• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proyeksi pengembangan kelembagaan KPHP dalam bentuk BLUD Pembangunan KPH pada dasarnya dapat dimaknai sebagai

ANALISIS DAN PROYEKSI

4.3 Analisa Data Dan Informasi

4.4.6 Proyeksi pengembangan kelembagaan KPHP dalam bentuk BLUD Pembangunan KPH pada dasarnya dapat dimaknai sebagai

penguatan kapasitas klaim Negara c.q. Pemerintah (Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota sesuai kedudukannya) atas sumber daya hutan yang dikuasainya untuk dikelola secara lestari dan mendatangkan sebesar- besarnya manfaat bagi rakyat. Untuk penguatan klaim tersebut

IV- 40 dibutuhkan legalitas, legitimasi dan kemampuan pendanaan serta penyediaan SDM yang memadai.

Dalam kerangka penguatan pendanaan ada 3 model yang dapat dikembangkan. Yaitu sepenuhnya ditanggung oleh Negara (state government centric); berbasis mekanisme pasar yang mengandalkan investasi swasta (market government); dan penggabungan kedua model tersebut melalui tata kelola yang partisipatif (participatory governance), fleksibel (flexible governance) dan penguatan jaringan sosial (social network). Berangkat dari tupoksi KPH, kewenangan, posisi KPH sebagai wakil pemerintah di tingkat tapak dan peran KPH dalam penguatan layanan publik, maka model tata kelola yang menggabungkan antara tata kelola yang berbasis pemerintah dan pasar akan menjadi pilihan yang baik. Pada situasi demikian, KPH akan menjadi sebuah organisasi yang bersifat semi pemerintah (quasi government) dengan ciri lembaga yang ditunjuk dan dikontrol oleh pemerintah, menjalankan layanan publik dan memiliki keleluasaan untuk memperoleh penghasilan sendiri.

Dalam tataran peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini Pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) untuk organisasi yang dikelola oleh pemerintah pusat seperti halnya KPHK dan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPKBLUD) untuk organisasi yang dikelola oleh pemerintah daerah seperti halnya KPHP dan KPHL dapat dimanfaatkan untuk mencapai maksud pembangunan lembaga semi pemerintah.

Menurut PP No. 23 tahun 2005 BLU didefinisikan sebagai: Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

IV- 41 Dengan menerapkan PPK-BLU/PPK-BLUD serangkaian keluwesan pengelolaan keuangan akan diperoleh misalnya dalam hal penetapan remunerasi, penetapan tarif layanan, pengelolaan pendapatan dan biaya, pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang, pengelolaan investasi, melakukan kerja sama, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan barang, serta pengelolaan surplus dan defisit anggaran. Fleksibilitas yang dimiliki oleh PPK-BLUD antara lain dalam aspek :

1. Penetapan tarif barang dan jasa yang disediakan 2. Perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran

3. Pengelolahan pendapatan, kas, aset tetap, utang, piutang, dan investasi

4. Pengadaan barang/jasa

5. Penyusunan akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban 6. Pengelolaan surplus dan defisit

7. Tata kelola dan Remunerasi 8. Kerja sama dengan pihak lain

9. Dapat mempekerjakan tenaga non PNS

10. Pengelolan dana pendapatan secara langsung (tanpa harus disetor ke kas negara/daerah

11. Perumusan standar, kebijakan sistem, dan prosedur pengelolan keuangan.

Namun demikian dalam perjalanannya keluwesan semacam itu tampaknya belum menjadidaya tarik bagi KPH untuk menerapkan PPK- BLU/ PPK-BLUD. Hal itu disebabkan oleh berbagai alasan, misalnya kecukupan kualitas dan kuantitas SDM, keterbatasan pengetahuan tentang PPK-BLU/PPK-BLUD, kesulitan dalam mengkomunikasikan gagasan PPK-BLU/PPK-BLUD kepada pengambil keputusan, pengambil keputusan tidak yakin akan manfaat PPK-BLU/PPK-BLUD bahkan terhadap konsep KPH itu sendiri, dan keengganan KKPH untuk keluar dari zona nyaman (comfort zone) yang telah dimiliki saat ini.

IV- 42 4.4.7 Proyeksi Kebutuhan Pendanaan

Pembiayaan dengan sumber dana APBD, APBN dan pihak ketiga yang tidak mengikat, selain digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana, juga dimungkinkan untuk membiayai kegiatan pengelolaan hutan. KPHP sebagai bagian penguatan sistem pengurusan hutan dengan mewujudkan integrasi program atau konvergensi program kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota (rehabilitasi, inventarisasi, pemberdayaan masyarakat, dll), sehingga diperoleh sinergisitas kegiatan pembangunan kehutanan. Dengan banyaknya aktivitas kegiatan kehutanan di lokasi KPHP maka secara otomatis akan menarik para rimbawan muda untuk bekerja di lapangan. Dalam meningkatkan penyediaan dana dalam pengelolaan dapat juga melalui dana APBD dan APBN sebagai dana pendamping serta dana pihak ketiga yang tidak pengikat. Perkiraan sumber dana kegiatan operasional KPHP Tanjung Jabung Barat Unit XVI, meliputi :

1. Anggaran rutin KPHP melalui dana APBD dan APBN.

2. Dana pendamping memanfaatkan dana APBD dan APBN.

3. Hasil Unit usaha KPHP.

4. Komunikasi dan koordinasi pendanaan pengelolaan KPHP pada pihak ketiga yang tidak mengikat seperti NGO/LSM dan Hibah Lembaga Internasional.

Kebutuhan pendanaan operasional KPHP Tanjung Jabung Barat Unit XVI selama 10 tahun masih diperlukan support oleh dana APBN dan APBD. Namun secara perlahan tapi pasti dengan ada unit bisnis KPHP berupa Agroforetsry berbasis karet, produksi madu alam, pengolahan jernang, produksi kayu, dan pengelolaan jasa lingkungan akan mendukung pendanaan operasional KPHP sampai terwujudnya kemandirian.

IV- 43 4.4.8 Proyeksi resiko

Dalam proses pembangunan dan pengembangan kelembagaan serta berbagai program strategi KPHP Tanjung Jabung Barat Unit XVI selama 10 tahun mendatang maka diperkirakan resiko yang mungkin terjadi antara lain :

1. Proses Pendanaan pembangunan KPHP melalui APBN dan APBD yang berjalan kurang baik karena kemampuan anggaran yang terbatas di daerah dan prosedur sistem anggaran dari Pusat melalui UPT pusat.

2. SDM yang dibutuhkan sulit terpenuhi secara optimal.

3. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan tidak dapat terpenuhi

4. Gangguan keamanan hutan berupa perambahan, kebakaran hutan dan ilegal logging di areal KPHP.

5. Konflik tata batas di areal KPHP.

6. Konflik kelembagaan PHBM di KPHP.

7. Konflik masyarakat sekitar areal KPHP dengan perusahaan.

8. Konflik satwa liar yang dilindungi dengan masyarakat.

BAB V