• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis dan Penatalaksaan Syok Hemoragik

N/A
N/A
luthfia ayu

Academic year: 2023

Membagikan "Diagnosis dan Penatalaksaan Syok Hemoragik"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Diagnosis dan Penatalaksanaan Syok Hemoragik

Penyusun :

Grevonds Austen (112019028)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anesthesi

(2)

2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Rumah Sakit Panti Wilasa Dr.Cipto Semarang Periode 04 Agustus – 10 September 2022

BAB I PENDAHULUAN

Pengaruh sistemik akibat kehilangan darah berkaitan langsung dengan volume darah yang keluar dari pembuluh darah. Ketika sebagian besar volume darah dalam sirkulasi hilang, seperti pada trauma masif, penderita dapat sangat cepat meninggal karena perdarahan. Penderita dapat mengalami perdarahan tanpa ada petunjuk perdarahan eksternal sama sekali. Ini terjadi jika darah yang keluar dari pembuluh terkumpul dalam rongga tubuh yang besar seperti rongga pleura atau rongga peritoneum. Jenis perdarahan internal yang mematikan ini sering sekali terjadi pada cidera yang berat, yang menyebabkan ylang iga patah dan mengoyak paru atau jika trauma abdomen mengakibatkan rupture limpa atau hati.

Volume perdarahan juga dapat memberikan pengaruh yang berkaitan dengan laju terjadinya kehilangan darah. Kehilangan volume darah yang lebih besar dapat ditoleransi lebih baik jika terjadi sedikit demi sedikit daripada terjadi secara cepat dalam jumlah yang besar.1

Syok bukanlah suatu diagnosis. Syok merupakan kegagalan sirkulasi tepi menyeluruh yang mengakibatkan hipoksia jaringan. Kematian akibat syok terjadi bila kejadian ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme sel.2

Syok bersifat progresif dan terus memburuk. Lingkaran setan dari kemunduran yang progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani secara agresif selagi dini. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologis dan menghilangkan faktor penyebab. Respon terhadap terapi awal, digabung dengan penemuan saat melakukan primary survey dan secondary survey, biasanya memberikan cukup informasi untuk menentukan penyebab syoknya. Perdarahan

(3)

3 merupakan penyebab syok yang paling sering ditemukan pada penderita trauma.

(4)

BAB II

SYOK HEMORAGIK

2.1. Definisi

Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif.4,5

2.2. Etiologi

Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik:6

 Perdarahan saluran pencernaan o Ulkus peptikum dan duodenum o Ca gaster dan esofagus

 Obstetrik/ginekologi o Plasenta previa o Abruptio plasenta

o Ruptur kehamilan ektopik o Ruptur kista ovarium

 Paru o Ca paru

o Penyakit paru yang berkavitas: TB, aspergillosis

 Trauma o Laserasi

o Luka tembus pada abdomen dan torak

(5)

o Ruptur pembuluh darah besar

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya akan menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung menurun di bawah normal dan timbul syok.

2.3. Klasifikasi

Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of Surgeon Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini syok hemoragik.3

Tabel 2.1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi Penderita Semula

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Darah hilang (cc) < 750 750 – 15

00 1500 – 2000 >2000

Darah hilang (%) < 15 15 – 30 30 – 40 >40

Nadi < 100 >100 >120 >140

TD N N Turun Turun

Respirasi 14 – 20 20 – 30 30 – 40 >35

UO >30 20 – 30 5 – 15 Tidak ada

Kesadaran Agak gelisah Gelisah Gelisah & bingung Bingung & letargik

(6)

2.4. Patofisiologi

Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi. Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium.

Dengan berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis. Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi vasokonstriksi, dan penurunan distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal.7

Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin- releasing hormone terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon dari penurunan MAP (Mean Arerial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung resoprsi natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut karena glukagon dan growth hormone meningkat pada gluconeogenesis dan glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara relative sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.7

Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi peningkatan ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis metabolik dari karbon dioksida yang diproduksi.6

Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP. Ginjal juga mentoleransi penuruunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik.

Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.

(7)

2.6.Gejala klinis

Gejala klinis tunggal jarang ditemukan saat diagnosis syok ditegakkan.

Pasien bisa mengeluh lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah, dan lama perdarahan, karena pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah darah yang hilang dan lamanya perdarahan.

Syok umumnya memberi gejala klinis seperti turunnya tanda vital tubuh:

hipotensi, takikardi, penurunan urin output, dan penurunan kesadaran.

Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh. Gejala umum lainnya yang bisa timbul adalah kulit kering, pucat, dan dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi, dan tidak sadar. Pada fase awal nadi cepat dan dalam dibandingkan denyutnya, tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik. Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah. Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala hemotoraks, suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat perdarahan.7 Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal. Periksa panggul apakah ada ekimosis yang mengarah ke perdarahan retroperitoneal. Lakukan pemeriksaan rectum untuk mengetahui asal darah yang keluar dari rectum. Pasien dengan riwayat perdarahan vagina dilakukan pemeriksaan pelvis lengkap dan lakukan tes kehamilan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.

(8)

BAB III PENATALAKSANAAN SYOK HEMORAGIK

Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan perdarahan dan menggantikan kehilangan volume darah.

Airway dan Breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.

Circulation – kontrol perdarahan

Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan.

Disability – pemeriksaan neurologi

Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motoric dan sensorik.

Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.

Exposure – pemeriksaan lengkap

Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari mencari cedera. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia.

Dilatasi lambung – dekompresi

Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardia dari stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit.

Pada pasien tidak sadar, distensi lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung dan dapat menjadi suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.

(9)

Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan NGT.

Pemasangan kateter urin

Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.

Darah pada uretra atau prostat dengan letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh.3

Pengobatan dengan posisi kepala di bawah. Dengan menempatkan

penderita dengan kepala 5 inci lebih rendah daripada kaki akan sangat membantu dalam meningkatkan alir balik vena dan dengan demikian menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah ini adalah tindakan pertama dalam pengobatan berbagai macam syok.2

Akses pembuluh darah

Harus segera didapat akses ke sistem pembuluh darah. Ini paling baik dilakukan dengan memasukkan dua kateter intravena ukuran besar sebelum dipertimbangkan jalur vena sentral.

Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femoralis, jugularis, atau subklavia dengan kateter besar) dengan menggunakan teknik seldinger atau melakukan vena seksi pada vena safena di kaki. Pada anak di bawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra oseus harus dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral.

Foto toraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau hematotoraks.3

(10)

Terapi awal cairan

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan. Volume darah rata-rata pada orang dewasa kira-kira 7%

dari berat badan. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan ideal. Volume darah anak-anak dihitung 8% - 9%

dari berat badan (80-90 ml/kg).8

Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita.

Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-4 x volume yang hilang.9

Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua karena berpotensi menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar jika fungsi ginjal kurang baik.

Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit pertama. Jumlah cairan yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal evaluasi penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (“3 for 1 rule”). Namun lebih penting untuk menilai respon penderia kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluar urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.2,3

Jumlah produksi urin merupakan indicator yang cukup sensitive untuk perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran

(11)

darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi dengan pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu pemantau utama resusitasi dan respon penderita Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anakm dan 2 ml/kg/jam pada bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambah penggantian volume dan usaha diagnostik.3 Bila telah jelas ada perbaikan hemodinamik (tekanan sistolik ≥100, nadi ≤100, perfusi hangat, urin 0,5 ml/kg/jam), infus harus dilambatkan dan biasanya transfuse tidak diperlukan. Bahaya infus yang cepat adalah oedem paru, terutama pasien geriatri. Perhatian harus ditunjukkan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Namun jika hemodinamik memburuk, teruskan cairan (2-4x estimated blood loss), jika membaik tetapi Hb < 8 gr, Ht < 25%, beri transfusi darah dan koloid. Bila hemodinamik tetap buruk, segera diberikan transfusi.

Evaluasi resusitasi cairan dan perfusi organ a.Umum

Tanda dan gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita.

Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi, dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberi informasi tentang perfusi organ.

Perbaikan pada sistem saraf pusat dan peredarah darah kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kuantitas sukar ditentukan.8 b.Khusus

-Capillary refill time <2 detik -MAP 65-70 mmHg

-Saturasi O2 >95%

-Urine output ?0,5 ml/kg/jam (dewasa); >1 ml/kg/jam (anak)

(12)

-Syok indeks = HR/SBP (normal 0,5-0,7)

Jenis cairan intravena

Ada 4 pilihan pokok yang selama bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit, yaitu:

a.Transfusi darah

Ini adalah pilihan pokok apabila terdapat donor yang cocok. Hemodilusi dengan cairan tidak bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik sementara darah donor tetap perlu ditransfusikan dalam memberikan koreksi deficit cairan ekstraseluler (ECF).

Bila darah golongan yang sesuai tidak tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan O dengan titer anti A rendah (Rh negatif) atau packed red cell-O.9

b.Plasma Expander

Cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik yang tinggi (dextran, gelatin, HES) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal elbih lama di intravaskular. Namun deficit ECF tidak dapat dikoreksi oleh pasma expander. Dari segi harga juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan Ringer Laktat. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pemberian dextran atau gelatin.9 c.Albumin

Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi volume effect. Tetapi harganya sangat mahal dibandingkan dengan Ringer Laktat untuk mendapatkan volume effect yang sama.9

d.Ringer Laktat atau NaCl 0,9%

Cairan ini mirip komposisinya dengan ECF. Meskipun pemberian infus diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah cairan interstitial penuh. Cairan lain seperti dextrose dan NaCl 0,45% tidak dapat digunakan.

(13)

Cairan kristaloid adalah larutan air dengan elektrolit dan atau dextrose, tidak mengandung molekul besar. Kristaloid dalam waktu singkat sebagian besar akan keluar dari intravaskular, sehingga volume

yang diberikan harus lebih banyak (2,5-4 kali) dari volume darah yang hilang. Kristaloid mempunyai waktu paruh intravaskular 11-30 menit.

Ekspansi cairan dari ruang intravaskular ke interstitial berlangsung selama 30-60 menit sesudah infus dan akan keluar dalam 24-48 jam sebagai urin.

Secara umum kristaloid digunakan untuk meningkatkan volume ekstrasel dengan atau tanpa peningkatan volume intrasel.11

Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungannya yaitu mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremia, hipokhloremia, atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan eksraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besasr kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombusio, dan sindrom syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensible.9

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolism laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hamper seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fugsi hati berat seperti sirosis hepatis dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.7

(14)

BAB IV KESIMPULAN

Kunci keberhasilan manajemen syok hemoragik adalah kesadaran, identifikasi dan penilaian yang cermat terhadap masalah dan pengobatan dengan penggantian cairan yang memadai. Perhatian pada jalan napas dan ventilasi dengan oksigen sangat penting. Diagnosis dini yang tepat dan pembedahan definitif harus mengikuti resusitasi cepat.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

1.Price S, Wilson L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed. Vol. 1. Jakarta: EGC; 1103.

2.Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta:

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI; 1104.

3.American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Supports for Doctors. United States of America; 1104.

4.Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. 4th ed. Jakarta: 1106

5.Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 1102.

6.Gutierrez G, Reines HD, Wulf-Gutierrez ME. Clinical review:

Hemorrhagic shock. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1065003/. Published online 2nd April 1104. Accessed on 1st January 113.

7.Udeani J. Hemorrhagic shock. Available from

http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview#a0104. Last updated 6th December 115. Accessed on 1st January 113.

8.Steven, Parks N. Advanced trauma life support (ATLS) for doctors.

Jakarta: Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI); 1104.

9.Wirjoatmodjo, Karjadi. Anestesiologi dan reanimasi modul dasar untuk pendidikan S1 kedokteran. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional; 1100.

10.Latief, Said A. Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1102.

11.Mulyono I. jenis-jenis cairan. In: Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients. Jakarta: Bagian Anestesiologi FK UI/RSC

(16)
(17)

Referensi

Dokumen terkait