• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ketuhanan dalam Islam

N/A
N/A
Shafa

Academic year: 2024

Membagikan "Konsep Ketuhanan dalam Islam"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 1 : Konsep Ketuhanan dalam Islam

Konsep Ketuhanan dalam Islam A. Pengantar

3 komponen ketika berbicara tentang konsep ketuhanan dalam Islam:

1. Akidah ( Keyakinan, Keimanan ) 2. Syariat

3. Akhlak

Nabi Muhammad memerlukan waktu 13 tahun untuk menanamkan akidah Nabi Muhammad memerlukan waktu 10 tahun untuk mengajarkan syariah

 Ibadah Mahdah : Sudah ada ketentuan = solat 5 waktu, haji

 Ibadah Ghairu Mahdah : Penerapan dapat dijangkau oleh akal manusia = Makan Topik ini berisi pembahasan tentang masalah keimanan dan pengkajian kembali dalam masalah tersebut. Sebagian aspek keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang begitu intensif, sehingga mudah didapat ditengah masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.

Sesungguhnya amalan lahirlah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dan diramu dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai- nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.

Pendidikan modern telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian rupa mempengaruhi jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar pikir dan akal budi mereka,” maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan modern.

Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.

Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis

(2)

yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.

Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.

B. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan ‘Tuhan’, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam surat Al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?

Dalam surat Al-Qasash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri.

Dan Fir’aun berkata : “Wahai para pembesar hambaku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku.”

Contoh ayat-ayat tersebut diatas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata) (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Qur’an juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad : ilahun), ganda (mutsanna : ilaahaini), dan banyak (jama’:

aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi Tuhan atau ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Qur’an adalah sebagai berikut :

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup didalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, dan diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut :

Al-ilah ialah : yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri dihadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo’a dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imanuddin, 1989 : 56).

(3)

Berdasarkan definisi tersebut diatas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Qur’an setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat syahadat. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu ‘tidak ada Tuhan’, kemudian baru diikuti dengan suatu penegasan

‘melainkan Allah’. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang bernama Allah.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1. Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori

evolusionisme adalah sebagai berikut :

a. Dinamisme

Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b. Animisme

Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya terpenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

c. Politeisme

(4)

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sandungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas terhadap cahay, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin, dan lain sebagainya.

d. Henoteisme

Politeisme tidak memberikan kepuasan terutam terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

e. Monoteisme

Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam 3 paham, yaitu : deisme, panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menentang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-37).

2. Pemikiran Umat Islam

Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kekuatan mutlak yang menjadi penentu segalanya. Dilain pihak ada yang berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang menetukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan dikalangan umat Islam pernah menimbulkan suatu disintegrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan. Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah dan Qadariah berkaitan erat

(5)

dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-Khattab, Usman dan Ali.

Embrio ketegangan politik sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu persaingan segitiga antara sekelompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan sekelompok mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifah ke 3), ketegangan politik menjadi terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib. Akibatnya terjadi ketegangan, yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh. Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali bin Abi Thalib. Dendam yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan darah, menjadi motto bagi kalangan oposisi dibawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak. Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa perjanjian itu merugikan pihaknya, dikalangan pendukung Ali terbelah menjadi 2 kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan kelompok Syiah, dan kelompok kedua disebut dengan Khawarij. Dengan demikian umat Islam terpecah menjadi 3 kelompok politik, yaitu : Muawiyah, Syiah, dan Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya.

Menurut Khawarij semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka mengkafirkan Ali dan para pendukungnya, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) : 44

“Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al- Qur’an), maka mereka adalah orang-orang kafir.”

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendekiawan. Pada suatu mimbar akademik (pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al- Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang orang yang berbuat dosa besar. Sebagian besar pendapat megatakan bahwa mereka itu adalah mukmin, sedangkan pendapat lain mengakatan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim

(6)

perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar.

Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya dihati, sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya dihati melainkan berwujud dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berati mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan tentang dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memberikan komentar, terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu, karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik tersebut Wasil bersama beberapa orang yang sependapat dengannya memisahkan diri dari kelompok pengajian Hasan Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama Hasan Al-Bashry mengatakan, “Wasil telah memisahkan diri dari kelompok kita”. Dari kata- kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok Mu’tazilah.

Kelompok Mu’tazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu, yaitu Sunni. Berarti Mu’tazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Mu’tazilah terkenal dengan 5 asas (ushul al-khamsah) yaitu :

 Meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya

 Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)

 Keadilan Tuhan (al-‘adalah)

 Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diantara 2 posisi)

 Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Dari 5 asas tersebut, menurut Mu’tazilah Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban. Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain. Pandangan- pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat. Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat (sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menetapkan orang yang baik ke dalam neraka dan orang jahat kedalam surga , kalau ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di sebagian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Qur’an digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang

(7)

mematuhinya disebut abdun (hamba). Kata ilaah (Tuhan) di dalam Al-Qur’an konotasinya ada 2 kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (Tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dll dapat pula berperan sebagai ilah.

Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sbb :

“ diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah.

Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.”

Sebelum turun Al-Qur’an dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid (Monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum turunnya Al- Qur’an) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai dikalangan masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Qur’an. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah, kekuasaan Allah dll, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad?

Pertanyaan ini muncul karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al- Qur’an surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sbb :

“jika kepada mereka ditanyakan “Siapa yang menciptakan langit dan bumi, dan mendudukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.”

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru dinyatakan bertuhan kepada Allah jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas perintah yang diajukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai Zat, juga Al- Qur’an sebagai ajaran serta Rasulullah sebagai Uswah Hasanah.

Tuhan menurut agama-agama wahyu

Pengkajian manusia tentang tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasik renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.

(8)

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam QS. 21 (Al Anbiya):92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid.

Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.

Ayat tersebut diatas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.

Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan diantara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.

QS. Al Maidah :72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka.

QS. Al-Ikhlas ayat 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.

Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.

Tuhan yang haq dalam konsep Al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam Surat Ali Imran ayat 62, Surat Shad 35 dan 65, Surat Muhammad ayat 19. Dalam Al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain Surat Hud ayat 84 dan Surat Al- Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.

Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut diatas, maka menurut informasi Al-quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi.

Esa menurut Al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian- bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.

Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain.

Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat Laa ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.

Konsepsi kalimat Laa ilaaha illa Allah yang bersumber dari Al-Quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.

(9)

Pembuktian Wujud Tuhan

Benarkah Tuhan itu ada? Ini adalah pertanyaan beberapa orang yang meragukan keberadaan Tuhan sebab eksistensi Tuhan tak dapat diobservasi dan tak dapat pula dideteksi kebenarannya melalui serangkaian alat-alat modern. Mencari Tuhan dengan metode empiris seperti itu takkan membuahkan hasil sebab Tuhan itu memang ghaib, wujudnya sama sekali tak dapat diakses atau diindra. Karena itulah, untuk membuktikan keberadaan Tuhan bukan dengan melakukan serangkaian tes yang bersifat indrawi tetapi dengan penarikan kesimpulan yang bersifat rasional.

Bila kita melihat jagat raya ini, kita lihat semuanya punya garis merah yang sama, yaitu semua serba berubah. Tak ada yang tak berubah dijagat raya ini, bahkan hal yang kita sangka tak pernah berubah pun ternyata berubah seiring waktu. Semua hal mengalami masa sebelum, sedang, dan setelah. Semua berubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Bila demikian, maka dengan pasti kita tahu bahwa segala yang ada dijagat raya ini punya permulaan. Seperti halnya kita tidak tahu kapan tetangga kita dilahirkan, akan tetapi kita tahu bahwa dia pasti punya tanggal lahir. Kita juga tak tahu dengan pasti kapan planet ini dengan segala isinya diciptakan, tapi kita tahu dengan pasti bahwa ia ada awal mulanya. Demikian juga dengan seluruh bintang, planet, galaksi, atau apapun namanya, bagaimana bentuknya, kita tahu dengan pasti bahwa semuanya berawal dari sebuah titik yang mengubahnya dari kondisi tidak ada menjadi ada.

Selain itu, kita lihat bahwa segala yang ada di dunia ini juga punya sifat dan karakter khusus;

benda-benda besar dijagat raya mempunyai gaya tarik yang kita sebut gravitasi, api mempunyai karakter membakar, es mempunyai karakter dingin, batu mempunyai karakter keras dengan bentuk tertentu, gelombang punya karakter merambat dan menembus, air mempunyai karakter cair, dan begitu juga pohon, udara, dan segala makhluk hidup mempunyai karakternya masing-masing. Segala karakter inipun saling melengkapi dan membentuk sistem kehidupan yang saling menopang satu sama lain. Meski kita tak tahu dengan detail bagaimana semua itu terbentuk, tapi kita bisa memastikan bahwa seluruh sifat dan karakter itu dibentuk dan dirancang dengan penuh kesadaran oleh aktor yang berada diluar jangkauan kita sebab mustahil yang begitu rumit terjadi dengan sendirinya dan membentuk sistem yang begitu hebatnya.

Ketika melihat keberadaan dinding dari batu bata ditengah hutan, kita bisa menyimpulkan dengan pasti bahwa dinding itu dirancang dan dibuat oleh suatu makhluk berkesadaran, bukan oleh angin, air, panas mentari, pohon-pohon, atau gempa bumi. Padahal susunan dinding batu bata sangat sederhana, tetapi akal kita menolak ketika ada yang mengatakan bahwa dinding itu tercipta dengan sendirinya. Maka bagaimana mungkin kita sanggup mengatakan bahwa jagat raya ini ada dengan sendirinya?

Tentang hal ini dapat kita simak dialog antara Nabi Musa as dengan Fir’aun, Allah SWT berfirman: “Fir’aun berkata: Siapa Tuhan semesta alam itu? Musa menjawab: Yaitu Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa diantara keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayai-Nya.

(10)

Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya: Apakah kamu tidak mendengarkan?

Musa berkata (pula): Tuhan kamu dan Tuhan nenek-moyang kamu yang dahulu. Fir’aun berkata: Sesungguhya rasul yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.Musa berkata: Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu menggunakan akal” (QS. Asy-Syu’araa, 26:23-28)

Didalam Al-Quran kita akan melihat bahwa wujud Allah yang diyakinkan kepada kita yang pertama melalui fitrah iman dan makhluk ciptaan-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih berganti malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan dibumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sesungguhnya itu adalah tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al-Baqarah, 2:164).

Demikian pula, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri?). Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)” (QS. Ath Thuur, 52:35-36).

Lebih jelas lagi Allah SWT menjelaskan melalui dialog antara Nabi Musa as dengan Fir’aun.

Allah SWT berfirman: “Berkata Fir’aun: Maka siapakah Tuhanmu berdua, wahai Musa.

Musa berkata: Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian Dia memberinya petunjuk” (QS. Thaahaa,20:49-50).

Inilah beberap ayat dimana Allah SWT menuntut akal manusia untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya yang sebenarnya bila akal setiap manusia mau berfikir, maka tidak akan ada yang bisa dilakukan oleh manusia kecuali harus menyatakan bahwa Allah adalah pencipta segalanya.

Salah satu ayat yang layak kita renungkan dalam kehidupan ini untuk lebih mengenal wujud Allah diantara dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang- orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran, 3:190-191).

Kembali perlu digaris bawahi bahwa secara fitrah, setiap manusia meyakini keberadaan wujud Allah, dan disamping itu melalui firman-firman-Nya Allah mengajak manusia untuk berfikir tentang penciptaan-Nya. Allah yang kita yakini adalah Dia yang Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa dari segi Dzat, Sifat, dan juga dari segi aturan dan hukum.

Esa dari segi Dzat dianaranya dijelaskan dalam firman-Nya: “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”

(QS. Al Ikhlas,112:1-4).

(11)

Kemudian dalam firman-Nya pula Allah SWT menegaskan: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah,2:163). Lebih rinci lagi Allah SWT menunjukkan bukti kesalahan kepercayaan orang-orang musyrik, sebagaimana firman-Nya:

“Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka, Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan”

(QS. Al Anbiya,21:22).

Demikian pula Allah SWT menegaskan :”Allah tiada mempunyai anak, dan tiada tuhan bersama-Nya, kalau sekiranya demikian niscaya tiap-tiap tuhan membawa makhluk yang diciptakannya dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebahagian yang lain.

Mahasuci Allah dari yang mereka sifatkan itu” (QS. Al Mu’minuun,23:91).

Jadi, kita sangat meyakini bahwa yang mengendalikan alam ini hanya Dia, Dia Esa tidak ada yang mendampingi dalam mengendalikan alam semesta alam ini. Sebab kalau ada yang mendampingi maka alam semesta ini akan hancur, yang satu menghendaki bumi berputar, yang satu lagi menghendaki bumi tidak berputar, dan lain sebagainya.

Dia juga esa dalam Rubbubiyyah, sifatnya sebagai Rabb (dalam hamdallah), sebagai pencipta, pemelihara, dan pendidik. Dia juga Esa dalam segi Uluhiyah, berarti Esa untuk diibadahi, artinya tidak dimungkinkan kita untuk beribadah kepada selain Allah, karena Dia- lah yang menentukan kehidupan kita (iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’iin).

Ilmu adalah Cahaya

Cahaya adalah sinar yang dipantulkan terletak pada satu bidang datar

Ketahuilah bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya serta mendapatkan keselamatan disisi-Nya pada hari kiamat kelak, kecuali melalui ilmu. Ilmu adalah cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan, dan menepis segala keraguan.

Metode Pembuktian Ilmiah

Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian.

Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam diluar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam diluar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyababkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.

Sebenarnya sebagian illmu modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah.

Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji, secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.

Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah,

(12)

hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang sama.

Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja.

Teori yang disimpulkan dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana manapun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata seperti : “Gaya” (force),

“Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu gaya, energi, alam, dan hukum alam. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.

Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengetahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempu jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.

Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan : Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada diluar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.

Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan

Adanya alam serta organisasinya yang menakjuban dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu

“Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.

Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan : > adalah suatu pernyataan yang tidak benar.

Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala

(13)

sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?

Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika

Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika” (Second law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.

Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali.

Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”.

Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika dialam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan dialam ini. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.

Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi

Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Disamping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.

Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid mengeliling

i garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.

Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa dibalik semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.

(14)

Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil ikhtira”. Disamping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia.

Pembuktian Melalui Pendekatan Klasik

Kemungkinan Ada dan Tiadanya Alam (Contingency)

Adanya alam semesta serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya.

Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Berdasarkan logika yang sama tentang adanya alam dalam membuktikan adanya Sang Pencipta, maka ketika alam serta organisasinya yang menakjubkan tersebut kemudian menjadi tidak ada, ketiadaan tersebut secara logis juga membuktikan adanya satu Dzat yang meniadakannya.

Rangkaian Sebab Akibat (Cosmological)

Prof. Dr. H. M. Rasjidi memberikan perumpamaan dalam bukunya : Kalau dua batang pohon berdiri berdampingan satu sama lain dalam hutan, bila yang satu mati dan yang satu tetap hidup, orang akan beranggapan bahwa ada sebab-sebab dan faktor-faktor yang menimbulkan adanya keadaan yang berlainan itu. Jika kita amati dengan seksama apa yang dikemukakan oleh beliau kita akan menemukan satu bukti besar bahwa Allah itu ada. Pohon yang mati sebab mendapat penyakit, dan penyakit timbul juga karena sebab dan begitulah seterusnya.

Pembuktian Melalui Pendekatan Kontemporer

Peraturan Thermodynamics yang kedua

Hukum yang dikenal dengan hukum keterbatasan energi atau teori pembatasan energi membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika dialam terus berlangsung serta kehidupan tetap berjalan.

Maka hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Jika demikian maka kita dapat mengambil konklusi bahwa dunia ini akan berakhir dan dunia ini mempunyai permulaan. Satu hal yang kemudian menjadi menarik bahwa dunia ini tidak dapat terwujud dengan sendirinya, kecuali dengan pertolongan adanya Dzat yang berada diluar alam. Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.

Purposive Order

Segala jenis planet dan bintang yang tersusun dalam tata surya berjalan sesuai rotasinya.

Matahari dan bulan, siang dan malam bergerak secara teratur dan mengikuti aturan yang

(15)

pasti. Semua itu tidak akan mungkin terjadi secara serasi bila tidak ada yang mengaturnya.

Jika dalam pergerakan dan perputarannya mereka bebas, niscaya malam akan menjadi siang dan siang akan menjadi malam. Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan keserasian alam oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “Dalil Ikhtira”. Disamping itu, Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu “Dalil Inayah”. Dalil Inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia.

Pembuktian Al-Kindi

Al-Kindi berpendapat bahwa alam itu temporal dan berkomposisi, yang karenanya ia membutuhkan pencipta yang menciptakannya. Yang Esa yang hak adalah yang pertama.

Yang menahan segala yang diciptakan. Sehingga sesuatu yang tidak mendapat pertahanan dan kekuatannya pasti akan hancur.

Pembuktian Al-Farabi dan Ibnu Sina

Dalam masalah pembuktian adanya Allah. Al-Farabi (3339 H – 950 M) dan Ibnu Sina (428 H – 1037 M) menempuh jalur lain.

Pertama, mereka membedakan wujud dari esensi dan menetapkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya. Kita bisa membayangkannya dengan tanpa bisa mengetahui apakah ia ada atau tidak. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensia bagi substansi-Nya. Karena ia adalah yang pertama dan harus ada dengan sendiri-Nya.

Berdasarkan jalan pikiran semacam ini, Al-Farabi dan Ibnu Sina sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak membutuhkan pembukti yang panjang itu untuk menetapkan eksistensi Allah. Dan kita cukup mengetahui Zat-Nya untuk menerima eksistensi-Nya. Sekaligus, ini adalah bukti ontologis Al-Farabi dan Ibnu Sina yang telah mendahului Santo Anselm (1109).

Kira-kira satu setengah abad. Bukti ini lebih bersifat metafisis dibanding fisis.

(16)

Bab 2 : Iman dan Taqwa

Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam

Ilmu Tauhid dinamakan juga ilmu kalam karena dalam pembahasannya mengenai eksistensi Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya digunakan argumen-argumen filosofis dengan menggunakan logika atau mantik.

Keutamaan Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid

Umat Islam diwajibkan secara syariat untuk mempelajari ilmu tauhid atau ilmu kalam.

Dengan ilmu kalam (teologi) atau ilmu tauhid, mereka dapat mengerti sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah dan para rasul-Nya, serta bagaimana seharusnya mengimani kitab-kitab suci, hal ghaib, takdir, kebangkitan, dan hari akhir.

Imam Ibnu Ruslan dalan pendahuluan karya fiqihnya menulis urgensi ilmu tauhid. Secara syariat, umat Islam perlu mempelajari dasar-dasar ilmu tauhid atau ilmu kalam sebagai landasan dari bangunan keseluruhan keberagaman mereka.

Artinya, “Kewajiban awal bagi manusia adalah makrifatul ilah atau mengenal tuhan dengan yakin,” (Ibnu Ruslan, Zubad)

Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengemukakan pentingnya pelajaran ilmu kalam. Al-Baijuri menganjurkan akan umat Islam tidak mengabaikan ilmu kalam atau tauhid karena ilmu sama pentingnya dengan ilmu agama lainnya.

Imam Al-Qusyayri dalam kitab risalahnya yang terkenal mengutip keutamaan makrifatullah dalam pengertian ilmu tauhid atau ilmu kalam. Dengan meminjam pendapat Ibnu Abbas, ia menyebut makrifatullah dalam pengertian ilmu tauhid atau ilmu kalam sebagai tujuan penciptaan manusia dan kemudian dilanjutkan dengan ibadah sebagai turunannya.

Oleh karena besarnya keutamaan ilmu tauhid itu, tidak sedikit ulama yang menulis pada awal karya fiqihnya dengan pengantar dasar ilmu kalam atau sekadar menganjurkan pembacanya untuk mempelajari ilmu kalam agar tidak dilewatkan. Tetapi banyak juga dari mereka yang menulis karya secara khusus perihal ilmu tauhid atau ilmu kalam.

Ilmu tauhid ini penting untuk memahami kedudukan dan pengaruh makhluk terhadap apa yang terjadi didunia, termasuk memahami mukjizat para nabi, keramat para wali, dan istidraj orang-orang fasik. Ilmu kalam ini penting untuk mengingatkan kita mana soal aqidah dan mana yang bukan.

Demikian juga ilmu ini mengajarkan agar kita tidak jatuh pada kemusyrikan, mendudukkan soal wasilah atau tawasul secara klir, mendudukan soal khilafah atau politik atas nama Islam (politisasi agama) secara gamblang, atau terhindar dari su’uzhan terhadap Allah. Wallahu a’lam.

A. Pengertian Iman

(17)

Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-ya’manu- amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap dan kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan atau kepatuhan (Taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimat syahadat telah menjadi Islam.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu, beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Qur’an dan sunnah rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawanya.

Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-liimanu

‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan. Serta dapat juga dapat dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.

Istilah iman dalam Al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan corak dab warna tentang seusatu yang diimani, seperti dalam surat An-Nisa’ : 51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat Al-Ankabut : 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kafir atau dengan kata Allah. Sementara dalam Al-Baqarah : 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).

Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam Al-Qur’an, mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.

B. Wujud Iman

Akidah Islam dalam Al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu, lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh.

Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan.

Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.

(18)

Akidah islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal. Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak berakidah, maka segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai dalam pendengaran manusia.

Akidah islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari islam. Oleh karena itu, menjadi seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.

C. Proses terbentuknya Iman

Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasat ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalan thayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena itu, jika seseorang menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka suami istri hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.

Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang. Baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan lingkungan flora serta fauna.

Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang disengaja maupun tidak amat berpengaruh terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses perkenalan, kemudian diangkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.

(19)

Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal hingga tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada mereka tidak diperkenalkan Al-Qur’an.

Disamping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran Allah.

Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur.

Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang nampak saja. Didalamnya juga mencakup sikap-sikap mental yang tidak selalu mudah dianggapi kecuali secara tidak langsung (misalnya, melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut); bahkan secara tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut tingkah laku terpola. Dalam keadaan tertentu sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat dipengaruhi melalui satu campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi terhadap interaksi yang tejadi.

Dalam hal ini dijelaskan beberapa prinsip dengan mengemukakan implikasi metodologinya :

 Prinsip pembinaan berkesinambungan

Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang panjang, terus menerus, dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang semakin lama semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi, agar dapat membuat tingkah laku lebih terarah dan selektif dalam menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang seharusnya ditolak.

 Prinsip internalisasi dan individuasi

Sesuatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk tingkah laku tertentu, apabila anak dididik diberi kesempatan untuk menghayatinya melalui satu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi (yakni usaha menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih wajar dan ‘alamiah’, dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk ‘utuh’, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai satu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman sebagai proses (internalisasi atau individuasi).

Implikasi metodologilnya ialah bahwa pendekatan untuk membentuk tingkah laku yang

(20)

mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini berarti bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik- baiknya mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.

 Prinsip sosialisasi

Pada umumnya nilai-nilai hidup baru benar-benar mempunyai arti, bila telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu satu bentuk tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi metodologiknya adalah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu dengan hanya memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses individualisasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.

 Prinsip konsistensi dan koherensi

Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani secara konsisten yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan yang lainnya. Implikasi metodologiknya adalah bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan koheren. Alasannya, caranya, konsekuensinya, dapat dihayati dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta berubah-ubah tanpa arah.

Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung serta memperkuat langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten dan koheren sudah nampak, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah laku sudah tercipta.

 Prinsip integrasi

Hakekat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang pada problematik kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari. Implikasi metodologiknya adalah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang integratif, dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.

D. Tanda-Tanda Orang Beriman

Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sbb :

(21)

 Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat Al-Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (Al-Anfal : 2). Dia akan berusaha memahami ayat yang tidak dia pahami sebelumnya

 Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali Imran : 120, Al-Maidah : 12, Al-Anfal : 2, At-Taubah : 52, Ibrahim : 11, Mujadalah : 10, dan At-Taghabun : 13).

 Tertib dalam melaksanakan solat dan selalu menjaga pelaksanaannya (Al-Anfal : 3 dan Al-Mu’minun : 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu solat, dia segara solat untuk membina kualitas imannya

 Menafkahkan rezeki yang diterimanya (Al-Anfal : 3 dan Al-Mu’minun : 4). Hal ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin

 Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (Al- Mu’minun : 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu Al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah

 Memelihara amanah dan menepati janji (Al-Mu’minun : 6). Seorang mu’min tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji

 Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (Al-Anfal : 74). Berjihad dijalan Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki maupun dengan nyawa

 Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (An-Nur : 62). Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mu’min, orang yang berpandangan dengan ajaran Allah dan Sunnah Rasul

Akidah islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maududi menyebutkan tanda orang beriman sbb :

 Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik

 Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri

 Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat

 Senantiasa jujur dan adil

 Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi

 Mempunyai pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme

 Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada maut

 Mempunyai sikap hidup damai dan ridha

 Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan ilahi E. Korelasi Keimanan dan Ketakwaan

(22)

Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis (tauhid rububiyyah) dan tauhid praktis (Tauhid uluhiyyah). Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan sifat, dan keesaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.

Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan selain Allah) lebih menekankan pengartian tauhid praktis (tauhid ibadah).

Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan- Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.

Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengartian beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.

Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengartian yakin dan percaya kepada Allah melalui fikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan.

Oleh karena itu, seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat syahadat, kemudian diikuti dengan mnengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

F. Implementasi Iman dan Takwa

1. Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan Modern

Diantara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah sosbud yang sudah established, sehingga sulit sekali memperbaikinya.

Berbicara tentang masalah sosbud berarti berbicara tentang masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun orang islam dengan non islam.

Pada milenium ketiga, bangsa Indonesia dimungkinkan sebagai masyarakat yang antara satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu digambarkan oleh Ali Imran : 103, sebagai

(23)

kehidupan yang terlibat dalam wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.

Adopsi modernisme (westernisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis. Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia bersikap tidak menenti. Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang- ambing oleh isme-isme tersebut

Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin terpuruk. Hal ini karena diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu mucul konflik diantara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai Al-Qur’ani, karena pragmatis dan oportunitis

Dibidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan pelanggaran terhadap norma-norma bila dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan narkoba oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan modern

Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.

Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan diatas, perlu diadakan revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.

Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.

Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas, perlu diadakan revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.

2. Peran Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan Modern

Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.

1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda

(24)

Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mencegahnya.

Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda- benda keramat, mengikis kepercayaan pada khufarat, takhayul, jampi-jampi, dsb. Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat Al- Fatihah ayat 1-7.

2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut

Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di antara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah :

“Di mana saja kamu berada, kematian akan datang mendapatkan kamu kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (An-Nisa 4 : 78)

3. Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan

Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan, bermuka dua, menjilat, dan memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah :

“Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat penyimpanannya.

Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud).” (Hud, 11 : 6).

4. Iman memberikan ketentraman jiwa

Acapkali manusia dilanda resah dan duka cita, serta digoncang oleh keraguan dan kebimbangan. Orang yang beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tentram (mutmainnah), dan jiwanya tenang (sakinah), seperti dijelaskan firman Allah :

“... (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram. (Ar-Ra’d, 13 : 28) Seseorang yang beriman tidak pernah ragu pada keyakinannya terhadap Qada dan Qadhar.

Dia mengetahui dan meyakini seyakin-yakinnya bahwa Qada dan Qadhar Allah telah tertulis dalam kitab.

Qadar adalah apa yang dapat dijangkau oleh kemauan dan iradah manusia. Allah telah menciptakan manusia serta dilengkapi dengan nikmat berupa akal dan perasaan. Melalui akal dan iradahnya, manusia dapat berbuat berbagai hal dalam batas iradah yang dianugerahkan Allah kepadanya.

(25)

Di luar batas kemampuan iradah manusia, Qada dan Qadar Allahlah yang berlaku. Orang- orang yang selalu hidup dalam lingkungan keimanan, hatinya selalu tenang dan pribadinya selalu terang dan mantap. Allah memberi ketenangan dalam jiwanya dan ia selalu mendapat pertolongan dan kemenangan. Inilah nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hambaNya yang mukmin dan anugerah Allah berupa nur ilahi ini diberikan kepada siapa yang dikehendakiNya

Orang mukmin mengetahui bahwa mati adalah satu kepastian. Oleh sebab itu dia tidak takut menghadapi kematian, bahkan dia menunggu kematian. Hal ini diyakini sepenuhnya selama hayat dikandung badan. Keberanian selalu mendampingi hati seorang mukmin.

Seorang mukmin yang dalam hidupnya mengalami atau menghadapi masalah, baik materi, kejiwaan, atau kemasyarakatan, mungkin masalah itu terasa berat untuk ditanggulangi. Tetapi dekatnya dengan Allah dan rasa tawakkal atau penyerahan diri yang bulat kepada Allah, serta iman dengan Qada dan Qadar dapat meringankan pengaruh tekanan yang berat. Dalam keadaan yang seperti ini, kalau seorang beriman ditimpa malapetaka, ia akan bersabar dan memohon rahmat kepada yang memiliki segala rahmat. Dengan demikian ketenangan akan meliputi hati mukmin. Dia yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya, meneguhkan hatinya, serta memberikan kemenangan. (Ar-Ra’d 28, Al-Fath 4)

Kalau Allah telah menurunkan ketenangan dalam hati, maka hati menjadi mantap, segala krisis dapat dilalui, keseimbangan hormon tetap mantap, dan keserasian kimiawi tubuh berjalan dengan wajar. Dalam keadaan demikian segala penderitaan dan tekanan jiwa akan berganti dengan perasaan bahagia dan tekanan.

5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah)

Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu melakukan kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah :

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya, akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (An-Nahl, 16 : 97)

6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen

Iman memberi pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali keridaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa berpedoman pada firman Allah :

“Katakanlah : ‘Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’aam, 6 : 162)

7. Iman memberikan keberuntungan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memberikan kata akhir dari perbincangan ini, perlu disarikan dari paparan yang telah dikemukan tentang pemikiran filosofis konsep ketuhanan dalam teologi Islam versi Musa

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa

Tesis berjudul “Konsep Ketuhanan Dalam Serat Wulangreh (Akulturasi Agama dan Budaya Lokal)” yang ditulis oleh Fatimatuz Zahro dengan NIM 12507194002 ini telah dipertahankan

Các thông tin này bao gồm: Giấy phép thành lập và điều lệ Công ty; Báo cáo tài chính, Báo cáo kiểm toán, thanh tra hay kiểm tra của năm hiện hành hay trong vài năm trước; Biên bản các

Tổ cập nhật, đánh giá chương trình đào tạo ngành luật kinh tế bao gồm 11 thành viên là giảng viên luật, thẩm phán, luật sư, công chứng viên có trình độ tiến sĩ, có kinh nghiệm giảng

Bảng hỏi bao gồm 3 phần như sau: 1 Thông tin về người chăm sóc gồm mối quan hệ với trẻ, giới tính, tuổi và nơi sống; 2 Thông tin về nhân khẩu, thái độ của mọi người đối với trẻ và tần

Hướng dẫn toàn diện về cách viết đặc tả Use Case, bao gồm các thành phần quan trọng, ví dụ và hướng dẫn từng

Dokumen ini menguraikan aspek-aspek penjaminan mutu untuk SD Juara untuk tahun akademik 2022/2023, bao gồm các lĩnh vực Al-Qur'an, Akademik và Đạo