Dosen Pengampu : Muti Sahida, S.Kep., Ns.
Mata Kuliah : Keperawatan Anak Sakit Kronis dan Terminal ASUHAN KEPERAWATAN DOWN SYNDROME
Kelompok I
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2025/2026
NAMA NIM
Agnesia Nona Yoli 22206002
Abelia Dama 22206001
Andi Syahrul 22206003
Muhammad Rifki Septian Hamba 22206013 Trivana Enjelin Jitmau 22206033
Nurul Ilmi 22206030
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan salawat kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawakan kita dari alam yang gelap menuju alam yang terang menerang, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Down Syndrome”
dengan lancar. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan down syndrome, serta infomasi dari media massa, tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu Muti Sahida, S.Kep., Ns. selaku Dosen pengampu mata kuliah “Keperawatan Anak Sakit Kronis dan Terminal’’ Penulis berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai down syndrome khususnya bagi penulis. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, tetapi penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Makassar, 11 Januari 2025
DAFTAR ISI
LAPORAN PENDAHULUAN A. Definisi
Pada tahun 1866, seorang dokter Inggris bernama John Langdon Down dari Cornwall mengemukakan konsep Down Syndrome. Kondisi ini merupakan salah satu gangguan kromosomal paling umum yang terkait dengan disabilitas intelektual (Nasywa Achmad et al., 2023). Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2023), Down Syndrome adalah kondisi di mana seseorang memiliki salinan ekstra dari kromosom 21 dan menurut Kemenkes (2023), menjelaskan bahwa Down Syndrome adalah kelainan genetik yang disebabkan oleh kelebihan kromosom nomor 21, yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan fisik dan mental.
Down Syndrome merupakan kelainan genetik (bawaan) pada kromosom 21 yang mengakibatkan rendahnya kecerdasan dan kelainan fisik yang khas. Kelainan biologis berupa adanya jejak ketiga kromosom 21 membuat individu memiliki 47 kromosom. Oleh karena itu, sindrom ini disebut juga Down Syndrome karena jumlah kromosom 21 terlalu banyak sehingga menjadi 3, padahal normalnya hanya 2 (Susilowati et al., 2023).
B. Etiologi
Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab down syndrome.
Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi salah satu penyebab yang sering dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan (Irwanto, et al., 2019). Dalam tulisan (Rahmatunnisa et al., 2020), menjelaskan bahwa down syndrome merupakan kondisi abnormalitas kromosom yang berdampak pada keterlambatan perkembangan fisik dan mental. Hal ini disebabkan kelebihan kromosom ke-21 (trisomi), sehingga jumlah kromosom menjadi 47, tidak seperti manusia normal yang memiliki 46 kromosom (23 pasang dari ayah dan ibu).
Sebagian besar kasus down syndrome tidak diwariskan dan disebabkan oleh
kegagalan kromosom 21 untuk memisahkan diri selama perkembangan sel telur (Maclennan, 2020).
C. Faktor Risiko
Dikutip dari tulisan (Setiawan, 2020), berikut beberapa faktor risiko Down Syndrome :
1. Risiko wanita setelah 35 tahun akan meningkat. Namun anak-anak dengan down syndrome dilahirkan wanita dibawah 35 tahun.
2. Menjadi pembawa translokasi genetik. Baik pria maupun wanita dapat meneruskan translokasi genetik down syndrome ke anak-anak mereka.
3. Orang tua yang memiliki satu anak down syndrome, beresiko lebih tinggi untuk memiliki anak lagi dengan down syndrome konselor genetik dapat membantu menilai risiko memiliki anak kedua dengan down syndrome.
D. Manifestasi Klinis
Anak Down Syndrome setelah lahir dapat dikenali dari karakteristik fisiknya (Irwanto, et al., 2019). Beberapa karakteristik fisik khusus, meliputi:
1. Bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orangnormal (microchephaly) dengan area datar di bagian tengkuk.
2. Berat dan panjang saat lahir di bawah rata-rata.
3. Ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata usia 2 tahun).
4. Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds).
5. Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga tampak menonjol keluar.
6. Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran jika tidak diterapi.
7. Garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simiancrease)
8. Penurunan tonus otot (hypotonia)
9. Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan jalan napas lebih kecil sehingga anak Sindrom Down mudah mengalami hidung buntu.
10. Dagu kecil (micrognatia)
11. Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak sebagaimana mestinya.
12. Spot putih di iris mata (Brushfield spots).
Menurut (Irwanto, et al., 2019), manifestasi klinis lainnya anak down syndrome antara lain:
1. IQ rendah 2. Tubuh pendek
3. Pigmentasi rambut dan kulit tidak sempurna
4. Gangguan mental dan kepekaan yang tinggi pada leukemia 5. Reaksi lamban
6. Gangguan motorik halus dan kasar 7. Gangguan kognitif dan Bahasa E. Patofisiologi
Menurut Irwanto, et al., (2019), Down Syndrome dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang disebabkan adanya tiga kromosom 21.
Berdasarkan pemeriksaan sitogenetik, umumnya Down Syndrome dibedakan atas tiga tipe, yaitu SD trisomi bebas, SD translokasi, dan SD mosaic. Sindroma Down trisomi bebas merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut ketiga tipe sindroma Down tersebut. Kromosom adalah struktur seperti benang yang terdiri dari DNA dan protein lain. Kromosom-kromosom itu ada di setiap sel tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan oleh sel untuk berkembang.
Gen adalah unit informasi yang dikodekan dalam DNA.
Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat disusun dalam 23 pasang. Dari 23 pasang, 22 sama untuk pria maupun wanita yang disebut dengan autosom. Pasangan kromosom ke-23 adalah kromosom kelamin (X dan Y). Setiap anggota dari sepasang kromosom membawa informasi yang sama, yang berarti bahwa gen yang sama berada di daerah yang sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin terjadi.
Contoh: informasi genetik untuk warna mata disebut gen, dan variasi untuk biru, hijau, dan lain-lain disebut alel. Ada dua cara pembelahan sel. Yang pertama adalah pembelahan sel biasa (mitosis).
Dengan cara ini, satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki jumlah dan tipe kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk.
Yang kedua adalah pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis (meiosis) dan terdiri dari satu sel yang membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma hanya memiliki 23 kromosom bukan 46. Ada banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses pembelahan sel.
Pada meiosis, beberapa pasang kromosom membelah diri dan berpisah ke tempat yang berbeda, peristiwa ini disebut disjungsi.
Namun, kadang- kadang salah satu pasang tidak membelah, dan seluruhnya pergi ke satu daerah. Ini berarti bahwa dalam sel-sel yang dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan memiliki 22 kromosom. Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat terjadi pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I). Pada sindroma Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh peristiwa ini, satu sel mempunyai dua kromosom 21, bukan satu sehingga sel telur yang dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu sering disebut dengan nama ilmiah, trisomi 21(Irwanto, et al., 2019).
F. Klasifikasi
Menurut (Dia septiani et al., 2022), Down syndrome merupakan suatu kondisi yang disebabkan anomali kromosom 21 yang menyebabkan intelektual disability, mikrosefali, perawakan pendek dan karakteristik wajah. Anomali kromosom 21 ditunjukkan melalui kondisi sebagai berikut:
1. Trisomi 21
Down syndrome disebabkan karena adanya ekstra kromosom 21 (trisomi 21) yang terpisah, sehingga menyebabkan seseorang memiliki 47 kromosom.
2. Translokasi
Down syndrome akibat translokasi memiliki jumlah kromosom normal yaitu 46 kromosom tetapi memiliki ekstrak kromosom 21 yang ditranslokasikan ke kromosom lain. Translokasi paling umum terjadi di mana sepotong kromosom 21 tambahan melekat pada kromosom 14.
Meskipun demikian pada kasus ini kromosom 21 dapat bertranslokasi ke kromosom lain
3. Down syndrome mosaik
Down syndrome mosaik disebabkan karena kromosom nondijunction (kromosom gagal berpisah ke sel terpisah) selama pembelahan sel dalam embrio. Pada kondisi ini seseorang memiliki dua garis sel, satu dengan 46 kromosom, dan satunya lagi dengan 47 kromosom termasuk ekstra kromosom 21.
G. Komplikasi
1. Cacat jantung, leukemia 2. Gangguan kekebalan tubuh
3. Obesitas, masalah gigi, pendengaran, penglihatan 4. Masalah tulang belakang
H. Pemeriksaan Penunjang
Berikut beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Faradz, (2021) :
1. Pemeriksaan Dermatoglifik
Dermatoglifik adalah studi tentang pola sidik jari dan telapak tangan. Pada individu dengan Down Syndrome, sering ditemukan pola dermatoglifik yang khas, seperti peningkatan jumlah garis palmar transversal tunggal (simian crease). Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai uji diagnostik tambahan untuk mendeteksi trisomi 21.
2. Penilaian Fenotip Klinis
Penilaian fenotip melibatkan identifikasi ciri-ciri fisik khas yang sering ditemukan pada individu dengan Down Syndrome, seperti hipotonia (tonus otot rendah), wajah datar, dan leher pendek. Penilaian ini penting sebagai langkah awal dalam diagnosis sebelum konfirmasi dengan analisis genetik.
3. Analisis Kariotipe
Analisis kromosom melalui pemeriksaan kariotipe adalah metode definitif untuk mendiagnosis Down Syndrome. Pemeriksaan ini mengidentifikasi adanya trisomi 21 atau kelainan kromosom lainnya yang terkait dengan sindrom ini.
4. Skrining Ultrasonografi Prenatal
Selama kehamilan, ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda yang mengindikasikan risiko Down Syndrome pada janin, seperti peningkatan ketebalan nuchal translucency. Deteksi dini ini memungkinkan intervensi dan persiapan yang lebih baik bagi orang tua dan tenaga medis.
5. Pemeriksaan Fisik dan Penilaian Perkembangan
Setelah kelahiran, pemeriksaan fisik rutin dan pemantauan perkembangan anak dengan Down Syndrome sangat penting. Hal ini mencakup evaluasi pertumbuhan, perkembangan motorik, dan kemampuan kognitif untuk memastikan intervensi dini yang tepat.
6. Pemeriksaan Denver Developmental Screening Test (DDST)
Pemeriksaan DDST pada anak dengan Down Syndrome sangat berguna untuk mengidentifikasi area-area perkembangan yang membutuhkan perhatian lebih dan intervensi. Anak dengan Down Syndrome akan menunjukkan perkembangan yang tertinggal dalam berbagai aspek, tetapi dengan intervensi yang tepat, mereka dapat mencapai kemajuan yang signifikan dalam banyak area.
I. Penatalaksanaan
Menurut Nasution (2015),anak down syndrome memerlukan penanganan yang tepat untuk meningkatkan IQ, meningkatkan kemampuan motorik halus dan kasar, kemampuan berkomunikasi dan lain sebagainya.
Penanganan yang tepat untuk anak down syndrome yaitu : 1. Terapi okupasi
Suatu terapi yang diberikan untuk melatih kemandirian, kognitif, pemahaman, kemampuan sensorik dan kemampuan motorik anak.Terapi ini dapat membantu anak dengan down syndrome untuk menyesuaikan kegiatan sehari-hari agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Jenis terapi ini mengajarkan cara makan, berpakaian, menulis, menggunakan komputer, atau sekadar memegang suatu benda yang sesuai dengan kondisinya.
Terapi ini juga mungkin dapat menawarkan alat khusus yang bisa membantu anak menjalankan aktivitasnya sehari- hari.Ambil contoh, pensil yang mudah anak genggam untuk menulis atau menggambar.
Adapun terapi ini dapat terus bermanfaat bagi penderita Down syndrome hingga ia menjelang dewasa. Pada usia sekolah menengah, terapis okupasi dapat membantu remaja mengidentifikasi pekerjaan, karier, atau keterampilan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
2. Terapi wicara
Suatu terapi yang diberikan untuk melatih kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa secara efektif. Terapi ini dapat membantu anak-anak dengan down syndrome untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka dan menggunakan bahasa dengan lebih efektif.
Down syndrome umumnya menyebabkan anak terlambat bicara.
Tak hanya itu, beberapa anak pun mungkin mengalami sulit bicara karena kelainan struktur mulut atau lidah yang terjadi padanya.Untuk mengatasi hal tersebut, terapi wicara dan bahasa sangat anak Anda butuhkan. Terapi ini dapat membantu anak mengembangkan keterampilan komunikasi, termasuk percakapan, pengucapan, pemahaman, serta belajar mengingat kata-kata.Terapi ini juga mungkin akan membantu anak untuk menggunakan sarana komunikasi alternatif, seperti bahaya isyarat dan gambar sampai ia benar- benar bisa berbicara. Dengan cara ini, anak dengan Down syndrome dapat mengembangkan keterampilan komunikasi yang sangat ia butuhkan untuk beraktivitas ke depannya. Pada bayi, terapis juga membantu bayi mempelajari cara menyusui dengan benar. Sebab, menyusui dapat membantu memperkuat otot yang akan anak gunakan untuk bicara.
3. Terapi bermain
Suatu kegiatan aktivitas fisik anak yang dapat melakukan keterampilan menjadi kreatif memberikan ekspresi terhadap pemikiran, berprilaku dewasa dan mempersiapkan diri untuk berperan.
J. Pencegahan
1. Konseling Genetik
Konseling genetik sangat penting bagi pasangan yang memiliki faktor risiko atau riwayat keluarga dengan Down Syndrome. Dalam konseling ini, pasangan dapat (WHO, 2023) :
a. Memahami risiko memiliki anak dengan Down Syndrome berdasarkan usia dan riwayat keluarga
b. Melakukan analisis kromosom (kariotyping) untuk mengetahui adanya potensi kelainan genetik
c.
Mendapatkan informasi tentang teknologi reproduksi atau opsi kehamilan yang sesuai2. Perencanaan Kehamilan yang Tepat
Dalam kutipan March of Dimes (2023), berikut perencanaan kehamilan yang tepat :
a. Usia Kehamilan Optimal : Risiko Down Syndrome meningkat secara signifikan pada kehamilan di usia ibu lebih dari 35 tahun.
Jika memungkinkan, merencanakan kehamilan pada usia lebih muda dapat mengurangi risiko
b. Kesehatan Sebelum Kehamilan : Gaya hidup sehat, termasuk pola makan seimbang, olahraga, dan menghindari paparan zat berbahaya (seperti alkohol, rokok, dan bahan kimia), dapat mendukung pembentukan sel telur dan sperma yang sehat.
3. Pemeriksaan Prenatal
Pemeriksaan prenatal bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan Down Syndrome pada janin sejak dini. Tes yang tersedia meliputi (ACOG, 2021) :
a. Tes Skrining Non-Invasif:
1) USG Nuchal Translucency (NT) : Dilakukan pada trimester pertama untuk mengukur ketebalan cairan di belakang leher janin
2) Tes Darah Ibu : Mengukur kadar hormon tertentu dan protein yang dapat menunjukkan risiko Down Syndrome
3) Non-Invasive Prenatal Testing (NIPT) : Mendeteksi fragmen DNA janin dalam darah ibu untuk mengetahui kelainan kromosom
b. Tes Diagnostik (Invasif):
1) Amniosentesis : Pengambilan sampel cairan ketuban untuk analisis kromosom.
2) Chorionic Villus Sampling (CVS) : Mengambil sampel jaringan plasenta untuk memeriksa kelainan genetik 3) Tes ini biasanya ditawarkan jika hasil skrining
menunjukkan risiko tinggi 4. Teknologi Reproduksi Berbantu
Bagi pasangan dengan risiko genetik tinggi, teknologi reproduksi berbantu dapat menjadi opsi, seperti :
In Vitro Fertilization (IVF): Dengan Preimplantation Genetic Testing (PGT), embrio diuji sebelum ditanamkan ke rahim untuk memastikan embrio tidak memiliki kelainan kromosom (NDSS, 2023).
5. Edukasi dan Kesadaran
a. Mengedukasi masyarakat tentang Down Syndrome, termasuk faktor risiko dan pentingnya pemeriksaan prenatal
b. Meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan dan konseling untuk mendorong perencanaan kehamilan yang lebih baik
6. Mendukung Keputusan Informasi
Meskipun pencegahan total tidak mungkin, memahami risiko sejak awal memungkinkan pasangan membuat keputusan yang sesuai dengan nilai, preferensi, dan situasi pribadi mereka.
NON-DISJUNCTION - Usia ibu >35 tahun - Pemindahan genetik
trisomi 15 & 21
TRANSLOCATIONS MOZAIK
Pembelahan trisomi bahan genetik 14 ke trisomi 21
Bilangan kromosom 23 pasang
DOWN SYNDROME
Fisik (terganggu) Kognitif (terganggu)
Tumbuh kembang terlambat
Kelainan Kromosom
Perkembangan fisik tidak normal
Otot lemah
& lemas
Motorik kasar &
halus terlambat
Tidak mampu beraktifitas
Gangguan Mobilitas Fisik
Defisit Perawatan Diri Bahasa terganggu
Gangguan Komunikasi Verbal Sulit berbicara
Masalah di jantung/
ketidaksempurnaan organ jantung
Terjadi septal pada jantung
Kadar O₂ dalam darah ke sirkulasi sistemik ↓
Perfusi O₂ kejaringan ↓
Gangguan perfusi jaringan jantung Cemas
Kecemasan orang tua
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN DIAGNOSIS MEDIS FRAKTUR CLAVICULA PRE-OPERASI PADA RUANG PERAWATAN
AD-DHUHA RSUD HAJI KOTA MAKASSAR
A. Pengkajian 1. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Tempat/Tanggal lahir : Makassar/ 03 Maret 1996
Alamat : Jln. Pelita 2
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Belum kawin
Suku : Bugis
Pekerjaan : Wiraswasta
No. Rekam Medis : 00329833
Diagnosa medis : Fraktur clavikula 1/3 midel sinistra orto
Tanggal Masuk : 24 Januari 2025 Tanggal Pengkajian : 27 Januari 2025 2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Jln. Pelita 2
Hubungan dengan Klien : Kakak Kandung
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Kesulitan menggerakkan lengannya b. Riwayat keluhan utama
Klien mengatakan nyeri tajam pada bahu kiri, klien juga sulit menggerakkan bahu dan lengannya
c. Riwayat kesehatan
Pada tanggal 24 januari 2025 Klien mengalami kecelakaan kerja di kantornya yaitu jatuh dari tangga, klien merasakan nyeri hebat hingga bahu dan lengannya sulit digerakkan, kemudian klien langsung dibawa ke IGD RSUD Haji Kota makassar untuk ditangani
4. Genogram
G1
G2
G3
Keterangan :
? ?
?
32
4
28
?
? ?
: Laki-laki : Perempuan X : Meninggal ---- : Tinggal Bersama
: Klien
: Garis Pernikahan : Garis Keturunan
? : Umur Tidak Diketahui
G1 : Generasi pertama kakek dan nenek klien dari ayah dan ibu klien G2 : Generasi kedua ayah dan ibu klien
G3 : Generasi ketiga adalah klien yang menderita Down Syndrome B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum :
2. Kesadaran : Composmentis 3. Tanda tanda vital
a. Tekanan Darah : 130/70 mmHg b. Pernapasan : 22 kali/menit
c. Nadi : 70 kali/menit
d. Suhu tubuh : 36,7° C e. Saturasi oksigen : 97%
4. Berat badan dan tinggi badan a. Berat badan : 75 Kg b. Tinggi badan : 170 Cm 5. Kepala dan wajah
Inspeksi: Simetris, tidak ada luka, pembengkakan, atau deformitas.
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi.
6. Leher
Inspeksi: Tidak ada pembesaran vena jugularis, tidak ada deviasi trakea.
Palpasi: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada nyeri tekan pada vertebra servikalis.
7. Dada (Thoraks)
Inspeksi: Terdapat pembengkakan dan deformitas di area klavikula kiri, asimetri bahu kiri tampak lebih rendah.
Palpasi: Nyeri tekan pada klavikula kiri, krepitasi terasa di daerah fraktur, tidak ada emfisema subkutan.
Perkusi: Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi: Suara napas vesikuler normal, tidak ada wheezing atau ronki.
8. Abdomen
Inspeksi: Tidak ada distensi atau bekas luka.
Palpasi: Lembut, tidak ada nyeri tekan atau pembesaran organ.
Perkusi: Timpani normal, tidak ada tanda ascites.
Auskultasi: Peristaltik usus normal.
9. Genetalia dan anus 10. Eksremitas atas
Inspeksi: Lengan kiri tampak lebih jarang digunakan, tidak ada luka terbuka.
Lengan kanan terpasang infus RL 20/ tpm
Palpasi: Nyeri tekan pada bahu kiri, sirkulasi distal baik (nadi radial teraba kuat, CRT < 2 detik).
Perkusi: Tidak ada kelainan.
C.Ekstremitas Bawah
Inspeksi: Tidak ada edema atau deformitas.
Palpasi: Suhu normal, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi: Tidak ada kelainan.
D. Pola Akivitas Sehari-hari
NO. Jenis Kegiatan Deskripsi
1. Nutrisi Frekuensi: 3 kali makan utama, 1-2 camilan sehari
Preferensi: Makanan manis, tekstur halus, seperti nasi, sayuran lembut, buah
2. Cairan
minum air putih 3-4 kali sehari. Mungkin minum lebih sering saat cuaca panas atau setelah makan
Anak cenderung lebih memilih minuman manis (seperti jus atau susu manis), meskipun air putih tetap dikonsumsi
Anak tidak mengalami kesulitan dalam minum, tetapi perlu pengawasan agar tidak terlalu banyak mengonsumsi minuman manis 3. Eliminasi Urin
Anak buang air kecil 4-5 kali sehari, tergantung pada asupan cairan
Tidak ada kesulitan yang signifikan dalam buang air kecil, meskipun anak masih
cenderung menunda-nunda pergi ke toilet saat bermain
4. Eliminasi Fekal
Anak BAB sekali atau dua kali sehari, tergantung pada pola makan dan konsumsi cairan
Tidak ada kesulitan signifikan dalam BAB, meskipun kadang anak tampak lebih lama di
toilet karena kurangnya kesadaran akan kapan harus buang air besar
5. Aktivitas Fisik Aktivitas : Lebih banyak bermain dengan mainan, menonton televisi
Kesulitan fisik : Lambat, kesulitan dalam melompat, berlari, atau aktivitas fisik kompleks
6. Pola Tidur
Tidur malam : 8 malam - 7 pagi (11-12 jam)
Kualitas tidur : Tidur nyenyak tanpa gangguan, kadang terbangun karena lapar
Posisi tidur : Tidur terlentang dengan bantal pendukung
7. Personal
Hygiene Kemandirian : Bisa mengenakan pakaian dengan bantuan, menyikat gigi dengan bantuan
Toilet : Memerlukan pengingat, terkadang membutuhkan bantuan untuk pergi ke toilet
E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium
Jenis Pemeriksaan
Hasil Satuan Nilai Rujukan
WBC 13.60 g/dl 4.00-10.00
NEUT% 75.5 % 50.00-70.00
LYMPH% 15.7 Ribu/ul 25.0-40.0
MONO% 7.0 Ribu/ul 2.0-4.0
EO% 1.4 % 2.0-4.0
BASO % 0.4 % 0.0-1.0
RBC 5.22 % 4.00-5.00
HGB 15.3 Juta/ul 12.00-16.00
HCT 44.7 fl 36.0-48.0
MCV 85.6 pg 27-31
MCHC 32 g/dl 32-36
RDW 15 % 11,5-14,5
F. Terapi
1. Farmakologi
NO. Nama Obat Cara Pemberian Manfaat
1. Ketorolac IV/8 Jam Untuk mengatasi anemia
ringan
2 Ranitidine IV/12 Jam Membantu memenuhi
kebutuhan mikronutrien yang mungkin kurang pada anak dengan Down Syndrome
2. Non-farmakologi
Jenis Manfaat
Pemasangan Witela Mengurangi nyeri: Witela dapat membantu mengurangi nyeri pada bagian tubuh yang cedera.
Mengurangi peradangan: Witela dapat membantu mengurangi peradangan pada bagian tubuh yang cedera.
G. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
DS: Klien mengatakan nyeri hilang timbul P : Nyeri muncul saat Q :
DO:
- Hipotonia otot (tonus otot lemah)
- Anak berjalan dengan bantuan dan belum dapat melompat sendiri - Berat badan di bawah rata-rata (13 kg)
Down syndrome
↓
Fisik (terganggu)
↓
Perkembangan fisik tidak normal
↓
Otot lemah & lemas
↓
Motorik kasar &
halus terlambat
↓ Tidak mampu
beraktifitas
↓
Gangguan Mobilitas Fisik
Gangguan mobilitas fisik
DS: Orang tua mengatakan anak hanya bisa berbicara dengan kalimat sederhana, seperti
"Mau makan" atau "Ini mainanku."
DO:
- Anak dapat berbicara dengan kalimat
sederhana, tetapi lambat dalam merespons perintah - Tidak mampu
Down syndrome
↓
Kognitif (terganggu)
↓
Tumbuh kembang terlambat
↓
Bahasa terganggu
↓ Sulit berbicara
↓ Gangguan Komunikasi Verbal
Gangguan komunikasi verbal
H. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik b/d Penurunan kekuatan otot d/d Kekuatan otot menurun
2. Gangguan komunikasi verbal b/d Gangguan neuromuskuler d/d Disfasia 3. Defisit perawatan diri b/d Gangguan neuromuskuler d/d Tidak mampu
mandi/mengenakan pakaian/makan/ke toilet/berhias secara mandiri
I. Rencana Keperawatan
Luaran Intervensi
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan Mobilitas fisik
Dukungan Mobilisasi Observasi
Identifikasi adanya nyeri atau menyebutkan kata
kompleks DS: Orang tua mengatakan anak belum bisa berpakaian sendiri dan masih memerlukan bantuan saat makan
DO:
- Anak belum mampu mengenakan pakaian sendiri
- Anak makan dengan sendok tetapi sering tumpah dan
memerlukan pengawasan
Down syndrome
↓
Fisik (terganggu)
↓
Perkembangan fisik tidak normal
↓
Otot lemah & lemas
↓
Defisit Perawatan Diri
Defisit perawatan diri
Meningkat dapat teratasi dengan kriteria hasil:
Pergerakan ekstremitas 1 (menurun) → 4 (cukup meningkat)
Kekuatan otot 1 (menurun)→
4 (cukup menurun)
Kelemahan fisik 2 (cukup meningkat)→ 4 (cukup menurun)
keluhan fisik lainnya
Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. pagar tempat tidur)
Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis. duduk di tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi).
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan Komunikasi verbal Meningkat dengan kriteria hasil:
Promosi Komunikasi : Defisit Bicara Observasi
Monitor kecepatan, tekanan, kuantitias, volume, dan diksi
Kemampuan berbicara 2 (cukup menurun) → 4 (cukup meningkat)
Kemampuan mendengar 2 (cukup menurun)→5 (meningkat)
Disfasia 2 (cukup meningkat)→4 (cukup menurun)
bicara
Monitor progress kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berkaitan dengan bicara (mis:
memori, pendengaran, dan Bahasa)
Monitor frustasi, marah, depresi, atau hal lain yang mengganggu bicara
Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komunikasi
Terapeutik
Gunakan metode komunikasi alternatif (mis: menulis, mata berkedip, papan komunikasi dengan gambar dan huruf, isyarat tangan, dan komputer)
Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan (mis: berdiri di depan pasien, dengarkan dengan seksama, tunjukkan satu gagasan atau pemikiran sekaligus,
bicaralah dengan perlahan sambal menghindari teriakan, gunakan komunikasi tertulis, atau meminta bantuan keluarga untuk
memahami ucapan pasien)
Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan
Ulangi apa yang disampaikan
pasien
Berikan dukungan psikologis
Gunakan juru bicara, jika perlu Edukasi
Anjurkan berbicara perlahan
Ajarkan pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis, dan fisiologis yang berhubungan dengan kemampuan bicara Kolaborasi
Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan Perawatan diri Meningkat dengan kriteria hasil:
Kemampuan mandi 1 (menurun) → 4 (cukup meningkat)
Kemampuan mengenakan pakaian 1 (menurun) → 4 (cukup meningkat)
Kemampuan makan 1 (menurun) → 4 (cukup meningkat)
Kemampuan ke toilet
(BAB/BAK) 1 (menurun) → 4 (cukup meningkat)
Dukungan Perawatan Diri Observasi
Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
Monitor tingkat kemandirian
Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan makan
Terapeutik
Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis. suasana hangat, rileks, privasi)
Siapkan keperluan pribadi (mis.
parfum, sikat gigi, dan sabun mandi)
Dampingi dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan
perawatan diri
Jadwalkan rutinitas perawatan diri Edukasi
Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan