mengikuti konsep kepailitan yang sudah asing peninggalan penjajah Belanda yang diperoleh oleh lembaga IMF.114
Dalam hukum kepailitan modern, sistem kepailitan diperlukan untuk mencari pemecahan masalah berkaitan dengan pengembalian utang dari suatu perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas (insolvency) untuk membayar utang-utangnya. Kesulitan keuangan ini mungkin disebabkan oleh kesulitan ekonomi (economic distress), kesulitan keuangan (financial distress) atau kedua- duanya. Kesulitan ekonomi terjadi apabila perusahaan tidak dapat menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya (tidak termasuk biaya keuangan) dan dalam hal ini perusahaan tersebut mempunyai nilai keekonomian yang negatif. Di sisi lain, suatu perusahaan menghadapi kesulitan keuangan apabila dia mempunyai pendapatan yang positif tetapi tidak dapat membayar utang-utangnya. Perusahaan yang mengalami kesulitan ekonomi dapat dilikuidasi tetapi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan mungkin masih dapat diselamatkan dan dilanjutkan.115
114 Ibid. Hal 198
115 Andriani Nurdin. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung:PT. Alumni, 2012), hal. 186
Demi kepentingan tersebut, reorganisasi adalah yang pertama-tama dan terlebih dahulu harus diusahakan oleh para kreditor dan debitor sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor. Dengan kata lain, kepailitan adalah ultimum remedium, sedangkan reorganisasi merupakan premium remedium (the first resort). Dengan berlakunya “asas kelangsungan usaha” dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka dapat disimpulkan bahwa kepailitan jangan sampai menjadi the first resort tetapi hendaknya menjadi the last resort setelah usaha perdamaian atau reorganisasi yang berupa restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan dilaksanakan terlebih dahulu dan gagal dalam implementasinya.116 UUK-PKPU mengenal reorganisasi dengan istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. PKPU yang dapat ditempuh baik sebelum atau setelah diajukannya permohonan kepailitan terhadap debitor. 117
UUK-PKPU memberikan kesempatan kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang- utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih untuk meminta penundaan pembayaran (surceance van betaling atau suspension of payment) kepada pengadilan niaga. Dengan permohonan penundaan pembayaran itu dikandung maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor konkuren. Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini dapat diajukan terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor, dan debitor
116 Sutan Remy Sjahdeini. Op.cit. hal 96 117 Ibid. Hal. 179
yang tidak dapat atau diperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih (Pasal 222 UUK-PKPU).118
Sutan Remy Sjahdeini mengutip pendapat Fred B.G. Tumbuan, PKPU bertujuan menjaga jangan sampai debitor, yang karena suatu keadaan semisal keadaan likuid dan sulit memperoleh kredit, dinyatakan pailit, sedangkan bila debitor diberi waktu maka besar harapan ia dapat melunasi utang-utangnya.
Pernyataan pailit dan keadaan seperti ini akan berakibat pengurangan nilai perusahaan, hal mana jelas merugikan para kreditor. Oleh karenanya, dengan memberi waktu dan kesempatan kepada debitor, diharapkan bahwa ia, melalui reorganisasi usahanya dan/atau restrukturisasi utang-utangnya, dapat melanjutkan usahanya dan dengan demikian membayar lunas utang- utangnya.119
Apabila dalam kepailitan debitor tidak lagi berwenang mengurus dan memindahtangankan kekayaannya, dalam PKPU debitor masih dapat melakukan pengurusan dan kepemilikan atas harta kekayaannya asalkan hal tersebut disetujui oleh pengurus (Pasal 240 ayat (1) UUK PKPU). Bahkan debitor dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga semata-mata dalam rangka meningkatkan nilai harta debitor. Dengan demikian, perbedaan antara PKPU dan Kepailitan adalah dalam PKPU debitor memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan dan mengurus kekayaannya sepanjang hal itu dilakukan dengan persetujuan pengurus yang ditunjuk
118 Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013) ,hal.491.
119 Sutan Remy Sjahdeini. Op.cit, hal. 413
secara khusus oleh pengadilan berkenaan dengan PKPU tersebut. Sementara itu, dalam hal debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan, debitor tidak lagi berwenang untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya yang telah menjadi harta pailit, kewenangan tersebut ada pada kurator.120
Dari pembahasan pada bab ini, dapat diketahui bahwa financial distress adalah kondisi di mana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan tidak mampu untuk membayarkan kewajiban yang ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan bergantung kepada pembiayaan dengan hutang daripada modal. Perusahaan yang mengalami financial distress dapat mengalami kebangkrutan sehingga perusahaan tidak mampu lagi untuk menjalankan operasi perusahaan dengan baik. Pada prinsipnya perseroan terbatas yang mengalami kebangkrutan hanya memiliki dua pilihan jalan keluar, yakni pembubaran perusahaan yang di dalamnya terdapat alternatif kepailitan ataukah dilakukan recovery perusahaan melalui reorganisasi.
Melalui kepailitan, perusahaan dapat keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, diakibatkan debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Konsep inilah yang dikenal dalam prinsip commercial exit from financial distress dalam kepailitan perseroan terbatas. Prinsip ini tidak dinormakan dalam peraturan kepailitan
120 Ibid.
di Indonesia, padahal sejatinya kepailitan perseroan terbatas harus digunakan setelah upaya untuk melakukan recovery perusahaan tidak dapat dijalankan lagi. Serta perlu adanya pembedaan pengaturan antara kepailitan terhadap perseroan terbatas dengan kepailitan terhadap orang perorangan karena terdapat perbedaan-perbedaan prinsip di dalamnya, di antaranya mengenai akibat kepailitan, mengenai on going concern, dan mengenai pertanggungjawaban.