MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN CHILD ABUSE DAN ASUHAN KEPERAWATAN
LABIOPALATOSCHIZIS
Kelompok 8:
Citra Wulandari (711430123041) Christia Pai (711430123040) Given essing (711430123048)
Hizkia Opit (711430123051)
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN + PROFESI NERS
2025
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan kita semua, sehingga kita masih bisa menghirup nafas dan masih bisa beraktivitas serta mampu menuntut ilmu hingga saat ini. Berkat kasih, karunia, dan rahmat- Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Child Abuse dan Asuhan Keperawatan Labiopalatoschizis” ini dengan baik dan tepat waktu.
Tugas makalah ini dapat terselesaikan karena bantuan dari beberapa pihak.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para dosen pengampu mata kuliah ini yang telah memberikan bimbingan.Ucapan terima kasih juga kami kami sampaikan kepada Bapak dan Ibu yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada kami.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Terdapat kekurangan dan kesalahan.Karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang dapat membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah ini.
Manado, 02 Agustus 2024
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...1
C. Tujuan...1
BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP CHILD ABUSE...2
a. Definisi...2
b. Klasifikasi...2
c. Etiologi...3
d. Manifestasi Klinis...5
e. Kompikasi...7
f. Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik...8
g. Penatalaksanaan Medis...8
B. ASUHAN KEPERAWATAN...10
I. Pengkajian...10
II.Diagnosa Keperawatan...12
III.Intervensi Keperawatan...12
IV.Implementasi Keperawatan...17
V. Evaluasi Keperawatan...17 BAB III
LABIOPALATOSCHIZIS
A. KONSEP LABIOPALATOSCHIZIS
a. Definisi Labiopalatoskisis...
b. Insidensi Labiopalatoskisis...
c. Etiologi dan Faktor resiko...
d. Manifestasi Klinis...
e. Klasifikasi...
f. Komplikasi……….………..…………..
g. Pemeriksaan Penunjang………...…...
h.Patofisiologi………..…..………...
i. Penatalaksanaan...………
j. Pencegahan………..………...………..
k. Prognosis... ...
D. ASUHAN KEPERAWATAN...
I. Pengkajian...
II.Diagnosa Keperawatan...
III.Intervensi Keperawatan...
IV.Implementasi Keperawatan...
V. Evaluasi
Keperawatan...
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan...
.
B. Saran...
DAFTAR PUSTAKA...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka. Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.
Sementara menurut US Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
Labioschisis atau biasa disebut bibir sumbing adalah cacat bawaan yang menjadi masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi yang lemah.
Akibatnya operasi dilakukan terlambat dan bahkan dibiarkan sampai dewasa. Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah langit-langit 1.47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2.1/1000 penduduk di Jepang.
Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui secara pasti.
Hidayat dan kawan-kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk .
Penelitian untuk bibir sumbing dengan atau tanpa celah pada langit-langit, menggambarkan patologi yang sesuai dengan klasifikasi tingkat keparahan distorsi bibir, hidung, langit-langit
primer dan sekunder. Penerapan klasifikasi tingkat keparahan bibir sumbing dapat digunakan untuk pemilihan pengobatan atau operasi. Clock Diagram adalah salah satu metode klasifikasi tingkat keparahan bibir sumbing. Metode yang dikembangkan pengukurannya masih dilakukan secara manual, sehingga rentan akan kesalahan.
Data penderita bibir sumbing di Indonesia seperti yang ditunjukkan,maka diperlukan sebuah sistem secara telemedicine untuk deteksi dan klasifikasi keparahan bibir sumbing. Maka dalam penelitian ini dibangun sebuah sistem cerdas untuk mendeteksi tingkat keparahan bibir sumbing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa konsep dari child abuse?
2. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dengan masalah child abuse?
3. Apa konsep dari abioschisis?
4. Bagaimana konsep asuhan keperawatan labioschisis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dari child abuse: Definisi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan dan diagnostic, penatalaksanaan medis.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan dengan masalah child abuse.
3. Menambah dan memperluas pengetahuan tentang Labio palato skisis bagi mahasiswa.
BAB II PEMBAHASAN
I. KONSEP CHILD ABUSE a. Definisi
Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala perlakuan buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka. Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.
Sementara menurut US Departement of Health, Education and Wolfare memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam.
b. Klasifikasi
Terdapat 2 golongan besar yaitu:
1. Dalam keluarga
a. Penganiayaan fisik
Non Accidental "injury" mulai dari ringan "bruiser laserasi"
sampai pada trauma neurologik yang berat dan kematian.
Cedera fisik akibat hukuman. badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun.
b. Penelantaran anak/kelalaian
Yaitu: kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan efek merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya. Kelalaian dapat berupa:
- Pemeliharaan yang kurang memadai. Menyebabkan gagal tumbuh, anak merasa kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan
- Pengawasan yang kurang memadai. Menyebabkan anak gagal mengalami resiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa
- Kelalaian dalam mendapatkan pengobatan Kegagalan dalam merawat anak dengan baik
- Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak agar mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional
Ditandai dengan kecaman/kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak. Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.
d. Penganiayaan seksual
Mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk mengajak berperilaku/mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan kegiatan seperti: aktivitas seksual (oral genital, genital, anal, atau sodomi) termasuk incest.
2. Diluar Rumah
Dalam institusi lembaga, di tempat kerja, di jalan, dan di medan perang.
c. Etiologi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
1. Stress yang berasal dari anak a. Fisik berbeda
Yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa
dilihat adalah anak mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda
Yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
c. Temperamen berbeda
Anak dengan temperamen yang lemah cenderung mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen lemah.
d. Tingkah laku berbeda
Yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e. Anak angkat
Anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang kuat antara anak angkat dan orang tua
2. Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran
Kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat dengan. kelangsungan hidup.
Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama
demi mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai
Ketiga faktor ini juga berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan. pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang menjadifaktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan
tingkah laku anak. c. Perceraian, c. Perceraian
Mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan,
Hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb
3. Stress berasal dari orangtua.
a. Rendah diri,
Anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah
Orangtua yang mengalami perlakuan salah pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknyasebagai bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis
Harapan yang tidak realistis akan membuatorangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhikebutuhan anak. orangtua cenderung
menjadikan anak sebagai pelampiasan kekesalannyadengan melakukan tindakan kekerasan.
d. Manifestasi Klinis 1. Akibat pada fisik anak
a. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retina akibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam lainnya.
b. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.
c. Kematian.
2. Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak- anak sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.
b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca, dan motorik.
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.
Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.
Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
Agresif
Anak mendapatkan perlakuan yang salah secara badani, lebih agresif terhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep harga diri.
Hubungan social
Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa.
Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.
3. Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan perdarahan anus.
Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
4. Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:
Gejala yang tidak biasa tidak spesifik
Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
Tingkah laku orangtua yang berlebihan e.Kompikasi
1. Defisit perhatian/ hiperaktivitas (Attention-deficit/hiperactivity disorder, ADHD)
2. Kesulitan belajar
3. Masalah kesehatan mental (misal, depresi, stres, pasca-traumatik, gangguan makan)
4. Perilaku agresif (meyerang) 5. Keterlambatan perkembangan 6. Kesulitan dalam hubungan social 7. Perilaku seksual yang tidak tepat 8. Penyalahgunaan zat
9. Peningkatan penyakit menular seksual (AIDS)
f.Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik
1. Studi radiografik survei skeletal (tulang), dalam dua tahap, untuk semua anak yang diduga cedera akibat penganiayaan. Ulangi dalam waktu dua minggu untuk anak yang mempunyai
kemungkinan besar mengalami penganiayaan. Rasional: fraktur metafiscal (corner chip) mempunyai spesifisitas ke arah
penganiayaan tetapi mungkin sulit di identifikasi pada
awalnya.penyembuhan fraktur dari kalus (benjolan tulang) yang terlihat 2 minggu dari suatu cedera akut. Survei skeletal juga memberikan informasi tentang usia cedera." fraktur multipel pada berbagai tahap penyembuhan sering terjadi pada penganiayaan anak.
2. CT scan atau MRI pada daerah yang sakit
3. Pemeriksaan oftalmologi untuk mendeteksi hemoragi retina (akibat goncangan atau benturan hebat di kepala ).
4. Foto bewarna dari cedera.
5. Lingkar kepala, lingkar abdomen 6. Pemeriksaan cairan serebrospinal
7. Skrining penyakit menular seksual, human immunodeficienty virus (HIV)
8. Tes kehamilan
9. Pemeriksaan penjelas (pengumpulan dan pemeriksaan spesimen hendaknya dilakukan dengan rekomendasi dari lembaga
perlindungan anak penyidik setempat atau pemeriksa medis).
g.Penatalaksanaan Medis
Prioritas utama dalam perawatan anak yang teraniaya adalah resusitasi dan stabilisasi seperlunya sesuai dengan cedera yang dialami. Konfirmasi penganiayaan diperoleh melalui pengambilan data riwayat yang saksama. pemeriksaan fisik yang lengkap dengan inspeksi yang mendetail pada seluruh tubuh anak dan pengambilan spesimen laboratorium. Semua cidera harus di dokumentasikan dengan foto bewarna dan di catat dengan cermat dalam rekam medis tertulis.
Setiap negara bagian mempunyai undang-undang yang mejelaskan tanggung jawab legal untuk melapor jika terdapat kecurigaan
penganiayaan anak.. Kecurigaan penganiayaan anak harus dilaporkan ke lembaga layanan perlindungan anak setempat. Pelapor yang diberi mandat untuk melapor adalah perawat, dokter, dokter gigi, pediatris, psikolog, patolog wicara, pemeriksa medis, karyawan, lembaga penitipan anak, pekerja layanan anak-anak, pekerja sosial, dan guru sekolah. Kegagalan seseorang untuk melaporkan penganiayaan ana dapat menyebabkan orang tersebut di denda atau diberi hukuman lain, sesuai dengan statuta masing-masing.
B ASUHAN KEPERAWATAN I. Pengkajian
1) Identitas pasien, nama, umur, serta jenis kelamin.
2) Keluhan utama, apa yang menyebabkan pasien atau dirawat di rumah sakit.
3) Riwayat penyakit sekarang, menanyakan bagaimana pasien bisa mengalami kejadian ini, apa faktor yang memperberat kejadian.
4) Faktor predisposisi, mengkaji tindakan penganiayaan fisik yang dialami, kekerasan dalam keluarga, ataupun tindakan kriminal.
5) Riwayat keluarga, mengkaji gambaran pasien dengan keluarga, dilihat dari pola komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh.
6) Pengkajian pola fungsi Gordon
Pola persepsi kesehatan – manajemen kesehatan , persepsi kesehatan yang berhubungan dengan penatalaksanaan kesehatan umum dan praktik pencegahan.
Pola nutrisi – metabolik, asupan makan dan cairan yang berhubungan dengan kebutuhan metabolik.
Pola eliminasi, mengkaji kemampuan pasien untuk buang air besar dan buang air kecil.
Pola aktivitas – latihan, mengkaji tingkat energi pasien dalam melakukan suatu hal.
Pola kognitif – perseptual, keadekuatan ketrampilan kognitif, bahasa, dan persepsi yang berhubungan dengan aktivitas yang dibutuhkan atau diinginkan: status
psikososial, status mental; penampilan, pembicaraan, emosi, interaksi, sensori, tingkat kesadaran dan konsentrasi.
Pola tidur – istirahat, keefektifan periode tidur dan istirahat.
Pola konsep diri – persepsi diri, keyakinan dan evaluasi terhadap makna diri.
Pola peran – berhubungan , peran keluarga dan sosial, khususnya hubungan orangtua dengan anak.
Pola seksualitas - reproduktif, masalah atau masalah potensial dengan seksualitas atau reproduksi.
Pola koping – toleransi - stres, tingkat toleransi stres dan pola koping, termasuk sistem pendukung.
Pola nilai – keyakinan; nilai, tujuan, atau keyakinan yang mempengaruhi keputusan dan tindakan yang terkait dengan kesehatan.
7) Pemeriksaan fisik
Memeriksa tanda-tanda vital
Tinggi badan
Berat badan
Kepala, meliputi:
1) Mata : Inspeksi warna konjungtiva, sklera, pupil.
2) Wajah : Inspeksi hiperpigmentasi pada wajah.
3) Mulut : Inspeksi membran mukosa dan kelenjar limfe.
4) Hidung : Inspeksi sekret, abnormalitas anatomi.
5) Leher : Palpasi kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.
Dada, meliputi:
1) Paru – paru, Inspeksi ( Gerakan dinding dada,
kebersihan jalan napas, penggunaan otot bantu napas, dyspnea ) dan auskultasi suara napas.
2) Jantung, Palpasi kekuatan denyut nadi dan suara jantung.
3) Payudara, Inspeksi bentuk payudara, benjolan abnormal, pigmentasi areola mamae,
dan sekret putting.
Abdomen
Inspeksi, mengamati bentuk perut secara umum, warna, ada tidaknya retraksi, benjolan simetrisan, serta ada atau tidak nya asietas.
Auskultasi, mendengarkan bising usus minimal 15x/menit.
Integumen
1) Lesi sirculasi.
2) Luka bakar pad kulit, memar atau abrasi.
3) Adanya tanda-tanda gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan.
4) Trauma yang tidak dijelaskan.
5) Bengkak.
Muskuloskeletal 1) Fraktur.
2) Dislokasi.
3) Keseleo/ sprain.
Genetalia
1) Infeksi saluran kemih.
2) Perdarahan per vagina.
3) Luka pada vagina/ penis.
4) Nyeri waktu mikasi.
5) Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina&anus.
II. Diagnosa Keperawatan
Menurut Tim Pokja, SDKI DPP PPNI, diagnosis
keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau respon individu, keluarga, komunitas pada masalah kesehatan.
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul:
1) (D. 0080) Ansietas berhungan dengan krisis matursional dibuktikan dengan merasa bingung, meras khawatir, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih.
2) (D. 0107) Risiko gangguan perkembangan dibuktikan dengan penganiayaan (mis. fisik, psikologi, seksual).
3) (D. 0146) Risiko perilaku kekerasan dibuktikan dengan penganiayaan atau pengabaian anak.
III. Intervensi Keperawatan D. 0080
Ansietas berhungan dengan krisis matursional dibuktikan dengan merasa bingung, meras khawatir, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar,
L. 09093
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka, tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil:
Verbalisasi kebingungan menurun
Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
I. 09314
Reduksi Ansietas Observasi
Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis kondisi, waktu, stresor)
Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
Monitor tanda-tanda ansietas
kontak mata buruk, sering berkemih
Perilaku gelisah menurun
Perilaku tegang menurun
Tremor menurun
Pucat menurun
Konsentrasi membaik
Pola tidur membaik
Frekuensi pernapasan membaik
Frekuensi nadi membaik
Kontak mata membaik
Pola berkemih membaik
(verbal dan nonverbal) Terapeutik
Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
Temani pasien untuk
mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
Pahami situasi yang membuat ansietass
Dengarkan dengan penuh perhatian
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
Tempatkan barang pribadi yang memberikan
kenyamanan
Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa yang akan datang
Edukasi
Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin dialami
Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
Anjurkan umelakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi ketegangan
Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
Latih teknik relaksasi Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
D. 0107
Risiko gangguan
perkembangan dibuktikan dengan penganiayaan (mis.
fisik, psikologi, seksual)
L. 10101
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka, status perkembangan membaik dengan kriteria hasil:
Keterampilan/ prilaku sesuai usia meningkat
Kemampuan melakukan perawatan diri meningkat
Respon social meningkat
I. 10340
Promosi Perkembangan Anak Observasi
Identikasi kebutuhan khusus anak dan kemampuan adaptasi anak
Terapeutik
Fasilitasi hubungan anak dengan teman sebaya
Dukung anak berinteraksi
Kontak mata meningkat
Afek membaik
Pola tidur membaik
dengan anak lain
Dukung anak
mengekspresikan perasaannya secara positif
Dukung anak dalam bermimpi atau berfantasi sewajamya
Dukung partisipasi anak di sekolah, ekstrakurikuler dan aktivitas komunitas
Berikan mainan yang sesuai dengan usia anak
Bernyanyi bersama anak lagu- lagu yang disukai anak
Bacakan cerita/ dongeng untuk anak
Diskusikan bersama remaja tujuan dan harapannya
Sediakan kesempatan dan alat-alat untuk menggambar, melukis, dan mewarnai
Sediakan mainan berupa puzzle dan maze Edukasi
Jelaskan nama-nama benda obyek yang ada di lingkungan sekitar
Ajarkan pengasuh milestones perkembangan dan prilaku yang dibentuk
Ajarkan sikap kooperatif, bukan kompetisi diantara anak
Ajarkan anak cara meminta bantuan dari anak lain, jika perlu
Ajarkan teknik asertif pada anak dan remaja
Demonstrasikan kegiatan yang meningkatkan perkembangan pada pengasuh
Kolaborasi
Rujuk untuk konseling, jika perlu
D. 0146
Risiko perilaku kekerasan dibuktikan dengan
penganiayaan atau pengabaian anak
L. 09069
Setelah dilakukan intervensi keperawatan maka, harga diri meningkat dengan kriteria hasil:
Berjalan menampakan wajah meningkat
Postur tubuh menampakan wajah
Konsentrasi meningkat
Tidur meningkat
Kontak mata meningkat
Aktivitas meningkat
Gairah aktivitas meningkat
I. 09312
Promos Koping Observasi
Identifikasi kegiatan jangka pendek dan panjang sesuai tujuan
Identifikasi kemampuan yang dimiliki
Identifikasi sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tujuan
Identifikasi pemahaman proses penyakit Identifikasi dampak situasi terhadap peran dan hubungan
Aktif meningkat
Percaya diri berbicara meningkat
Perilaku asertif meningkat
Perasaan malu menurun
Identifikasi metode penyelesaian masalah
Identifikasi kebutuhan dan keinginan
terhadap dukungan social Terapeutik
Diskusikan perubahan peran yang dialami
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
Diskusikan alasan mengkritik diri sendiri
Diskusian untuk mengklarifikasi kesalahpahaman dan
mengevaluasi perilaku sendiri Diskusikan konsekuensi tidak menggunakan rasa bersalah dan rasa malu
Diskusikan risiko yang menimbulkan bahaya pada diri sendiri
Fasilitasi dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan
Berikan pilihan realistis mengenai aspek-aspek tertentu dalam perawatan
Motivasi untuk menentukan harapan yang realistis
Tinjau kembali kemampuan
dalam pengambilan keputusan
Hindari mengambil keputusan saat pasien berada di bawah tekanan
Motivasi terlibat dalam kegiatan sosial
Motivasi mengidentifikasi sistem pendukung yang tersedia
Dampingi saat berduka (mis penyakit kronis, kecacatan)
Perkenalkan dengan orang atau kelompok yang berhasil mengalami pengalaman sama
Dukung penggunaan
mekanisme pertahanan yang tepat
Kurangi rangsangan lingkungan
yang mengancaman Edukasi
Anjurkan menjalin hubungan yang memiliki kepentingan dan tujuan sama
Anjurkan penggunaan sumber spiritual, jika perlu
Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Anjurkan keluarga terlibat
Anjurkan membuat tujuan yang lebih spesifik
Ajarkan cara memecahkan masalah secara konstruktif
Latih penggunaan teknik relaksasi
Latih keterampilan sosial, sesuai kebutuhan
Latih mengembangkan penilaian obyektif
IV. Implementasi Keperawatan
Setelah intervensi keperawatan, selanjutnya rencana tindakan tersebut diterapkan dalam situasi yang nyata untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Tindakan keperawatan harus mendetail agar tenaga keperawatan dapat menjalankan tugasnya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dengan baik. Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, perawat bisa memberikan pelayanan kepada ibu dan/ dapat didelegasikan kepada orang lain yang dipercayai di bawah pengawasan perawat atau yang seprofesi secara langsung.
V. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan, penilaian atau perbandingan status kesehatan pasien dilakukan secara sistematis, terencana dan berkelanjutan terhadap tujuan yang telah ditentukan. Pada tahap status kesehatan evaluasi perawat membandingkan pasien dengan kriteria tujuan atau luaran yang telah ditentukan, baik luaran utama maupun luaran tambahan dengan menggunakan format SOAP; subjective, objective.
assessment, dan planning.
BAB III PEMBAHASAN a. Definisi
LabioPalatoskisis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, palatosisis (sumbing palatum), dan labiosisis (sumbing pada bibir) yang terjadi akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang) untuk menyatu selama perkembangan embroil. (Aziz Alimul Hidayat, 2006)
LabioPalatoskisis adalah penyakit congenital anomaly yang berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah.(Suriadi, S.Kp. 2001)
Labiopalatoskisis adalah kelainan congenital pada bibir dan langit-langit yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan yang disebabkan oleh kegagalan atau penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak lengkap. Kelainan ini cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat faktor non- genetik.
Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana terdapat celah pada
bibir atas diantara
mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa celah kecil pada bagian bibir yang be rwarna sampaipada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung. Kelainan ini terjadi karena adanya gangguan pada kehamilan
trimester pertama yang menyebabkan
terganggunya proses tumbuh kembang janin. Faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya kelainan ini adalah kekurangan nutrisi, stress pada kehamilan, trauma dan factor genetic..
Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palate pada masa kehamilan 7-12 minggu.
Komplikasi potensial meliputi infeksi, otitis media, dan kehilangan pendengaran.
b. Insidensi
Labiopalatoskisis dengan angka kejadian sebesar 45%, labioskisis 25%, dan palatoskisis sebesar 35 %. Labiopalatoskisis dan labioskisis lebih sering pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1, sedangkan palatoskisis lebih sering pada anak perempuan dengan perbandingan 2:1.
Palatoschisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan rasAfrika. Insiden palatoschisis padaras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000 pada ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam.
Menurut data tahun 2004, di Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk.
c. Etiologi dan Faktor resiko
1. Faktor Genetik
Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak dapat ditentukan dengan pasti karena berkaitan dengan gen kedua orang tua.
Diseluruh dunia ditemukan hampir 25 – 30 % penderita labio palatoscizhis terjadi karena faktor herediter. Faktor dominan dan resesif dalam gen merupakan manifestasi genetik yang menyebabkan terjadinya labio palatoschizis. Faktor genetik yang menyebabkan celah bibir dan palatum merupakan manifestasi yang kurang potensial dalam penyatuan beberapa bagian kontak.
2. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional, baik kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi foto maternal).
Zat –zat yang berpengaruh adalah:
Asam folat
Vitamin C
Zn
3. Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat, vitamin C dan Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat tersebut dibutuhkan dalam tumbuh kembang organ selama masa embrional. Selain itu
gangguan sirkulasi foto maternal juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa embrional.
4. Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik adalah:
- Jamu.
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin, terutama terjadinya labio palatoschizis. Akan tetapi jenis jamu apa yang menyebabkan kelainan kongenital ini masih belum jelas.
Masih ada penelitian lebih lanjut - Kontrasepsi hormonal.
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi hormonal, terutama untuk hormon estrogen yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga berpengaruh pada janin, karena akan terjadi gangguan sirkulasi fotomaternal.
- Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama labio palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
~ Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
~ Aspirin (Obat – obat analgetika)
~ Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream pemutih)
- Faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan Labio palatoschizis, yaitu:
~ Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ selama masa embrional.
~ Gangguan metabolik (DM). Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit diabetessangat rentan terjadi kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan gangguan sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat berpengaruh padatumbuh kembang organ selama masa embrional.h
~ Penyinaran radioaktif. Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.
-
Infeksi, khususnya virus (toxoplasma) dan klamidial . Ibu hamil yang terinfeksi virus (toxoplasma) berpengaruh pada janin sehingga dapat berpengaruh terjadinya kelainan kongenital terutama labio palatoschizis.d. Manifestasi Klinis
Pada LabioSkisis :
Distorsi pada hidung
Tampak sebagian atau keduanya
Adanya celah pada bibir Pada PalatoSkisis :
Tampak ada celah pada tekak(uvula) , palato lunak, dan keras atau foramen incisive
Adanya rongga pada hidung
Distorsi hidung
Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
Kesulitan dalam menghisap atau makan
Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
Gangguan komunikasi verbal
Celah bibir dan kebanyakan keadaan celah palatum tampak pada saat lahir dan penampilan kosmetik merupakan keprihatinan yang timbul segera pada orang tua. Tidak ada kesukaran minum ASI atau botol pada bayi dengan bibir sumbing yang kurang berat dengan palatum utuh. Pada sumbing yang luas, dan terutama bila disertai celah palatum, muncul dua masalah; mengisap mungkin tidak efektif dan saliva serta susu dapat bocor ke dalam ronggga hidung, dan mengakibatkan refleks gag atau tersedak ketika bayi bernapas.
Bicara dapat terhambat dan bila berkembang, dapat ada hipernasalitas dan artikulasi yang jelek. Sebagai akibat defisiensi pada fungsi otot palatum mole, fungsi tuba eustachii dapat terganggu, dan
keterlibatan telinga tengah memalui otitis akut berulang atau otitis media menetap dengan efusi lazim terjadi.
Anak yang mengalami celah palatum sering berkembang infeksi sinus masalis dan hipertrofi tonsil dan adenoid. Infeksi ini lazim terdapat bahkan sesudah perbaikan bedah sekalipun, dan dapat turut menyebabkan sering terkenanya telinga tengah.
Gabungan penampilan kosmetik dan gangguan bicara sering menciptakan kesukaran psikologis yang serius pada anak yang lebih tua.
e. Klasifikasi
Klasifikasi menurut struktur – struktur yang terkena menjadi :
a. Palatum primer : meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum dibelahan foramen incivisium.
b. Palatum sekunder : meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan dapat unilateral atau bilateral.
Kadang – kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.
Klasifikasi menurut organ yang terlibat : 1. Celah bibir (labioskizis)
2. Celah di gusi (gnatoskizis) 3. Celah dilangit (Palatoskizis)
4. Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit – langit (labiopalatoskizis).
Klasifikasi menurut lengkap/ tidaknya celah yang terbentuk :
Tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat, beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui adalah :
1. Unilateral iincomplete : Jika celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan tidak memanjang ke hidung
2. Unilateral complete : Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung
3. Bilateral complete : Jika celah sumbing terjadi dikedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
(A)
Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celahlangit-langit. (Stoll et al. BMC Medical genetics. 2004, 154.)
f. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori.
Dengan adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga suara yang keluar menjadi sengau.
Maloklusi( – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah celah sering terjadi erupsi.
Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat terjadi otitis media rekurens sekunder.
Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh, sehingga kuman – kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu. Akibatnya bayi menjadi kekurangan nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar cartilago
” dan kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris wajah.
Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol dan lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan terjadinya crosbite.
Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra tubuh.
g. Pemeriksaan Penunjang
a. Rontgen
- Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun tidak terdapat skrining sistemik untuk celah orofasial.
Diagnosa prenatal untuk celah bibir baik unilateral maupun bilateral, memungkinkan dengan USG pada usia janin 18 minggu.
Celah palatum tersendiri tidak dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG prenatal. KEtika diagnosa prenatal dipastikan, rujukan kepada ahli bedah plastik tepat untuk konseling dalam usaha mencegah.
- Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu menentukan perawatan terbaik untuk seorang anak, khususnya jika celah tersebut dihubungkan dengan kondisi genetik. Pemeriksaan genetik juga memberi informasi pada orangtua tentang resiko mereka untuk mendapat anak lain dengan celah bibir atau celah palatum.
b. Radiologi
- Pemeriksaan radiologi dilakukan dewngan melakukan foto rontgen pada tengkorak. Pada penderita dapat ditemukan celah processus maxilla dan processus nasalis media.
h. Patofisiologi
PATHWAY
i. Penatalaksanaan
Tujuan dan intervensi bedah dan pembedahan adalah memulihkan struktur anatomi, mengoreksi cacat dan memungkinkan anak mempunyai fungsi yang normal dalam menelan, bernapas dan berbicara. Pembedahan biasanya dilakukan ketika anak berumur ± 3 bulan, tetapi pada beberapa rumah sakit dilakukan segera setelah lahir.
a. Manajemen perawatan celah bibir Perawatan pra bedah
1) Pemberian makan
Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung pada derajat deformitas yang dialami pada kasus ringan, ada kemungkinan memberi ASI langsung kepada bayi. Jika tidak, pemberian susu botol mudah dilakukan. Akan tetapi, bila menghisap susu dari botol sulit dilakukan bayi, makanan dapat diberikan menggunakan sendok atau biarkan bayi menghisap dari sendok.
- Bila celah bibir tidak disertai celah palatum, bayi hanya mengalami sedikit kesukaran dalam makan atau sama sekali tidak kesukaran.
- Jika celah bibir disertai celah palatum, bayi mengalami masalah bukan saja dalam menelan tetapi juga dalam menghisap karena palatum yang lengkap dan utuh diperlukan untuk memanifulasi puting dan menghisap ASI. Regurgitasi ASI melalui hidung menimbulkan masalah lain yang membahayakan. Inhalasi ASI harus dicegah dengan mempersiapkan penyedot setiap saat.
Pemenuhan kebutuhan nutrisi adekuat penting agar menjamin bahwa bayi dalam keadaan fisik yang baik, mengalami kenaikan BB dan tidak mengalami anemia. Bila dijumpai adanya anemia, harus ditangani kapan saja terjadi.
-
2) Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan menjamin bahwa pada masa pascabedah, anak tidak mengalami bahaya yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah ada ataupun yang masuk selama masa bedah dan pascabedah .
3) Persiapan Prabedah
Prinsip manajemen prabedah bertujuan mencapai atau mempertahankan status fisik yang menjamin bahwa anak mampu mengatasi trauma akibat intervensi bedah. Tujuan selanjutnya adalah menghilangkan atau mengurangi terjadinya komplikasi selama atau setelah pembedahan melalui antisipasi yang saksama dan pengobatan yang tepat.
4) Perawatan pascabedah
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai mengalami operasi perbaikan celah bibir meliputi :
a. Imobilisasi lengan merupakan aspek penting perawatan, untuk mencegah bayi menyentuh garis jahitan
b. Sedasi, anak yang menangis dapat mengingkatkan tegangan pada garis jahitan. Pemberian sedasi sering kali dianjurkan untuk mengurangi tegangan, walaupun tegangan sudah dikurangi dengan mengenakan peralatan seperti busur logam
c. Pembalutan garis sedasi, biasanya jahitan sudah dibuka antar hari ke-5 dan ke-8. Garis jahitan biasanya ditinggal tanpa penutup dan
kebersihan dipertahankan dengan mengelap area tersebut dengan air steril atau salin normal setelah selesai makan.
d. Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan refleks menelan positif.
b. Manajemen perawatan celah palatum
Saat optimum untuk operasi perbaikan celah palatum tetap merupakan masalah konvensional. Tindakan pembedahan umumnya dilakukan sebelum anak mulai berbicara. Sebagian besar ahli bedah plastik melakukan pembedahan diantara usia 15 dan 18 bulan tetapi beberapa berpendapat bahwa operasi harus ditunda sampai usia 7 tahun untuk memungkinkan perkembangan tulang wajah secara lengkap. Operasi lebih baik dilakukan oleh ahli bedah dengan pengalaman khusus dalam pekerjaan ini. Infeksi luka harus dicegah dengan antibiotik yang sesuai.
Pemberian makan dapat merupakan masalah yang sulit pada anak tersebut, karena adanya lubang antara rongga mulut dan hidung. Namun, pemberian ASI dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Bila pemberian ASI tidak dapat dilakukan secara langsung, sebaiknya digunakan puting karet besar yang menutup sebagian lubang palatum. Pembesaran lubang puting karet dapat menolong banyak anak penderita celah palatum.
Banyak percobaan yang mungkin diperlukan untuk membentuk kebiasaan makan yang benar. Terkadang, penggunaan pipet mengatasi masalah pemberian makan. Pemberian makan melalui sonde harus dihindari karena akan menghalangi penggunaan otot orofaring
Diet pascabedah langsung harus terdiri atas cairan jernih, seperti minuman glukosa. Sekali diberikan diet normal harus terdiri atas makanan lunak disusul dengan air steril. Makanan keras dan manisan harus diberikan selama 2/3 minggu setelah pembedahan. Pengangkatan jahitan biasanya dilakukan di kamar bedah dibawah sedasi diantara hari ke-8 atau ke-10
Bila kemampuan bicara anak tidak berkembang secara memuaskan, berikan terapi wicara. Ahli terapi wicara harus dijadikan sumber konsultasi pada semua kasus dan rencana disusun untuk memastikan perkembangan bicara yang adekuat. Kuantitas pengobatan atau latihan yang akan diberikan oleh seorang ahli terapi wicara terbatas, sehingga beban utama ditanggung oleh ibu. Oleh sebab itu, baik ibu maupun anak harus ambil bagian dalam pelajaran ini dengan ahli terapi
yang cermat, ada kemungkinan bagi anak untuk mencapai tingkat bercakap yang memungkinkan anak untuk berkomunikasi bebas dengan orang lain pasa saat mulai sekolah. Orang tua memerlukan dukungan dan banyak dari unit celah palatum menyimpan album foto gambaran sebelum dan sesudah dari kasus yang berhasil untuk memperlihatkan kepada orang tua dan menenteramkannya bahwa bayinya akan terlihat baik setelah operasi.
c. Pemberian makan dan minum
Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan palatoschisis bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit sesuai program pengobatan.
j. Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu.
Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan adanya dukungan publik dan politik tingkat yang relatif rendah untuk upaya pengendalian tembakau. (Aghi et al.,2002).
Banyak laporan telah mendokumentasikan bahwa tingkat prevalensi merokok pada kalangan perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat secara global pada dekade terakhir (Windsor, 2002).
Diperkirakan bahwa pada tahun 1995, 12-14 juta perempuan di seluruh dunia merokok selama kehamilan mereka dan, ketika merokok secara pasif juga dicatat, 50 juta perempuan hamil, dari total 130 juta terpapar asap tembakau selama kehamilan mereka (Windsor, 2002).
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol
syndrome). Pada tinjauan yang dipresentasikan di Utah Amerika Serikat pada acara pertemuan konsensus WHO (bulan Mei 2001), diketahui bahwa interpretasi hubungan antara alkohol dan celah orofasial dirumitkan oleh biasa yang terjadi di masyarakat. Dalam banyak penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alkohol.25,30
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal dari fetus.
a. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial sulit untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat dari sumber makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya celah orofasial. Folat merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam folat ialah bentuk monoglutamat sintetis. Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik.
Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit sumbing.
b. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin
diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percoban. Namun penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya celah.
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial lainnya. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat. Pada penelitian prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di Amerika Serikat, kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional.
4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur).
Teratogenesis karena trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian, namun tidak semua. Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial.
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan. Hal ini dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada binatang. Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis statistik yang dilaporkan. Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya.
k. Prognosis
Kelainan labioschisis merupakan kelainan bawaan yang dapat dimodifikasi/disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan operasi saat usia masih dini dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labioschisis yang telah diatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan menunjukan hasil peningkatan yang baik pada masalah- masalah labioschisis.
D.ASUHAN KEPERAWATAN LABIOPALATOSCHIZIS 1. Identitas klien
Nama : an. X Usia : 2 jam
Jenis kelamin : laki-laki Agama: -
Diagnosa medis : labiopalatoschizis
2. Anamnesa
a. Keluhan utama
Setelah lahir terdapat celah pada bibir dan langit-langit mulut dan tampak sulit menyusui.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
P : perlu dilakukan pengkajian ulang Q : perlu dilakukan pengkajian ulang R : celah di bibir dan langit-langit mulut S : perlu dilakukan pengkajian ulang T : sejak lahir selama 2 jam
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : - d. Riwayat Kesehatan keluarga : - e. Riwayat Pekerjaan : -
f. Peran sosial : - g. Pola aktivitas : -
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : sadar penuh b. Antropometri
Lingkar perut : 45 cm BBL : 2500 gram c. TTV
RR : 46x/menit HR : 120x/menit TD : -
Suhu : 37,80C
d. Inspeksi : terdapat celah pada bagian bibir dan langit-langit mulut e. Palpasi: -
f. Perkusi : - g. Auskultasi : -
4. Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan Hasil Normal
leukosit 11.000 mg/dl 9000 – 12000/ mm3
eritrosit 3500 mg/dl 4,7-6,1 juta
trombosit 270.000 mg/dl 200.000 -400.000
mg/dl
Hb 16 gr/dl 12-24 gr/dl
Ht 30 33-38
Kalium 4,8 mEq 3,6-5,8 mEq
Natrium 138 mEq 134-150 mEq
5. Analisis Data Data Yang
Menyimpang Etiologi Masalah
Keperawatan DO:
Terdapat celah pada bibir dan langit – langit mulut,
Tampak sulit menyusu DS: -
Labiopalatoschizis Sususnan mulut berbeda
Fungsi mulut terganggu Kesulitan melakukan gerakan
menghisap Sulit menete
Intake nutrisi (ASI) kurang Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan
atau tidak efektif dalam meneteki ASI
Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan atau tidak
efektif dalam meneteki ASI
DO:
Ibu tampak sedih melihat kondisi anaknya, Ibu berusaha menutup – nutupi wajah anaknya dari orang lain.
DS:
Ibu berkata malu akan kondisi anaknya
Labiopalatoschizis Sususan mulut berbeda Wajah anak ditutup dari orang
lain
Ibu merasa malu dan sedih Harga Diri Rendah
Harga Diri Rendah
DO:
Anak terlahir dengan
Labiopalatoschizis Kurang Pengetahuan
kondisi terdapat celah pada bibir dan langit – langit mulut dan tampak sulit menyusu DS:
Ibu bingung bagaimana cara menyusui anaknya dan berkata tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah anak dibawa pulang ke rumah.
Sususnan mulut berbeda Fungsi mulut terganggu Kesulitan melakukan gerakan
menghisap Sulit menete
Ibu bingung cara menyusui anak
Kurang Pengetahuan DO:
Terdapat celah pada bibir dan langit – langit mulut DS:
Labiopalatoschizis Sususnan mulut berbeda Tidak ada pemisah antara mulut
dan hidung Resti Aspirasi
Resiko Tinggi terjadi Aspirasi
DO:
Luka bekas operasi DS:
Labiopalatoschizis Perlunya tindakan bedah
korektif Post operasi Resiko Infeksi
Resiko Infeksi
6. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Pra Operasi:
1. Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan menelan/ kesukaran dalam makan sekunder akibat kecacatan dan pembedahan.
2. Harga Diri Rendah berhubungan dengan kondisi anak terlahir cacat.
3. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan teknik pemberian makan dan perawatan di rumah.
4. Resiko tinggi terjadi aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi sekunder dari Palatoskisis.
Diagnosa Pasca Operasi:
1. Resti infeksi berhubungan dengan terpaparnya lingkungan dan prosedur invasi yang di tandai dengan adanya luka operasi tertutup kasa.
2. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
7. Intervensi dan Rasional Diagnosa Keperawatan Pra Operasi:
1. Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan atau tidak efektif dalam meneteki ASI berhubungan dengan ketidakmampuan menelan/ kesukaran dalam makan sekunder akibat kecacatan dan pembedahan.
Tujuan: Setelah mendapatkan tindakan keperawatan diharapkan perubahan nutrisi dapat teratasi
Kriteria Hasil:
tidak pucat
turgor kulit membaik
kulit lembab, perut tidak kembung
bayi menunjukan penambahan berat badan yang tepat.
Intervensi Rasional
1. Bantu ibu dalam menyusui, bila ini adalah keinginan ibu. Posisikan dan stabilkan puting susu dengan baik di dalam rongga
1. Membantu ibu dalam memberikan Asi dan posisi puting yang stabil membentuk kerja lidah dalam pemerasan susu.
2. Karena pengisapan di perlukan untuk menstimulasi susu yang pada awalnya
mulut.
2. Bantu menstimulasi refleks ejeksi Asi secara manual / dengan pompa payudara sebelum menyusui
3. Gunakan alat makan khusus, bila menggunakan alat tanpa puting. (dot, spuit asepto) letakan formula di belakang lidah 4. Melatih ibu untuk memberikan Asi yang
baik bagi bayinya
5. Menganjurkan ibu untuk tetap menjaga kebersihan, apabila di pulangkan
6. kolborasi dengan ahli gizi.
mungkin tidak ada
3. Membantu kesulitan makan bayi, mempermudah menelan da mencegah aspirasi
4. Mempermudah dalam pemberian Asi
5. Untuk mencegah terjadinya
mikroorganisme yang masuk
6. mendapatkan nutrisi yang seimbang
2. Harga Diri Rendah berhubungan dengan kondisi anak terlahir cacat.
Tujuan: Stelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan orang tua tidak malu lagi.
Kriteria Hasil:
Rasa malu hilang
Lebih menyayangi anaknya
Menjaga kesehatan anaknya
Intervensi Rasional
1. Berikan kesempatan untuk
mengekspresikan perasaan
2. tunjukan sikap penerimaan terhadap bayi dan keluarga
3. tunjukan dengan perilaku bahwa anak adalah manusia yang berharga
4. gambarkan hasil perbaikan bedah terhadap defek,gunakan foto hasil yang memuaskan
1. Mendorong koping keluarga
2. Meredam sikap sensitif orangtua terhadap sikap sensitif orang lain
3. Mendorong penerimaan terhadap bayi 4. Untuk mendorong adanya pengharapan 5. Membantu orangtua mendiskusikan
kekhawatirannya, berbagi pengalaman swehingga timbulnya sifat menerima
5. anjurkan pertemuan dengan orang tua lain yang mempunyai pengalaman serupa dan dapat menghadapinya dengan baik.
6. menganjurkan orangtua untuk selalu menjaga kesehatan bayinya
terhadap bayi
6. Untuk mencegah terjadinya defek pada bayi
3. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan teknik pemberian makan dan perawatan di rumah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tingkat pengetahuan orang tua bertambah.
Kriteria Hasil:
Orang tua mengetahui tentang penyakit yang diderita anak
Orang tua mengetahui bagaimana cara perawatan anak mulai dari cara pemberian makan, cara pembersihan mulut setelah makan.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan prosedur operasi sebelum dan sesudah operasi
2. Jelaskan dan demonstrasikan kepada keluarga cara perawatan, pemberian makanan dengan alat, cara mencegah infeksi, cara mencegah aspirasi, cara pengaturan posisi, dan cara membersihkan mulut setelah makan.
1. Agar orang tua mengetahui prosedur operasi dan menyetujui operasi yang dilakukan pada anaknya.
2. Agar pengetahuan ibu bertambah tentang cara perawatan anak pada bibir sumbing.
4. Resiko tinggi terjadi aspirasi berhubungan dengan ketidakmampuan mengeluarkan sekresi sekunder dari Palatoskisis.
Tujuan: Setelah mendapatkan tindakan keperawatan di harapkan tidak terjadi aspirasi
Kriteria Hasil:
Kepatenan jalan nafas
Kepatenan saluran cerna
Intervensi Rasional
1. Atur posisi kepala dengan mengangkat a. Agar minuman atau makanan yang masuk
kepala waktu minum atau makan dan gunakan dot yang panjang.
2. Gunakan palatum buatan (bila perlu) 3. Lakukan penepukan punggung setelah
pemberian makanan
4. Monitor status pernafasan selama pemberian makan seperti prequensi nafas, irama, serta tanda-tanda adanya aspirasi.
tidak masuk ke saluran hidungdan anak tidak tersedak.
b. Agar memudahkan anak untuk menete ASI.
c. Agar anak tidak tersedak.
d. Memantau status pernapasan selama makan agar terlihat kemampuan makan bayi.
Diagnosa Pasca Operasi:
1. Resti infeksi berhubungan dengan terpaparnya lingkungan dan prosedur invasi yang di tandai dengan adanya luka operasi tertutup kasa.
Tujuan: Setelah melakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi.
Kriteria Hasil:
Luka terjaga kesterilan.
Tidak ada luka tambahan
Intervensi Rasional
1. Atur posisi miring ke kanan serta kepala agak ditinggikan pada saat makan
2. Lakukan monitor tanda adanya infeksi seperti bau, keadaan luka, keutuhan jahitan, 3. Lakukan monitor adanya pendarahan dan
edema
4. Lakukan perawatan luka pascaoperasi dengan aseptic
5. Hindari gosok gigi kurang lebih 1-2 minggu
1. Agar memudahkan masuknya makanan atau minuman.
2. Agar cepat terdeteksi apabila ada infeksi dengan mengenali tanda-tanda infeksi.
3. Agar memantau adanya komplikasi atau tidak.
4. Agar luka tetap terjaga kebersihannya dan terhindar dari infeksi.
5. Agar tidak terjadi pendarahan atau jaitan lukanya bisa putus.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Child Abuse adalah penganiayaan, penelantaran dan eksploitasi terhadap anak, dimana ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak Klasifikasi child abuse terdiri dari dalam keluarga (penganiayaan fisik,
penelantaran anak/kelalaian, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual. Di luar rumah (dalam institusi lembaga, di tempat kerja, di jalan, di medan perang).
Faktor penyebab yaitu kekerasan fisik maupun kekerasan psikis.
Manifestasi klinis dari child abuse adalah cidera kulit kerontokan rambut traumatik, jatuh, cidera eksternal pada kepala, muka dan mulut, cidera termal disengaja atau diketahu penyebabnya, sindroma bayi terguncang dan fraktur dan dislokasi yang tidak dapat dijelaskan.
Dampak penganiayaan dan kekerasan pada anak akan mengakibatkan gangguan bio-psiko-sosial anak. Prioritas utama dalam perawatan anak yang teraniaya adalah resusitasi dan stabilisasi seperlunya sesuai dengan cedera yang dialami.
Diagnosa keperawatan pada anak dengan child abuse diantaranya:
1) (D. 0080) Ansietas berhungan dengan krisis matursional dibuktikan dengan merasa bingung, meras khawatir, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah meningkat, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih.
2) (D. 0107) Risiko gangguan perkembangan dibuktikan dengan penganiayaan (mis. fisik, psikologi, seksual).
3) (D. 0146) Risiko perilaku kekerasan dibuktikan dengan
Asuhan keperawatan pada anak dengan labiopalatoskisis (sumbing bibir dan langit-langit) sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka. Penanganan yang tepat dapat membantu mengurangi komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup anak. Beberapa poin penting dalam asuhan keperawatan ini meliputi:
1. Pengkajian: Melakukan pengkajian menyeluruh terhadap kondisi fisik dan psikologis anak serta keluarga.
2. Perencanaan: Menyusun rencana perawatan yang mencakup tindakan medis, nutrisi, dan dukungan psikososial.
3. Implementasi: Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang telah disusun, termasuk perawatan luka pasca operasi, pemberian nutrisi yang adekuat, dan dukungan emosional.
4. Evaluasi: Mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan dan melakukan penyesuaian jika diperlukan 1 2 .
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan bagi pembaca khusunya kita mahasiswa/i jurusan keperawatan dapat memahami mengenai konnsep pemenuhan kebutuhan seksualitas. semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Kami menyadari makalah ini masih sangat sederhana, untuk itu kami berharap sumbangan saran dari para pembaca demi perbaikan makalah ini.