BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit parasit usus ( kecacingan dan infeksi protozoa usus) (INE 2010;
Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI 2010). Indonesia merupakan salah satu negara yang berkembang dengan kondisi iklim tropis, kelembapan yang tinggi dan kondisi sanitasi dan higiene yang masih rendah menjadikan negara ini menjadi tempat yang sesuai untuk penyebaran berbagai penyakit parasit usus ( kecacingan maupun protozoa usus ). Terdapat beberapa cacing parasit usus yang sering menginfeksi manusia antara lain Ascaris lumbricoides ( cacing gilig ), Trichuris trichiura ( cacing cambuk ), Ancylostoma duodenale – Necator americanus (cacing tambang) (Norhayati et al, 2003).
Beberapa protozoa usus yang juga sering meninfeksi manusia adalah Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Balantidium coli ( Norhayati et al 2003 ; Sayono 2003 ). Dari beberapa penelitian diketahui bahwa prevalensi infeksi parasit usus di Indonesia masih tinggi. Angka kejadian Ascariasis di Indonesia antara 40 – 60 % , menginfeksi semua kelompok umur, tetapi lebih sering ditemukan pada anak-anak usia 5 sampai 10 tahun dengan prevalensi 60 – 80 % ( Margono 2001; Margono 2003 ; Darnely et al 2011). Begitu pula dengan Trichuriasis juga banyak ditemukan pada anak – anak dengan prevalensi sekitar 30 – 90 % (Diarsvitri et al 2008; Darnely et al 2011). Sedangkan untuk infeksi cacing tambang banyak didapatkan di temukan pada pekerja perkebunan yang kontak langsung dengan tanah dengan prevalensi sekitar 30 – 40 %. Prevalensi infeksi protozoa jauh lebih rendah dibandingkan infeksi kecacingan, dimana prevalensi amoebiasis ( infeksi Entamoeba histolytica ) 10 – 18 %, prevalensi giardiasis ( infeksi G.lamblia ) sekitar 2 – 25 % , dan balantidosis ( infeksi B.coli ) prevalensinya sekitar 1,5 – 3,5 % ( Sutisna 1989; Anorital et al 2010; Lesmana et al 2012 ). Berdasarkan gambaran prevalensi infeksi parasit usus diatas, menyebabkan infeksi parasit usus menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia, yang memerlukan penanganan serius untuk menurunkan prevalensinya.
Prevalensi parasit usus tertinggi ditemukan pada anak Balita dan usia SD, terutama kelompok anak dari golongan sosial ekonomi rendah dengan kondisi higiene sanitasi buruk, yang mempunyai kebiasaan mandi, gosok gigi, dan buang air besar di saluran air terbuka atau sungai, makan tanpa cuci tangan dengan sabun, dan bermain-main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki. Penularan parasit usus dapat pula terjadi akibat konsumsi makanan dan minuman yang telah terkontaminasi dengan telur cacing maupun kista protozoa usus (Refirman 1998; JIIPP Badan Litbang Kesehatan 2001; Crompton, Montresor et al. 2003; Ginting 2005; Ernawati 2006; Agoes 2007).
Upaya Kementerian Kesehatan untuk menurunkan prevalensi infeksi parasit usus dengan menetapkan kebijakan operasional untuk memutuskan rantai penularan, (INE 2010; Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI 2010).
Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementerian Kesehatan dan jajarannya mengharuskan dilakukannya kegiatan sosialisasi dan advokasi, pemeriksaan tinja minimal 500 anak SD per kabupaten/kota, intervensi melalui pengobatan dan promosi kesehatan, meningkatkan kemitraan, integrasi program, pencatatan dan pelaporan serta monitoring-evaluasi (Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI 2010).
Gejala yang timbul akibat infeksi parasit usus bersifat kronis ( membutuhkan waktu bulanan ), sehingga sering diabaikan atau penderitanya juga tidak menyadari bahwa dirinya sakit. Dampak dari infeksi parasit usus sangat merugikan bagi kesehatan maupun kualitas hidup penderitanya. Akibat dari infeksi parasit usus antara lain dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, hambatan pertumbuhan dan perkembangan anak, penurunan daya pikir, penurunan prestasi dan produktivitas, anemia serta berat bayi lahir rendah jika kecacingan terjadi pada ibu hamil (Abidin and Hadidjaja 2003; Chwaya and Stolzfus 2003; Crompton, Torlesse et al. 2003; Hlaing, Khine et al. 2003; Kvalsvig 2003; Brooker, Hotez et al. 2008;
Ali, Fathy et al. 2011). Satu ekor cacing gelang mampu menghisap 0,14 gram karbohidrat
dan 0,035 gram protein dari usus manusia, cacing cambuk mampu menghisap 0,005 mL darah, dan cacing tambang mampu menghisap 0,2 mL darah. Sekilas memang angka ini terlihat kecil, tetapi jika sudah dikalkulasikan dengan jumlah penduduk, prevalensi, rata-rata jumlah cacing yang mencapai 6 ekor/orang, maka potensi kerugian akibat kehilangan karbohidrat, protein dan darah akan menjadi sangat besar. Kerugian akibat cacing gelang bagi seluruh penduduk Indonesia dalam kehilangan karbohidrat diperkirakan senilai Rp 15,4 milyar/tahun serta kehilangan protein senilai Rp 162,1 milyar/tahun. Kerugian akibat cacing tambang dalam hal kehilangan darah senilai 3.878.490 liter/tahun, serta kerugian akibat cacing cambuk dalam hal kehilangan darah senilai 1.728.640 liter/tahun(Horton and Ross 2002; Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI 2010)
Berdasarkan hasil penelitian tahun 2008 di beberapa desa pesisir di Kecamatan Sedati, Sidoarjo,yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh nelayan dan tidak memiliki perahu sendiri, pekerjaannya sangat tergantung kepada musim, serta berstatus sosial ekonomi rendah, kebijakan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan tinja pada anak SD belum dilakukan; bahkan kecacingan bukan merupakan program kesehatan di Puskesmas Sedati. Peneliti juga menemukan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah pesisir ini, termasuk anak-anak, masih buang air besar, mencuci peralatan dapur, dan mandi di sungai.sehingga sungai tersebut dapat menjadi sumber penularan kecacingan; suatu keadaan yang lebih jarang dijumpai di bagian desa lain yang berdekatan dengan jalan besar (Diarsvitri, Utami et al. 2008).
Infeksi parasit usus pada anak sangat erat kaitannya dengan norma pertumbuhan dan berhubungan juga dengan status gizi, kesehatan tubuh dan jiwa mereka (Tanner 1962).
Oleh karena itu pemerintah Indonesia memantau kenormalan pertumbuhan dan kesehatan anak-anak melalui pengukuran panjang tubuh dan berat badan bayi, serta tinggi dan berat badan anak-anak, untuk kemudian dibandingkan dengan kurva pertumbuhan yang normal.
Ada indikasi bahwa pola pertumbuhan anak-anak di Indonesia berbeda dari norma standar pertumbuhan anak-anak lain yang selama ini dipakai di Indonesia. Apalagi anak- anak usia prasekolah di daerah pesisir. Kemungkinan perbedaan besar tubuh itu bukan hanya sekedar perbedaan nutrisi, tetapi faktor genetis juga berperan besar. Pentingnya penelitian ukuran-ukuran antropometris untuk mengetahui status gizi anak-anak usia prasekolah di daerah pesisir mempunyai sifat yang sangat mendesak, selain untuk mengetahui status gizi anak-anak usia prasekolah di daerah pesisir, juga dapat mengetahui variasi-variasi ukuran tubuh anak-anak usia prasekolah di daerah pesisir yang nantinya akan menjadi masukan dalam penetapan standar pengukuran status gizi yang ada di Indonesia, berdasarkan penelitian-penelitian di seluruh dunia yang pernah dilakukan, ada kecenderungan bahwa terdapat seculer trend dari waktu ke waktu, di mana terdapat perbedaan rata-rata tinggi badan antar generasi di daerah perkotaan dan juga pesisir (Tanner 1962, Eveleth dan Tanner 1976).
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti ingin mengetahui interaksi antara perilaku, status gizi dan infeksi parasit usus pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya
1.2. Rumusan Masalah :
1. Bagaimana prevalensi infeksi parasit usus pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya ?
2. Bagaimana prevalensi anemia pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya?
3. Bagaimana keadaan sosio ekonomi orangtua anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya?
4. Bagaimana perilaku hidup bersih dan sehat anak usia prasekolah dan keluarganya di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya ?
5. Bagaimana variasi status gizi melalui ukuran-ukuran antropometris pada anak-anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya?
6. Bagaimana perbedaan status gizi melalui ukuran-ukuran antropometris dengan referensi ukuran tubuh standar internasional yang direkomendasikan oleh WHO?
7. Bagaimana interaksi antara perilaku, status gizi, sosio ekonomi terhadap infeksi parasit usus pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti menetapkan beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui prevalensi infeksi parasit usus pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya.
2. Mengetahui prevalensi anemia pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya.
3. Mengetahui keadaan sosio ekonomi orangtua anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya.
4. Mengetahui perilaku hidup bersih dan sehat anak usia prasekolah dan keluarganya di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya (daerah pesisir).
5. Mengetahui variasi status gizi melalui ukuran-ukuran antropometris pada anak-anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya
6. Mengetahui perbedaan status gizi melalui ukuran-ukuran antropometris dengan referensi ukuran tubuh standar internasional yang direkomendasikan oleh WHO
7. Mengetahui interaksi antara perilaku, status gizi, sosio ekonomi terhadap infeksi parasit usus pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya.
1.4. Manfaat Penelitian :
1.4.1. Manfaat Terhadap Masyarakat dan Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dan responden penelitian di Kelurahan Kedung Cowek, berdasarkan pembuktian ilmiah dalam memberikan gambaran prevalensi infeksi parasit usus, proporsi masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat, status gizi serta pengaruh perilaku terhadap infeksi parasit usus, sehingga dapat dilakukan tindakan penanggulangannya dan intervensi perilaku hidup bersih dan sehat.
1.4.2. Manfaat Terhadap Pengembangan Ilmu
Dengan penelitian ini , peneliti diharapkan dapat melatih dan mengembangkan ketrampilan untuk melakukan pemeriksaan mikroskopis pada feses sebagai gold standar diagnosis infeksi parasit usus serta mampu melakukan pengukuran antropometri terkait dengan pemeriksaan status gizi subyek penelitian
1.4.3. Manfaat terhadap Dinas Kesehatan dan Puskesmas
Hasil penelitian ini akan menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan di bidang kesehatan khususnya bagi masyarakat di Kelurahan Kedung Cowek, sehingga dapat dilakukan tindakan penanganan dan pencegahan masalah kesehatan tersebut seperti dengan penerapan prilaku hidup bersih dan sehat, terapi terhadap infeksi parasit usus, dan terapi pada efek samping infeksi parasit usus yaitu terapi anemia dan perbaikan status gizi pada anak usia prasekolah.
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1. Infeksi Parasit Usus
Infeksi parasit usus merupakan infeksi yang disebabkan karena masuknya organisme parasit baik berupa cacing dan protozoa yang berhabitat diusus manusia.
Keberadaan parasit usus di dalam tubuh manusia akan merugikan inangnya karena parasit tersebut akan mengambil nutrisi – nutrisi penting dari tubuh inangnya. Selain itu, parasit usus tersebut dapat melepaskan toksin yang merangsang proses inflamasi dalam tubuh inangnya. Proses inflamasi tersebut akan menyebabkan munculnya berbagai gejala (Bogitsh et al,2005a; Bogitsh et al,2005b). Jika tidak diterapi secara adekuat, parasit yang awalnya berada diusus inang dapat bermigrasi dan menyebar ke organ lainnya ( liver, otak, hidung, dll ), sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat (Bogitsh et al,2005b). Penyebab infeksi parasit usus ( cacing usus dan protozoa usus ) akan dibahas lebih dalam pada bab di bawah ini :
2.1.1. Kecacingan
Jenis cacing yang paling sering menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, serta Ancylostoma duodenale (Crompton, Montresor et al. 2003; Margono 2003; INE 2010; Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI 2010). Diantara ketiga jenis cacing tersebut, infeksi Ascaris lumbricoides yang tertinggi prevalensinya.Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura banyak diderita oleh anak-anak, sedangkan Ancylostoma duodenale paling banyak diderita oleh dewasa muda (Mahmoud 2000a; Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002).
2.1.1.1.Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides merupakan nemotoda usus terbesar.Beberapa penelitian secara spesifik menyebutkan bahwa kecacingan karena Ascaris lumbricoides bisa terjadi bila manusia tertelan telur cacing Ascaris lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva).Di daerah tropis, infeksi cacing ini mengenai hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama anak-anak.Pencemaran tanah oleh cacing lebih sering disebabkan oleh tinja anak.Cacing dewasa berwarna putih atau merah muda. Cacing ini dapat langsung diidentifikasikan karena ukurannya yang besar, yaitu cacing jantan 10–31 cm dengan diameter 2–4 mm, betina 22–35 cm, kadang-kadang sampai 39 cm dengan diameter 3–6 mm. Pada kepala terdapat tiga bibir, satu yang lebar di medio dorsal dan sepasang di ventro lateral. Bagian anterior tubuh mempunyai dentakel-dentakel halus.Ujung posterior cacing jantan melengkung kearah ventral dan sepasang spikulum terdapat dalam sebuah kantong.
Vulvacacing betina letaknya di tengah ventral dekat perbatasan bagian anterior dan bagian tengah (Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002; Ash, Orihel et al. 2004; Kucik, Martin et al. 2004; Ginting 2005; Ideham and Pusarawati 2007).
Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi berbentuk lonjong dengan ukuran 45–75 mikron x 35– 50 mikron.Pada waktu dikeluarkan dalam tinja telur belum membelah.Dengan adanya mamillated outer coat, telur ini dapat bertahan hidup karena partikel tanah melekat pada dinding telur yang dapat melindunginya dari kerusakan. Telur yang tidak dibuahi yang ditemukan dalam tinja berukuran 88–94 mikron x 44 mikron. Telur yang tidak dibuahi dihasilkan oleh cacing betina yang tidak dibuahi atau cacing yang masih muda dan belum lama mengeluarkan telur.Isi telur yang tidak dibuahi terdiri atas granula dengan berbagai ukuran dan tidak teratur. Dinding telur yang lebih bujur ini, lebih tipis dari dinding telur yang dibuahi (Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002; Ash, Orihel et al. 2004; Kucik, Martin et al. 2004; Ginting 2005; Ideham and Pusarawati 2007).
Gambar 1. Sebelah kanan gambar cacing dewasa A. lumbricoides dan di sebelah kiri gambar telur cacing A. lumbricoides ( CDC, 2013a )
Siklus hidup Ascaris (Gambar 2.2) dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa di dalam usus manusia, dan dikeluarkan melalui feses.Manusia merupakan satu- satunya hospes definitif.Seekor cacing betina dapat mengeluarkan 100.000–200.000 telur perhari, yang terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dengan kondisi yang menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung dari matahari, maka embrio akan berubah menjadi larva di dalam telur dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Telur yang infektif bila tertelan oleh manusia dindingnya akan mulai dicernakan di lambung, selanjutnya telur masuk ke duodenum. Perbedaan keasaman cairan lambung dan duodenum akan melemahkan dinding telur serta merangsang pergerakan larva yang terdapat didalamnya sehingga dinding telur pecah dan larva keluar. Larva akan menembus dinding usus dan menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan melalui sirkulasi portal masuk ke hepar, kemudian ke jantung dan paru-paru. Di paru-paru larva menembus dinding pembuluh darah dan dinding alveolus, masuk kerongga alveolus kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.Dari trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan batuk.Adanya rangsangan batuk ini menyebabkan larva tertelan ke esofagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa diperlukan waktu lebih kurang 3 bulan, sedang cacing dewasa dapat hidup di usus halus selama 1 tahun (Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002; Ginting 2005).
Gambar 2. Siklus hidup A.lumbricoides ( CDC, 2013b )
2.1.1.2. Trichuris trichiura
Cacing Trichuris trichiura dewasa berwarna merah muda, melekat pada dinding sekum dan pada dinding apendiks, kolon atau bagian posterior ileum.Bagian tiga perlima anterior tubuh adalah langsing, dan bagian posterior tebal, sehingga menyerupai cambuk.Cacing jantan berukuran 30–45 mm dengan bagian kaudal melingkar.Cacing betina berukuran 35–50 mm dan ujung posteriornya membulat. Telur cacing cambuk berukuran 30– 54 x 23 mikron, berbentuk seperti tempayan (gentong) dengan semacam tutup yang jernih dan menonjol pada kedua kutupnya (Gambar 2.3). Kulit bagian luar bewarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.Sel telur yang dibuahi pada waktu dikeluarkan dari cacing betina dan terbawa tinja ke luar tubuh manusia, isinya belum bersegmen. Di dalam tanah, memerlukan sekurang-kurangnya 3–4 minggu untuk menjadi embrio. Cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak lebih kurang 4000 telur per hari.
Keadaan udara yang lembab perlu untuk perkembangannya (Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002; Ash, Orihel et al. 2004; Kucik, Martin et al. 2004; Ginting 2005; Ideham and Pusarawati 2007).
Gambar 3 . Telur cacing Trichuris trichiura ( CDC, 2013c)
Manusia merupakan hospes definitif utama pada cacing cambuk, walaupun kadang kadang terdapat juga pada hewan seperti babi dan kera.Bila telur berisi embrio tertelan manusia, larva yang menjadi aktif keluar melalui dinding telur yang tak kuat lagi, masuk kedalam usus bagian proksimal dan menembus vili usus.Di dalam usus dapat menetap selama 3–10 hari.Setelah menjadi dewasa cacing turun kebawah ke daerah sekum.Suatu struktur yang menyerupai tombak pada bagian anterior membantu cacing itu menembus dan menempatkan bagian anteriornya yang seperti cambuk kedalam mukosa usus hospesnya.Di tempat itulah cacing mengambil makanannya.Masa pertumbuhan, mulai dari telur tertelan sampai menjadi dewasa lebih kurang 30–90 hari. Cacing betina dewasa dapat memproduksi2000–6000 telur/hari.Cacing dewasa dapat hidup untuk beberapa tahun.Siklus hidup cacing cambuk terlihat di Gambar 2.4(Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002;
Ginting 2005).
Gambar 4. Siklus hidup Trichuris trichiura ( CDC, 2013d)
2.1.1.3. Hookworm
Cacing Ancylostoma duodenale dewasa berukuran kecil dan silindris. Cacing jantan berukuran 5–11 mm x 0,3–0,45 mm, dan cacing betina 9–13 mm x 0,35–0,6 mm. Penularan Ancylostoma duodenale biasanya terjadi bila manusia tertelan larva filariform ataupun dengan cara larva filariform menembus kulit.Cacing ini dapat menghasilkan 10.000–25.000 telur perhari. Ukuran telur cacing ini adalah 56–60 mm x 36–40 mm. Telur cacing tambang terdiri dari satu lapis dinding yang tipis dan adanya ruangan yang jelas antara dinding dan sel di dalamnya (Gambar 2.5)(Mahmoud 2000b; Lubis and Pasaribu 2002; Ash, Orihel et al.
2004; Kucik, Martin et al. 2004; Ginting 2005; Ideham and Pusarawati 2007).
Gambar 5. Telur Hookworm ( CDC, 2013e )
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif dari cacing tambang ini.Siklus hidup cacing terdiri atas tiga tahap yaitu telur, larva, dan cacing dewasa.Cacing tambang melekat pada mukosa usus halus dengan rongga mulutnya.Telur yang dikeluarkan bersama tinja menjadi matang dan mengeluarkan larva rhabditiform dalam waktu 1–2 hari pada suhu optimum.Dalam waktu 3–4 hari larva rhabditiform menjadi larva filariform yang infektif dan dapat menembus kulit manusia. Bila larva menembus kulit manusia akan mengikuti aliran limfe atau pembuluh kapiler dan dapat mencapai paru-paru. Larva akan naik ke bronkus dan trakea, akhirnya masuk ke usus dan menjadi dewasa. Migrasi melalui darah dan paru-paru berlangsung selama satu minggu, sedangkan siklus dari larva menjadi dewasa berlangsung 7– 8 minggu (Mahmoud 2000a; Lubis and Pasaribu 2002; Ash, Orihel et al. 2004; Ginting 2005)
Gambar 6. Siklus hidup Hookworm ( CDC, 2013f )
Penyakit kecacingan pada umumnya tidak akut dan tidak fatal, tetapi menyebabkan penyakit kronis, dengan gejala klinis terutama sakit perut, diare, anemia dan gizi kurang.
Penelitian-penelitian epidemiologi dan pemberantasan telah banyak dilakukanoleh berbagai pihak, namun prevalensi penyakit ini tetap tinggi, karena masyarakat belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (Refirman 1998; Astuti, Supardi et al. 2002; Ginting 2005;
Ernawati 2006; Agoes 2007; Ali 2008).
2.1.2. Protozoa Usus
Protozoa usus merupakan organisme uniseluler yang hidup diusus manusia dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Terdapat beberapa protozoa usus yang sering menginfeksi manusia antara lain Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan Balantidium coli. Pada bab dibawah ini akan dibahas masing – masing spesien protozoa usus yang sering menginfeksi manusia :
2.1.2.1. Entamoeba histolytica
E. histolytica merupakan salah satu spesies dari amoeba usus yang bersifat patogen (menyebabkan penyakit pada manusia). Penyakit yang ditimbulkan parasit ini disebut amoebiasis, sering menyerang organ usus ( amoebiasis intestinalis ) dan bisa menyebar ke organ lainnya yaitu paling sering ke organ hati disebut amoebiasis hepar ( pada kasus infeksi kronis dan jarang terjadi ) (Neva and Brown, 1994;Garcia and Bruckner, 1996;
Gandahusada et al.,1998). Protozoa ini menjadi salah satu penyebab terjadinya disentri atau diare yang disertai darah dan lendir (Simanjutak , 1991).
Distribusi E. histolytica di seluruh dunia, dan menjadi masalah kesehatan hampir di seluruh negara, terutama pada kondisi sanitasi dan higiene yang buruk sehingga terjadi pencemaran makanan dan minuman dengan tinja (Haque et al , 2003).
Parasit ini mempunyai siklus hidup yang sederhana, terdiri dari stadium trofozoit dan stadium kista yang infektif. Manusia dan primata lain menjadi hospes natural dari parasit ini.
Infeksi terjadi karena masuknya stadium kista melalui fekal oral atau makanan-minuman yang telah terkontaminasi tinja manusia (Neva and Brown,1994; Garcia and Bruckner, 1996).
Kista E. histolytica berbentuk bulat atau oval, biasanya berdiameter 10-20 mikron, dikelilingi dinding yang mengandung kitin. Didalam sitoplasma kista terdapat nukleus, glikogen, perangkat ribosomal atau kromatoid bodies. Jumlah inti tergantung pada kematangan stadium kista, jika kista belum matang terdapat 1 inti, tapi pada kista yang matang terdapat 4 inti. Kista yang matang bersifat infeksius, dapat menyebabkan penyakit pada seseorang (Neva and Brown, 1994 ; Garcia and Bruckner, 1996). Morfologi stadium kista E.histolytica tidak dapat dibedakan dengan kista dari 2 spesies entamoeba yang bersifat non patogen yaitu Entamoeba dispar dan Entamoeba moshkovskii (Stanley,2003;
Parija and Khairnar,2007)
Gambar 7 . Kista E.histolytica yang diwarna dengan iodine (American Academy of Pediatrics,2009a)
Manusia terinfeksi amoebiasis jika kista matur dapat masuk dalam saluran cerna manusia melalui makanan, minuman atau tangan yang tercemar kista tersebut. Protozoa ini dapat bertahan dari asam lambung, kemudian menuju usus halus dan didalam ilium terminal atau kolon berubah bentuk dari stadium kista menjadi stadium trofozoit (Neva and Brown,1994;Garcia and Bruckner,1996; Gandahusada et al.,1998).
Di bawah ini merupakan gambaran siklus hidup dari E. histolytica :
Gambar 8 . Siklus Hidup E.histolytica (CDC,2013g ) Keterangan : narasi gambar dalam bahasa Indonesia
Berbeda dengan stadium kista, stadium trofozoit sangat motil, bentuknya pleomorfik (diameternya bervariasi antara 10-60 mikron). Sitoplasma stadium trofozoit terbagi menjadi 2 bagian yaitu ektoplasma dan endoplasma. Ektoplasma merupakan bagian terluar dari sitoplasma dan digunakan sebagai alat gerak atau psudopodia. Pada endoplasma terdapat granula halus ,1 inti, dan kadang-kadang didapatkan sel darah merah yang rusak di dalamnya (Neva and Brown, 1994 ; Garcia and Bruckner, 1996; Gandahusada et al.,1998).
Habitat trofozoit pada rongga usus besar terutama daerah sekum dan rektosigmoid.
Trofozoit dapat membelah diri secara binary fission dan sebagian berubah menjadi stadium kista didalam kolon. Siklus hidup parasit ini menjadi lengkap setelah kista infektif dikeluarkan bersama tinja penderita. Trofozoit mungkin dapat ditemukan pada tinja penderita, namun tidak dapat bertahan lama diluar tubuh hospesnya yaitu manusia (Neva and Brown, 1994).
Masa inkubasi amoebiasis sekitar 1-2 minggu (Musher and Musher,2004)
Gambar 9. Trophozoit E.histolytica yang diwarna dengan iodine (American Academy of Pediatrics,2009b)
Stadium kista memiliki ketahanan tinggi pada lingkungan di luar dari tubuh hospes.
Stadium kista lebih tahan pada suhu yang rendah (bertahan selama 7 jam pada suhu - 28
oC ) dibandingkan dengan suhu yang tinggi (hanya bertahan selama 5 menit pada suhu 50 o C) (Neva and Brown, 1994 ; Garcia and Bruckner, 1996 Gandahusada et al.,1998).
E.histolytica mempunyai enzim histolisin yang dapat menghancurkan jaringan (lisis) untuk menembus mukosa usus dan bersarang di lapisan submukosa. Pada lapisan submukosa usus, parasit ini membuat kerusakan yang lebih luas daripada lapisan mukosa usus sehingga terbentuk ulkus amoeba yang khas “flask shaped ulcer”. Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang yang sempit dan bagian dasar yang lebar, tepi rongga ulkus meninggi, tepinya tidak teratur dan menggaung. Luka ini biasanya merupakan ulkus kecil yang tersebar di mukosa usus dan diantara ulkus dipisahkan oleh mukosa usus yang normal. Kerusakan mukosa usus menyebabkan terjadinya diare yang disertai dengan lendir dan darah. Keluhan lain yang menyertai diare biasanya adalah nyeri pada anus saat buang air besar,dan rasa tidak enak pada perut. Keluhan pada saluran cerna dapat berlangsung akut (kurang dari 1 bulan) ataupun kronis (lebih dari 1 bulan). Jika tidak diberikan terapi adekuat pada amoebiasis usus dapat terjadi penyebaran trofozoit melalui aliran darah atau secara langsung pada organ yang berdekatan sehingga terjadi amoebiasis pada organ diluar usus (abses hati, abses paru dan abses otak) (Neva and Brown,1994; Garcia and Bruckner,1996; Gandahusada et al.,1998).
2.1.2.2. Giardia lamblia
Giardia lamblia merupakan protozoa yang memiliki flagella dan hidup di usus halus manusia. Parasit ini tersebar luas diseluruh dunia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit ini disebut sebagai giardiasis /giardia enteritis / beaver fever. Hospes definitif parasit ini adalah manusia, namun terdapat beberapa hewan yang buas menjadi hospes reservoar yaitu berang – berang, babi dan monyet. Gejala awal yang dikeluhkan orang yang terinfeksi parasit ini diare (banyak mengandung lemak) dan pada infeksi yang kronis dapat terjadi malabsorbsi vitamin B12 dan intoleransi laktosa (Neva and Brown, 1994 ; Garcia and Bruckner, 1996 ; Gandahusada et al.,1998).
Protozoa ini memiliki 2 stadium yaitu kista dan trofozoit. Kistanya berbentuk lonjong, berdinding tebal, mempunyai 2 – 4 inti, mempunyai parabasal bodies dan berukuran 10 – 14 mikron. Stadium kista ini dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan dalam temperatur sekitar 4 o C dan bertahan selama 4 hari pada temperatur 37 o C (Baashir, 2004).
Stadium trofozoit berukuran 14 x 7 mikron berbentuk seperti buah pir, dengan ujung anterior yang membulat dan melebar sedangkan ujung posteriornya meruncing. Bentuk tubuh parasit bilateral simetris dengan permukaan bagian dorsal cembung dan bagian ventral cekung. Parasit ini mempunyai 4 flagella, 2 aksostil dan 2 inti (Neva and Brown, 1994
; Garcia and Bruckner, 1996; Gandahusada et al.,1998).
Gambar 10. Kista G lamblia dengan pewarnaan trichome (A) dan dengan pewarnaan iron haematoxilin (B dan C) (American Academy of Pediatrics,2003a )
Di bawah ini merupakan gambaran siklus hidup G. Lamblia :
Gambar 11. Siklus hidup G.lamblia ( CDC,2013h )
Dari gambar siklus diatas stadium infektif buat manusia adalah stadium kista.
Masuknya stadium kista dalam saluran cerna melalui jalur faecal oral atau makanan dan minuman yang mengandung kista (Dawson, 2003 ).
Dan jika kista tersebut tertelan, maka dalam jarak waktu 5 – 10 menit kista akan berubah menjadi trofozoit (Baashir, 2004). Parasit ini akan memulai pembelahan di dalam duodenum secara belah pasang longitudinal 30 menit setelah kista masuk dan segera menghasilkan 2 trofozoit. Perlekatan parasit tersebut pada brush border usus dengan batil isapnya (sucking disc), menyebabkan kerusakan serta pemendekan vili usus dan terjadi inflamasi pada kripta dan lamina propia usus halus. Parasit ini juga mampu menginvasi/
menembus mukosa usus tapi hal ini jarang terjadi. Jika kondisi didalam usus halus tidak sesuai untuk kehidupannya, parasit ini akan membentuk kista. Stadium kista parasit ini dikeluarkan bersama tinja penderita. Pada penelitian ekperimental yang dilakukan pada manusia menunjukkan bahwa masuknya 100 kista dalam saluran cerna pasti akan menyebabkan manusia tersebut terinfeksi, 10 – 25 kista menyebabkan sekitar 1/3 dari manusia tersebut terinfeksi dan jika 1 kista yang masuk tidak akan menyebabkan manusia terinfeksi (Neva and Brown, 1994;Garcia and Bruckner, 1996 Gandahusada et al.,1998).
Gambar 12. Trofozoit G lamblia dengan pewarnaan iodin (American Academy of Pediatrics,2003b)
Masa inkubasi, waktu mulai dari masuknya kista sampai timbul gejala sekitar 1 – 2 minggu (Musher and Musher,2004). Kerusakan jaringan usus menyebabkan terjadinya gangguan absorbsi atau sindroma malabsorbsi. Gejala klinis giardiasis adalah diare dengan kotoran yang banyak berbau busuk yang disertai mual, perut kembung, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Lamanya keluhan diare bervariasi mulai dari beberapa hari sampai dengan diare kronis yang berlangsung beberapa bulan (Neva and Brown, 1994
; Garcia and Bruckner, 1996; Gandahusada et al.,1998).
2.1.2.3. Balantidium coli
Balantidium coli merupakan protozoa yang terbesar dan memiliki alat gerak berupa cilia. Parasit ini tersebar luas diseluruh dunia. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit ini disebut sebagai balantidiasis/ balantidosis. Hospes definitif parasit ini adalah manusia.
Gejala bervariasi mulai dari asimptomatik ( tanpa gejala ) sampai dengan menyebabkan keluhan diare tanpa darah yang ringan sampai berat (Neva and Brown, 1994 ; Garcia and Bruckner, 1996 ; Gandahusada et al.,1998; The Center for Food Security and Public Health- College of Veterinary Medicine, 2005).
Gambar 13. Trofozoit Balantidium coli ( CDC, 2013i )
Protozoa ini memiliki 2 stadium yaitu kista dan trofozoit. Kistanya berbentuk bulat, berukuran 40 – 60 mikron, berdinding tebal yang terdiri dari 2 lapis dinding, mempunyai 2 inti yaitu makronukleus dan mikronukleus. Makronukleus berukuran lebih besar dari mikronukleus dan berbentuk seperti ginjal, sedangkan mikronukleus berukuran lebih kecil berbentuk bulat dan terletak dekat dengan makronukleus. Stadium trofozoit ditemukan pada colon dan caecum manusia. Ukurannya 50 – 130 X 20 – 70 mikron, bentuknya lonjong, memiliki cytostome ( berfungsi memasukan makanan) dan cytopige ( berfungsi sebagai alat ekskresi sisa metabolisme/ anus ). Memiliki 2 inti ( makronukleus dan mikronukleus ) dimana makronukeus berukuran besar dan berbentuk seperti ginjal, sedangkan mikronukleus berukuran lebih kecil dan berbentuk bulat. Reproduksi protozoa ini bisa secara konjugasi maupun dengan pembelahan binnary fission (Bogisth et al , 2005c).
Gambar 14. siklus hidup B.coli ( CDC, 2013j )
2.2. Keadaan Sosio Ekonomi dan Perilaku Masyarakat
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingginya angka infeksi parasit usus adalah perilaku masyarakat dan kondisi sosio ekonomi masyarakat. Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi parasit usus lebih tinggi di daerah pesisir dibandingkan daerah bukan pesisir (Anh, Diep et al. 2002; Kwitshana, Tsoka et al. 2008), terutama pada penduduk dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah (Raso, Utzinger et al. 2005; Acka, Raso et al. 2010; Sayasone, Mak et al. 2011). Status sosial-ekonomi seorang anak dapat dilihat dari status sosial-ekonomi orang tua, yaitu pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, dan kadang-kadang juga jumlah individu yang tinggal dalam satu rumah, dan kondisi tempat tinggal (Bielicki et al. 1986), misalnya bahan tembok rumah, lantai, luas tanah, luas bangunan, letak kompleks perumahan, dll.). Dalam penelitian ini yang penilaian status sosio ekonomi dilakukan berdasarkan 3 hal yaitu :
1. Tingkat pendidikan ibu
2. Mata pencaharian / jenis pekerjaan bapak 3. Tingkat pendapatan orang tua
Perilaku masyarakat mempunyai peran besar terhadap kejadian infeksi parasit usus karena berkaitan dengan rantai penularan parasit usus. Indikator perilaku yang dinilai di masyarakat antara lain adalah kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, Kebiasaan BAB di WC, kebiasaan memakai alas kaki, kebiasaan memotong kuku 1 kali / minggu, kebersihan kuku, kebiasaan main tanah, kebiasaan menghisap jari / memasukkan jari ke dalam mulut, kebiasaan merebus air minum, kebiasaan menutup masakan dll (Noorhayati et al. 2003;
Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2007a; Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2007b )
2.3. Status Gizi melalui Pengukuran Antropometri
Studi mengenai tumbuh kembang anak-anak banyak dilakukan karena dianggap sebagai indikator dari kesehatan anak, yang juga dipengaruhi oleh lingkungannya (Susanne 1980). Ketika kondisi hidup menguntungkan biasanya potensi tinggi badan individu dapat dicapai secara maksimal, dan potensi ini dibatasi serta ditentukan oleh faktor genetis (Susanne 1980). Karenanya, tumbuh kembang tidak melulu berkaitan dengan genetis, tetapi juga dengan kemampuan adapatasi manusia. Sebagai contoh, ukuran tubuh yang mungil dan pertumbuhan badan yang lambat pada beberapa populasi anak di Papua New Guinea diperkirakan merupakan adaptasi terhadap ketidakcukupan sumber-sumber energi dan nutrisi (Norgan 1995).
Lingkungan telah diduga mempunyai peran yang penting dalam mempengaruhi seberapa baik seorang anak bertumbuh. Potensi pertumbuhan dapat diekspresikan dengan maksimal ketika kondisi lingkungan memadai (Susanne 1980). Bahkan kondisi politik suatu negara pun dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan setiap anak yang hidup di sana (Bogin 1997). Lingkungan mempunyai arti yang luas. Lingkungan dapat berarti kondisi fisik dari suatu tempat, temperatur, kelembaban, kebersihan dan sanitasi, paparan terhadap suatu penyakit, parasit, dan infeksi. Karenanya, harus selalu diingat bahwa semua faktor di atas dapat saling mempengaruhi satu sama lain.
Keterkaitan nutrisi dengan tumbuh kembang anak atau remaja telah banyak dibicarakan oleh ilmuwan dari berbagai negara. Ketika seorang anak atau remaja tidak berkembang seperti referensi pertumbuhan yang digunakan untuk membandingkannya, sebagian besar dari mereka menyalahkan pada kondisi lingkungan yang tidak memadai (contohnya Susanne 1980; Bogin 1997), khususnya nutrisi dan pasokan makanan (Smith and Lifshitz, 1994).
Nutrisi tidak selalu mempunyai pengaruh pada tumbuh kembang. Satu studi nutrisi menemukan bahwa penyesuaian metabolis pada fetus terjadi hanya karena modifikasi perubahan diet yang ekstrim (Gaul et al. 1978). Lebih jauh lagi, Heald et al. (1969:33) mengatakan bahwa asupan kalori (berkaitan dengan level nutrisi) berkorelasi sangat kuat dengan peritiwa-peristiwa fisiologis, bukan dengan umur kronologis. Karenanya sangatlah logis untuk melakukan komparasi terhadap dua kelompok sampel yang mempunyai tingkat sosial-ekonomi sama-sama tinggi, yang tidak banyak mempunyai modifikasi pola makan, artinya mereka mempunyai kecukupan dan variasi makanan yang baik dalam kesehariannya.
Dalam suatu studi oleh Henneberg et al. (2001) ditemukan bahwa pada individu-individu yang ketinggian badannya sama, terdapat perbedaan yang bermakna pada kekuatan genggam, yang disebabkan oleh perbedaan tingkat sosial-ekonomi. Dengan kata lain, pada suatu populasi rata-rata tinggi badan pada satu kelompok individu yang mempunyai status sosial-ekonomi tinggi mungkin tidak berbeda secara bermakna dengan kelompok individu dari status sosial-ekonomi rendah, tetapi dalam hal fungsi tubuhnya tidak sebaik individu yang berasal dari status sosial-ekonomi tinggi. Dalam penelitian di atas diindikasikan oleh kekuatan genggam yang lebih besar secara signifikan pada individu dari status sosial- ekonomi tinggi.
Status sosial-ekonomi dari seorang anak biasanya dilihat dari status sosial-ekonomi orang tua, yaitu pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, dan kadang-kadang juga jumlah individu yang tinggal dalam satu rumah, dan kondisi tempat tinggal (Bielicki et al. 1986), misalnya bahan tembok rumah, lantai, luas tanah, luas bangunan, letak kompleks perumahan, dll.).
Penelitian-penelitian yang menghubungkan status sosial-ekonomi dan tumbuh kembang anak dan remaja memberikan hasil yang berbeda-beda. Beberapa peneliti menemukan bahwa status sosial-ekonomi yang rendah menyebabkan rata-rata ukuran-ukuran antropometris yang secara signifikan lebih kecil daripada rata-rata individu-individu dari kelompok sosial-ekonomi menengah ke atas (misalnya Henneberg and Louw 1998, Nath 1980). Akan tetapi, ada juga penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok sosial-ekonomi bawah dengan kelompok sosial- ekonomi menengah ke atas (misalnya Little et al. 1988). Perbedaan status sosial-ekonomi
hanya akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak jika perbedaan status itu menyebabkan perbedaan akses terhadap produk-produk makanan bernutrisi baik dan perawatan kesehatan yang berkualitas.
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai pengukuran dan titik-titik antropometris : 1. Ukuran–ukuran panjang
Ukuran-ukuran panjang (tinggi badan, tinggi duduk, panjang kaki, dan lengan) mencerminkan pertumbuhan tulang. Pada orang dewasa di mana pertumbuhan telah berhenti, kita bisa membandingkan ukuran tulang mereka dengan generasi sebelumnya, dan dengan orang dewasa dari kelompok masyarakat lain. Kita tahu bahwa ukuran orang dewasa adalah produk kondisi-kondisi mereka ketika mereka dalam masa pertumbuhan (makanan, olah-raga, kesehatan, dan stress), sehingga ukuran tubuh orang dewasa menunjukkan kombinasi genetis dan lingkungan mereka di masa lalu.
Anak-anak yang bertumbuh dalam kondisi lingkungan yang tidak bagus akan menjadi orang dewasa yang tidak maksimum tinggi badannya, dan tungkai pun tidak maksimum pertumbuhannya. Perbaikan kondisi sekitar sering bisa menyebabkan pertambahan pertumbuhan badan, sehingga akan menjadi orang dewasa yang lebih jangkung. Proses ini telah dilihat pada populasi-populasi lain di negara-negara lain sejalan dengan perubahan kondisi lingkungan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, populasi di Jepang, Amerika Serikat dan Inggris mengalami peningkatan tinggi badan dalam kurun waktu 100 tahun belakangan ini sejalan dengan peningkatan kualitas nutrisi dan kesehatan (Eveleth dan Tanner 1976). Ukuran-ukuran panjang memberikan informasi yang sangat penting dan sensitif mengenai perubahan kondisi lingkungan pertumbuhan pada masa kanak-kanak.
Ukuran-ukuran panjang yang sering digunakan dalam penelitian bisa dijelaskan dalam terminologi-terminologi sebagai berikut:
a. Tinggi badan, atau B – v = jarak dari basis (lantai) ke titik vertex
b. Tinggi duduk, yaitu ukuran panjang batang badan dalam keadaan tegak, yang diukur dari alas tempat duduk ke titik vertex
c. B – sst = jarak dari basis (lantai) ke titik suprasternale
d. Panjang kepala, atau g-op = jarak dari glabella ke opistocranion e. Tinggi wajah genap, atau n-gn = jarak dari nasion ke gnation f. Tinggi wajah atas, atau n-sto = jarak dari nasion ke stomion g. Tinggi hidung, atau n-sn = jarak dari nasion ke subnasale 2. Ukuran-ukuran lebar
a. Lebar bahu, atau a – a = jarak antara dua titik akromiale
b. Lebar tulang di bagian siku = lebar maksimum tulang bagian siku c. Lebar tulang di bagian lutut = lebar maksimum tulang di bagian lutut d. Lebar kepala, atau eu-eu = jarak antara dua titik eurion
e. Lebar hidung, atau al-al = jarak antara dua titik alare f. Lebar wajah, atau zy-zy = jarak antara dua titik zygion g. Lebar rahang, atau go-go = jarak antara dua titik gonio 3. Berat Badan
Berat badan memberikan estimasi informasi secara garis besar mengenai massa tubuh (tulang, otot dan lemak). Berat badan anak-anak juga berubah karena alasan-alasan yang sama, dan juga karena mereka bertumbuh dan mengalami peningkatan massa tubuh sejalan dengan pertumbuhan itu. Berat badan memberikan informasi yang sangat besar ketika dikombinasi dengan tinggi badan.
Rumus BMI (Body Mass Index) atau Indeks Massa Tubuh yaitu (berat badan) / (tinggi badan)2 biasa digunakan dalam bidang kesehatan. Dengan cara ini perubahan dalam berat badan diperhitungkan bersama-sama tinggi badan sehingga bisa digunakan untuk mengidentifikasi adanya pertambahan atau penurunan berat badan pada anak (Rolland- Cachera 1998).
Nilai BMI yang lebih besar dari 30 mengindikasikan obesitas atau kelebihan berat.
Meskipun begitu memang individu yang mempunyai massa otot besar, bisa salah terdiagnosis. Maka perlu diingat bahwa meski perubahan berat badan adalah indikator yang
sangat berguna untuk pertumbuhan anak, tetapi kurang memberikan informasi apakah perubahan berat itu terdiri dari otot atau lemak. Oleh karenanya diperlukan ukuran-ukuran yang lain (misalnya lipatan lemak kulit dan ukuran-ukuran lingkar).
4. Ukuran Lingkar
Ukuran lingkar yang dilakukan misalnya pada lingkar lengan, bersama-sama ukuran lipatan kulit di bagian lengan, memberikan indikasi seberapa besar otot dan tulang yang dimiliki oleh anak, setelah tebal lipatan lemak diperhitungkan.
Lingkar dada merupakan indikator kesehatan secara umum, berdasarkan pertumbuhan rongga dada yang merupakan ruang tempat jantung dan paru-paru dilindungi oleh tulang-tulang rusuk. Dengan demikian secara tidak langsung mengindikasikan kesehatan pertumbuhan jantung dan paru-paru juga.
5. Lipatan lemak di bawah kulit (skinfold)
Lipatan lemak di bawah kulit diambil pada bagian lengan atas, bawah bahu (punggung), dan perut. Ukuran-ukuran ini memberikan estimasi yang baik mengenai proporsi jaringan lemak pada tubuh. Jaringan lemak di bawah kulit merupakan representasi cadangan energi simpanan dalam tubuh dan biasanya terakumulasi karena mengkonsumsi makanan lebih banyak dari pada energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk aktifitas sehari- hari. Oleh karenanya, lemak bisa berakumulasi karena perubahan diet atau aktifitas fisik, atau karena keduanya.
Banyaknya massa otot berkaitan dengan kekuatannya, dan juga berbagai aspek kebugaran fisik. Perubahan yang sangat cepat pada massa otot (khususnya hilangnya massa otot) merupakan indikasi masalah, misalnya perubahan aktifitas fisik, penyakit dan malnutrisi.
6. Kekuatan otot dan kecepatan reaksi
Sejalan dengan pertumbuhan, kekuatan otot anak pun bertambah. “Kekuatan genggaman” yang diukur dengan alat yang bernama dynamometer menunjukkan seberapa kuat otot lengan bawah. Sementara kecepatan reaksi (neuromuskular) yang diukur dengan kecepatan reaksi yang berkaitan dengan fungsi syaraf-syaraf motorik dan refleks. Seorang individu yang tidak sempurna pertumbuhannya biasanya juga tidak sempurna perkembangan syarafnya, termasuk syaraf motorik.
2.4. Anemia Defisiensi Besi
Dampak lain dari infeksi parasit usus adalah anemia defisiensi besi terutama infeksi kecacingan A.lumbricoides, Trichuris trichiura dan Hookworm. Keberadaan cacing dewasa di dalam usus akan menyebabkan inflamasi pada mukosa usus sehingga akan mengganggu proses absorbsi zat – zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Akibat dari gangguan absorbsi dalam jangka waktu yang panjang adalah malnutrisi ( kekurangan nutrisi ) serta dapat terjadi anemia defisiensi besi. Penyebab lain dari anemia defisiensi besi pada infeksi kecacingan adalah cacing dewasa ( terutama Hookworm dan T.trichiura ) menghisap darah inangnya secara langsung sehingga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi yang lebih berat ( Boogisth, 2005d)
Diagnosa anemia defisiensi besi dilakukan berdasarkan pemeriksaan Hb, hapusan darah tepi dan pengukuran serum iron. Pengukuran Hb sendiri tidak dapat digunakan sebagai dasar diagnosa anemia defisiensi besi, karena kadar Hb hanya dapat mendiagnosa adanya anemia saja ( WHO, 2011). Nilai normal Hb berdasarkan ketentuan dari WHO bervariasi dimana dipengaruhi oleh jenis kelamin dan tingkat usia yang berbeda. Pada anak usia prasekolah ( usia 3 – 6 tahun ) nilai Hb normal menurut WHO ( WHO, 2011) adalah :
Tabel 1. Kadar Haemoglobin (g/dl) Pada Anak Menurut WHO
USIA ANAK NORMAL ANEMIA
RINGAN SEDANG BERAT
6 – 59 bulan >11 10 – 10,9 70 – 9,9 < 70 5 – 11 tahun >11,5 11 – 11,4 80 – 10,9 < 80
Besi disimpan dalam tubuh manusia dalam bentuk feritin. Pengukuran serum feritin dapat menggambarkan total penyimpanan besi pada tubuh karena pada dasarnya simpanan besi dilepaskan / disekresikan di plasma (WHO,2010). Konsentrasi normal feritin bervariasi tergantung pada usia dan jenis kelamin. Kadar feritin tidak dipengaruhi oleh kebiasaan merokok maupun ketinggian diatas permukaan laut seperti pada haemoglobin. Dibawah ini merupakan kadar normal serum feritin (WHO,2010) :
Tabel 2. Kadar Serum Feritin (ng/ml) Pada Anak Menurut WHO
USIA ANAK SERUM FERITIN
KETERANGAN LAKI - LAKI PEREMPUAN
< 5 TAHUN < 12 < 12 Kekurangan simpanan besi
> 5 TAHUN > 15 > 15
BAB 3. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konseptual
Yang Diteliti :
Yang Tidak Diteliti : 3.2. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Perilaku masyarakat, kondisi sosio ekonomi masyarakat mempengaruhi kejadian infeksi parasit usus pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak, Surabaya.
2. Infeksi Parasit usus yang bersifat kronis menyebabkan terjadinya penurunan status gizi dan anemia defisiensi besi pada anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak, Surabaya
INFEKSI PARASIT USUS PERILAKU DAN
KEBIASAAN MASYARAKAT
P STATUS SOSIO
EKONOMI
PELAYANAN KESEHATAN
LINGKUNGAN GANGGUAN
ABSORBSI
PERDARAHAN KRONIS
ANEMIA DEFISIENSI BESI PENURUNAN
STATUS GIZI
BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan desain cross-sectional, karena pengamatan dilakukan pada satu waktu.
4.2. Tempat Penelitian
Tempat Penelitian adalah Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya yang merupakan salah satu daerah pesisir pantai dengan batas wilayah sebagai berikut : Batas utara : Selat Madura
Batas Timur : Selat Madura Batas Selatan : Kelurahan Bulak
Batas Barat : Kelurahan Tanah Kali Kedinding
Kelurahan Kedung owek memiliki ketinggian sekitar meter dari permukaan air laut sehingga merupakan daerah dataran rendah dengan suhu rata – rata berkisar 6 . Kelurahan Kedung Cowek memiliki 3 Rukun Warga ( RW ), 12 Rukun Tetangga ( RT ), dan 1265 kepala keluarga.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah anak berusia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Surabaya. Sampel penelitian diambil berdasarkan rumus besar sampel dengan penghitungan proporsi untuk uji hipotesis (UNAIR 2007)
Besar Sampel :
Keterangan :
n : Besar sampel
α : Tingkat kemaknaan : 0,05
Zα : Deviat baku normal untuk α : 1,96 Zβ : Deviat baku normal untuk β : 0,842
Pa : Proporsi kejadian dalam populasi sebesar 60% (Margono 2001; Margono 2003;
Agoes 2007).
P0 : 1-Pa
Dari penghitungan besar sampel didapatkan jumlah sampel sebesar 70 orang anak usia prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak, Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling terhadap populasi.
4.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
Anak berusia prasekolah ( usia 3 – 6 tahun ) yang tinggal di Kelurahan Kedung Cowek dan
Anak prasekolah yang tidak minum obat cacing setidaknya sampai satu bulan sebelum penelitian dilaksanakan,
Tidak menderita penyakit kronis seperti TBC, gagal ginjal atau penyakit jantung, serta
Mendapat persetujuan oleh orangtuanya.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
Anak usia prasekolah yang minum obat cacing sampai satu bulan sebelum penelitian dilaksanakan.
Orangtua yang tidak memberi persetujuan anak untuk menjadi sampel peneilitian ini
0 0
2 0
(1 ) (1 )
( )
a a
a
Z P P Z P P
n
P P
Anak usia prasekolah yang tidak mengikuti salah satu tahap pemeriksaan ( pemeriksaan status gizi, pemeriksaan kotoran dan pemeriksaan darah )
Tidak mengikuti sesi wawancara dan pengisian kuesioner 4.5. Definisi Operasional Variabel
Sesuai dengan judul penelitian ini “ Interaksi antara Perilaku, Status Gizi, Sosio Ekonomi dan Infeksi Parasit Usus pada anak usia Prasekolah di Kelurahan Kedung Cowek Kecamatan Bulak Surabaya”, maka ada variabel bebasnya adalah perilaku, status gizi dan sosio ekonomi dan variabel terikatnya adalah infeksi parasit usus. Selain variabel yang tersebut diatas, dilakukan pula pemeriksaan darah pada sampel untuk mengetahui adanya anemia defisiensi besi yang merupakan salah satu dampak dari infeksi parasit usus khususnya infeksi cacing usus. Penjelasan masing masing variabel adalah sebagai berikut : 4.5.1. Sosio Ekonomi :
Data tentang sosio ekonomi meliputi 3 hal yaitu tingkat pendapatan orang tua setiap bulan, tingkat pendidikan ibu dan mata pencaharian atau jenis pekerjaan orang tua. Alat yang digunakan adalah kuesioner, dengan cara wawancara langsung terhadap orang tua responden mengenai penghasilan selama satu bulan, pendidikan terakhir ibu dan juga jenis pekerjaan orang tua. Data tentang pendapatan orang tua akan dibagi menjadi 2 kelompok penghasilan yaitu :
1. Penghasilan < Rp 500.000
2. Penghasilan Rp 500.000 – Rp 2.000.000 3. Penghasilan > Rp 2.000.000
Data tentang tingkat pendidikan orang tua akan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang ada yaitu :
1. Tamat SD 2. Tamat SLTP 3. Tamat SLTA
4. Tamat Perguruan Tinggi
Data Pekerjaan orang tua akan dikelompokkan berdasarkan 2 kelompok yaitu : 1. Nelayan
2. Bukan nelayan
4.5.2. Perilaku Masyarakat
Penilaian perilaku masyarakat dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner untuk menilai perilaku dan kebiasaan masyarakat yang terkait dengan penularan parasit usus.
Indikator perilaku yang dinilai antara lain yaitu : 1. kebiasaan mencuci tangan sebelum makan 2. Kebiasaan BAB di WC,
3. kebiasaan memakai alas kaki
4. kebiasaan memotong kuku 1 kali / minggu 5. kebersihan kuku
6. kebiasaan main tanah
7. kebiasaan menghisap jari / memasukkan jari ke dalam mulut 8. kebiasaan merebus air minum
9. kebiasaan menutup masakan
Jawaban responden terhadap pertanyaan tentang indikator perilaku dan kebiasaan masyarakat diatas, akan dikelompokkan menjadi 2 kelompok jawaban :
1. Ya artinya terbiasa / selalu melakukan kegiatan yang ditanyakan peneliti
2. Tidak artinya tidak pernah atau kadang – kadang melakukan kegiatan yang ditanyakan peneliti.
4.5.3. Status Gizi
Kondisi satus gizi subyek penelitian dilakukan dengan pengukuran antropometri berat badan dan tinggi badan. Dari data tersebut akan dihitung besar nilai BMI nya dan hasil penghitungan BMI akan dicocokkan dengan tabel standar antropometri penilaian status gizi pada anak yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan nomer SK 1995/MENKES/SK/XII/2010 (Keputusan Menteri Kesehatan RI, 2010). Hasil pengamatan status gizi anak akan dibagi menjadi 4 kelompok :
1. Sangat kurus 2. Kurus
3. Normal 4. Gemuk
4.5.4. Status Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu dampak jangka panjang dari infeksi parasit usus terutama kecacingan soil transmitted helminthes ( Ascaris lumbricoides, Hookworm dan Trichuris trichiura ) karena keberadaan cacing dewasa menyebabkan keradangan mukosa usus sehingga mengganggu proses absorbsi zat – zat penting, dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan malnutrisi dan anemia. Selain itu cacing dewasa Hookworm dan T. trichiura menghisap darah inangnya secara langsung sehingga menyebabkan gejala anemia defisiensi besi yang lebih berat (Boogisth, 2005d). Pada penelitian juga dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengetahui angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak. Penentuan anemia dilakukan berdasarkan pemeriksaan Hb dari WHO dimana data akan dikelompokkan menjadi 2 kelompok (WHO,2011) sebagai berikut :
1. Hb < 11 g/dl pada anak usia < 5 tahun : anemia Hb < 11,5 g/dl pada anak usia 5 – 6 tahun : anemia 2. Hb > 11 g/dl pada anak usia < 5 tahun : normal
Hb > 11,5 g/dl pada anak usia 5 – 6 tahun : normal
Penegakkan diagnosa anemia defisiensi besi dilakukan berdasarkan pemeriksaan serum feritin, dimana data pemeriksaan serum feritin dikelompokkan menjadi 2 kategori (WHO,2010) :
1. Normal apabila : Serum feritin pada anak usia < 5 tahun adalah > 12 ng/ml Serum feritin pada anak usia > 5 tahun adalah > 15 ng/ml 2. Defisiensi besi apabila : Serum feritin pada anak usia < 5 tahun adalah < 12 ng/ml
Serum feritin pada anak usia > 5 tahun adalah < 15 ng/ml 4.5.5. Infeksi Parasit Usus
Diagnosa infeksi parasit usus dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis pada sampel feses atau tinja sampel penelitian. Interpretasi hasil pemeriksaan adalah :
1. Terinfeksi parasit usus jika pada pemeriksaan ditemukan 1 jenis atau lebih dari 1 jenis parasit usus ( telur cacing, cacing dewasa, kista/trofozoit protozoa usus).
2. Tidak terinfeksi apabila pada pemeriksaan tidak ditemukannya telur cacing, cacing dewasa, kista/trofozoit protozoa usus.
4.6. Tehnik Pemeriksaan 4.6.1. Pemeriksaan feses
Sampel tinja atau feses diawetkan menggunakan 2 jenis pengawet dimana untuk pemeriksaan protozoa usus menggunakan Kalium dikromat 2,5 % (Kurniawan et al, 2009) sedangkan untuk identifikasi telur cacing menggunakan formalin 10 % sebagai pengawetnya ( Garcia and Bruckner, 1996: Garcia and cambell 2005). Pemberian pengawet ini bertujuan untuk mempertahankan morfologi organisme yang akan diperiksa dan mencegah perkembangan stadium telur cacing, sehingga mempermudah proses identifikasi.
Pemeriksaan feses digunakan untuk mendiagnosa infeksi parasit usus menggunakan teknik konsentrasi. Teknik konsentrasi memiliki keunggulan dibandingan dengan teknik hapusan langsung, dimana teknik konsentrasi lebih sensitif pada infeksi
parasit yang ringan dibandingkan dengan teknik hapusan langsung. Tahapan pemeriksaan teknik konsentrasi dapat dilihat pada uraian dibawah ini ( Garcia and Bruckner, 1996: Garcia and campbell 2005).:
1. Membuat suspensi tinja dengan berdasarkan perbandingan 1 bagian tinja dengan 10 bagian cairan pengawet.
2. Menyaring suspensi tinja tersebut dengan saring teh dan filtratnya di tampung di gelas plastik.
3. Memasukkan suspensi yang telah disaring diatas dalam tabung sentrifus.
4. Mensentrifugasi suspensi dengan kecepatan 1500 RPM selama 2 – 5 menit.
5. Membuang supernatannya, dan menambahkan air pada endapan hasil sentrifugasi.
6. Dilakukan sentrifugasi lagi dengan kecepatan dan lama yang sama pada tahap sebelumnya. Proses ini diulang sampai mendapatkan supernatan yang jernih.
7. Setelah mendapatkan supernatan yang jernih, langkah berikutnya adalah membuang supernatan tersebut dan menyisakan sedikit supernatan.
8. Mengaduk sisa supernatan dan mengambil supernatan menggunakan pipet Pasteur dan diletakkan pada obyek glass.
9. Menutup obyek glass tersebut dengan cover glass kemudian diperiksa di bawah mikroskop.
4.6.2. Pemeriksaan Status Antropometri
Pemeriksaan status antropometri dilakukan dengan mengukur tinggi badan sampel menggunakan microtoise staturmeter dan mengukur berat badan sampel dengan timbangan badan analog. Dari pengukuran tersebut dihitung body mass indexnya dan diinterpretasikan hasilnya sesuai standar dari Menkes.
4.6.3. Pemeriksaan Darah
Sampel darah sampel diambil oleh tenaga paramedis yang ahli, dan darah tersebut dimasukkan dalam tabung yang mengandung EDTA maupun yang tidak mengandung EDTA. Darah yang mengandung EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap dan morfologi darah, sedangkan pada tabung yang tidak mengandung EDTA untuk pemeriksaan kadar besi ( serum iron ) . Pemeriksaan darah dilakukan di laboratorium dan interpretasi dilakukan berdasarkan standar WHO.
4.6.4. Penilaian Sosio Ekonomi dan Perilaku Masyarakat
Penilaian terhadap status sosio ekonomi dan perilaku masyarakat dilakukan dengan menggunakan wawancara langsung dengan kuesioner dan observasi pada sampel.
4.7. Alat dan Bahan Penelitian :
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah : 1. Spuit steril 3 cc untuk pengambilan sampel darah 2. Alkohol swab / kassa alkohol
3. Plester steril
4. Tabung bertutup yang berisi EDTA untuk menampung sampel darah untuk pemeriksaan Hb
5. Tabung bertutup yang tidak berisi EDTA untuk menampung sampel darah untuk pemeriksaan serum feritin
6. Rak tabung untuk pemeriksaan darah
7. 1 set alat antropometri untuk pengukuran status gizi
8. Tabung bertutup dan berlabel untuk menampung tinja ( feses ) 9. Tabung sentrifugasi
10. Alat sentrifugasi 11. Pipet Pasteur
12. Masker, sarung tangan dan sendok kayu untuk pengambilan dan pengadukkan sampel feses dengan cairan pengawet
13. Boks stereofoam untuk membawa tabung yang berisi sampel tinja ( feses)
14. Cairan pengawet Formalin 10 %
15. Cairan pengawet Kalium dikromat 2,5 % 16. Mikroskop cahaya
17. Obyek glass 18. Cover Glass 4.8. Alur Kerja
Anak berusia 3 – 6 tahun Yang dipilih secara random
Wawancara orang tua pengambilan pengukuran Responden sampel feses antropometri
tingkat pemeriksaan dibandingkan sosio ekonomi parasitologis nilai standart
perilaku hidup bersih normal pada
uji konsentrat anak usia 3 – 6
diagnosa kondisi status parasit usus gizi anak
4.9. Teknik analisa data
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisa secara univariat dengan Chi square test dan Spearman correlation test, serta analisa multivariat dengan regresi logistik.
Pengambilan sampel darah
Pemeriksaan HB dan kadar feritin
Status anemia anak
BAB 5. HASIL PENELITIAN
Penjelasan dan uraian dari bab 4 dapat diketahui bahwa jumlah sampel pada penelitian ini adalah 70 sampel anak usia prasekolah ( anak berusia 3 – 6 tahun ) yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel secara cluster random sampling dengan mempertimbangkan struktur kelembagaan yang ada di Kel. Kedung Cowek. Karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Grafik 1 . Karakteristik Usia Anak Yang Menjadi Sampel Penelitian
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa usia anak prasekolah yang menjadi sampel penelitian ini yang terbanyak adalah anak usia 3 ( 39 %), yang kedua adalah usia 5 tahun (34%) dan yang terakhir adalah usia 4 tahun ( 27%).
Grafik 2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Anak Yang menjadi Sampel Penelitian
Dari grafik tersebut diketahui bahwa perbandingan jenis kelamin anak usia prasekolah yang menjadi sampel tidak jauh berbeda dimana anak laki – laki yang menjadi sampel sebesar 51,43% sedangkan anak berjenis kelamin perempuan sebesar 48,57%.
Pada setiap subyek penelitian dilakukan 4 jenis pengambilan sampel yaitu pengambilan sampel pengukuran antropometri, sampel darah, sampel tinja/ feses dan data hasil wawancara kuesioner. Pengukuran antropometri dilakukan untuk mengetahui kondisi status gizi subyek penelitian. Sampel darah untuk mengukur kadar Hb, serum feritin dan morfologi darah bertujuan untuk mendiagnosa adanya anemia defisiensi besi. Pengambilan sampel tinja / feses berfungsi untuk diagnosa infeksi parasit usus baik cacing ( A.lumbricoides, Hookworm dan T.trichiura ) maupun protozoa usus ( E.histolytica, G.lamblia dan B.coli ).
Dan yang terakhir adalah data wawancara kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui perilaku- kebiasaan masyarakat serta data sosio ekonomi masyarakat. Pada bab dibawah
ini akan dibahas satu per satu mengenai data hasil pemeriksaan laboratorium tinja/ feses dan darah, hasil pengukuran antropometri dan hasil wawancara kuesioner.
5.1. Hasil Pemeriksaan Tinja / Feses
Pemeriksaan tinja / feses dalam penelitian ini menggunakan teknik konsentrasi dimana sampel tinja ada 2 macam yaitu yang pertama sampel tinja yang diberi pengawet formalin 10 % dan yang kedua adalah sampel tinja yang diberi pengawet kalium dikromat 2,5 %. Sampel tinja dengan formalin 10 % merupakan sampel untuk pemeriksaan telur cacing. Dari pemeriksaan sampel tersebut tidak ditemukan adanya telur cacing pada semua sampel tinja/ feses yang diteliti. Sampel tinja dengan kalium dikromat 2,5 % merupakan sampel untuk pemeriksaan protozoa usus, dimana rekapan hasil pemeriksaan tinja / feses sampel penelitian dapat dilihat dibawah ini :
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Tinja/ Feses Sampel Penelitian
JENIS PARASIT YANG DITEMUKAN JUMLAH %
Tidak ditemukan Parasit Usus 42 60
Giardia lamblia 2 2.9
Balantidium coli 18 25.7
Entamoeba coli 8 11.4
TOTAL 70 100.00
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa 40 % dari total sampel mengandung parasit usus dimana parasit usus terbanyak yang ditemukan adalah Balantidium coli sebesar 25,7 % . Gambaran distribusi temuan parasit usus berdasarkan usia sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Temuan Parasit Usus Berdasarkan Usia Sampel KETERANGAN
TEMUAN PARASIT USUS
TIDAK % ADA % TOTAL %
USIA 3 TAHUN 17 24.29 10 14.29 27 38.57
4 TAHUN 12 17.14 7 10.00 19 27.14
5 TAHUN 13 18.57 11 15.71 24 34.29
TOTAL 42 60.00 28 40.00 70 100.00
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa sampel yang berusia 5 tahun merupakan kelompok usia yang tertinggi temuan parasit ususnya ( 15.71%).
Temuan parasit usus tidak semuanya bersifat patogen ( menyebabkan penyakit pada manusia), karena ditemukan juga parasit usus yang bersifat non patogen seperti Entamoeba coli yang tidak menyebabkan gejala apapun pada manusia. Gambaran distribusi temuan parasit usus yang bersifat patogen berdasarkan usia sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Temuan Parasit Usus Patogen Berdasarkan Usia Sampel
KETERANGAN TEMUAN PARASIT USUS YANG PATOGEN
TIDAK % ADA % TOTAL %
USIA
3 TAHUN 18 25.71 9 12.86 27 38.57
4 TAHUN 14 20.00 5 7.14 19 27.14
5 TAHUN 18 25.71 6 8.57 24 34.29
TOTAL 50 71.43 20 28.57 70 100.00
Dari tabel diatas tampak bahwa kelompok usia yang paling banyak terinfeksi parasit patogen adalah pada kelompok usia 3 tahun ( 12.86%).
Gambaran distribusi frekuensi sampel yang terinfeksi parasit usus berdasarkan jensi kelamin sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Temuan Parasit Usus Berdasarkan Jenis Kelamin Sampel
KETERANGAN TEMUAN PARASIT USUS
TIDAK % ADA % Total % JENIS
KELAMIN
LAKI - LAKI 19 27.14 17 24.29 36 51.43
PEREMPUAN 23 32.86 11 15.71 34 48.57
TOTAL 42 60.00 28 40.00 70 100.00
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa sampel yang berjenis kelamin laki - laki merupakan kelompok yang tertinggi temuan parasit ususnya ( 24.29 %).
Gambaran distribusi frekuensi sampel yang terinfeksi parasit usus patogen berdasarkan jenis kelamin sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 7.Distribusi Frekuensi Temuan Parasit Usus Patogen Berdasarkan Jenis Kelamin KETERANGAN INFEKSI PARASIT USUS YANG PATOGEN
TIDAK % ADA % TOTAL %
JENIS KELAMIN
LAKI - LAKI 21 30.00 15 21.43 36 51.43
PEREMPUAN 29 41.43 5 7.14 34 48.57
TOTAL 50 71.43 20 28.57 70 100.00
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa sampel yang berjenis kelamin laki - laki merupakan kelompok yang tertinggi temuan parasit ususnya ( 21.43 %).
5.2. Hasil Pemeriksaan Darah
Infeksi parasit usus terutama infeksi kecacing dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi, sehingga pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan darah untuk mendeteksi adanya anemia defisiensi besi. Ada 3 jenis pemeriksan sampel darah subyek penelitian yaitu pemeriksaan kadar haemoglobin, serum feritin dan morfologi darah. Hasil pemeriksaan Hb dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Grafik 3. Data Pemeriksaan Haemoglobin (g/dl)
Dari grafik diatas tampak bahwa 28 sampel ( 40 %) menderita anemia sedangkan sisanya sebesar 42 sampel ( 60%) tidak menderita anemia.
Gambaran distribusi frekuensi temuan parasit patogen dengan anemia dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Temuan Parasit Patogen Dengan Anemia KETERANGAN INFEKSI PARASIT USUS YANG PATOGEN
TIDAK % ADA % TOTAL %
PEMERIKSAAN Hb
ANEMIA 17 24.29 10 14.29 27 38.57
NORMAL 33 47.14 10 14.29 43 61.43
TOTAL 50 71.43 20 28.57 70 100.00
Dari data diatas tampak bahwa tidak ada perbedaan prosentase antara sampel yang terinfeksi parasit usus patogen yang menderita anemia dengan yang tidak menderita anemia ( 14.29 %). Dan pada sampel yang tidak ditemukan adanya parasit usus patogen, ternyata prosentase anemianya lebih tinggi (24.29%) dari sampel yang mengandung parasit usus patogen ( 14.29 %).
Pada sampel darah juga dilakukan pemeriksaan morfologi darah yang mendukung diagnosa anemia defisiensi besi. Hasil pemeriksaan morfologi darah pada anemia defisiensi besi biasanya menunjukkan gambaran awal berupa anemia normokromik normositer sedangkan pada fase lebih lanjut menunjukkan gambaran anemia hipokromik mikrositer.
Hasil pemeriksaan mo