RAJAWALI PERS Divisi Buku Perguruan Tinggi
PT RajaGrafindo Persada D E P O K
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) Fatmawati, Ade Sofyan Mulazid.
Analisis Masalah Kemiskinan dan Kebijakan Sosial/Fatmawati, Ade Sofyan Mulazid.—Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2022.
x, 112 hlm., 23 cm.
Bibliografi: hlm. 87 ISBN 978-623-372-647-4 1. xxxxxxxxxx
Hak cipta 2022, pada penulis
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit 2022.3717 RAJ
Dr. Fatmawati, M.Ag.
Dr. Ade Sofyan Mulazid, S.Ag., M.H.
ANALISIS MASALAH KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN SOSIAL Cetakan ke-1, November 2022
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok Editor : Putra Adi Syani, S.E., M.Ak.
Copy Editor : Rara Aisyah Rusdian Setter : Dahlia
Desain cover : Tim Kreatif RGP Dicetak di Rajawali Printing PT RAJAGRAFINDO PERSADA Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456 Telepon : (021) 84311162
E-mail : [email protected] http: //www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511- 3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong Jaya Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
Alhamdulillah atas berkat rahmat Allah Swt., akhirnya penulisan buku ini dapat diselesaikan. Teriring selawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa menegakkan Islam sampai akhir zaman. Semoga dengan selesaianya buku ini, dapat memberikan kontribusi pemikiran dan pencerahan secara optimal bagi pengembangan kebijakan sosial dan program pengentasan kemiskinan di Indonesia pada khususnya dan dunia internasional pada umumnya.
Penulis meyakini bahwa selesainya buku ini adalah berkat do’a dan kasih sayang suami tercinta, serta orangtua terkasih. Penulis persembahkan karya sederhana ini, khusus untuk putraku tersayang Mario Rinawa Sofyan (2008) dan Panrita Arrasya Sofyan (2022). Banyak pihak yang berkontribusi dalam penulisan buku ini, dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan ribuan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para Wakil Rektor dan Prof. Jajang Jahroni, M.A., Ph.D selaku Ketua LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Dr. Imam Subchi, M.A selaku Kepala PUSLITPEN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan saran, arahan, dan bimbingan, serta masukan yang sangat besar selama penyusunan buku ini.
KATA PENGANTAR
Penulis ucapkan terima kasih kepada pimpinan dan segenap civitas akademika Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak henti- hentinya memberikan dukungan, agar tulisan ini dapat diterbitkan menjadi sebuah buku. Tidak lupa, penulis ucapkan tarima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada sahabatku, Muhammad Khairul Muttaqien, S.E., Sy., M.E. yang telah membantu dan menemani penulis di sela-sela kegiatannya yang padat.
Penulis menyadari betul, masih banyak kekurangan dan ke- terbatasan dalam buku ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan senang hati dalam pengembangan keilmuan penulis.
Ciputat, 1 Agustus 2022 Peneliti,
Dr. Fatmawati, M.Ag.
NIP. 197609172001122002
KATA PENGANTAR v DAFTAR ISI vii BAB 1 PENDAHULUAN 1 BAB 2 PERAN STRATEGIS KEMENTERIAN SOSIAL 11 A. Peran Strategis Kementerian Sosial 11 1. Teori Peran (Role Theory) 11
2. Jenis-jenis Peran 13
3. Pengertian Strategi 14
4. Peran Strategis Kementerian Sosial 16 5. Peran Pelaksana Bantuan Pangan Non-Tunai 18 B. Penguatan Program Bantuan Pangan Non-Tunai 21
1. Pengertian Penguatan 21
2. Pengertian Program 22
3. Program Bantuan Pangan Non-Tunai 24 4. Ruang Lingkup Bantuan Pangan Non-Tunai 25
DAFTAR ISI
5. Tujuan dan Manfaat Bantuan Pangan Non-Tunai 28 6. Dasar Hukum Penyelenggaraan Program
Bantuan Pangan Non-Tunai 28
BAB 3 BENTUK KEBIJAKAN KEMENTERIAN SOSIAL DALAM RANGKA PEMULIHAN EKONOMI SELAMA PANDEMI COVID-19 31 A. Bentuk Kebijakan Kementerian Sosial dalam
Rangka Pemulihan Ekonomi Selama Pandemi
Covid-19 31
1. Program Keluarga Harapan 32
2. Bantuan Sosial Tunai 34
3. Bantuan Langsung Tunai Dana Desa 36 4. Bantuan Sosial Sembako untuk Wilayah
Jabodetabek 38
5. Kartu Prakerja 40
6. Kartu Sembako 41
7. Subsidi Listrik 43
B. Pemuliahan Ekonomi Selama Pandemi Covid-19 45
1. Produksi 46
2. Distribusi 46
3. Konsumsi 47
BAB 4 RESPONS MASYARAKAT TERHADAP MEKANISME DAN TAHAPAN PENYALURAN BANTUAN PANGAN NON TUNAI SELAMA
PANDEMI COVID-19 49
A. Mekanisme dan Tahapan Penyaluran Bantuan Pangan Non-Tunai Selama Pandemi Covid-19 50
1. Mekanisme Pelaksanaan 50
2. Tahap Persiapan Program 52
3. Registrasi dan Pembukaan Rekening Penerima
Kartu Keluarga Sejahtera 53
4. Edukasi dan Sosialisasi 56
5. Penyaluran Bantuan Pangan Non-Tunai 58
6. Pembelian Barang 60
B. Optimalisasi Peran Pelaksana Program BPNT 62
1. Perencanaan 62
2. Penganggaran 65
3. Pelaksanaan 69
4. Pemantauan 72
5. Evaluasi 77
6. Pelaporan 79
BAB 5 PENUTUP 83
A. Kesimpulan 83
B. Implikasi Penelitian 85
DAFTAR PUSTAKA 87 INDEKS 103 BIODATA PENULIS 107
1 PENDAHULUAN
Penyebaran Covid-19 mengakibatkan kegiatan ekonomi mengalami kontraksi, bahkan terhenti berproduksi. Hal ini, menimbulkan terjadinya peningkatan pengangguran, penurunan tingkat produktivitas individu maupun perusahaan dan mendorong munculnya orang miskin baru yang secara agregat meningkatkan jumlah penduduk miskin (Suryahadi, Al Izzati, & Suryadarma, 2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan nasional pada 2021 sebesar 10,14% penduduk atau sebanyak 27,54 juta jiwa (BPS, 2021). Dari jumlah itu, sebanyak 4%
atau 10,86 juta jiwa masuk dalam kategori miskin ekstrim. Dengan bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia, tentu dibutuhkan sebuah peran dari lembaga pemerintah untuk berupaya menekan angka kemiskinan melalui berbagai macam program bantuan (Fadlurrohim, Nulhaqim, & Sulastri, 2020).
Berbagai program dan kebijakan dalam penanganan kemiskinan telah dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah, namun masih belum menemukan cara tepat untuk mengatasi kendala maupun sistem yang kurang tepat dalam objek penanganan (Sulistiyani, 2007). Sudah banyak program yang telah dikeluarkan, tetapi belum menyentuh akar permasalahan. Program yang dijalankan selama ini, lebih berorientasi kepada kebijakan penanggulangan kemiskinan yang belum tepat sasaran (Budi, 2016). Hal ini, dapat terlihat dari program bantuan yang telah
dilakukan secara nasional maupun pemberdayaan yang dibuat dalam tingkat pusat maupun daerah (Sumodiningrat, 1999).
Pemerintah Indonesia selama ini, mengukur standar kemiskinan menggunakan konsep kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) sesuai dengan standar nasional dari Kementerian Sosial (BPS, 2020). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (Tibyan, 2010). Upaya pengentasan kemiskinan tersebut, sudah dilakukan pemerintah sejak tahun 2017 melalui Program Beras Sejahtera (Rastra) yang merupakan kebijakan subsidi sebagian ditransformasi menjadi pola bantuan melalui program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) (Hermawan, et al., 2021). Namun demikian, bukti keberhasilan program BPNT melalui indikator tersebut belum cukup kuat untuk dapat langsung menafikan wacana bahwasanya pemerintah akan menyetop sementara program BPNT dan menerapkan kembali program Rastra. Hal ini, lantaran stok beras yang ada di Bulog berlebih hingga 2 juta ton. Program baru pemerintah, yakni BPNT telah membuat Bulog kehilangan pangsa pasar yang cukup besar. Berbeda saat program Rastra, di mana Bulog menjadi penyalur tunggal (Nain, 2018). Program BPNT ini, bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan nutrisi yang seimbang, meningkatkan ketepatan sasaran dan waktu penerimaan bantuan dengan akses mesin Electronic Data Capture (EDC) guna membeli bahan sembako di Elektronik Warung Gotong Royong (e-Warong) (Risnandar & Broto, 2018).
Menurut Hermawan, et al., (2021) program BPNT merupakan Program Nasional yang dikelola oleh Kementerian Sosial dan dilimpahkan kepada pemerintah tingkat kabupaten/kota yang menjadi kewenangannya untuk perlindungan jaminan sosial dalam upaya pengentasan kemiskinan. Program ini, ditangani oleh Dinas Sosial dan Tim Penanggulangan Kemiskinan (Dinsosnangkis) kabupaten/kota yang bertugas untuk menjalankan program BPNT.
Pendamping program BPNT, yaitu Tenaga Kerja Sosial Kecamatan (TKSK) menciptakan harmonisasi dan sinergi dalam pelaksanaannya (Amali, 2020). Selain itu, Kementerian Sosial bekerja sama dengan bank penyalur atau kantor pos sebagai mitra kerja tempat dibukanya pemberi bantuan sosial untuk menampung dana yang akan disalurkan kepada penerima bantuan. Namun permasalahannya adalah dari segi
ketepatan sasaran, di antaranya terkait akurasi data penerima bantuan yang meliputi kualitas data penerima, transparansi data, maupun pemutakhiran data masih ditemukan data ganda pada penerima bantuan program Sembako (Teja, 2020). Faktor penyebabnya, kemungkinan karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai atau karena sistem pendataannya yang masih memiliki kelemahan dan membutuhkan pemutakhiran sistem.
Sasaran penerima program BPNT adalah masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi 25% terendah di daerah pelaksanaan (Tiara
& Mardianto, 2019). Program BPNT tersebut, akan dialokasikan ke daerah-daerah yang telah memenuhi syarat dengan akses pembayaran menggunakan media kartu kombo yang berfungsi sebagai uang elektronik dan tabungan, sehingga pada saat pengambilan bantuan harus dibawa oleh penerima manfaat (Yulianto, 2005). Namun pada pelaksanaannya, ternyata menghadapi berbagai masalah sebagaimana yang dimuat dalam sebuah media cetak yang menyatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengentasan kemiskinan di wilayah DKI Jakarta adalah hambatan penyelenggaraan bantuan.
detikNews - Perwakilan Koalisi Pemantau Bansos Jakarta, Dika Muhammad dalam audiensi daring bersama KPK mengaku mendapat laporan bahwa ada 461 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tak punya saldo di kartu kombo. Koalisi menyebut data tersebar di 16 kelurahan DKI Jakarta.
“Dari catatan kami ada sekitar 461 KPM yang melaporkan kepada kami mengadukan saldonya nol tersebar di 16 kelurahan,” pungkasnya.
Dika mengatakan laporan itu diterima koalisi hingga Juli 2020. Dika menyebut KPM yang saldo kartu BPNT nol itu sejak Maret 2020.
Bahkan ada juga yang saldonya nol sejak 2017. “Ini rata sebagian besar dari mereka ada pemilik atau penerimaan BPNT sejak bulan Maret, April sebagian besar saldonya sudah nol, dan ada juga saldonya nol sejak tahun 2017,” ujar Dika. “Mayoritas KPM yang lapor ini masih hidup dalam keadaan miskin dan secara sosial ekonomi belum tentu sejahtera. Tidak ada alasan yang mengatakan yang saldo nol ini mereka yang tergraduasi secara mandiri,” lanjutnya. Dika menjelaskan, KPM yang saldo BPNT nol itu tidak bisa mengakses bantuan pangan. Selain itu, Dika menyebut mereka tidak mendapat kompensasi selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “Akibatnya, karena saldo nol
mereka nggak bisa akses bantuan pangan. Selama PSBB, mereka tidak dapat kompensasi dari pemerintah karena ada ketentuan mereka yang sudah dapat Bansos reguler dari pemerintah pusat, tidak diperbolehkan Bansos PSBB,” jelasnya. Dika mengaku para pelapor tersebut juga sudah mengadu ke pemerintah daerah. Namun, tidak ada solusi dari Pemda.
“Kemudian sebagian di antara mereka sebelum lapor ke posko-posko kami, mereka sudah berupaya berkomunikasi kepada pendamping di tingkat kecamatan, mereka tidak dapat informasi dan solusi,” tuturnya.
Selanjutnya, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengaku bakal menindaklanjuti hal itu. Ia meminta Koalisi Pemantau Bansos Jakarta mengirimkan data lengkap soal laporan PKM yang saldo BPNT nol tersebut. “Kalau boleh saya di-email atau di-WA atau tim jaga Bansos ambil gitu, nama semua orang lengkap seperti ini paling tidak ada nomor kartu, syukur-syukur ada NIK. Kemungkinannya dia sudah dihapus sejak lama, jadi-jadi PKH dan BPNT di pandemi ini justru diperluas, jadi kita kaget juga. Lho, kok ada orang saldo nol,” kata Pahala.
Berdasarkan permasalahan di atas, pelaksanaan program BPNT tidak lepas dari masalah saldo yang kerap kosong, kebutuhan pokok yang tidak tersedia, hingga ketidaksesuaian masyarakat sebagai KPM berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Selama pandemi Covid-19, pemerintah telah melakukan penguatan program BPNT menjadi program sembako.
Penguatan program sembako yang dilakukan pemerintah adalah bentuk penyempurnaan proses penyaluran bantuan pangan, perluasan target dan jenis komoditas, serta penguatan program komplementer. Melalui penguatan program sembako, pemerintah berharap dapat menurunkan beban pengeluaran rumah tangga dan terpenuhinya kebutuhan pangan bergizi (Siti Nurfitriah, et al., 2020). Namun demikian, upaya memaksimalkan peran program sembako masih diperlukan beberapa perbaikan sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sosial (JPS) di masa pandemi Covid-19. Hal ini, sebagai tindak lanjut dari serangkaian hasil pemantauan dan evaluasi program sembako yang didasarkan pada pengalaman pelaksanaan BPNT yang sudah dimulai sejak 2017 (Maghfira, 2020). Dalam menangani situasi tersebut, salah satu kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) adalah pemberian stimulus fiskal sebagai instrumen baru untuk meminimalkan dampak sosial ekonomi pada tingkat rumah tangga dan kelompok usaha kecil, serta penduduk miskin (Nazara, 2021).
Menurut Suharto, (2015) perlindungan sosial merupakan elemen penting dalam strategi kebijakan sosial untuk menurunkan tingkat kemiskinan, serta memperkecil kesenjangan multidimensional.
Dalam arti luas, perlindungan sosial mencakup seluruh tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat guna melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar terutama kelompok miskin dan rentan dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan risiko (Harjito, Suparwoko, Abdi, & Arifin, 2008). Namun demikian, upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan kolabarosi dari berbagai pihak (Kominfo, 2011). Pemerintah dapat mendorong dunia usaha melalui skema program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan melakukan kegiatan pemberdayaan ekonomi yang menjangkau kelompok miskin (Astri, 2012). Keterlibatan masyarakat dalam penanganan masalah sosial melalui bantuan yang disalurkan kepada masyarakat merupakan wujud memperkuat peran civil society pada capaian cita-cita bangsa untuk mencapai taraf kesejahteraan yang diinginkan (Hadi, 2010). Langkah harmonisasi kebijakan Kementerian Sosial dengan dunia usaha bagi penguatan program BPNT, mencerminkan sinergi antara negara dengan swasta di tengah-tengah masyarakat yang tertimpah musibah akibat pandemi Covid-19 (Amali, 2020).
Dalam hal ini, Kementerian Sosial telah mengambil peran penting dalam memajukan kesejahteraan dan memperluas penyaluran program BPNT kepada masyarakat yang berhak menerimanya. Bahkan, dalam program kerja Kementerian Sosial di tahun anggaran 2022 telah mencanangkan kebijakan program BPNT untuk perlindungan sosial yang digagas melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Jaminan Sosial bekerja sama dengan pos penyalur untuk menampung dana dan e-Warong yang akan menyalurkan sembako kepada penerima manfaat (Kemensos, 2021).
Beberapa studi sebelumnya yang membahas peran perlindungan sosial dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia, antara lain yang dilakukan oleh (Suharto, 2015). Hasil studi menunjukkan bahwa pogram ini memberi kontribusi yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan, khususnya dalam meningkatkan partisipasi sekolah para penerima manfaat (beneficiaries) pada pendidikan dasar dan akses mereka terhadap pelayanan kesehatan.
Studi tentang peran pekerja sosial dalam meningkatkan kesejahteraan juga pernah dilakukan Indarwati & Tri, (2014) yang menyimpulkan bahwa peranan pekerja sosial dalam meningkatkan kesejahteraan sosial, dapat bertindak sebagai fasilitator, perantara, mediator, pembela, dan pelindung. Upaya program pelayanan dalam meningkatkan kesejahteraan sosial dilakukan lima kali dalam satu minggu, meliputi pelayanan bimbingan fisik, keagamaan, kesenian/
rekreasi, dan keterampilan.
Hidayat Srihadi Hidayat, Afifuddin, (2021) menitikberatkan pada
“Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non-Tunai Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Desa Maron Wetan Kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo)”. Berdasarkan dari hasil studi, implementasi dari program BPNT sudah berjalan sesuai aturan dan panduan yang ada, meskipun dalam pelaksanaanya masih banyak kendala yang harus diperbaiki untuk ke depan oleh pemerintah agar implementasi dari program dapat terlaksanakan dengan baik dan maksimal, serta sesuai dengan harapan.
Novita, (2017) “Perbandingan Implementasi Program Beras Sejahtera (Rastra) dengan Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) di Sumatera Barat”. Hasil studi menunjukkan bahwa program BPNT di Kota Padang dianggap masih belum optimal karena tingkat persiapan yang belum matang, sehingga terkendala dalam pelaksanaan penyaluran.
Kemudian tingkat ketepatan pendistribusian program Rastra dan BPNT diketahui bahwa tingkat ketepatan sasaran dan tepat waktu program Rastra lebih tinggi, jika dibandingkan dengan BPNT. Sedangkan untuk ketepatan jumlah dan tepat kualitas program BPNT lebih tinggi, jika dibandingkan Rastra. Kendati ketepatan harga dan administrasi kedua program ini sudah mencapai 100%.
Selanjutnya dari Maghfira, (2020) menyimpulkan bahwa unit pelayanan dalam memberikan bantuan cukup efektif dan efisien karena tidak berdesak-desakan, serta tidak dikenakan biaya. Pogram BPNT dengan menggunakan kartu kombo, sangat memudahkan dalam pengambilan bantuan dan meminimalisir kecurangan. Faktor yang memengaruhi diberlakukannya program BPNT adalah data yang jarang diperbarui, tidak termasuk dalam indikator penerima, penyaluran
bantuan, mekanisme pasar, mengurangi beban pengeluaran, pemenuhan gizi seimbang, dan pelayanan sistem perbankan.
Studi pembahasan sebelumnya, lebih spesifik tentang peran pekerja sosial dalam meningkatkan kesejahteraan dan implementasi program BPNT di daerah tertentu sebagai objek kajian dengan mengambil sample hanya 1 (satu) kecamatan, kabupaten/kota.
Sedangkan posisi Kementerian Sosial yang memiliki power of mind dan power of finance belum mendapatkan porsi sebagai objek kajian.
Dengan demikian, kebaruan studi yang dilakukan terletak pada perspektif objek dalam menilai peran tidak hanya didasarkan pada persepsi Dinas Sosial kabupaten/kota, namun juga dilihat dari perspektif Kementerian Sosial yang ternyata belum banyak dielaborasi oleh penulis terdahulu. Padahal posisinya sangat strategis untuk menangkap isu-isu pelaksanaan program BPNT secara holistik, baik dari sisi pengambil kebijakan, Kelurga Penerima Manfaat, Kantor Pos, maupun Himpunan Bank Negara. Terlebih lagi studi yang dilakukan penulis telah mempertimbangkan faktor adanya pandemi Covid-19, sehingga informasi yang diberikan responden menunjukkan kondisi ekonomi responden yang sebenarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis masalah kemiskinan dan kebijakan sosial. Pembahasan studi ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau rekomendasi kepada Kementerian Sosial, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Jaminan Sosial dan pengambil keputusan dalam menyusun strategi guna mengatasi permasalahan yang terjadi pada pelaksanaan program Bansos. Selain itu, studi yang dilakukan dapat digunakan sebagai referensi bagi studi berikutnya sehingga mampu memaparkan solusi alternatif yang lebih bervariasi dan inovatif.
Studi ini, termasuk kajian bidang kesejahteraan sosial yang bersifat kualitatif untuk menjawab sebuah permasalahan secara mendalam dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan, dilakukan secara wajar dan alami sesuai dengan kondisi objektif di lapangan (Fadli, 2021).
Landasan teori, dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus pembahasan sesuai dengan fakta di lapangan (Rahmat, 2009). Jenis pendekatan studi ini menggunakan metode fenomenologi, yaitu meneliti suatu kasus atau fenomena tertentu yang ada dalam masyarakat yang dilakukan secara
mendalam untuk mempelajari latar belakang, keadaan, dan interaksi yang terjadi (Luthfiyah, 2020).
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis, antara lain melakukan pengamatan dan pencatatan langsung yang secara sistematis terhadap kebijakan Kemensos terkait program Bansos untuk pemulihan ekonomi selama pandemi. Berikunya adalah wawancara bebas terstruktur, artinya penulis mengadakan wawancara langsung dengan informan atau narasumber yang mumpuni. Wawancara bebas, artinya penulis bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Menurut Moleong, (2002) wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya-jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam studi kualitatif. Menurut V. Wiratna, (2014) pada dasarnya, dokumen digunakan untuk memperkuat studi kualitatif agar dapat lebih dipercaya. Menurut Moleong, (2002) dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi studi sosial untuk menelusuri data historis. Hal ini, perlu dilakukan karena sejumlah besar fakta dan data sosial tersimpan dalam pengetahuan sejarah yang berbentuk dokumentasi.
Teknik analisis data yang digunakan dalam studi ini adalah model analisis interaktif Miles and Huberman (1984). Rijali, (2019) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Miles and Huberman dalam (Ahyar, et al., 2020) mengatakan dalam proses analisis kualitatif, terdapat 3 (tiga) komponen utama yang meliputi: reduksi data, penyajian data dan pengambilan kesimpulan. Penulis melakukan pengabsahan data dengan melakukan perpanjangan masa pengamatan, jika data yang dikumpulkan dianggap belum cukup. Oleh karena itu, penulis melakukan pengumpulan data, pengamatan dan wawancara kepada informan, baik dalam bentuk pengecekan data maupun mendapatkan data yang belum diperoleh sebelumnya. Selanjutnya data yang diperoleh, akan diamati secara cermat untuk memperoleh data yang bermakna. Untuk keperluan triangulasi, penulis melakukan 3 (tiga) cara: (a) triangulasi sumber, jika informasi tertentu misalnya ditanyakan kepada responden yang berbeda atau antara responden dengan dokumentasi; (b) triangulasi
metode, jika informasi yang diperoleh berasal dari hasil wawancara misalnya perlu diuji dengan hasil observasi dan seterusnya. Dengan ungkapan lain, kebenaran (keabsahan) informasi diperiksa dengan teknik pengumpulan data yang berbeda; (c) triangulasi waktu, waktu juga dapat memengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel.
Untuk mengetahui gambaran secara garis besar, buku ini akan dibagi dalam lima (5) bab dan setiap bab dibagi atas beberapa subbab dengan kebutuhan pembahasan dan uraiannya sebagai berikut.
Bab pertama, merupakan bagian pendahulan yang berisikan latar belakang kegiatan dan berbagai proses yang dilaksanakan sehubungan dengan penyusunan analisis masalah kemiskinan dan kebijakan sosial.
Bab kedua, menjelaskan tentang landasan teori dan landasan hukum penyelenggaraan program bantuan pangan nontunai. Bab ketiga, me nguraikan bentuk kebijakan Kementerian Sosial dalam rangka pemulihan ekonomi selama pandemi. Bab keempat, menguraikan respons masyarakat terhadap mekanisme dan tahap penyaluran bantuan pangan nontunai selama pandemi. Bab kelima menjadi bagian penutup dari buku ini, di mana penulis menarik kesimpulan berdasarkan kegiatan analisis masalah kemiskinan dan kebijakan sosial yang bermanfaat bagi pembaca.
2 PERAN STRATEGIS KEMENTERIAN SOSIAL
Berdasarkan permasalahan yang diangkat, maka bab ini terdapat beberapa teori serta konsep yang digunakan sebagai acuan dalam proses pembahasan hasil studi. Selain itu juga akan mejelaskan literatur review yang diperoleh dari bahan bacaan jurnal atau hasil studi yang telah dilakukan sebelumnya mengenai masalah kemiskinan dan kebijakan sosial. Berikut ini, penjelasan tinjauan pustaka yang digunakan.
A. Peran Strategis Kementerian Sosial 1. Teori Peran (Role Theory)
Peran didefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang diperankan atau dimainkan oleh seseorang yang mempunyai kedudukan atau status sosial dalam lembaga atau organisasi tertentu (Samsudin, 2017). Peran yang harus dijalankan oleh suatu lembaga atau organisasi biasanya diatur dalam suatu ketetapan yang merupakan fungsi dari lembaga tersebut (Mukrodi, Hermawati, & Aliffah, 2019).
Menurut Sunarto, (2004) peran merupakan tingkah laku individu yang memutuskan suatu kedudukan tertentu, dengan demikian konsep peran menunjuk kepada pola perilaku yang diharapakan dari seseorang yang memiliki status atau posisi tertentu dalam organisasi. Sedangkan
menurut Abdin, (2020) peran adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Lebih lanjut Soekanto, (2002) menjelaskan bahwa peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Jika seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka telah menjalankan suatu peranan.
Teori peran berbicara tentang istilah “peran” yang biasa digunakan dalam dunia teater, di mana seorang aktor dalam teater harus bermain sebagai tokoh tertentu. Dalam posisinya sebagai tokoh, diharapkan dapat berprilaku secara tertentu pula (Girsang, 2020). Posisi seorang aktor dalam teater, dialogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat dan keduanya memiliki kesamaan posisi (Markum, 2014).
Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori peran adalah teori yang berbicara tentang posisi atau prilaku seseorang yang diharapkan dan selalu berkaitan dengan adanya orang lain yang berhubungan dengan aktor tersebut. Pelaku peran menjadi sadar akan struktur sosial yang didudukinya, seorang aktor berusaha untuk selalu nampak “mumpuni” dan dipersepsi oleh aktor lainnya sebagai “tak menyimpan” dari sistem harapan yang ada dalam masyarakat.
Menurut Yare, (2021) teori peran terbagi menjadi empat golongan, yaitu: 1) orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial;
2) perilaku yang muncul dalam interaksi; 3) kedudukan orang-orang dalam perilaku; 4) kaitan antara orang dan perilaku. Sedangkan menurut Ambarwati, (2019) peran dalam suatu lembaga atau organisasi berkaitan dengan tugas dan fungsi, yaitu dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Dimensi peran menurut Sabarisman, (2019) terbagi lima tingkatan, yaitu: a) peran sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini, berpendapat bahwa peran merupakan suatu kebijkasanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan; b) peran sebagai strategi. Penganut paham ini, mendalilkan bahwa peran merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat; c) peran sebagai alat komunikasi. Persepsi ini, dilandaskan pemikiran bahwa pemerintahan dirancang untuk melayani masyarakat sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat akan menjadi masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif;
d) peran sebagai alat penyelesaian sengketa. Persepsi ini, dilandaskan pada bertukar pikiran dan pandangan sehingga dapat meningkatkan pengertian dan toleransi, serta mengurangi kerancuan; e) peran sebagai terapi. Peran dilakukan sebagai upaya menyelesaikan masalah-masalah psikologis, seperti perasaan ketidakberdayaan, tidak percaya diri dan perasaan dirinya bukan komponen penting dalam masyarakat.
Kemudian Wiggins & Vander, (1994) membantu memperluas penggunaan teori peran menggunakan pendekatan yang dinamakan “life- course”, artinya bahwa setiap masyarakat mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat.
“Teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminology aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu, misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Seorang mengobati dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter, maka harus mengobati pasien yang datang kepadanya dan perilaku ditentukan oleh peran sosialnya.”
Sebagaimana paparan di atas, peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh seseorang atau organisasi yang berkedudukan di masyarakat. Dengan demikian, Kementerian Sosial RI selaku organisasi pelayan publik memiliki peran strategis dalam penanganan masalah sosial dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan guna mengurangi angka kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
2. Jenis-jenis Peran
Peran adalah suatu konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi (Supartha &
Sintaasih, 2017). Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Wardani, 2016). Dalam perspektif kepemimpinan dan perilaku organisasi, peran diartikan sebagai suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena suatu jabatan (Badu & Djafri, 2013).
Menurut Rifayanti, Saputri, Arake, & Astuti (2019), peran (role) memiliki beberapa jenis, antara lain: a) peranan nyata (enacted role), yaitu suatu cara yang betul-betul dijalankan seseorang atau organisasi dalam menjalankan suatu peran; b) peranan yang dianjurkan (prescribed role), yaitu cara yang diharapkan masyarakat dari individu dalam menjalankan peranan tertentu; c) konflik peranan (role conflict), yaitu suatu kondisi yang dialami seseorang yang menduduki suatu status atau lebih yang menuntut harapan dan tujuan peranan yang saling bertentangan satu sama lain; d) kesenjangan peranan (role distance), yaitu pelaksanaan peranan secara emosional; e) kegagalan peran (role failure), yaitu kegagalan seseorang dalam menjalankan peranan tertentu;
f) model peranan (role model), yaitu seseorang yang tingkah lakunya dicontoh, tiru, diikuti; dan g) rangkaian atau lingkup peranan (role set), yaitu hubungan seseorang dengan individu lainnya pada objek sedang menjalankan perannya.
Dari berbagai jenis-jenis peran di atas, penulis menggunakan jenis peran nyata (anacted role), yakni suatu cara yang betul-betul dijalankan oleh seseorang atau organisasi dalam menjalankan peran. Misalnya, Kemensos selaku organisasi penyelenggara pemerintahan di bidang sosial, dapat berperan nyata dalam penyaluran program BPNT guna mengurangi kemiskinan dan pemulihan ekonomi masyarakat.
3. Pengertian Strategi
Strategi merupakan respons secara terus-menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman eksternal, serta kekuatan dan kelemahan internal yang membuat dampak dalam perkembangan dalam sebuah organisasi (Kasmira, 2020). Berbeda dengan pendapat Yunus, (2016) strategi adalah suatu rangkaian dari keputusan atau tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh para jajaran, agar sesuatu organisasi dapat mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Taufiqurokman, (2016) memberikan pendapat yang sama, di mana strategi merupakan tempat sekumpulan dari keputusan manajerial dan aksi pengambilan keputusan jangka panjang di suatu perusahaan.
Hal ini meliputi analisis lingkungan eksternal dan internal, formulasi, implementasi, evaluasi, serta kontrol.
Menurut Rahman, (2018) strategi terdiri dari aktivitas-aktivitas yang penuh daya saing, serta pendekatan-pendekatan bisnis untuk mencapai kinerja yang memuaskan sesuai target. Sedangkan Rusdiananingtyas, Ribawanto, & Prasetyo, (2015) mengungkapkan bahwa pengertian strategi pada prinsipnya selalu berkaitan dengan 3 (tiga) hal utama, yaitu tujuan, sasaran, dan cara. Oleh karena itu, ketiga prinsip tersebut harus dimiliki dalam penerapan strategi yang ingin dijalankan. Lain halnya dengan Taufiqurokhman, (2008) yang berpendapat bahwa strategi merupakan keseluruhan langkah-langkah kebijakan dengan perhitungan yang pasti guna mencapai tujuan untuk mengatasi permasalahan, di mana dalam strategi itu terdapat metode dan teknik. Berbeda dengan Mukhyi, (2004) strategi merupakan bagian dari proses yang mencakup sejumlah tahapan yang saling berkaitan dan berurutan membuat strategi yang telah dibentuk dapat memenuhi tujuan dari organisasi.
Dalam lingkungan perusahaan, strategi memiliki peranan yang sangat penting bagi keberhasilan suatu organisasi karena meliputi tindakan dan koordinasi dalam mencapai tujuan (Hindun, 2015).
Menurut Juliansyah, (2017) strategi mencakup tiga peranan penting dalam mencapai suatu tujuan, yakni: a) strategi sebagai pendukung untuk pengambilan keputusan. Strategi sebagai suatu elemen untuk mencapai kesuksesan, dan akan memberikan suatu ikatan hubungan antara hasi-hasil dari ide yang diambil oleh individu atau instansi terkait; b) strategi sebagai sarana koordinasi dan komunikasi. Strategi memiliki peranan penting sebagai sarana koordinasi dan komunikasi untuk memberikan kesamaan arah bagi perusahaan, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai; dan c) strategi sebagai target. Konsep strategi akan disatukan dengan visi dan misi untuk menentukan, di mana perusahaan berada dalam masa yang akan datang. Menetapkan suatu tujuan dapat membantu seorang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Selain itu, perencanaan juga memegang peranan penting karena menjadi penentu dan sekaligus memberi arah terhadap tujuan yang ingin dicapai. Dengan perencanaan, suatu pekerjaan tidak akan berantakan dan tidak terarah (Albab, 2021). Perencanaan strategis dirumuskan Tatang, (2005) sebagai penetapan arah akan ke mana suatu organisasi pada tahun-tahun selanjutnya, disertai dengan penetapan
cara bagaimana organisasi akan sampai ke tujuan yang dimaksud.
Perencanaan strategis dapat dilakukan untuk lingkup satu organisasi sebagai satu kesatuan menyeluruh atau lingkup bagian-bagian utama organisasi, tetapi umumnya mencakup lingkup satu organisasi sebagai satu keseluruhan (Nugraha, 2016).
Rencana strategis yang dirumuskan dalam jabaran visi, misi, isu utama, dan strategi pengembangan harus dijadikan sebagai pedoman dalam mengembangkan rencana operasional lima tahunan. Dalam rencana operasional lima tahunan antara lain tercakup program kerja, sasaran dan tahapannya. Dari rencana operasional lima tahunan kemudian dipilah-pilah menjadi rencana operasional tahunan berisi proyek atau kegiatan, sasaran, dan data atau alasan pendukung (Hindun, 2015).
Seperti yang telah dijelaskan bahwa rencana kerja organisasi harus dijabarkan sesuai visi dan misi Kementerian Sosial selaku pelayan publik, sehingga penyaluran program BPNT yang dijalankan dapat tercapai secara optimal. Selain itu, perencanaan program dan strategi kegiatan dalam penyaluaran bantuan harus terukur dan realistis sesuai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
4. Peran Strategis Kementerian Sosial
Kementerian Sosial, selaku pelayan publik diberikan wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial sebagaimana dijelaskan UUD 1945 (Pakpahan & Sihombing, 2012). Terlebih diberlakukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Kemensos dituntut memainkan peran strategis dan fundamental dalam upaya menanggulangi kemiskinan dengan mempertimbangkan 4 (empat) prinsip utama, antara lain sebagai berikut: 1) perbaikan pengembangan dalam sistem perlindungan sosial; 2) meningkatkan akses dalam pelayanan dasar; 3) pemberdayaan bagi kelompok warga miskin; serta 4) pembangunan yang terus-menerus (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2015).
Penanggulangan kemiskinan adalah prioritas penting dalam kebijakan, jika diabaikan pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi (Sumarto, Suryahadi, & Arifianto, 2004). Hal ini, sejalan dengan amanat UUD 1945 bahwa pemerintah memiliki
kewenangan dan pertanggungjawaban dalam menyejahterakan rakyat (Ismail, 2017). Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilaksanakan oleh pemerintah terbukti efektif karena mampu membebaskan 26,50 juta jiwa dari zona kemiskinan atau turun 1,04 juta orang dari data Maret 2021 yang sebanyak 27,54 juta jiwa (BPS, 2021).
Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi, program-program secara nyata telah berhasil menurunkan jumlah masyarakat miskin dan tingkat kemiskinan nasional (Kurniawan, 2011). Keberhasilan tersebut, tidak terlepas dari keberhasilan program-program sektoral yang dilaksanakan secara integratif dan terkoordinasi antarkementerian/lembaga lain (Murdiyana & Mulyana, 2017).
Menurut Heningtyas, Sjamsuddin, & Hadi, (2010) peranan pemerintah atau negara dapat dilihat dari 3 (tiga) bentuk sebagai berikut: a) mula-mula peranan pemerintah adalah sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam pembangunan. Bahkan, sering kali fungsi penarikan pajak tidak diabdikan bagi kepentingan rakyat. Hal ini adalah peranan pemerintah yang paling tradisional; b) kemudian timbul pengertian tentang Service State, di mana peranan pemerintah merupakan abdi sosial dari keperluan-keperluan yang perlu diatur dalam masyarakat. Hal ini juga didasari oleh banyak fikiran-fikiran mengenai Welfare State; (c) kemudian terdapat pula suatu cara dalam pelaksanaan peranan pemerintah sebagai entrepreneur atau pendorong inisiatif usaha pembaruan dan pembangunan masyarakat. Pemerintah menjadi “Development Agent” atau unsur pendorong pembaruan dan pembangunan.
Selanjutnya Febrianda, (2009) menambahkan bahwa peranan pemerintah pada umumnya muncul dalam berbagai bentuk, seperti fungsi pengaturan, perumusan kebijakan, pelayanan, penegakan hukum, serta pemeliharaan ketertiban umum dan keamanan. Peran pemerintah penting dalam hal menciptakan keamanan dasar (basic security) hingga perhatian dalam urusan keagamaan dan kepercayaan, serta mengontrol ekonomi dan menjamin keamanan kehidupan sosial (Guhuhuku, Ruru,
& Tampongangoy, 2019).
Secara garis besar peran strategis Kemensos adalah melakukan tugas pemerintah dalam mengelola sekaligus mengawasi jalannya kegiatan bantuan sosial yang akan disalurkan kepada masyarakat di
suatu daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berikut adalah bentuk peran strategis Kemensos dalam melakukan fungsi dan tugasnya, antara lain mencakup: 1) perlindungan sosial; 2) jaminan sosial; 3) pemberdayaan sosial; 4) rehabilitasi sosial; dan 5) pelayanan dasar.
5. Peran Pelaksana Program Bantuan Pangan Non-Tunai
Pelaksana program BPNT bagi masyarakat miskin adalah Kemensos, selaku kuasa pengguna anggaran dibantu oleh pihak-pihak terkait yang telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non-Tunai yang dikembangkan dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2017 tentang Bantuan Sosial Non-Tunai (PMK, 2019). Program BPNT yang berganti menjadi program sembako merupakan suatu bentuk kerja sama yang didasarkan pada fungsi dan tugas pokok, sehingga setiap lembaga bertanggung jawab terhadap kelancaran bidang tugas masing- masing (Rosaliana, Ana dan Hardjati, et al., 2020). Bentuk kerja sama dimaksudkan untuk mempercepat proses penyaluran sembako kepada kelompok sasaran, sehingga pemanfaatannya menjadi lebih optimal (Belanawane S., 2020).
Untuk meningkatkan sinergi pelayanan secara maksimal, maka masing-masing lembaga saling berkoordinasi dan difasilitasi penyediaan Unit Pelaksana program BPNT dari tingkat pusat sampai dengan Kecamatan (Belanawane S., 2020). Tugas pokok dan tanggung jawab dari instansi dapat dilihat dari Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non-Tunai yang dijabarkan, sebagai berikut.
a. Kementerian Sosial
Kementerian ini, memiliki kewajiban menyiapkan dana bantuan berdasarkan daftar nominatif dan menyampaikan surat perintah kepada Himbara agar membayarkan dana sembako kepada e-Warong untuk penerima manfaat (Pathony & Deda, 2020). Kerja sama dengan Himbara untuk menyalurkan dana tersebut, dibantu oleh BPS (Bank Rakyat Indonesia Tbk., 2018). Untuk kejelasan bagaimana proses penyalurannya, Kemensos berkewajiban untuk membuat
dan menyusun petunjuk teknis penyaluran program BPNT bersama dengan Bappenas, Menko Kesra, Depdagri, BPS, Himbara (Kemensos, 2021). Sebagai pertanggungjawaban terhadap pemerintah, Kemensos berkewajiban membuat laporan pelaksanaan kepada Presiden RI tentang pelaksanaan penyaluran BPNT (Pemerintah, et al., 2018).
b. E-Warong
Pada awalnya e-Warong merupakan bantuan program pemberdayaan masyarakat dari Kemensos, kemudian berkembang menjadi simpul yang berfungsi melayani distribusi penyaluran bantuan pangan (Amali, 2020).
Disebut sebagai e-Warong, apabila sudah ditunjuk oleh pemerintah dalam penyaluran bantuan sosial (Maghfira, 2020). Oleh sebab itu, tidak semua warung atau bahkan agen bank yang memiliki mesin EDC merupakan e-Warong. Penetapan e-Warong sepenuhnya merupakan kewenangan dari bank penyalur dengan pertimbangan tertentu, seperti memiliki kemampuan, reputasi, kredibilitas dan integritas di wilayahnya (Hermawan, et al., 2021). Keberadaan e-Warong, diharapkan dapat meningkatkan akses rumah tangga miskin terhadap layanan keuangan inklusif dan mendapat kemudahan untuk pembukaan rekening di bank. Hal terpenting lainnya adalah data transaksi yang dilakukan oleh e-Warong akan tercatat, sehingga dapat menjadi pertimbangan perbankan ketika meminta fasilitas untuk mengembangkan kegiatan usaha (Ananda, 2021).
c. Dinas Sosial Provinsi
Dinas sosial provinsi memiliki kewajiban antara lain: a) mengelola unit pelaksana BPNT pada tingkat provinsi dan struktur pelaksanaanya;
b) melakukan pembinaan, supervisi, dan pengawasan terhadap pelaksanaan BPNT, termasuk pengelolaan unit pelaksana program ditingkat kabupaten/kota dan kecamatan; c) mengoordinasikan dengan dinas sosial kabupaten/kota dalam pelaksanaan pendampingan terhadap Himpunan Bank Negara (Himbara) pada saat pembagian kartu sembako dan pembayaran sembako dengan melibatkan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat; d) memberikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan, seperti penyandang cacat, ibu hamil, lanjut usia, dan yang sakit;
dan e) sebagai tanggung jawab dinas sosial provinsi harus membuat
laporan pelaksanaan program sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki (Kemensos, 2021).
d. Dinas Sosial Kabupaten/Kota
Kewajiban dinas sosial kabupaten/kota, antara lain sebagai berikut:
a) mengelola Unit Pelaksana Program (UPP)-BPNT pada tingkat kabupaten/kota dan struktur pelaksanaanya. Di mana ketua pengelola UPP-BPNT adalah kepala dinas sosial yang bertugas secara intensif selama proses pelaksanaan program; b) melakukan pembinaan, supervisi dan pengawasan terhadap pelaksanaan BPNT, di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan; c) memberikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan, seperti penyandang cacat, ibu hamil, lanjut usia dan juga KPM yang sakit; dan d) sebagai tanggung jawab dinas sosial kabupaten/kota, harus membuat laporan pelaksanaan program sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki (Kemensos, 2021).
e. Tingkat Kecamatan (Camat)
Kewajiban tingkat kecamatan, antara lain sebagai berikut: a) mengelola Unit Pelaksana program BPNT pada tingkat kecamatan; b) memantau mitra kerja pada tingkat kecamatan/desa dan keseluruhan yang terlibat secara efektif dalam pendistribusian kartu sembako, serta pengendalian dan pengamanan di lapangan; c) menyelenggarakan pelaksanaan pertemuan- pertemuan koordinasi dengan seluruh mitra pada tingkat kecamatan; d) menginformasikan atau menyosialisasikan program kepada KPM dan mendukung sosialisasi kepada masyarakat umum; e) memantau petugas pos pada saat distribusi kartu sembako kepada KPM; f) melakukan pendampingan dan membantu petugas pos pada saat pembagian kartu dan pembayaran dengan melibatkan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat;
dan g) membuat laporan pelaksanaan program sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki secara berjenjang kepada pihak-pihak terkait termasuk Kepala Dinas Sosial Kabupaten/Kota (Kemensos, 2021).
f. Kelurahan/Desa
Kewajiban kelurahan/desa, antara lain sebagai berikut: a) memantau petugas pos pada saat pengecekan daftar penerima manfaat dan mendistribusikan kartu kepada KPM; b) bersama dengan petugas pos
menentukan pengganti KPM yang pindah, meninggal tanpa ahli waris, maka melalui rembug desa/kelurahan yang dihadiri oleh kepala desa/
lurah, Badan Permusyawaratan Desa, RT, RW tempat tinggal KPM yang diganti, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan karang taruna;
c) melakukan pendampingan dan membantu petugas pos pada saat pembagian kartu sembako dan pembayaran dengan melibatkan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat; dan d) mengupayakan penyelesaian masalah yang terjadi, antara lain pada saat penetapan KPM, distribusi kartu, penyaluran dana sesuai dengan jenis pengaduan dan tingkat kewenangannya (Kemensos, 2021).
Dalam rangka mengoptimalkan program pemerintah, maka peran serta masyarakat perlu menjadi perhatian utama. Dalam hal ini, masyarakat diposisikan sebagai subjek dan objek dari kebijakan.
Kemitraan dengan pihak swasta merupakan suatu langkah yang biasa dilakukan untuk menutupi keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Selain itu, kemitraan merupakan kesadaran yang mengundang keikusertaan masyarakat sebagai warga negara dalam setiap kegiatan pemerintah.
B. Penguatan Program Bantuan Pangan Non-Tunai 1. Pengertian Penguatan
Sesuai dengan makna kata dasarnya “kuat”, penguatan (reinforcement) mengandung makna menambahkan kekuatan pada sesuatu yang dianggap belum begitu kuat (Siahaan & Meilani, 2019). Makna tersebut, ditujukan kepada tingkah laku seseorang atau organisasi yang perlu diperkuat. Diperkuat artinya dimantapkan, dipersering kemunculannya, tidak hilang-hilangan, tidak sekali muncul sekian banyak yang tenggelam. Pada proses penyaluran program yang berorientasi perubahan tingkah laku, tujuan utama yang hendak dicapai dalam proses penyaluran adalah terjadinya kesejahteraan masyarakat, tingkah laku yang diterima sesering mungkin sesuai dengan kegunaan kemunculannya. Penguatan adalah respons terhadap suatu tingkah laku positif yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah laku tersebut (Fitriani, Samad, & Khaeruddin, 2014).
Istilah penguatan berasal dari Skinner, (1930) salah seorang ahli psikologi belajar behavioristik yang mengartikan reinforcement sebagai setiap konsekuensi atau dampak tingkah laku yang memperkuat tingkah laku tertentu (Triwahyuni, Lolongan, Riswan, & Suli’, 2019).
Penguatan adalah respons positif dalam penyaluran bantuan sosial dan penyelenggaraan program BPNT yang diberikan pemerintah terhadap perubahan perilaku penerima manfaat yang positif, dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan perilaku tersebut (Nururrochman, et al., 2019). Penguatan merupakan respons terhadap suatu tingkah laku yang sengaja diberikan, agar tingkah laku tersebut dapat terulang kembali. Penguatan yang diberikan oleh pemerintah merupakan hal yang sangat penting bagi keluarga penerima manfaat.
Menurut Wijayanto, (2013) penguatan adalah segala bentuk respons, apakah bersifat verbal ataupun nonverbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku pemberi bantuan terhadap tingkah laku penerima manfaat. Penguatan ini, bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik bagi penerima manfaat atas perbuatannya sebagai suatu tindakan dorongan ataupun koreksi (Wulidyahwati, 2013).
Penguatan dikatakan juga sebagai respons terhadap tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya tingkah laku. Tindakan tersebut, dimaksudkan untuk mengganjar atau membesarkan hati penerima manfaat agar lebih giat dan bersemangat dalam meningkatkan taraf hidupnya (Putri, 2016).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penguatan adalah salah satu bentuk wujud bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat miskin guna mewujudkan penguatan perlindungan sosial dan meningkatkan efektivitas program kepada keluarga penerima manfaat. Penguatan program sembako yang dilakukan pemerintah adalah bentuk penyempurnaan proses penyaluran bantuan, perluasan target dan penguatan program komplementer. Hal ini, bertujuan untuk memastikan bahwa penerima manfaat mendapatkan subsidi BPNT dan segera keluar dari kungkungan kemiskinan.
2. Pengertian Program
Pembahasan mengenai program, menurut (Abdal, 2015) tidak dapat dilepaskan dengan aspek kebijakan. Menurut Dye dalam (Hayat, 2017)
kebijakan atau yang dalam hal ini adalah kebijakan publik secara prinsip dapat diartikan sebagai “Whatever government choose to do or not to do”. Hal tersebut, diperkuat oleh Hogwood dan Gunn dalam (Pramono, 2020) menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Menurut (Mustari, 2015) sebagai suatu instrumen yang dibuat oleh pemerintah, kebijakan publik dapat berbentuk aturan-aturan umum dan atau khusus baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang berisi pilihan-pilihan tindakan yang merupakan keharusan, larangan dan/atau kebolehan yang dilakukan untuk mengatur seluruh warga masyarakat, pemerintah dan dunia usaha dengan tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Jones (dalam Mattata, 2015), program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan. Program adalah cara yang dipisahkan untuk mencapai tujuan. Dengan adanya program tersebut, maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan (Nina Winangsih Syam, 2014). Hal ini, mudah dipahami karena program itu sendiri menjadi pedoman dalam rangka pelaksanaan program tersebut. Menurut (Pereira, Suryono, & Domai, 2015) program merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam program tersebut, telah dimuat berbagai aspek, antara lain: a) adanya tujuan yang ingin dicapai;
b) adanya kebijakan-kebijakan yang harus diambil dalam pencapaian tujuan; c) adanya aturan-aturan yang dipegang dengan prosedur yang harus dilalui; d) adanya perkiraan anggaran yang perlu atau dibutuhkan;
dan e) adanya strategi dalam pelaksanaan.
Dika Amir Pratama, (2016) mengatakan bahwa unsur kedua yang harus dipenuhi adalah adanya kelompok orang yang menguji sasaran program, sehingga merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil program yang dijalankan dan adanya perubahan, serta peningkatan dalam kehidupannya. Jika tidak memberikan manfaat pada kelompok orang, maka boleh dikatakan program telah gagal dilaksanakan (Taufiqurokhman, 2008). Kemudian Jones dalam Prawoto, Ekonomi, Muhammadiyah, Jalan, & Selatan, (2009) menambahkan bahwa program yang baik adalah bagaimana mengetahui masalah yang ingin diatasi oleh program yang akan digagas dalam mengatasi kemiskinan.
Oleh karena itu, Kemensos harus mempunyai suatu gagasan yang serius
terhadap bagaimana masalah terjadi dan bagaimana solisi yang akan diambil melalui program yang akan dicanangkan.
Beradasarkan pengertian di atas, menggambarkan bahwa program adalah penjabaran dari langkah-langkah dalam mencapai tujuan.
Dalam hal ini, program pemerintah berarti upaya untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah tetapkan. Kemudian program tersebut, muncul dalam rencana strategis kementerian/lembaga atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Dalam hal ini, BPNT merupakan salah satu program kebijakan penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dan berpengahasilan rendah.
3. Program Bantuan Pangan Non-Tunai
Program BPNT merupakan program transformasi dari program Rastra untuk memastikan program menjadi lebih tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat harga, tepat kualitas dan tepat administrasi (Rachman, Agustian, & Wahyudi, 2018). Penyaluran program BPNT mulai dilaksanakan pada tahun 2017 di seluruh kota/kabupaten sesuai dengan kesiapan sarana dan prasarana penyaluran dana nontunai (Akmal, 2020). Tahun 2019, program BPNT terus diperluas ke kabupaten/kota yang pada 2018 masih melaksanakan program Bansos (Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Sidoarjo, 2021).
Menurut Nabila, Suharso, & Hartanto, (2021) program bantuan sosial pangan yang disalurkan dalam bentuk nontunai dari pemerintah setiap bulannya dan yang digunakan KPM hanya untuk membeli bahan pangan di e-Warong. Penerima manfaat BPNT adalah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi terendah 25% di daerah pelaksanaan, selanjutnya disebut KPM, yang namanya termasuk di dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) BPNT dan ditetapkan oleh Kemensos (Huda, Hasbi, & Susyanto, 2021).
Menurut Tiara & Mardianto, (2019) instrumen pembayaran elektronik untuk BPNT adalah Kartu Keluarga Sejahtera (yang selanjutnya disebut KKS). Bahan pangan dalam program BPNT adalah beras dan telur, namun ketentuan mengenai komoditas lainnya ditentukan lebih lanjut berdasarkan kebijakan pemerintah.
Tenaga pelaksana BPNT adalah tenaga pelaksana sosial yang bertugas
mendampingi keseluruhan proses pelaksanaan program BPNT mencakup sosialisasi, registrasi, penggantian data, dan pengaduan.
Tenaga Pelaksana BPNT, yaitu koordinator wilayah, koordinator daerah kabupaten/kota, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) atau pendamping sosial lainnya.
4. Ruang Lingkup Bantuan Pangan Non-Tunai
a. Penetapan Lokasi dan Tahap PerluasanLokasi pelaksanaan dan penahapan perluasan BPNT ditetapkan oleh Kemensos berdasarkan keputusan dalam Rapat Tingkat Menteri (RTM) tim pengendali (Ditjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI, 2019). Kemensos menyampaikan surat keputusan kepada pemerintah kabupaten/kota yang ditembuskan ke pemerintah provinsi mengenai penahapan tersebut sebelum pelaksanaan penyaluran di suatu wilayah. Pada saat perluasan, program BPNT dilaksanakan di seluruh wilayah kabupaten/kota mencakup seluruh kecamatan dan kelurahan/desa (Rosaliana, Ana dan Hardjati, et al., 2020).
Penahapan perluasan BPNT tahun 2019 diatur melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin, Kemensos. Di beberapa daerah dengan keterbatasan aksesibilitas dan infrastruktur nontunai akan diterapkan mekanisme khusus dalam pelaksanaan perluasan BPNT pada 2019. Daerah dengan keterbatasan aksesibilitas dan infrastruktur nontunai diatur melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin, sekarang diganti menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Jaminan Sosial (Ditjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI, 2019).
b. Pagu BPNT
Pagu BPNT kabupaten/kota merupakan jumlah keluarga penerima manfaat di setiap kabupaten/kota (PMK, 2019). Menteri Sosial menerbitkan Surat Keputusan tentang jumlah keluarga penerima manfaat dan lokasi bantuan sosial pangan, yang terdiri dari Bansos Rastra dan BPNT untuk tingkat kabupaten/kota (Kemensos, 2021).
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat membuat kebijakan belanja bantuan sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) untuk menambah pagu bagi keluarga yang tidak terdapat dalam daftar KPM BPNT, namun terdapat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan (Kementerian Keuangan, 2020). Mekanisme BPNT dengan pembiayaan APBD dapat disesuaikan dengan mekanisme penyaluran program BPNT dengan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Ditjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI, 2019).
c. Keluarga Penerima Manfaat Bantuan Pangan Non-Tunai
Penerima manfaat BPNT adalah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi terendah di daerah pelaksanaan, selanjutnya disebut KPM, yang namanya termasuk di dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) BPNT dan ditetapkan oleh Kemensos. DPM BPNT bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dapat diakses oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui aplikasi Sistem Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG) menu Bantuan Sosial Pangan (BSP). DPM BPNT yang telah difinalisasi oleh pemerintah daerah dan disahkan oleh bupati atau wali kota dilaporkan kepada Kementerian Sosial melalui aplikasi SIKS-NG menu BSP.
Unit penerima manfaat BPNT adalah keluarga. Namun, untuk kebutuhan penyaluran manfaat BPNT perlu ditentukan satu nama dalam KPM sebagai Pengurus KPM yang akan menjadi pemilik rekening BPNT. Pengurus KPM ditentukan menurut urutan prioritas sebagai berikut: 1) diutamakan atas nama perempuan di dalam keluarga, baik sebagai kepala keluarga atau sebagai pasangan kepala keluarga; 2) jika tidak ada perempuan dalam keluarga, baik sebagai kepala keluarga atau sebagai pasangan kepala keluarga, maka pengurus KPM adalah anggota keluarga perempuan yang berumur di atas 17 tahun dan memiliki dokumen identitas; 3) jika KPM tidak memiliki anggota perempuan di atas 17 tahun, maka Pengurus KPM adalah laki-laki kepala keluarga; 4) jika laki-laki kepala keluarga tidak ada, maka dapat diajukan anggota keluarga laki-laki yang berumur di atas 17 tahun dan memiliki dokumen identitas kependudukan sebagai pengurus KPM; 5) jika KPM tidak memiliki anggota keluarga lain yang berumur 17 tahun ke atas dan
memiliki dokumen identitas kependudukan, maka KPM dapat diwakili oleh anggota keluarga lainnya di dalam satu KK atau wali yang belum terdaftar dalam KPM BPNT sebagai pengurus KPM; 6) bagi KPM yang merupakan penerima PKH, maka yang dimaksud sebagai pengurus KPM BPNT merujuk pada individu yang telah ditetapkan sebagai pengurus PKH.
d. Kartu Keluarga Sejahtera
Instrumen pembayaran yang digunakan sebagai media penyaluran BPNT kepada KPM adalah Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) Untuk BPNT, KKS digunakan sebagai alat penanda KPM dan berfungsi sebagai kupon elektronik, sehingga pada saat pemanfaatan BPNT wajib dibawa oleh KPM (Kemensos, 2021). KKS menyimpan nilai besaran manfaat bantuan pangan yang diberikan. Jika tidak digunakan pada bulan berjalan, dana bantuan tidak akan hilang. Manfaat BPNT tidak dapat dicairkan secara tunai. Pada KKS tertera nama Pengurus KPM, nomor KKS, nama bank penyalur dan nomor telepon pengaduan. KKS dan PIN tidak diperbolehkan untuk dipegang dan disimpan oleh pihak-pihak selain KPM (PMK, 2019).
e. Besaran Manfaat
Besaran manfaat BPNT dikutip dari batampos.co.id, Kemensos mengumumkan kenaikan sementara besaran BPNT. Kenaikan ini, guna merespons sekaligus antisipasi adanya dampak dari kejadian luar biasa (KLB) akibat bencana pandemi Covid-19 di Indonesia (Kemensos, 2021). Seperti diketahui besaran BPNT normalnya adalah Rp150 ribu per bulan untuk setiap KPM. Untuk mengantisipasi potensi gejolak akibat KLB bencana Covid-19, besaran itu dinaikkan Rp50 ribu sehingga menjadi Rp200 ribu per bulan untuk setiap KPM. Penambahan besaran BPNT ini, berlaku sejak Maret 2020 hingga 6 (enam) bulan ke depan (Pathony & Deda, 2020). Bantuan tersebut, tidak dapat diambil tunai dan hanya dapat ditukarkan dengan beras dan/atau telur sesuai kebutuhan KPM di e-Warong. Pemilihan komoditas beras dan telur dalam program BPNT berdasarkan tujuan untuk menjaga kecukupan gizi KPM (Rosaliana, Ana dan Hardjati, et al., 2020).
5. Tujuan dan Manfaat Bantuan Pangan Non-Tunai
Menurut Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non-Tunai, memiliki tujuan sebagai berikut:
a) mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan; b) memberikan bahan pangan dengan nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM; c) memberikan bahan pangan dengan tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat harga dan tepat administrasi; dan d) memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan (Rosaliana, Ana dan Hardjati, et al., 2020). Sedangkan manfaat BPNT adalah untuk meningkatkan: 1) ketahanan pangan ditingkat KPM sekaligus sebagai mekanisme perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan; 2) efisiensi penyaluran bantuan sosial; 3) akses masyarakat terhadap layanan keuangan dan perbankan; 4) transaksi nontunai; dan 5) pertumbuhan ekonomi di daerah, terutama usaha mikro dan kecil di bidang perdagangan (PMK, 2019).
6. Dasar Hukum Penyelenggaraan Bantuan Sosial Non-Tunai
program BPNT adalah paradigma baru dalam penetapan strategi percepatan pemenuhan kebutuhan dasar dalam bentuk pangan yang dilakukan secara nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non-Tunai, Pasal 2 ayat 2 menjelaskan bahwa penyaluran Bansos secara nontunai merupakan bantuan yang diberikan dalam rangka program penanggulangan kemiskinan yang meliputi: 1) perlindungan sosial; 2) jaminan sosial;
3) pemberdayaan sosial; 4) rehabilitasi sosial; dan 5) pelayanan dasar.
Menurut Pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa, penyaluran Bansos secara nontunai dilaksanakan oleh pemberi bantuan melalui bank penyalur ke rekening atas nama penerima bantuan. Penyaluran Bansos nontunai dengan menggunakan sistem perbankan dapat mendukung perilaku produktif penerima bantuan, serta meningkatnya transparansi dan akuntabilitas program bagi kemudahan mengontrol, memantau dan mengurangi penyimpangan (Ditjen Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial RI, 2019).
Selanjutnya Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bantuan Pangan Non-Tunai, Pasal 1 menjelaskan bahwa bantuan sosial yang disalurkan secara nontunai dari pemerintah yang diberikan kepada KPM setiap bulan melalui uang elektronik, selanjutnya digunakan untuk membeli bahan pangan yang telah ditentukan di e-Warong. Pasal 5 ayat 4 menyebutkan bahwa peserta BPNT dipersyaratkan sebagai KPM yang tercantum dalam data penerima bantuan dan pemberdayaan sosial yang bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). KPM diutamakan untuk peserta program PKH yang tercantum dalam data penerima bantuan dan pemberdayaan sosial yang bersumber dari DTKS (Hidayat Srihadi Hidayat, Afifuddin, 2021).
Adapun mekanisme pelaksanaan dan tahapan penyaluran BPNT, ditetapkan dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Non-Tunai, Pasal 11 menjelaskan bahwa mekanisme penyaluran BPNT dilakukan melalui beberapa tahapan, yakni: a) registrasi dan/atau pembukaan rekening; b) edukasi dan sosialisasi; c) penyaluran; dan d) pembelian barang.
Optimalisasi peran pelaksana program BPNT, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 41 ayat 2 menyatakan bahwa pelaksana program BPNT perlu penguatan, seperti:
a) perencanaan; b) penganggaran; c) pelaksanaan; d) pemantauan; e) evaluasi; dan f) pelaporan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Bansos nontunai ialah pemberian santunan atau donasi berbentuk nontunai dari pemerintah kepada keluarga penerima manfaat yang sifatnya tidak permanen serta selektif dengan tujuan utamanya untuk menyelamatkan dari kemungkinan terjadinya ancaman sosial.
Berdasarkan hasil dari kajian teori dan hasil studi, maka dapat dibuktikan bahwa Peran Kemensos sangat strategis sebagaimana fungsi peran merupakan seperangkat patokan yang membatasi perilaku apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang atau organisasi yang menduduki suatu posisi. Dalam bab ini, penulis akan menganalisis mengenai masalah kemiskinan dan kebijakan sosial apakah ditemukan adanya pertentangan antara “das sollen dan “das sein” sebagaimana telah terjadi di lapangan. Berikut adalah penjelasan mengenai hasil studi dan temuan yang didapat.
A. Bentuk Kebijakan Kementerian Sosial dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Selama Pandemi Covid-19
Pemerintah memiliki beberapa macam bentuk kebijakan Program bantuan sosial dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) selama pandemi Covid-19 (Noerkaisar, 2021). Program Bansos pemerintah tidak hanya berfokus pada sembako, Kemensos bersama Kementerian/Lembaga lainnya menciptakan sejumlah skema Jaringan Pengaman Sosial (JPS) atau Social Safety (ICW, 2021). Bersumber dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah pusat telah mengerahkan berbagai bentuk kebijakan dalam rangka
3
BENTUK KEBIJAKAN KEMENTERIAN SOSIAL DALAM RANGKA
PEMULIHAN EKONOMI SELAMA PANDEMI
COVID-19
menyelamatkan ketahanan ekonomi masyarakat dan pemulihan ekonomi selama pandemi Covid-19 meliputi: (1) Program Keluarga Harapan (PKH); (2) Bantuan Sosial Tunai; (3) Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT Dana Desa); (4) Bantuan Sosial Sembako (BSS) untuk Wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek); (5) Kartu Prakerja; (6) Kartu Sembako; dan (7) Subsidi Listrik.
1. Program Keluarga Harapan
Bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk keluarga prasejahtera (Nazara, 2021). Tujuan PKH adalah memperkuat daya beli, meningkatkan nutrisi dan gizi, serta daya tahan tubuh anak, ibu hamil, disabilitas berat, dan orang lanjut usia. Selain itu juga untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dan menjaga pendapatan, serta pengeluaran keluarga prasejahtera agar terhindar dari risiko sosial selama pandemi Covid-19 berlangsung (Kemensos, 2021). Selama pandemi, penyaluran PKH mengalami kenaikan sebanyak 25% dari 9,2 juta KPM bertambah menjadi 10 juta KPM (Kemenkeu, 2020).
Adapun nominal bantuan PKH yang didistribusikan sebesar Rp250 ribu rupiah per bulan untuk kategori ibu hamil dan anak usia 0–6 tahun, Rp75 ribu rupiah per bulan untuk kategori siswa-siswi Sekolah Dasar (SD), Rp125 ribu rupiah untuk kategori siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Rp166 ribu rupiah per bulan untuk kategori siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara untuk kategori penyandang disabilitas berat dan peserta PKH berusia lebih dari 70 tahun ke atas memperoleh bantuan sebesar Rp200 ribu rupiah per bulan. Bantuan sosial PKH tersebut, diberikan maksimal untuk empat jiwa dalam satu keluarga.
Terdapat modifikasi frekuensi dalam pendistribusian PKH di masa pandemi Covid-19. Umumnya bantuan PKH disalurkan per triwulan pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober, namun saat pandemi pendistribusian bantuan diberikan setiap bulan dari April sampai dengan Desember 2020 (Kemensos, 2021). Bantuan akan ditransfer kepada bank penyalur Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN. Sedangkan bagi peserta yang
tidak mempunyai rekening Bank Himbara, bantuan bisa diambil di e-Warong atau agen bank (Belanawane S., 2020). Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sosial menjelaskan bahwa selain PKH, dana bantuan BPNT atau Kartu Sembako juga akan dilanjutkan.
“Selain terdaftar di DTKS, penerima Kartu Sembako juga harus memiliki Kartu Keluarga Sejahtera. Berbeda dengan PKH, Kartu Sembako diberikan secara nontunai sebesar Rp200 ribu per bulan dalam bentuk saldo. Dana Bansos Kartu Sembako nantinya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pokok di e-Warong terdekat”
(Hasil Wawancara dengan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sosial, 31 Maret 2022).
Dari wawancara tersebut, menunjukan adanya ketidaktepatan sasaran penerima PKH yang disebabkan oleh database yang tidak akurat karena tidak ter-update secara rutin. Selain itu, ditemukan penemuan permasalahan baru, seperti pemalsuan data kriteria penerima PKH oleh pendamping, aparat berwenang maupun petugas bank penyalur bantuan di lingkungan penerima PKH yang berakibat dana bantuan diterima oleh oknum yang bukan penerima manfaat (Sofianto, 2020).
Penyaluran bantuan sosial PKH di masa pandemi ini, bukanlah tanpa masalah. La Ode Muhammad Elwan, (2018) memaparkan beberapa permasalahan yang terjadi di lapangan, seperti penerima bantuan PKH yang sudah mangkat, pindah tempat tinggal, menikah di usia muda, cerai, putus sekolah dan perubahan status yang tidak sesuai dengan ketentuan penerima bantuan.
Kenaikan bantuan sosial PKH nyatanya belum merefleksikan prinsip keadilan, terutama bagi KPM yang nominal bantuannya kecil.
Hastuti, Ruhmaniyati, & Widyaningsih, (2020) menjelaskan bagi KPM yang hanya mempunyai satu komponen anak SD, maka bantuan yang didapat tidak bertambah signifikan dari Rp180 ribu menjadi Rp225 ribu per triwulan atau Rp75 ribu per bulan. Nominal yang diperoleh jauh lebih kecil, bila dibandingkan dengan bantuan sosial pandemi Covid-19 lainnya. Lebih lanjut Suharto, (2015) menyatakan terdapat ketidakefektifan dalam frekuensi pencairan PKH yang semula per tiga bulan menjadi setiap bulan. Hal tersebut, karena terdapat pemotongan biaya admin saat penarikan serta biaya transport untuk mengambil bantuan di Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
Dari permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendistribusian dana PKH oleh pemerintah belum berjalan dengan efektif, dikarenakan masih ditemui manipulasi data juga penyelewengan bantuan. Kondisi ini memicu banyak ditemukannya penerima bantuan PKH fiktif, sehingga berimbas bagi masyarakat yang seharusnya menerima manfaat bantuan menjadi terabaikan dari kebijakan