Defek Email Gigi
Pada Penyandang Sindrom Down
(Suatu Laporan Penelitian)
Prof.Dr.Willyanti Soewondo, drg.,Sp.KGA(K)
PENERBIT DreXa BANDUNG
©2020, Penerbit DreXa, Bandung viii + 73 hlm; 14,5 x 21 cm
Judul Buku : Defek Email Gigi
Pada Penyandang Sindrom Down (Suatu Laporan Penelitian)
Penulis : Prof. Dr. Willyanti Soewondo, drg.,Sp.KGA(K)
Editor : Prof.Dr. Sjarif Hidajat Effendi, dr.,SpA(K)
Penelaah : Prof.Dr. Inne Suherna Sasmita, drg.,SpKGA(K)
Penerbit : DreXa, CV
Email: [email protected] Cetakan Kesatu : Mei 2020
ISBN : 978-623-7785-27-9 Anggota IKAPI No. 329/JBA/2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrohim………
Alhamdullilah, segala Puji bagi Allah dan syukur yang tiada hentinya penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan buku dengan judul Defek Email Gigi Pada Penyandang Sindrom Down, Suatu Laporan Penelitian.
Buku ini ditulis dalam rangka membantu memberikan informasi tentang adanya defek email gigi pada anak penyandang Sindrom Down sehingga dapat membantu rencana perawatan bagaimana memelihara kesehatan gigi dan mulutnya secara umum sehingga diperoleh kesehatan yang baik, dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Penulis berterimakasih kepada POTADS (Persatuan Orang Tua Anak Sindrom Down) yang sudah bersedia bekerja sama dalam penelitian ini, dan juga kepada UNPAD yang telah membiayai penelitian ini melalui program Academic Leadership Grant (ALG).
Penyusunan buku ini dimulai dengan uraian singkat mengenai Pendahuluan, Definisi, Sindrom Down, Defek Email/Kelainan struktur gigi, Etiologi, Diagnosa, dan Hasil penelitian defek email yang berupa Hipoplasia, Hipokalsifikasi gigi pada penyandang sindrom Down di tahun 2018.
Bandung Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 5
BAB III. METODE PENELITIAN 45
BAB IV. HASIL PENELITIAN 49
BAB V. RINGKASAN 67
DAFTAR PUSTAKA 69
TENTANG PENULIS 73
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindrom Down atau Trisomi 21 merupakan suatu kelainan genetik yang disebabkan oleh kelainan kromosom, berupa abrasi kromosom sehingga mengakibatkan bayi memiliki kelebihan 1 kromosom pada kromosom 21. Hal ini mudah dikenali sebagai abrasi kromosom karena ini mengakibatkan tanda fisik yang spesifik, seperti kelainan tubuh termasuk gigi, adanya tingkat kecerdasan IQ di bawah normal dan termasuk di dalam kelompok retardasi mental.1,2,3
Sindrom Down merupakan suatu sindrom dengan penyebab kelainan kromosom yang paling sering terjadi di dunia. Diperkirakan angka kejadiannya mencapai 8 juta jiwa.
Sindrom Down ini terjadi pada 1 dari 660 kelahiran dan dapat pula 1 dari 800 hingga 1000 kelahiran.1,2,3.
Menurut penelitian Mikyong Shin, dari tahun 1979 sampai tahun 2003 prevalensi Sindrom Down pada waktu kelahiran meningkat menjadi 31.1%, yaitu 9,0% sampai
11,8% dari 10.000 bayi yang hidup di 10 bagian Amerika Serikat.4
Penyandang Sindrom Down memiliki kelebihan kromosom pada kromosom 21 yang mengakibatkan adanya perubahan karakteristik fisik yang spesifik dan kurangnya kemampuan kognisi/intelektual. Hal ini dapat minimbulkan masalah kesehatan yang berkaitan dengan keterbelakangan fisik dan mental. Umumnya penyandang Sindrom Down memiliki IQ yang rendah, berkisar antara 30-70.
Keterbelakangan itulah yang menyebabkan penderita tidak bisa menjaga kesehatan dan memelihara diri sendiri termasuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya.1,3-7
Manifestasi klinis regio oral dari penyandang Sindrom Down yang paling sering terjadi diantaranya adalah lidah yang menonjol keluar yang disebabkan karena tinggi muka tengah yang lebih pendek dari normal, yang menunjukkan seolah-olah lidah besar (Macroglossia). Anomali gigi yang sering terjadi adalah Mikrodonsia, Hipodonsia, Taurodonsia, gigi berbentuk konus dan kelainan struktur email yang umum disebut defek email.3,5-7
Epidemiologi
Data Riskesdas tahun 2013 terdapat 0,13 persen penyandang Sindrom Down di Indonesia. Hasil penelitian mengenai prevalensi Sindrom Down di Priangan timur oleh Nurwahidah adalah sebesar 459 jiwa atau 0,07 persen dari total populasi.8.9
Insiden Sindrom Down ini mempunyai kecendrungan yang meningkat dengan meningkatnya usia ibu, terutama untuk Sindrom Down tipe penuh. Risiko terjadinya Trisomi 21 meningkat sesuai dengan usia ibu, khususnya setelah usia 30 tahun.3
Penderita Sindrom Down di Indonesia diperkirakan adalah lebih dari 300.000.
Data penelitian lain menunjukkan bahwa 1 kasus di antara 1000 penduduk mengalami Sindrom Down. Jika penduduk Indonesia sekarang 220 juta, diperkirakan sekitar 220 ribu penduduk mengalami Sindrom Down. Pasien dengan Sindrom Down mengalami retardasi mental sampai tingkat tertentu, mulai dari yang ringan hingga berat.5,10
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase masing-masing kelainan struktur gigi pada penyandang Sindrom Down di Bandung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Sindrom Down diambil dari seorang dokter Inggris bernama Langdon Haydon Down, yang memberikan gambaran klinis dari penderita ini pada tahun 1866. Penulis Anglosaxon lebih sering memakai istilah “Down’s Syndrome”. Awal tahun enampuluhan ditemukan diagnosis secara pasti yaitu dengan pemeriksaan kromosom. Penyakit ini pada zaman dahulu diberi nama Mongoloid atau Mongolism karena penderita penyakit ini mempunyai gejala klinik yang khas yaitu wajah seperti bangsa Mongol dengan mata sipit membujur ke atas. Pemerintah Republik Mongolia sekitar 30 tahun yang lalu mengajukan keberatan kepada Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menganggap nama tersebut kurang etis, maka WHO mengganti nama tersebut dengan Sindrom Down.3-7
Sindrom Down
Sindrom Down adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh adanya ekstra kromosom pada kromosom
21, baik salinan penuh atau sebagian. Hal ini dapat terjadi saat perkembangan sperma atau ovum.1,3,5
Gambar 1. Gambaran Kromosom Pada Sindrom Down (yaitu adanya ekstra kromosom pada kromosom 21)3
Karyotipe manusia normal terdiri dari 46 kromosom dengan 22 pasang otosom dan 2 kromsom seks, baik 2 kromosom X atau kromososm X dan Y. Proses pembelahan sel ada 2 jenis yaitu mitosis dan meiosis. Mitosis adalah proses pembelahan sel somatis yang menghasilkan 2 sel anak yang identik dengan sel asal. Mitosis terbagi ke dalam beberapa fase yaitu profase yang ditandai dengan lilitan pita kromosom sehingga dapat dilihat dengan mikroskop, nukleolus dan membran nukleus menghilang dan terbentuk spindle mitosis. Metafase ditandai dengan pemadatan
kromosom menempel pada mikrotubul dari spindle mitosis dan kromosom berjajar di tengah sel sepanjang spindle.
Anafase ditandai dengan pemisahan kromosom sepanjang aksis longitudinalnya sehingga terbentuk 2 kromatid yang bermigrasi ke masing-masing kutub sel yang berlawanan.
Telofase merupakan fase akhir mitosis, ditandai dengan pembentukan kembali nukleolus dan membran nukleus, serta pembelahan sitoplasma untuk membentuk 2 sel anak.3
Selama proses spermatogenesis dan ogenesis, sel diploid yang terdiri dari 46 kromosom mengalami pengurangan jumlah kromosom menjadi sel haploid yang mengandung 23 kromosom yang dikenal dengan pembelahan meiosis. Meiosis dibagi menjadi 2 bagian yaitu meiosis I dan meiosis II. Pada meiosis I, setiap sel anak mendapat I duplikat kromosom dari setiap pasangnya. Pada awal meiosis II setiap sel mengandung 23 kromosom, masing-masing dengan duplikat kromatid yang berpasangan.
Pada meiosis II pasangan duplikat ini berpisah dan setiap sel anak mempunyai 23 kromosom, sehingga akan terbentuk 4 sel anak yang masing-masing haploid. Pada meiosis terdapat pertukaran kromosom (crossing over) sehingga menghasilkan kombinasi gen yang baru. Terdapat 2 tipe
gangguan selama proses ini yang sering menimbulkan kelainan kromosom yaitu nondisjunction, di mana dua kromosom gagal untuk berpisah dan bermigrasi ke salah satu sel baru dan menghasilkan satu sel dengan 2 duplikat kromosom dan sel yang lain tanpa kromosom. Jenis kelainan yang kedua adalah anafase lag yaitu kehilangan kromatid karena kurang cepat bergerak selama anafase untuk bergabung menjadi salah satu sel anak.3,7
Tipe Sindrom Down
Seperti telah diketahui manusia normal mempunyai 46 kromosom atau 23 pasang kromosom, yang terdiri dari 22 pasang autosom dan sepasang kromosom seks dalam tiap sel pada tubuhnya. Tiap pasang autosom ditandai dengan nomor, mulai dari nomor 1 sampai dengan 22.
Berdasarkan pemeriksaan sitogkenetik kromosom maka tipe Sindrom Down ini dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe Penuh, Translokasi dan Mosaik.
1.Trisomi Tipe Penuh (Full Trisomy)1-7
Tipe ini menunjukkan adanya ekstra kromosom pada kromosom 21 di seluruh sel tubuhnya. Menurut para ahli kelainan kromosom yang sering terjadi pada Sindrom Down adalah trisomi 21 tipe penuh.
Pada penderita Sindrom Down tipe penuh dalam setiap sel pada tubuhnya terdapat 47 kromosom dengan kelebihan pada kromosom 21, kelebihan kromosom ini dihasilkan dari suatu proses yang disebut “non–disjunction”.
Gambar 2. Sindrom Down Tipe Penuh3
2.Tipe Translokasi3
Tipe kedua disebut translokasi, yaitu adanya ekstra kromosom 21 yang melekat atau bertranslokasi ke kromosom lain, biasanya pada kromosom 14 atau 22 yang dikenal dengan translokasi Robertsonian. Tidak seperti pada trisomi 21 bebas, tipe translokasi tidak menunjukkan korelasi dengan usia ibu. Bila translokasi ditemukan pada anak Sindrom Down, maka pemeriksaan kromosom pada orangtua merupakan hal yang penting.
Tipe translokasi adalah sebanyak 4% dari populasi Sindrom Down. Dalam hal ini anak Sindrom Down memiliki 2 salinan penuh dan 1 salinan sebagian yang menempel pada kromosom lain, hal ini disebut translokasi yaitu terjadinya pertukaran segmen antara kromosom-kromosom non–
homolog atau hilangnya sebagian segmen dari sebuah kromosom, sebagian segmen dari sebuah kromosom.
Gambar 3. Gambaran Kromosom Sindrom Down Tipe Translokasi.3
3.Tipe Mosaik3
Tipe Mosaik terjadi sebagai akibat dari pembelahan sel yang abnormal segera setelah konsepsi. Fenotip pada tipe ini lebih ringan daripada trisomi 21 bebas, tetapi terdapat variasi yang luas tergantung pada proporsi prosentase banyaknya sel trisomi.
Persentase tipe mosaik berkisar antara 2-5% dari populasi. Penderita Sindrom Down tipe ini mempunyai dua macam populasi sel di dalam tubuhnya. Sebagian sel mengandung komplemen kromosom normal dengan hanya mempunyai dua kromosom 21, sedangkan yang lain mempunyai tiga kromosom 21 (gabungan sel–sel dengan 46 kromosom dan 47 kromosom).
Bentuk mosaik adalah suatu jenis dari kelainan antara adanya gejala Sindrom Down dan keadaan normal.
Apabila jumlah sel yang mengalami trisomi dalam populasi sel tubuhnya sedikit, tanda–tanda klinis yang ada seringkali sulit untuk menentukan, apakah seseorang menderita Sindrom Down atau bukan. Makin besar proporsi sel–sel dengan kromosom normal makin besar kemungkinan anak tampak normal.
Gambar 4. Gambaran Kromosom Penderita Sindrom Down Tipe Mosaik11
Untuk mendapatkan mosaik, dihitung dari 20 sel, apabila 5 sel mengandung 47 kromosom dan 15 sel lainnya
mengandung 15 kromosom maka individu mengalami 75, 5 mosaiksm.
Mayoritas Sindrom Down memperlihatkan kariotipe tipe penuh (Full Trisomy). Full trisomy memperlihatkan adanya ekstra kromosom pada kromosom 21, 47 kromosom terdapat pada setiap sel. Sindrom Down tipe mosaik mempunyai jumlah kromosom normal (46) pada beberapa sel tertentu, sehingga memperlihatkan karakteristik fisik yang lebih ringan, keadaan mental yang lebih baik. Sindrom Down tipe penuh memperlihatkan tanda klinis yang lebih berat.2-5
Kariotipe Sindrom Down tipe mosaik dan penuh mempunyai kecenderungan prognostik berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa tipe mosaik mempunyai prognostik yang lebih baik sehingga kemampuan kognisi maupun adaptasi sosialnya dapat dioptimalkan.1,5
Manifestasi Klinis Penyandang Sndrom Down1-7
Penderita Sindrom Down memiliki banyak karakteristik gambaran klinis yang diperlihatkan dan manifestasi sistemis yang bervariasi. Sosok tubuh penderita
Sindrom Down pendek dengan leher pendek dan bungkuk, tanda–tanda klinis Sindrom Down yaitu berat badan lahir rendah, pendek, mikrosefali, kepala datar, wajah, hidung datar, low set ear, rambut halus lurus, mata memperlihatkan up slanting of the eye, tangan menunjukkan meta karpal dan phalanges, sindaktili, klinodaktili simian crease, pada kaki tampak adanya celah (sandal gap) di antara jari pertama dan kedua.13,5,12
Gejala yang paling utama pada penyandang Sindrom Down adalah disabilitas intelektual dengan kurangnya tingkat kecerdasan (IQ). Dengan menggunakan skala Binet maupun skala Weshler IQ antara 50-70, terkadang bisa mencapai 90. Ekstra kromosom 21 terdapat pada sel-sel setiap anak dengan Sindrom Down ras yang berlainan akan mengakibatkan bentuk fisik anak akan serupa satu sama lain.3,5,12
Telapak tangan penderita hanya memiliki satu garis tangan melintang dengan jari pendek dan lebar yang dinamakan simian crease. Jarak antara jari pertama dengan jari kedua kaki (sandal gap).5,12
Wajah penderita Sindrom Down lebih ke arah bentuk bulat dengan kepala brachicephalic serta pangkal hidung
lebar dan datar. Rambut terlihat jarang halus. Telinga pendek dan letak agak rendah. Tulang oksipital penderita datar dan dahinya menonjol. Fontanel tampak sebanyak sepertiga atau seperempat, semua fontanel besar dan meluas.
Sutura sagital yang melebar lebih dari 5 mm ditemukan pada 98% kasus.
Mata berbentuk almond dengan fisura palpebra miring ke arah atas, ada bercak brushfield pada iris mata. Penderita memiliki lipatan mata epikantus karena bagian luar kantus lebih tinggi daripada bagian dalam. Strabismus yaitu mata tidak sejajar dalam arah yang sama.12
Retardasi mental yang diderita memengaruhi tingkat intelegensinya sehingga menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan kemampuan bicara. Retardasi mental menurut American Association of Mental Deficiency (AAMD) yaitu kondisi atau keadaan fungsi intelektual di bawah rata-rata yang terjadi selama periode perkembangan dan dihubungkan dengan buruknya adaptasi lingkungan.
Gambar 5. Fasial Penyandang Sindrom Down12
Masalah kesehatan yang menyertai Penyandang Sindrom Down 1-3,5,7,12
Terdapat beberapa kondisi yang sering memerlukan perhatian khusus pada anak dengan Sindrom Down.
Penyakit sistemik yang menyertai Anak Sindrom Down adalah kelainan pada jantung, saluran cerna, kelainan telinga, kelainan hematologi, kelainan kelenjar tiroid.
1) Kelainan Jantung
Beberapa anak dengan Sindrom Down, khususnya yang disertai kelainan jantung yang berat seringkali mengalami gagal tumbuh.
Hampir separuh dari penyandang Sindrom Down menderita kelainan jantung bawaan. Adanya kelainan
kromosom mengakibatkan terjadinya hal tersebut dengan probabiIitas 50%.
2) Kelainan Saluran cerna
Kelainan saluran cerna yang sering terjadi pada penyandang Sindrom Down adalah konstipasi, encopresis, soiling. Konstipasi pada Sindrom Down disebabkan karena gangguan motilitas yang kronik akibat hipotonia yang menyeluruh termasuk pada sistem pencernaan.1,3,5
3) Kelainan Telinga
Enam puluh sampai 80% anak dengan Sindrom Down mengalami gangguan pendengaran.
Penelitan Sjarif Hidajat menunjukkan bahwa dengan tes BERA, 63% penyandang Sindrom Down mengalami gangguan pendengaran baik unilateral (16%) maupun bilateral (47%). Dengan tes BERA dapat diketahui adanya gangguan pendengaran baik unilateral maupum bilateral.
dari derajat ringan maupun berat.10
4) Kelainan Hematologi
Gambaran hematologi penyandang Sindrom Down adalah berupa kadar MCV dan hemoglobin yang lebih tinggi dari anak normal, serta ditemukannya sel blast di perifer.
Karakteristik hematologi Sindrom Down berdasarkan tipe kariotipenya adalah anemia yang lebih sering terjadi pada tipe mosaik.11
5) Kelainan Tiroid
Disfungsi tiroid lebih sering pada anak dengan Sindrom Down daripada anak normal. Antara 15-20% anak dengan Sindrom Down menderita hipotiroid.
6). Kelainan Mata 3,5,11-13
Anak dengan Sindrom Down seringkali menderita gangguan mata dibandingkan anak yang tidak menderita gangguan kromosom. Sebagai contoh, 3% bayi dengan Sindrom Down menderita katarak, mereka membutuhkan penanganan bedah. Masalah gangguan penglihatan yang lain seperti strabismus, lapang pandang sempit, lapang pandang terlalu luas dan kelainan mata lain sering ditemukan pada anak dengan Sindrom Down.13
7) Alzheimer
Aspek medis lain seperti risiko terjadinya Alzheimer sebaiknya secara dini dikelola oleh profesi terkait.
8). Kelainan skeletal
Masalah skeletal juga merupakan masalah yang sering ada pada penyandang Sindrom Down, di antaranya berupa subluksasi kapsul sendi lutut (dislokasi komplit atau parsial), dislokasi sendi panggul dan instabilitas atlantoaksial, tetapi hanya 1-2% yang memerlukan tindakan operatif.
9) Kelainan imunologi
Kelainan imunologi yang sering terjadi adalah adanya imunodefisiensi pada penyandang Sindrom Down Penderita Sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat infeksi yang menyebabkan rentan terhadap pneumonia.3,5,12
Gambar 6. Profil Wajah Sindrom Down7
Gambar 7. Garis Simian Crease Pada Penyandang Sindrom Down12
Gambar 8. Sandal Gap
Gambar 9. Lidah Berfissura Pada Penyandang Sindrom Down7
Tanda oral yang paling umum adalah, makroglosia, fissured dan geographic tongue, palatum tinggi dan hipotonia. Ditemukan juga adanya beberapa gigi yang missing, terhambatnya erupsi gigi dan exfoliasi gigi, kelainan struktur gigi seperti hipoplasia dan hipokalsifikasi email, ukuran gigi lebih kecil dan agenesis gigi seperti hipodontia, oligodontia. Hipotonia mengakibatkan lidah terjulur, mulut cenderung terbuka, dan drooling.
Gambar 10. Hipoplasia Email Dan Hipodontia Pada Penyandang Sindrom Down7
Pertumbuhan anak dengan Sindrom Down17
Anak dengan Sindrom Down badannya biasanya lebih kecil, dan perkembangan fisik dan mentalnya lebih lambat daripada anak yang normal. Kebanyakan penyandang Sindrom Down menunjukkan retardasi mental yang ringan sampai sedang. Meskipun demikian, beberapa anak dapat
tidak menderita retardasi mental sama sekali, dan menunjukkan kecerdasan pada kisaran batas normal atau mendekati rendah, sedangkan yang lain bisa menunjukkan retardasi mental yang berat.5,10
Terdapat variasi yang luas dalam kemampuan mental dan perkembangan anak dengan Sindrom Down. Selain itu perkembangan motoriknya juga lambat, anak dengan Sindrom Down biasanya mulai berjalan pada usia 15-36 bulan, sedangkan pada anak normal hal ini dicapai pada usia 12-14 bulan. Perkembangan bahasa juga terlambat secara bermakna. Hal yang sangat penting dicatat adalah merawat dan mengkondisikan lingkungan rumah, intervensi dini dan pendidikan yang terintegrasi akan memberikan bantuan positif terhadap perkembangan anak dengan Sindrom Down.1-7
Diagnosa Sindrom Down
Tegaknya diagnosa Sindrom Down dapat ditentukan saat antenatal, dan pascanatal. Pemeriksaan antenatal sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan yang mungkin atau sudah berkembang selama hamil. Tes yang dapat mendiagnosa Sindrom Down pada saat hamil adalah
CVS (Chorionic Villus Sampling). Hal ini dapat dilakukan saat kehamilan 10 minggu, dan pemeriksaan kromosom pasca natal.
Adapun penentuan diagnosa saat pasca natal dilakukan apabila bayi telah lahir, dengan melihat tanda klinis dan pemeriksaan karyotipe pada kromosom (Chromosomal Karyotype) untuk menentukan adanya extra kromosom pada kromosom 21. Apabila ada extra kromosom maka janin menderita Sindrom Down. Tanda klinis yang ditemukan adalah tanda spesifik seperti diterangkan diatas dan juga dilakukan pemeriksaan dermatoglifik.11,12
Manifestasi yang menonjol pada penyandang Sindrom Down adalah keterbelakangan perkembangan fisik dan mental, penampilan fisik penyandang Sindrom Down mudah dikenali yaitu pada bentuk kepala kecil, datar, pendek, gemuk, mata sipit.
Secara fisik penyandang Sindrom Down memiliki tanda-tanda yang sama dengan tingkat keparahan berbeda antara tiap individu satu dengan lainnya.
Prognosis Sindrom Down tergantung berat ringannya kasus dan adanya penyakit sistemik penyerta seperti cacat jantung bawaan, hipotiroidisme, leukemia, penyakit saluran
cerna. Prognosis juga tergantung dari perawatan, pemeriharaan kesehatan umumnya dengan intervensi penuh dari keluarga.1,5
Kelainan mata dan telinga sering juga menyerai penyandang Sindrom Down. Usia harapan hidup/life expectancy penyandang Sindrom Down adalah bervariasi berkisar sampai 60 tahun.
Sindrom Down tidak dapat diobati, tetapi dengan dukungan orang tua yang baik, serta optimal, penyandang Sindrom Down bisa menjalani kehidupan normal. Dengan intervensi dini terapi bicara dan fisik sangat membantu perkembangannya sehingga bisa merawat dirinya sendiri.
ETIOLOGI 1-7
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian mengenai penyebab Sindrom Down, hal ini belum jelas penyebab pastinya. Diduga sebagai penyebabnya adalah multifaktorial dan ada beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan Sindrom Down.
Dalam hal ini sangat penting dilakukan konseling genetika pra nikah dan pada pasangan yang berisiko tinggi untuk melahirkan anak dengan Sindrom Down.
Faktor risiko tersebut di antaranya adalah usia Ibu saat hamil; wanita yang pernah melahirkan anak Sindrom Down, jarak lahir dengan saudara kandung terlalu dekat, jumlah saudara kandung yang banyak.
Faktor penyebab Sindrom Down 1. Genetik
Kelainan genetik berupa translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung teori ini didasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak Sindrom Down dengan orangtua dengan translokasi.
Sebaiknya dilakukan studi familial tambahan dan konseling genetik untuk menentukan ada tidaknya pembawa sifat.
Konseling genetik diperlukan untuk mengidentifikasi risiko terjadinya Sindrom Down tipe nondisjunction, juga diperkirakan berhubungan dengan genetik.1,5
2. Umur ibu
Ibu yang mengandung pada usia lebih dari 30 tahun, memiliki peningkatan risiko melahirkan anak dengan Sindrom Down, dari 1:800 menjadi 1:32 pada umur 45 tahun, terutama pada tipe nondisjunction. 3
3. Radiasi
Pengaruh radiasi masih kontroversial. Literatur menyebutkan bahwa radiasi meningkatkan predisposisi nondisjunction pada Sindrom Down.
4 Infeksi
Virus diduga menjadi salah satu faktor terjadinya Sindrom Down, tetapi hal ini masih belum jelas.
5. Autoimun
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid diduga berhubungan dengan Sindrom Down. Para ahli secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan antibodi tiroid pada ibu yang melahirkan bayi Sindrom Down dan yang melahirkan bayi normal.
6. Umur Ayah
Penelitian sitogenetik pada orangtua anak penyandang Sindrom Down mendapatkan bahwa extra kromosom 21 bersumber dari ayahnya, tetapi korelasinya tidak setinggi dengan ibu.
Wajah penyandang Sindrom Down lebih ke arah bentuk bulat dengan kepala brachicephalic serta pangkal hidung lebar dan datar. Rambut terlihat jarang halus. Telinga pendek dan letaknya agak rendah. Tulang oksipital penderita
datar dan dahinya menonjol. Fontanel tampak sebanyak sepertiga atau seperempat, semua fontanel besar dan meluas. Sutura sagital yang melebar lebih dari 5 mm ditemukan pada 98% kasus.
Mata berbentuk almond dengan fisura palpebra miring ke arah atas, ada bercak brushfield pada iris mata.
Penderita memiliki lipatan mata epikantus karena bagian luar kantus lebih tinggi daripada bagian dalam.
Strabismus yaitu mata tidak sejajar dalam arah yang sama.12
Definisi dan Pengertian Defek Email.
Pengertian Defek Email/Kelainan Struktur Email.
Email merupakan organ terkeras dari tubuh manusia yang tidak tahan terhadap asam dan tidak mengalami remodeling, artinya apabila mengalami kerusakan, maka kerusakan itu bersifat menetap.
Defek email adalah cacat pada email atau ketidaksempurnaan pada email yang terjadi karena adanya disrupsi saat odontogenesis yaitu saat kritis perkembangan gigi.13-15
Kelainan pada struktur jaringan keras gigi/defek email dapat terjadi pada tahap histodiferensiasi, aposisi dan
kalsifikasi selama tahap pertumbuhan dan perkembangan gigi, yang dapat mengenai gigi sulung maupun gigi tetap.
Defek ini dapat merupakan hipoplasia email yaitu adanya kekurangan matrix email dan hipokalsifikasi email yaitu kekurangan mineralisasi email. 13-17
Defek email baik hipoplasia maupun hipokalsifikasi dapat memudahkan penumpukan plak, yang apabila dibiarkan, hal ini akan mengakibatkan terjadinya karies gigi.
Gangguan yang terjadi akibat tumbuh kembang yang disebabkan oleh gen salah satunya yaitu kelainan struktur email. Apabila hipokalsifikasi email mengenai gigi sulung, maka gigi permanen penggantinya juga akan mengalami hipokalsifikasi email karena pengaruh dari kelainan gen tersebut.18 – 20
Kerusakan karena karies pada gigi sulung apabila tidak segera diterapi akan mengakibatkan gigi sulung tanggal sebelum waktunya. Keadaan ini memengaruhi fungsi pengunyahan, sehingga terjadi gangguan asupan nutrisi, mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan rahang akan terganggu yang juga secara tidak langsung akan berpengaruh pada estetika yang mengakibatkan gangguan psikologi serta gangguan kesehatan umumnya. Apabila hal
ini tidak ditindaklanjuti maka dapat menimbulkan pembengkakan gigi sampai abses, rasa sakit, demam sehingga hal ini menurunkan kualitas hidup anak.16
Epidemiologi
Defek email terdiri dari yaitu Hipoplasia Email, Hipokalsifikasi Email. Atau kombinasi campuran keduanya.7,14-15
Distribusi defek email yang dinilai dari 121 anak normal yang berusia 3 sampai 5 tahun, 55.37% mengalami beberapa jenis kerusakan email, dan untuk hipoplasia email adalah 22,31%.6
Insidensi defek email gigi sulung adalah sebesar 20- 33%, dan sekitar 71% disebabkan faktor sistemik prenatal. 17
Penelitian Willyanti (2009) menunjukkan bahwa defek email pada gigi sulung anak dengan Kecil Masa Kehamilan adalah sebesar 87,58%. Pada penelitian ini dapat diprediksi berat ringannya defek dengan skor Willyanti, yang mengukur skor berdasarkan berat badan lahir, penyakit ibu selama hamil dan status sosial ekonomi.16
Etiologi defek email 7,13,16-21
Defek email adalah kelainan struktur email yang terdiri dari hipoplasia dan hipokalsifikasi email. Adapun faktor penyebab hipoplasia dapat juga menjadi penyebab hipokalsifikasi.
Defek email gigi sulung dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan baik lokal maupun sistemik yang terdiri dari faktor ibu dan faktor anak.
Faktor penyebab hipoplasia secara umum dapat dibagi dua, yaitu faktor genetik dan lingkungan.
Faktor Genetik 16,17,19
Pembentukan gigi berada dalam kontrol genetik.
Sudah diakui bahwa gen regulator perkembangan meregulasi perkembangan gigi seperti organ-organ pada vertebrata lainnya. Sampai saat ini gen-gen yang berhubungan dengan morfogenesis gigi memiliki fungsi regulator perkembangan dalam organ lain juga, gen ini berhubungan dengan signal atau induksi, interaksi jaringan dan sel. Adanya mutasi, delesi gen pada tikus menyebabkan perkembangan gigi yang terhenti,
disertai juga dengan defek pada gigi dan pada jaringan lainya.
Pembentukan email dikode oleh gen secara tidak langsung, dengan adanya defek pada gen akan mengkode protein matrik email sehingga dapat menyebabkan gangguan sintesis protein yang mengakibatkan defek email.
Faktor herediter dapat disebabkan faktor genetik maupun kelainan kromosom. Kelainan yang disebabkan faktor genetik dapat secara terus-menerus diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya.
Protein yang berperan dalam pembentukan email adalah ameloblastin, amelogenin, enamelin, metaloproteinase, kalikrein 4, tuftelin, enamelisin.
Enamelisin disekresikan oleh ameloblas dan odontoblas pada tahap sekresi. Enzim ini berperan dalam aktivitas proteolisis matrik email. Protein yang berperan dalam pembentukan matrik adalah amelogenin, amelobilastin, dan enamelin, sedangkan yang berperan dalam mineralisasi adalah tuftelin.
Enamelisin dan proteinase yaitu metalo proteinase 20 dan kalikrein 4 berfungsi untuk degradasi protein juga.
Gen yang berperan dalam amelogenesis adalah enamelin, kalikrein 4. Bila terjadi mutasi pada gen ini maka dapat terjadi bermacam-macam tipe amelogenesis imperfect.19 Terdapat banyak penyakit yang disebabkan oleh karena faktor genetik yang berhubungan dengan defek email yang bermanifestasi ringan maupun berat.
Dalam hal ini faktor genetik menjadi penyebab kegagalan perkembangan gigi.
Menurut Laskaris terdapat 70 kelainan genetik, yang berhubungan dengan kegagalan perkembangan gigi sehingga terjadi defek email. Terdapat 39 Faktor genetik biasanya berhubungan dengan sindrom yang menyebabkan hipoplasia. Sindrom-sindrom itu adalah Sindrom Down, Prader Willi, displasia, ectodermal, sindrom nefrotik.17
Faktor Lingkungan 7,17,20-23
Faktor lingkungan meliputi lingkungan lokal dan lingkungan sisitemik yang dapat terjadi saat prenatal, neonatal dan pasca natal. Faktor sistemik ibu yang dapat memengaruhi perkembangan gigi di antaranya adalah kondisi ibu saat hamil dengan adanya penyakit hipertensi,
diabetes, penyakit infeksi, sedangkan faktor anak ialah adanya sindrom, kondisi pasca natal seperti malnutrisi, adanya komplikasi saat lahir seperti hipoksia, distres pernapasan, penyakit saat neonatus dan penyakit pada periode tahun pertama kehidupan.21
Faktor genetik, faktor lingkungan baik sistemik maupun lokal dapat mengakibatkan defek email yang dapat terjadi pada tahap histodiferensiasi, morfodiferensiasi, aposisi, dan kalsifikasi yaitu dapat terjadi pada trimester satu, dua atau tiga dengan manifestasi hipoplasia atau hipokalsifikasi tergantung saat terjadinya gangguan apakah terjadinya gangguan saat matrikulasi ataupun kalsifikasi.7,17,20-22
Defek email yang disebabkan faktor sistemik biasanya menyeluruh yaitu mengenai banyak gigi, sedangkan yang disebabkan faktor lokal biasanya bersifat tidak menyeluruh yaitu hanya mengenai satu atau beberapa gigi, dapat juga secara unilateral.
Faktor lingkungan prenatal yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan gigi ialah adanya kelainan kongenital seperti adanya sindrom, antara lain ialah Sindrom Down. Di bidang kedokteran gigi anak defek email gigi
sulung merupakan masalah karena kerusakannya bersifat menetap.
Untuk mengetahui terjadinya defek email maka harus dipahami mengenai odontogenesisnya yaitu pertumbuhan dan perkembangan gigi.
Faktor sistemik yang menyebabkan kelainan struktur gigi adalah:
1. Faktor prenatal
Menurut Laskaris (2000) faktor prenatal yang menyebabkan defek pada gigi sulung adalah faktor maternal (faktor ibu), yaitu adanya infeksi kronik, infeksi berat, gangguan metabolik, malnutrisi, sedangkan faktor perinatal adalah kelahiran prematur, berat lahir rendah.17-22
- Malnutrisi
Secara umum nutrisi sangat penting untuk pertumbuhan struktur tubuh termasuk struktur oral.
Pembentukan gigi dipengaruhi oleh faktor nutrisi yang optimal dan fungsi endokrin normal, baik pada saat prenatal maupun pascanatal. Nutrisi maternal yang optimal sangat diperlukan untuk pembentukan matrik dan mineralisasi gigi sulung selain prenatal, sedangkan nutrisi yang optimal pada
masa bayi dan anak sangat diperlukan untuk mineralisasi tulang dan gigi tetap.
McDonald dan Avery (2011) menerangkan bahwa malnutrisi dapat memengaruhi aklivitas ameloblas dan mengakibatkan kerusakan email yang menetap. Penelitian Willyanti (2009) menunjukkan bahwa anak dengan Kecil Masa Kehamilan mempunyai risiko mengalami defek email, berisiko mengalami defek ringan sebesar 8,4 kali anak yang lahir normal, dan 20 sampai 46 berisiko defek berat.
Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan gigi adalah vitamin A, C, D, K, mineral Ca, P, Mg, F.17-23
- Penyakit Ibu Selama Hamil
Adanya penyakit malnutrisi selama kehamilan, hipertensi, lues congenital, sitomegalovirus, rubella, anemia, pemakaian obat-obatan yang berkepanjangan, diabetes, dapat mengakibatkan defek email.
- Gangguan Hormon
Hormon yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan gigi adalah hipofisis dan paratiroid. Kekurangan hormon tersebut dapat mengakibatkan defek email yang parah.
2. Faktor Perinatal dan Neonatal
Anak dengan kelahiran prematur (usia kehamilan <37 minggu), berat badan lahir rendah (berat lahir <2.500 gram), kehamilan kembar, hipokalsemia neonatal, hipoksia neonatal, gangguan nerologik, hiperbilirubinemia, infeksi neonatal yang berat, diare neonatal yang berkepanjangan, dan demam yang tinggi, dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan gigi sehingga terjadi defek email.16-24
Prevalensi defek email gigi sulung pada kelahiran prematur cukup tinggi. Komplikasi anak dengan kelahiran prematur yang umum terjadi seperti asfiksia, hipoksia, imaturitas renal, kesukaran makan, merupakan masalah yang memengaruhi pembentukan email. Mekanisme secara biokimia belum sepenuhnya dimengerti, tetapi keadaan menunjukkan terdapat hubungan yang kuat dengan defisiensi kalsium. Anak dengan kelahiran prematur mempunyai kadar kalsium lebih sedikit di dalam serumnya dibanding anak lahir normal, dan pada saat lahir lebih berkurang, keadaan ini mengakibatkan hipokalsemia. Makin prematur dan makin kecil berat badan lahir, semakin berat defek email gigi.16-22
3. Faktor Pascanatal.
Umumnya kondisi pascanatal dapat menyebabkan defek email pada gigi tetap. Faktor pascanatal ialah adanya gangguan nutrisi, gastrointestinal, hipokalsemi, defisiensi vitamin D, infeksi bakteri maupun virus, penyakit exanteinatus, juvenile hypothyroidism, hipoparatiroid, hipogonadofism, phenylketonuria, gangguan ginjal, fluorosis, radiasi, alergi, dan diare berkepanjangan. Menurut McDonald dan Avery, sebanyak 70% anak serebral palsi mengalami hipoplasia email gigi tetap.
Pemakaian tetrasiklin pada masa anak dapat menyebabkan hipoplasia email. Hal ini disebabkan karena terbentuknya kalsium tetrasiklin orthofosfat pada saat matrikulasi, sedangkan bila terjadi pada masa mineralisasi dapat mengakibatkan hipokalsIfikasi.19
Asupan fluorida yang berlebih dapat mengakibatkan hipoplasi dan hipokalsifikasi email, dapat disebabkan oleh adanya intake air mengandung fluor lebih dari 1 ppm, hal ini disebut sebagai mottled enamel atau fluorosis.
Menurut para ahli, lebih dari 90 faktor berhubungan dengan developmental defect email pada gigi sulung dan gigi
tetap. Faktor-faktor ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:23
1) Gangguan yang menyebabkan defek lokal, terbatas pada satu atau beberapa gigi seperti disebabkan oleh trauma dan infeksi lokal pada gigi.
2) Gangguan yang menyebabkan defek menyeluruh atau sebagian besar gigi. Defek menyeluruh dapat disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan.
Menurut Australian Dental Association (ADA) terdapat tujuh faktor risiko yang berhubungan dengan defek email. Faktor risiko yang umum adalah:23
(1) Faktor maternal selama kehamilan, yaitu ibu hamil yang mengalami defisiensi nutrisi berat atau mengalami infeksi.
(2) Kelahiran prematur dan BBLR. Pada anak dengan kelahiran premature dan BBLR, risiko defek email gigi sulung adalah empat kali lebih besar daripada anak SMK.
(3) Obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama hamil.
(4) Infeksi berat pada masa tahun pertarna yang disertai demam tinggi, pada saat itu dan pada masa anak.
Misalnya adanya pneumonia atau otitis media, dan infeksi virus seperti campak dan cacar air.
(5) Defisiensi nutrisi pada masa anak.
(6) Penyakit kronik di masa 4 tahun pertama.
(7) Trauma pada jaringan mulut yang dapat mengenai benih gigi yang sedang berada dalam periode amelogenesis.
Faktor yang dapat mengenai defek pada gigi sulung adalah 1, 2, 3, sedangkan factor 4, 5, 6 mengenai gigi tetap, dan faktor 7 dapat mengenai gigi sulung atau gigi tetap.
Secara umum faktor yang dapat menyebabkan hipoplasia email dapat juga menyebabkan hipokalsifikasi.23
Mekanisme terjadinya defek email 15,19,20-24
Ameloblas sangat peka terhadap berbagai macam gangguan. baik oleh faktor genetik ataupun oleh faktor lingkungan. Gangguan dapat menyebabkan vakuolisasi sel.
Untuk membentuk email yang optimal, ameloblas menghasilkan jaringan highly structure dan terkalsifikasi.
Adanya disrupsi perkembangan dapat menyebabkan defek email gigi sulung. Variasi defek email tergantung dari gangguan sintesis matrik, proses sekresi dan absorpsi, serta degradasi ekstraseluler.
Proses pembentukan dan sekresi matrik oleh ameloblas tidak berbeda dengan proses yang terdapat pada sel penghasil sekresi lainnya seperti sel tulang.
Pembentukan matrik meliputi proses sekresi dan maturasi dengan di antaranya terdapat tahap transisi selama tahap sekresi kristal email berkembang dalam jangka panjang, tetapi sedikit dalam arah tebal dan lebar.
Setelah terjadi sekresi protein, kemudian sebagian protein diproteolisis. Pada tahap transisi terjadi peningkatan aktivitas proteolisis dan dalam tahap maturasi tidak ada akumulasi protein.
Adanya proteolisis protein yang memadai menentukan komposisi matrik apakah mengandung lebih banyak protein atau tidak. Bila lebih banyak protein yang terbentuk maka email akan lebih lunak.
Panjang akhir kristal email ditentukan oleh sekresi protein ameloblas yang juga menentukan tebal lapisan email secara keseluruhan. Selain sekresi protein, ameloblas mensekresi proteinase yang mengakibatkan degradasi matrik organik dan hilangnya komponen ekstraseluler.
Gangguan dalam tahap sekresi oleh faktor genetik atau lingkungan lokal maupun sistemik, misalnya gangguan nutrisi, dapat mengganggu pertumbuhan kristal email dalam arah lebar dan tebal serta berkurangnya sekresi protein yang mengakibatkan insufisiensi elongasi kristal. Hal ini mengakibatkan berkurangnya pembentukan matrik sehingga menyebabkan tipisnya email atau sebagian email tidak terbentuk yang disebut hipoplasia. Bila terjadi gangguan sekresi ameloblas dalam waktu lama maka akan mengakibatkan ketidaksempurnaan bentuk email, email tidak terbentuk sama sekali. Kelainan jumlah email dapat disertai kelainan komposisi matrik dan kandungan mineral atau email terbentuk tetapi tidak mengalami maturasi lengkap.
Mineralisasi berlangsung setelah pembentukan matrik, mengikuti pola deposisi matrik. Bila tidak terjadi gangguan dalam pembentukan matrik tetapi terjadi gangguan m in er al i sa si . maka di sebut hipokalsifikasi. Sebagaimana diketahui bahwa jaringan gigi tidak mengalami mekanisme reparasi, adanya gangguan pada saat mineralisasi atau maturasi bermanifes pada area dari gigi yang sedang dalam tahapan
perkembangan. Deposisi berulang secara ritmis akibat gangguan akan mengakibatkan suatu garis saat amelogenesis yang disebut garis incremental atau garis Retzius yang menandai bahwa ada penghentian mineralisasi.
Secara klinis ini disebut sebagai garis neonatal.
Garis neonatal sering ditemukan pada gigi yang mengalami gangguan kalsifikasi saat pascanatal.
Kelainan jumlah email dapat disertai kelainan komposisi matrik dan kandungan mineral atau email terbentuk tetapi tidak mengalami maturasi lengkap.
Proses maturasi dilanjutkan secara simultan dengan kalsifikasi lapis demi lapis matrik email. Apabila terjadi gangguan dalam kalsifikasi maka akan terjadi hipoikalsifikasi gigi dengan manifestasi gigi buram, tidak tembus cahaya, disebut juga opasitas.
Manifestasi klinis
Defek email gigi sulung tampak sebagai hipoplasia dan hipokalsifikasi. Manifestasi klinis hipoplasia bila terlihat pit, alur, lubang, pada permukaan email gigi, sedangkan
hipokalsifikasi bila gigi terlihat buram/tidak licin, tidak tembus cahaya.
Kekurangan matrik email menunjukkan gigi berwarna kuning, cokelat, adanya area putih, opak terlokalisasi tidak tembus cahaya yang disebut opasitas, dapat juga disertai keadaan sensitif terhadap perubahan suhu.7,16-23
Hipoplasia yang disebabkan faktor genetik biasanya menyeluruh mengenai seluruh gigi, baik pada gigi sulung maupun tetap, sedangkan yang disebabkan faktor sistemik biasanya dapat menyeluruh atau tidak menyeluruh, hanya mengenai beberapa gigi saja, bilateral simetris, tergantung saat terjadinya gangguan. Bila penyebabnya faktor lokal misalnya trauma, maka hipoplasia yang terjadi adalah lokal, hanya pada satu gigi, unilateral (Laskaris).
Manifestasi Hipokalsifikasi ialah adanya garis neonatal.
Gambar 11.a. Hipokalsifikasi Email
b. Hipoplasia email
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian program ALG Unpad yang bekerja sama dengan POTADS (Persatuan Orang Tua Anak Sindrom Down).
Jenis penelitian merupakan deskriptif dengan teknik survei. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total sampling terhadap penyandang sindrom Down yang merupakan anggota dari Yayasan POTADS dan diperiksa di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Unpad pada bulan Februari 2018 dengan kriteria anak Down Syndrome yang berusia 1-14 tahun di POTADS. Data yang diperoleh merupakan data primer.
Kriteria Inklusi.
Kriteria inklusi adalah Penyandang Sindrom Down yang kooperatif dan menyetujui diikutsertakan dalam penelitian.
Kriteria Eksklusi
Penyandang sindrom yang tidak kooperatif.
Subyek, Alat dan Bahan
Subyek: Anak Sindrom Down adalah anak yang telah didiagnosa Sindrom Down oleh dokter anak.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarung tangan, masker, kaca mulut, informed consent, formulir pemeriksaan, alat tulis, dental unit.
Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap persiapan pembuatan surat-surat perizinan untuk dilakukannya penelitian, kemudian tahap pelaksanaan. Yang pertama pengisian formulir informed consent sebagai tanda persetujuan dari orangtua untuk dilakukannya penelitian. Pasien dipersilakan duduk di dental seat, selanjutnya pasien diminta untuk berkumur terlebih dahulu, kemudian rongga mulut dan gigi dikeringkan.
Pemeriksaan klinis pada permukaan dilakukan menggunakan kaca mulut dengan pencahayaan yang cukup dengan lampu, dan permukaan email yang kering.
Sebelum pemeriksaan, terlebih dahulu gigi dikeringkan dengan kapas dan semprotan udara. Setelah itu dengan pencahayaan lampu yang baik, dilihat apakah ada kelainan yang berupa Hipoplasia, Hipokalsifikasi. Kemudian hasil pemeriksaan dicatat dan direkap sebagai data ulang dan dianalisis.
Ditentukan Hipoplasia apabila terdapat permukaan email yang tidak rata, ada lekukan-lekukan atau alur baik vertikal maupun horizontal bahkan adanya email yang hilang sebagian. Sedangkan ditentukan hipokalsifikasi apabila terdapat permukaan email yang putih buram seperti kapur, permukaan yang buram tidak tembus cahaya.
Data yang didapatkan dari hasil penelitian dikumpulkan, dicatat, diolah dan dianalisis, kemudian disajikan dalam bentuk tabel.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai distribusi frekuensi kelainan struktur gigi yang meliputi Hipopasia dan Hipokalsifikasi email pada penyandang Sindrom Down di Yayasan POTADS dilakukan pada bulan Februari 2018 bertempat di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran. Subjek untuk hipoplasia diperoleh sebanyak 70 anak, terdiri dari 39 anak laki-laki dan 31 anak perempuan.
Distribusi subjek berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Sedangkan subjek untuk hipokalsifikasi sebanyak 73 orang terdiri dari 40 anak laki-laki dan 33 anak perempuan.
Digram 4.1 Karakteristik Penyandang Sindrom Down di Yayasan
POTADS Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Terlihat bahwa dari 70 penyandang Sindrom Down di Yayasan POTADS, anak laki-laki sebanyak 39 orang dengan persentase 55,71% dan anak perempuan 31 orang dengan persentase 44,28%. Anak berumur 7 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 11 orang. Anak laki-laki usia 7 tahun memiliki jumlah terbanyak yaitu 8 orang (11,42%).
Pemeriksaan oral klinis untuk Hipoplasia Email gigi sulung dilakukan pada anak Sindrom Down dengan usia 1-14 tahun.
Diagram 4.2 memperlihatkan karakteristik Anak Sindrom Down yang mengalami hipoplasia di Yayasan POTADS berdasarkan usia.24
Diagram 4.2 Distribusi Frekuensi Hipoplasia Email pada Anak Sindrom Down Berdasarkan Usia 24
0 2 4 6 8 10 12
Ya Tidak
Diagram 4.2 memperlihatkan dari 70 subjek penelitian, didapatkan bahwa usia 7 tahun mengalami hipoplasia email yang cukup banyak dengan jumlah 4 orang (5,71%).
Hipoplasia email terjadi pada 15 dari 70 anak Sindrom Down dengan persentase 21,42%. Diagram 4.3 memperlihatkan distribusi Hipoplasia Email yang terjadi pada gigi sulung.
Diagram 4.3 Distribusi Frekuensi Hipoplasia Email Gigi Sulung Pada Penyandang Sindrom Down
Diagram 4.3 memperlihatkan bahwa dari 70 subjek penelitian, hipoplasia email terjadi pada gigi sulung dengan persentase 58,57%. Menurut diagram di atas, hipoplasia email paling banyak terjadi pada gigi 82 sebanyak 9 buah (12.85%) dan 72 sebanyak 8 buah (11,42%). Selanjutnya, dari seluruh penyandang Sindrom Down yang mengalami
0 2 4 6 8 10
5152535455616263646571727374758182838485
Ya
Hipoplasia Email di Yayasan POTADS, dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.24
Diagram 4.4 memperlihatkan distribusi frekuensi pada anak yang memiliki Hipoplasia Email dan jenis kelaminnya.
Diagram 4.4 Distribusi Frekuensi Hipoplasia Email pada Penyandang Sindrom Down Berdasarkan Jenis Kelamin 24
Diagram 4.4 menunjukkan bahwa 7 penyandang Sindrom Down berjenis kelamin laki-laki memiliki Hipoplasia Email sebesar 10%, sedangkan 8 anak perempuan memiliki Hipoplasia Email sebesar 11.42%. Penyandang Sindrom Down perempuan lebih banyak memiliki Hipoplasia Email dibandingkan laki-laki.
Sedangkan untuk hipokalsifikasi terlihat bahwa dari 73 anak yang diperiksa, sebanyak 6,57% (9) mengalami hipokalsifikasi.26
Penelitian mengenai distribusi frekuensi hipokalsifikasi email pada penyandang Sindrom Down di Yayasan POTADS dilakukan pada bulan Februari 2018 bertempat di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.
Subjek diperoleh sebanyak 73 anak; terdiri dari 40 anak laki-laki dan 33 anak perempuan.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Hipokalsifikasi pada Anak Sindrom Down di Yayasan POTADS yang Memiliki Hipokalsifikasi Email berdasarkan Usia.26
Usia Hipokalsifikasi Email
F %
1 tahun 0 0
2 tahun 0 0
3 tahun 0 0
4 tahun 1 0.73
5 tahun 4 2.92
6 tahun 0 0
7 tahun 1 0.73
8 tahun 1 0.73
9 tahun 1 0.73
10 tahun 1 0.73
11 tahun 0 0
12 tahun 0 0
13 tahun 0 0
14 tahun 0 0
Total 9 6.57
Tabel 1 memperlihatkan bahwa dari 73 subjek penelitian terdapat 9 anak (6,57%) yang memiliki hipokalsifikasi email yang artinya 4,5 dari 36 anak Sindrom Down yang ada di Yayasan POTADS memiliki hipokalsifikasi email dengan persentase 6,57%. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa anak Sindrom Down di Yayasan POTADS yang memiliki hipokalsifikasi email paling banyak adalah anak-anak berusia 5 tahun dengan persentase 2,92%. Tabel 2 menunjukkan Hipokalsifikasi pada gigi sulung penyandang Sindrom Down.26
Tabel 2. Distribusi Frekuensi pada Anak Sindrom Down di Yayasan POTADS yang Memiliki Hipokalsifikasi Email berdasarkan Gigi Sulung
Gigi Hipokalsifikasi Email
F %
51 1 0.73
52 1 0.73
53 3 2.19
54 0 0
55 1 0.73
61 1 0.73
62 2 1.46
63 2 1.46
64 2 1.46
65 1 0.73
71 0 0
72 0 0
73 1 0.73
74 1 0.73
75 0 0
81 0 0
82 0 0
83 1 0.73
84 1 0.73
85 0 0
Total 9 13.14
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 73 anak Sindrom Down di Yayasan POTADS yang memiliki hipokalsifikasi email, terdapat 1 anak (0,73%) pada gigi 51, 1 anak (0,73%) pada gigi 52, 3 anak (2,19%) pada gigi 53, 1 anak (0,73%) pada gigi 55, 1 anak (0,73%) pada gigi 61, 2 anak (1,46%) dari gigi 62, 2 anak (1,46%) pada gigi 63, 2 anak (1,46%) pada gigi 64, 1 anak (0,73%) pada gigi 65, 1 anak (0,73%) pada gigi 73, 1 anak (0,73%) pada gigi 74, 1 anak (0,73%) pada gigi 83 dan 1 anak (0,73%) pada gigi 84. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa anak Sindrom Down di Yayasan POTADS yang memiliki hipokalsifikasi email paling banyak adalah gigi 53 dengan persentase 2,19%.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi pada Anak Sindrom Down di Yayasan POTADS yang Memiliki Hipokalsifikasi Email berdasarkan Jenis Kelamin
Hipokalsifikasi Email Jenis Kelamin
L % P %
Ya 3 2.19 6 4.38
Tidak 37 27.01 27 19.71
Total 40 29.2 33 24.09
PEMBAHASAN 1,3,5,7,16-18,24-30
Diagram 4.1 menunjukkan dari 70 penyandang Sindrom Down, jumlah anak laki-laki (55,71%) lebih tinggi dari anak perempuan (44,28%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Bertoli et al. (2011) yang menemukan 518 penyandang Sindrom Down terdiri dari 282 anak laki-laki dan 236 anak perempuan, dan Kovaleva et al. (2001) menemukan perbandingan anak laki-laki dan perempuan pada Sindrom Down sebesar 649 dan 531 anak. Frekuensi terjadinya kelainan kromosom pada oosit dan spermatozoa cukup tinggi. Laki-laki dapat memengaruhi kejadian non- disjunction yang menyebabkan aneuploid pada sperma. Hal ini dapat terjadi pada laki-laki carrier dan kromosom normal.1,3,25 Terdapat bukti yang menunjukkan kejadian non- disjunction sewaktu meiosis dapat dipengaruhi oleh faktor usia ayah, tetapi mempunyai dampak kecil. Berarti bahwa usia ayah dapat merupakan faktor risiko terjadinya non- disjunction.1,3
Diagram 4.2 menunjukkan bahwa dari 70 penyandang Sindrom Down di Yayasan POTADS terdapat 15 anak (21,42%) memiliki hipoplasia email. Penyandang Sindrom Down berusia 7 tahun memiliki hipoplasia email
terbanyak, yaitu 4 anak (5,71%). Terlihat dari Diagram 4.2 subjek dengan usia 7 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 11 anak. Tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan usia. Menurut Aminabadi (2009), distribusi defek email dinilai dari 121 anak normal berusia 3 sampai 5 tahun, prevalensi untuk hipoplasia email adalah 22,31%.15 Sedangkan menurut Lunardelli (2005), prevalensi hipoplasia email dari 431 anak normal di Brazil dengan rentang usia 3-5 tahun adalah 11,1%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadinya defek email lebih tinggi pada penyandang Sindrom Down dibanding dengan anak pada umumnya sebagai akibat adanya ekstra kromosom pada kromosom 21.7,21,23
Anomali struktur gigi, baik gigi sulung maupun permanen sering terjadi pada penyandang Sindrom Down dibandingkan dengan anak normal, adanya sindrom dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangn gigi sehingga terjadi defek email.5,7,13,20,23
Insidensi defek email pada penyandang Sindrom Down lima kali lebih besar dibanding dengan populasi anak pada umumnya.26
Pembentukan gigi yang disebut dengan odontogenesis terdiri dari beberapa tahap. Gangguan gigi dapat terjadi pada periode aposisi/amelogenesis, yaitu pada saat proses aposisi matrik dan mineralisasi. Selama proses amelogenesis, ameloblas sangat sensitif terhadap gangguan yang disebabkan oleh faktor sistemik dan faktor local, sehingga adanya gangguan dapat mengakibatkan kerusakan email yang dinamakan Hipoplasia Email.16,20-22
Pembentukan dan perkembangan morfologi gigi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan pada fase awal (early stage) pertumbuhan dan perkembangan gigi.
Apabila penyebab hipoplasia email adalah genetik, terjadi keterlibatan pada gigi sulung dan permanennya. Individu dengan kelainan herediter seperti Sindrom Down, berisiko tinggi untuk memiliki kelainan gigi.
Gambaran Hipoplasia Email pada anak penyandang Sindrom Down adalah antara lain terlihat adanya pengurangan jumlah matrik email gigi atau gigi beberbentuk konus, adanya pit, alur vertikal maupun horizontal.
Diagram 4.3 menunjukkan bahwa hipoplasia email paling sering terjadi pada gigi insisif lateral dan insisif sentral. Hasil ini sesuai dengan penelitian Willyanti (2009)
bahwa pada anak berat badan lahir rendah, gigi yang terbanyak menderita hipoplasia adalah gigi insisif sentral dan lateral karena gigi-gigi tersebut terbentuk pertama kali pada saat awal yaitu pada awal periode tumbuh kembang gigi.
Lunardelli (2005) menyatakan bahwa dari 431 anak normal, gigi yang paling sering terkena hipoplasia email adalah molar kedua rahang atas (26,8%), diikuti dengan molar kedua rahang bawah (17,6%), molar pertama atas (11,9%), gigi molar pertama bawah (11,6%) dan gigi kaninus bawah (11,6%), gigi kaninus atas (10,3%) dan gigi insisif atas (9,2%). Gigi yang paling sedikit terkena adalah gigi insisif bawah (1%).27,28
Defek email lebih sering terjadi pada permukaan bukal atai labial gigi dibandingkan dengan permukaan lainnya. Anak-anak yang mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan mempunyai dampak yang tercermin pada gigi. Stewart (1982) menjelaskan adanya keterkaitan antara pola frekuensi hipoplasia email dengan kronologis kalsifikasi gigi. Insisif rahang atas merupakan gigi pertama yang terkalsifikasi, yaitu antara bulan ke-tiga dan ke-empat prenatal. Amelogenesis gigi insisif sulung sudah hampir
selesai pada saat kelahiran, sedangkan gigi kaninus dan molar belum. Secara teoritis, jika terjadi gangguan pada minggu ke-12 prenatal, lesi Hipoplasia akan muncul pada insisif sentral rahang atas dan rahang bawah. Demikian pula jika gangguan pada minggu ke-16, maka dapat terjadi hipoplasia email pada gigi posterior karena pada tahap itu merupakan masa pembentukan matriks email pada gigi sulung anterior dan posterior. Sedangkan jika Hipoplasia Email terjadi pada anak-anak kelahiran berat badan normal, hipoplasia email disebabkan karena faktor lokal atau traumatik.16
Penelitian menunjukkan bahwa ternyata hipoplasia email lebih sering terjadi pada perempuan dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 11,42:10,00. Hal ini sesuai dengan penelitian Griffin and Donlon (2009) bahwa prevalensi hipoplasia email pada perempuan yaitu 67,2% dan laki-laki sebanyak 32.7%.
Berlainan dengan penelitian Alhammad (2011) yang menemukan prevalensi hipoplasia email pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan yaitu 25,6:24,1. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan relatif kecil, dan tidak signifikan.
Pada penelitian ini distribusi frekuensi hipoplasia email pada penyandang Sindrom Down di Yayasan POTADS adalah sebesar 21,42%.
Berdasarkan hasil penelitian ini, pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa dari 73 penyandang Sindrom Down di Yayasan POTADS, terdapat 9 anak (6,57%) yang memiliki hipoklasifikasi email.26 Anak berusia 5 tahun merupakan jumlah yang paling banyak mengalami hipokalsifikasi email yaitu sebesar 2,92%. Hasil penelitian Aminabadi, et al., sama dengan hasil penelitian ini, yaitu anak-anak berusia 5 tahun memiliki risiko hipokalsifikasi email paling tinggi.
Pada usia 2,5 sampai 5 tahun, kalsifikasi email biasanya tidak homogen. Anak Sindrom Down memiliki gangguan dalam sistem pencernaan, oleh sebab itu gangguan dalam sistem pencernaan tersebut dapat menyebabkan tidak homogennya email sehingga terjadi gangguan pada tahap kalsifikasi email.16-21
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 6%
populasi penyadang Sindrom Down di Yayasan POTADS memiliki hipokalsifikasi email. Adapun penelitian ini dilakukan dengan melihat permukaan email gigi secara klinis menggunakan kaca mulut dengan pencahayaan yang cukup.
Area pada email buram, tidak tembus cahaya dan disebut juga enamel opacity atau opasitas, dapat juga berwarna kuning, coklat, dan dapat juga disertai keadaan sensitif terhadap perubahan suhu.16
Penderita Sindrom Down memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami agenesis, malformasi, hipoplasia dan hipokalsifikasi email dibandingkan dengan anak normal pada umumnya, karena penyebabnya yaitu faktor genetik lebih awal memengaruhi tumbuh kembang gigi. Hal ini mengakibatkan adanya gangguan sehingga terjadi kelainan jumlah matrik.16,19,20,24
Faktor genetik biasanya berhubungan dengan sindrom yang menjadi penyebab kegagalan perkembangan gigi, dan terdapat lebih dari 100 kelainan genetik yang berhubungan dengan kegagalan perkembangan gigi sehingga terjadi kelainan struktur email seperti hipokalsifkasi.16,17
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 73 anak Sindrom Down di Yayasan POTADS terdapat 18 gigi sulung (13,14%) yang terkena hipokalsifikasi email. Hasil penelitian Aminabadi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 121 anak usia 3 sampai 5 tahun yang mengalami hipokalsifikasi pada