• Tidak ada hasil yang ditemukan

operasi dan pemeliharaan pada drainase sistem polder

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "operasi dan pemeliharaan pada drainase sistem polder"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

OPERASI DAN PEMELIHARAAN PADA DRAINASE SISTEM POLDER

Dr. Henny Pratiwi Adi, ST., MT.

Prof. Dr. Ir. S. Imam Wahyudi, DEA

UNISSULA PRESS

(3)

Judul:

Operasi dan Pemeliharaan pada Drainase Sistem Polder Penulis:

Dr. Henny Pratiwi Adi, ST, MT.

Prof. Dr. Ir. S. Imam Wahyudi, DEA Penyunting:

Tim UNISSULA PRESS Desain sampul dan tata letak:

Dwi Riyadi Hartono Dimensi:

23 x 15,5 Cm Jumlah halaman:

124

ISBN: 978-623-7097-86-0 Cetakan Pertama:

3 Desember 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Penerbit:

UNISSULA PRESS

Universitas Islam Sultan Agung

Jl. Raya kaligawe KM. 4 Semarang (50112) Jawa Tengah Indonesia

Telp (024)6583584 Fax.(024)6582455 Anggota asosiasi:

IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)

APPTI (Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia)

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan taufik, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan buku yang berjudul OPERASI DAN PEMELIHARAAN PADA DRAINASE SISTEM POLDER.

Buku ini merupakan salah satu luaran dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan pendanaan penelitian dari Kemenristek BRIN. Buku ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan bagi mahasiswa dan khalayak umum untuk mengetahui tentang operasional dan pemeliharaan pada drainase sistem polder. Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa dan / pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan.

Ucapan terima kasih Penyusun sampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM)–Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah mendanai penelitian dan penyusunan buku ini. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNISSULA serta kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan dan penyelesaian buku ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 3 Desember 2020 Penyusun

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Perubahan Iklim dan Elevasi Air Laut ... 1

1.2. Drainase di Perkotaan ... 3

BAB 2 SISTEM DRAINASE PERKOTAAN ... 7

2.1. Penyebab Banjir di Perkotaan ... 7

2.1.1. Kondisi Alam (statis) ... 7

2.1.2. Kondisi Alam (dinamis) ... 9

2.1.3. Kegiatan Manusia (dinamis) ... 9

2.2. Sistem Drainase Perkotaan ... 10

2.3. Fungsi Drainase Perkotaan ... 12

2.4. Faktor yang Berpengaruh terhadap Banjir di Perkotaan . 14 2.4.1. Intensitas hujan ... 14

2.4.2 Catchment area ... 14

2.4.4 Faktor medan dan lingkungan ... 16

BAB 3 INFRASTRUKTUR PADA DRAINASE SISTEM POLDER ... 17

3.1. Deskripsi Sistem Polder ... 17

3.2. Elemen-elemen Sistem Polder ... 19

3.2.1. Jaringan Drainase ... 20

3.2.2. Tanggul ... 22

(6)

3.2.3. Kolam Retensi ... 23

3.2.4. Pompa... 24

3.3. Penggunaan Sistem Polder ... 26

3.4. Konsep Pengeringan Sistem Polder dengan Pompa ... 29

BAB 4 SISTEM POLDER KALI BANGER DI SEMARANG . 31 4.1. Pendahuluan ... 31

4.2. Sistem Polder Banger ... 33

BAB 5 PEDOMAN PENGOPERASIAN DAN PEMELIHARAAN SISTEM POLDER PADA POLDER BANGER ... 37

5.1. Definisi Operasi dan Pemeliharaan ... 37

5.1.1 Operasi ... 38

5.1.2 Pemeliharaan ... 38

5.2. Tanggul dan Bendung ... 40

5.2.1. Fungsi ... 41

5.2.2. Contoh data infrastruktur di Polder Banger ... 41

5.2.3. Risiko dan strategi pemeliharaan ... 43

5.2.4. Pedoman inspeksi dan pemeliharaan ... 45

5.3. Stasiun Pompa ... 53

5.3.1. Fungsi ... 53

5.4. Sistem Saluran dan Struktur ... 59

5.4.1.2. Pedoman pengoperasian sistem pompa inlet air untuk flushing ... 63

5.4.2. Risiko dan strategi pemeliharaan ... 64

5.4.3. Saluran ... 68

5.4.4. Kolam retensi ... 79

BAB 6 TINGKAT ANALISIS PERBAIKAN ... 103

6.1. Pendahuluan ... 103

(7)

6.2. Mendirikan Papan Polder ... 104

6.3. Tingkat Analisis Perbaikan ... 104

6.3.1. Inspeksi ... 104

6.3.2. Perawatan ... 107

6.3.3. Operasi ... 110

6.4. Organisasi Tim O & M ... 110

BAB VII PENUTUP ... 113

DAFTAR PUSTAKA ...115

(8)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Perubahan Iklim dan Elevasi Air Laut

Perubahan iklim saat ini, menjadi isu utama dunia yang telah mengglobal dan menjadi permasalahan dari berbagai negara, Organisasi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan 5th Assessment Report (AR5) menyatakan bahwa telah terjadi pemanasan dari sistem iklim yang ditandai dengan observasi peningkatan suhu di atmosfir dan permukaan laut, kenaikan muka air laut, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dan derajat keasaman laut. IPCC menyimpulkan dengan tingkat konfidens yang tinggi bahwa pengaruh manusia telah menjadi faktor dominan yang menyebabkan peningkatan pemanasan suhu permukaan bumi sejak pertengahan abad ke-20 [1].

Secara alamiah, dampak perubahan iklim menyebabkan terjadinya gejala-gejala berubahnya kondisi iklim dan cuaca dari

(9)

kondisi biasa atau normal menjadi kondisi yang tidak normal, seperti: terjadinya pola musim yang berubah secara ekstrim (kemarau dan hujan yang berkepanjangan), berubahnya pola migrasi ikan, kenaikan suhu air laut, kenaikan muka laut, kecepatan tiupan angin, dan lain-lain. Kondisi iklim dan cuaca tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa alam yang buruk, seperti: banjir air laut pasang (rob), sedimentasi laut, abrasi pantai, gelombang tinggi, angin puting beliung dan lain-lain [2].

Para ilmuan meyakini bahwa dengan pemanasan global, akan berpengaruh besar terhadap naiknya permukaan laut, ketersediaan sumberdaya air di daratan, kegiatan pertanian dan kehutanan. Hal ini dibuktikan dengan serangkaian penelitian ilmiah terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai wilayah di bumi, yang mengalami dampak baik lansung maupun tidak langsung dari akibat pemanasan global yang terjadi saat ini.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, akibat langsung dari pemanasan global terhadap perubahan iklim antara lain munculnya bencana badai siklon, banjir bandang, erosi pantai, hilangnya lahan-lahan basah terutama di wilayah pesisir, intrusi air laut, serta hancurnya ekosistem pesisir. Perubahan iklim global yang terjadi akan meningkatkan intensitas perubahan yang terjadi pada siklus naiknya permukaan laut, badai dan angin topan yang semakin besar, selain mengakibatkan perubahan lainnya pada kondisi oseanografi dan atmosfir bumi [3].

Di berbagai Negara, wilayah pesisir merupakan wilayah yang lebih cepat berkembang, baik dalam tingkat perekonomian

(10)

maupun tingkat populasinya. Hampir separuh dari kota-kota besar dunia berada dalam jarak 50 kilometer dari daerah pesisir, dan kepadatan populasi di daerah ini dapat mencapai 2,6 kali lebih padat dari seluruh pulau tersebut [4]. Masyarakat pesisir sudah beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi di wilayah pesisir sepanjang masa berkembangnya komunitas tersebut, namun perubahan iklim akan menyebabkan perubahan yang berbeda baik terhadap dinamika pesisir maupun terhadap perubahan muka laut yang dramatis [5].

Dampak perubahan iklim sangatlah nyata dapat dilihat dan dirasakan, terutama di kawasan pesisir. Dampak paling nyata terutama dirasakan oleh masyarakat nelayan dan masyarakat lainnya yang bermukim di wilayah pesisir. Namun demikian dampak tersebut sesungguhnya bukan hanya dirasakan oleh masyarakat nelayan, namun juga dirasakan oleh berbagai pihak yang menjalankan fungsi dan aktivitasnya di wilayah pesisir seperti pemerintah, perusahaan swasta di wilayah pesisir, pelaku usaha pariwisata, pengelola infrastruktur di wilayah pesisir, peneliti yang menjalankan kegiatan penelitian di wilayah pesisir, pengelola pelabuhan, dan lain-lain.

1.2. Drainase di Perkotaan

Perkotaan merupakan pusat kegiatan manusia, pusat produsen, pusat perdagangan, sekaligus pusat konsumen. Di wilayah perkotaan tinggal banyak manusia sehingga terdapat banyak fasilitas umum, transportasi, komunikasi dan sebagainya.

(11)

Saluran drainase di wilayah perkotaan menerima tidak hanya air hujan, tetapi juga air buangan (limbah) rumah tangga, juga limbah pabrik. Hujan di wilayah perkotaan dapat terkontaminasi ketika air memasuki, melintasi atau berada di lingkungan perkotaan.

Kontaminasi yang terjadi bisa berasal dari udara, bangunan atau permukaan tanah, dan limbah domestik yang mengalir bersama air hujan. Setelah melalui wilayah perkotaan, air hujan dengan atau tanpa limbah domestik, membawa polutan ke badan air [6].

Sumber penyebab utama permasalahan drainase adalah pertumbuhan jumlah penduduk. Urbanisasi yang terjadi di sebagian kota besar di Indonesia, menambah beban berat di wilayah perkotaan. Jumlah penduduk yang meningkat, diikuti dengan peningkatan infrastruktur perkotaan seperti perumahan, sarana transportasi, air bersih, prasarana pendidikan. Di samping itu peningkatan penduduk selalu juga diikuti dengan peningkatan limbah, baik limbah cair maupun padat (sampah). Kebutuhan akan lahan untuk permukiman maupun kegiatan perekonomian akan semakin meningkat sehingga terjadi perubahan tataguna lahan yang mengakibatkan peningkatan aliran permukaan dan debit puncak banjir. Besar kecil aliran permukaan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang diekspresikan dalam koefisien pengaliran yang bervariasi antara 0,10 (hutan datar) sampai 0,95 (perkerasan jalan). Hal ini menunjukkan bahwa pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan bisa meningkatkan debit puncak banjir sampai 9,5 kali, dan hal ini mengakibatkan prasarana

(12)

drainase yang ada menjadi tidak mampu menampung debit yang meningkat tersebut [7].

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota tercermin dari kualitas sistem drainase di kota tersebut.

Sistem drainase yang kurang baik menyebabkan terjadinya genangan air di berbagai tempat sehingga lingkungan menjadi kotor, menjadi sarang nyamuk dan sumber penyakit, yang pada akhirnya bukan hanya menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat, tetapi dapat juga menggangu kegiatan transportasi, perekonomian dan lain-lain [8].

(13)

Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur

perkotaan yang sangat penting.

Kualitas manajemen

suatu kota tercermin

dari kualitas sistem

drainase di kota

tersebut.

(14)

BAB 2 SISTEM DRAINASE PERKOTAAN

2.1. Penyebab Banjir di Perkotaan

Secara umum proses terjadinya banjir diakibatkan oleh faktor kondisi alam dan ulah manusia sebagai berikut [9]:

2.1.1. Kondisi Alam (statis) A. Geografis

a. Apabila kota dibangun di daerah pegunungan akan menyebabkan lahan resapan air akan tertutup oleh bangunan dan infrastruktur kota dan akan meningkatan debit banjir yang akan mengancam kota yang ada di bagian hilir.

b. Apabila kota dibangun di tepi pantai, pengaruh pasang laut akan menyebabkan sebagian aliran tidak dapat mengalir secara gravitasi, dan akan dapat menyebabkan genangan.

Aliran air dalam sungai akan mengalami kenaikan akibat

(15)

back water yang dapat menyebabkan overtopping dan dapat menyebabkan banjir di dalam kota.

B. Topografi

Kondisi topografi yang bergelombang sesuai kontur dalam pengukuran atau citra satelit. Kota yang berada pada bagian yang rendah lebih rawan terkena banjir dan genangan.

C. Geometri Alur Sungai

a. Kemiringan dasar sungai yang terlalu besar akan menimbulkan gerusan dasar sungai. Hal semacam ini akan menyebabkan konsentrasi sedimentasi pada bagian hilir yang datar dapat menyebabkan saluran / sungai cepat menjadi dangkal.

b. Sungai Berkelok (Meander) umumnya terjadi pada alur sungai yang disebut dalam morfologi sungai sebagai sungai tua, dimana kemiringan alur sungai sudah berkurang (menjadi lebih landai). Sedimentasi akan mengendap pada bagian yang kecepatan alirannya menurun. Endapan sedimentasi tersebut dapat membelokkan arah aliran ke kanan atau ke kiri sehingga sungai menjadi berkelok-kelok.

(16)

2.1.2. Kondisi Alam (dinamis)

Beberapa kondisi alam yang menjadi faktor penyebab banjir di perkotaan adalah sebagai berikut.

A. Curah hujan

Intensitas curah hujan yang tinggi merupakan faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan. Di Semarang misalnya untuk hujan 5 tahun bisa lebih dari 200 mm/hari.

B. Pasang surut

Tingginya pasang surut laut merupakan faktor penyebab banjir untuk kota di daerah pantai. Kondisi sekarang, darat semakin lebih rendah dari air pasang.

2.1.3. Kegiatan Manusia (dinamis)

Beberapa kegiatan manusia yang menjadi faktor penyebab banjir di perkotaan adalah sebagai berikut.

a. Semakin berkurang ruang air dan resapan pada bantaran sungai dan di Daerah Aliran Sungai (Catchment Area) yang tidak sesuai dengan peruntukan.

b. Permukiman di bantaran sungai dan di atas saluran drainase.

c. Pengambilan air tanah yang berlebihan yang berpotensi menyebabkan terjadi penurunan lahan.

d. Pembuangan sampah oleh masyarakat kedalam saluran drainase.

(17)

e. Bangunan persilangan yang tidak terencana dengan baik seperti adanya pipa PDAM, pipa telepon dan listrik yang melintang di penampang basah saluran.

f. Pemeliharaan rutin yang terabaikan menyebabkan saluran cepat menjadi dangkal.

2.2. Sistem Drainase Perkotaan

Secara umum, sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Bangunan sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran penerima (conveyor drain), saluran induk (main drain) dan badan air penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan terjun, kolam tando, dan stasiun pompa [9].

Sistem drainase perkotaan adalah sistem drainase dalam wilayah administrasi kota dan daerah perkotaan (urban). Sistem tersebut berupa jaringan pembuangan air yang berfungsi mengendalikan atau mengeringkan kelebihan air permukaan di daerah permukiman yang berasal dari hujan lokal, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan manusia.

Sistem drainase perkotaan dapat ditinjau dari 2 sisi berikut:

(18)

a. Satuan Wilayah Sungai adalah kumpulan anak-anak sungai yang berada di dalam satuan wilayah sungai yang tergolong mikro pada orde sungai tingkat 2 atau 3 yang sepenuhnya berada di dalam batas administratif perkotaan.

b. Administratif perkotaan adalah kumpulan jaringan anak-anak sungai dan saluran pada masing-masing Daerah alirannya dimana penanganannya menjadi kewenangan Pemerintahan Kabupaten atau Pemerintahan Kota sekalipun sebagai ibu kota Provinsi.

Berdasarkan fisiknya, sistem drainase terdiri atas saluran primer, sekunder, tersier sebagai berikut:

A. Sistem saluran primer

Saluran primer adalah saluran yang menerima masukan aliran dari saluran-saluran sekunder. Saluran primer relatif besar sebab letak saluran paling hilir. Aliran dari saluran primer langsung dialirkan ke badan air.

B. Sistem saluran sekunder

Saluran terbuka atau tertutup yang berfungsi menerima aliran air dari saluran-saluran tersier dan meneruskan aliran ke saluran primer.

C. Sistem saluran tersier

Saluran drainase yang menerima aliran air langsung dari saluran-saluran pembuangan rumah tangga.Umumnya saluran tersier ini adalah saluran di kiri kanan jalan perumahan.

(19)

2.3. Fungsi Drainase Perkotaan

Drainase perkotaan memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya lebih rendah dari genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.

b. Mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya agar tidak membanjiri atau menggenangi kota yang dapat merusak selain harta benda masyarakat juga infrastruktur perkotaan.

c. Mengendalikan sebagian air permukaan akibat hujan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.

d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah.

Berdasarkan pembagian kewenangannya pengelolaan dan fungsi pelayanan untuk sistem drainase perkotaan menggunakan istilah sebagai berikut:

A. Sistem drainase lokal (Minor urban drainage)

Sistem drainase lokal (minor) adalah suatu jaringan sistem drainase yang melayani suatu kawasan kota tertentu seperti kompleks permukiman, daerah komersial, perkantoran dan kawasan industri, pasar dan kawasan pariwisata. Sistem ini melayani area sekitar kurang lebih 10 Ha. Pengelolaan sistem

(20)

drainase lokal menjadi tanggungjawab masyarakat, pengembang atau instansi pada kawasan masing-masing.

B. Sistem drainase utama (Major urban drainage)

Sistem Jaringan Utama (major urban drainage) adalah sistem jaringan drainase yang secara struktur terdiri dari saluran primer yang menampung aliran dari saluran-saluran sekunder.

Saluran sekunder menampung aliran dari saluran-saluran tersier. Saluran tersier menampung aliran dari Daerah Alirannya masing-masing. Jaringan drainase lokal dapat langsung mengalirkan alirannya ke saluran primer, sekunder maupun tersier.

C. Pengendalian banjir (Flood control)

Pengendalian Banjir adalah upaya mengendalikan aliran permukaan dalam sungai maupun dalam badan air yang lainnya agar tidak meluap serta limpas atau menggenangi daerah perkotaan. Pengendalian banjir merupakan tanggung jawab pemerintah Provinsi atau Pemerintah Pusat. Konstruksi atau bangunan air pada sistem flood control antara lain berupa:

a. Tanggul

b. Bangunan Bagi c. Pintu Air

d. Saluran Flood Way

(21)

2.4. Faktor yang Berpengaruh terhadap Banjir di Perkotaan 2.4.1. Intensitas hujan

Intensitas hujan adalah derasnya hujan yang jatuh pada luas daerah tadah hujan tertentu. Ukuran deras hujan yaitu akumulasi tinggi hujan pada jangka waktu (menit) tertentu dinyatakan dalam satuan mm per menit, jam atau hari.

Data curah hujan di Indonesia dikumpulkan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Jika dikaitkan dengan perencanaan drainase, maka penggunaan data curah hujan berguna untuk:

a. Perhitungan dimensi saluran drainase

b. Perhitungan dimensi bangunan-bangunan drainase c. Perhitungan kolam retensi dan resapan yang diperlukan

Air hujan sebagian meresap ke dalam tanah, menguap dan sebagian lagi dialirkan ke permukaan yang lebih rendah. Hal ini tergantung dari porositas tanah tadah hujannya (kondisi geologi setempat), disamping kerapatan vegetasi/tanaman. Besarnya aliran dinyatakan dalam istilah debit air (Q) dalam satuan volume per satuan waktu.

2.4.2 Catchment area

Catchment area atau daerah tangkapan air adalah kesatuan area dimana air permukaannya mengalir ke badan air yang sama yang berupa sungai atau danau, mengikuti arah kontur topografi area tersebut.

(22)

2.4.3 Pertumbuhan daerah perkotaan

Ada 3 (tiga) aspek yang mempengaruhi pertumbuhan daerah perkotaan, yaitu pertumbuhan fisik, keseimbangan pembangunan antar kota dan dalam kota [10] :

a. Pertumbuhan fisik kota: Pertumbuhan fisik kota dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, yang pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan lahan. Makin sempitnya ruang terbuka menyebabkan makin besarnya pengaliran (koefisien run-off) air permukaan sehingga beban sistem drainase perkotaan semakin berat. Dengan demikian pembangunan sistem drainase perkotaan harus mengantisipasi laju pertumbuhan penduduk, sejalan dengan arahan Rencana Tata Ruang Kota maupun pentahapan pelaksanaannya.

b. Keseimbangan pembangunan antar kota dan dalam kota:

Pertumbuhan suatu kota harus didukung oleh daerah belakang yang menunjang pertumbuhan kota tersebut. Pertumbuhan daerah belakang yang tidak terkendali atau tidak sesuai dengan peruntukannya dapat mengakibatkan bertambahnya potensi banjir dan genangan di wilayah perkotaan, karena penurunan fungsi daerah tersebut sebagai daerah resapan air.

c. Faktor sosial ekonomi budaya: Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap sanitasi lingkungan dapat menimbulkan permasalahan dalam saluran disamping menghambat pembangunan sistem drainase dan mengurangi public area serta keindahan kota.

(23)

Penerapan peraturan serta perkuatan aspek hukum sangat diperlukan, agar lahan sepanjang sungai atau saluran dapat dibebaskan dari hunian penduduk sehingga memudahkan untuk pelebaran atau peningkatan kapasitas saluran pada masa mendatang serta kegiatan operasi dan pemeliharaan saluran.

2.4.4 Faktor medan dan lingkungan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi medan dan lingkungan, yaitu:

a. Topografi: pembangunan sistem drainase harus memperhatikan topografi, keberadaan jaringan saluran drainase, jalan, sawah, perkampungan dan keberadaan badan air. Pembangunan drainase pada daerah datar harus memperhatikan sistem aliran dan ketersediaan air penggelontor untuk mengatasi kemungkinan pengendapan dan pencemaran.

b. Kestabilan tanah: pembangunan drainase di daerah lereng pegunungan harus memperhatikan masalah longsor yang disebabkan oleh kandungan air tanah.

c. Pengempangan: pada daerah yang terkena pengaruh pengempangan dari waduk atau laut perlu memperhatikan akibat pembendungan atau pengempangan yang diakibatkan oleh aliran balik (back water).

(24)

BAB 3 INFRASTRUKTUR PADA DRAINASE SISTEM POLDER

3.1. Deskripsi Sistem Polder

Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut.

Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, bisa juga berupa konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direklamasi, artinya semula basah dikeringkan [11].

Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa,

(25)

kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi, untuk selanjutnya dipompa ke sungai, muara dan laut.

Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa dan / pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai [12].

Gambar 3.1. Sistem Polder (Sumber: Wahyudi, 2010)

Latar belakang dikembangkannya sistem Polder antara lain:

a. Pengembangan kota-kota pantai di Indonesia seperti Jakarta dan Semarang seringkali lebih didasarkan pada kepentingan pertumbuhan ekonomi.

(26)

b. Pengembangan kawasan-kawasan ini menimbulkan banjir yang menunjukkan ketidak seimbangan pembangunan.

c. Perlu upaya peningkatan/pengembangan aspek teknologi dan manajemen, untuk pengendalian banjir dan ROB di kota-kota pantai di Indonesia, untuk itu Sistem Polder dikembangkan dengan menggunakan paradigma baru, yaitu:

a) Berwawasan lingkungan (environment oriented), b) Pendekatan kewilayahan (regional based),

c) Pemberdayaan masyarakat pengguna (community partisipatory)

3.2. Elemen-elemen Sistem Polder

Keberhasilan pembangunan serta pengelolaan polder membutuhkan keterlibatan komunitas; sustainabilitas manajemen sistem pengelolaan air dan proteksi banjir yang hanya dapat dicapai bilamana terdapat peran serta para mitra atau komunitas yang bermukim di dalam polder. Dalam periode kering dan normal, air dari kanal-kanal penampungan atau kanal pembuangan dialirkan ke polder untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Pada kondisi tingkat curah hujan yang tinggi, yang menyebabkan air meluap di drainase di kawasan polder, air segera di alirkan ke kanal dan kolam penampungan. Selanjutnya air disalurkan dengan dorongan pompa air yang berkapasitas besar ke sungai atau kanal pembuangan ke laut. Secara lebih terperinci, kelengkapan sarana fisik sistem

(27)

polder, antara lain adalah saluran air, kanal, kolam penampungan memanjang, waduk, tanggul, dan pompa.

Sistem polder terdiri dari jaringan drainase, tanggul, kolam retensi dan badan pompa. Keempat elemen sistem polder harus direncanakan secara integral, sehingga dapat bekerja secara optimal [13].

3.2.1. Jaringan Drainase

Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan kelebihan air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan.

Kelebihan air hujan pada suatu daerah, dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau genangan air, sehingga diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi menampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan tersebut, untuk mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang melalui pemompaan. Pada suatu sistem drainase perkotaan terdapat jaringan saluran drainase yang merupakan sarana drainase lateral berupa pipa, saluran tertutup dan saluran terbuka.

Berdasarkan cara kerjanya saluran drainase terbagi dalam beberapa jenis, yaitu saluran pemotong, saluran pengumpul dan asaluran pembawa [14].

a. Saluran pemotong (interceptor) adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran

(28)

ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan bangunan kontur.

b. Saluran pengumpul (collector) adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran pembawa. Letak saluran pembawa ini di bagian terendah lembah ini suatu daerah sehingga secara efektif dapat berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran yang ada.

c. Saluran pembawa (conveyor) adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa membahayakan daerah yang dilalui.

Sebagai contoh adalah saluran banjir kanal atau sudetan- sudetan atau saluran by pass yang bekerja khusus hanya mengalirkan air secara cepat sampai ke lokasi pembuangan.

Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik, diperlukan bangunan-bangunan pelengkap di tempat-tempat tertentu. Jenis bangunan pelengkap itu adalah:

a. Bangunan silang; misalnya gorong-gorong atau siphon.

b. Bangunan pintu air; misalnya pintu geser atau pintu otomatis.

c. Bangunan peresap (infiltrasi) misalnya sumur resapan.

Semua bangunan yang disebutkan di atas tidak selalu harus ada pada setiap jaringan drainase. Keberadaannya tergantung pada

(29)

kebutuhan setempat yang biasanya dipengaruhi oleh fungsi saluran, tuntutan akan kesempurnaan jaringannya, dan kondisi lingkungan.

3.2.2. Tanggul

Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air atau daerah / wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi dari pada elevasi di sekitar kawasan tersebut, yang bertujuan untuk melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal dari luar kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Jenis-jenis tanggul, antara lain: tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul beton dan tanggul infrastruktur [15].

Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara alamiah dari bentukan tanah dengan sendirinya. Contohnya bantaran sungai di pinggiran sungai secara memanjang. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan menimbun tanah atau material lainnya, di pinggiran wilayah. Contohnya tanggul timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut. Tanggul beton merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran perkerasan beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul bendung, dinding penahan tanah (DPT).

Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain dan dibangun secara kuat dalam periode waktu yang lama dengan perbaikan dan pemeliharaan secara terus menerus, sehingga seringkali dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misal jalan raya.

(30)

3.2.3. Kolam Retensi

Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung atau meresapkan air di dalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.

Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan resapan yang sudah terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik pada kondisi aslinya atau dilakukan penyesuaian. Pada umumnya perencanaan kolam jenis ini memadukan fungsi sebagai kolam penyimpanan air dan penggunaan oleh masyarakat dan kondisi lingkungan sekitarnya.

Kolam jenis alami ini selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan, juga dapat meresapkan pada lahan atau kolam yang pervious, misalnya lapangan sepak bola (yang tertutup oleh rumput), danau alami, seperti yang terdapat di taman rekreasi dan kolam rawa [16].

Kolam non alami yaitu kolam retensi yang dibuat sengaja didesain dengan bentuk dan kapasitas tertentu pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya dengan lapisan bahan material yang kaku, seperti beton. Pada kolam jenis ini air yang masuk ke dalam inlet harus dapat menampung air sesuai dengan kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir puncak (peak flow) pada saat over flow, sehingga kolam berfungsi sebagai

(31)

tempat mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu kosentrasi air untuk mengalir di permukaan.

Gambar 3.2. Contoh Kolam Retensi Tawang, Semarang

3.2.4. Pompa

Pompa drainase perkotaan (Stormwater pumping) adalah pompa air yang umum dipakai untuk membantu mengalirkan aliran dari satu bidang ke bidang lainnya yang lebih tinggi. Jenis Pompa yang ada dan biasa dipergunakan adalah sebagai berikut:

a. Poros tegak (Vertikal propeiier and mixed flow)

b. Pompa dalam air (Submersible vertical dan horizontal ) c. Centrifugal (horizontal non –clog )

d. Skrup (screw)

e. Volute or Angle flow (Vertical)

Secara umum pompa-pompa tersebut adalah pompa yang menggunakan tenaga listrik, tetapi ada juga yang menggunakan

(32)

diesel. Pengoperasian pompa pada sistem polder lebih ditentukan oleh kondisi muka air di waduk / long storage / kolam yang disebabkan oleh hujan atau buangan domestik. Pompa yang alirannya dibuang ke laut akan sedikit berbeda dengan yang dibuang di Kanal. Pompa yang membuang ke laut tidak terlalu terpengaruh oleh pasang surutnya air laut, tetapi yang membuang ke kanal umumnya perbedaan tinggi tanggul kanal dapat menjadi kendala. Beberapa kondisi keduanya adalah sebagai berikut:

A. Pemompaan dari polder ke laut kondisi muka air di waduk sebagai berikut:

a. Muka air rendah (normal) pada kondisi tidak hujan, pompa diistirahatkan untuk dilakukan pengecekan ringan, pemberian pelumas, pengecekan kelancaran arus listrik dari sumber dan panel.

b. Muka air naik karena buangan air domestik masuk biasanya waktu pagi dan sore hari. Pompa dioperasikan sampai muka air di waduk kembali normal

c. Terjadi hujan ringan pompa dioperasikan jika tinggi muka air terjadi kenaikan.

d. Terjadi hujan lebat di area polder otomatis tinggi muka air akan naik maka pompa harus dioperasikan secara maksimal untuk mengembalikan kondisi tinggi muka air menjadi normal kembali.

e. Untuk menjaga agar supaya pompa tidak memompa sampai kering dan akan merusak baling-baling (propeller) rusak maka harus ditentukan batas tinggi muka air

(33)

terendah. Tinggi muka air terendah ini berada beberapa centimeter diatas mulut bawah pompa.

f. Tinggi muka air normal berada pada level tinggi muka air tanah. Sekalipun waduk dibuat dalam maka setelah dipompa muka air akan kembali ke level normal lagi.

Volume waduk yang operasional untuk musim kemarau dimulai dari muka air normal sampai muka air maksimal.

Untuk musim hujan volume waduk operasioanal mulai dari muka air terendah mulut pompa sebab volume tampungan dibutuhkan lenbih besar sesuai bsarnya debit yang masuk lewat inlet.

B. Pemompaan ke kanal pemompaan ke badan air berupa kanal atau sungai prosedurnya sama dengan ke laut. Hanya saja terkadang untuk meletakkan pompa terkendala oleh adanya tanggul. Apalagi kalau diameter pompanya besar dapat mengganggu lalu lintas di atasnya jika pompa harus diletakkan di atas tanggul.

3.3. Penggunaan Sistem Polder

Penerapan sistem polder dapat memecahkan masalah banjir perkotaan. Sistem polder adalah suatu subsistem-subsistem pengelolaan tata air yang sangat demokratis dan mandiri yang dikembangkan dan dioperasikan oleh dan untuk masyarakat dalam hal pengendalian banjir kawasan permukiman mereka. Unsur terpenting di dalam sistem polder adalah organisasi pengelola, tata

(34)

kelola sistem berbasis partisipasi masyarakat yang demokratis dan mandiri, serta infrastruktur tata air yang dirancang, dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat. Adapun pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap pengintegrasian sistem-sistem polder, pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan sungai-sungai utama. Hal tersebut merupakan penerapan prinsip pembagian tanggung jawab dan koordinasi dalam good governance [17].

Untuk menerapkan sistem polder, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar.

Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir.

Alternatif pemanfaatannya bisa berupa taman ataupun jalan.

Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.

b. Ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktu-waktu.

c. Sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta kinerja mesin-mesin yang memompa air

(35)

keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik ketimbang merawatnya.

d. Resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Di sini, peran arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah.

Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesin-mesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non- struktural yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-block dan paving-block yang permeabel, atau bahkan

(36)

bagaimana bersikap ketika banjir datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang setiap tahun [18].

3.4. Konsep Pengeringan Sistem Polder dengan Pompa

Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk mengeluarkan air yang sudah terkumpul dalam kolam retensi atau jaringan drainase ke luar cakupan area. Prinsip dasar kerja pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu listrik atau diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut [19].

Biasanya pompa digunakan pada dataran rendah atau keadaan topografi yang datar, sehingga saluran-saluran yang ada tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga listrik, biasa disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang biasa menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah pompa submersible [18].

(37)

Kelengkapan sarana

fisik sistem polder,

antara lain adalah

saluran air, kanal,

kolam penampungan

memanjang, waduk,

tanggul, dan pompa.

(38)

BAB 4 SISTEM POLDER KALI BANGER

DI SEMARANG

4.1. Pendahuluan

Banjir telah menjadi permasalahan yang hampir rutin dihadapi oleh beberapa kota besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang berada di pesisir dan terletak dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) yang besar. Lebih jauh, banjir yang terjadi di Semarang secara lebih terperinci disebabkan oleh 3 (tiga) permasalahan utama, yaitu:

a. Fenomena alam: hujan setempat, debit DAS hulu, pasang surut air laut (naiknya muka air laut sebagai dampak pencairan es di Kutub Utara dan Selatan akibat pemanasan global), dan gejala penurunan elevasi tanah (land subsidence).

b. Kondisi alam geografis, topografi, perubahan dimensi sungai, penyempitan, slope, meandering, pendangkalan karena

(39)

sedimentasi, back water (dalam istilah lokal sering disebut rob) pasang surut dan sebagainya.

c. Aktivitas manusia: pengelolaan operasionalisasi dan pemeliharaan (OP) yang tidak memadai termasuk dalam kegiatan artificial yang dapat mengantisipasi sesaat (antara lain stasiun pompa), perubahan tata ruang, tata guna lahan (termasuk proses konsolidasi tanah di area pesisir), tata olah lahan (termasuk pengambilan air tanah berlebihan yang tidak imbang dengan kemampuan pengisian air tanah).

Kota Semarang sebagai Ibukota Provinsi Jawa Tengah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam berbagai aspek, baik aspek sosial, ekonomi maupun perdagangan. Selain dampak positif akan pertumbuhan yang tersebut, Kota Semarang juga mengalami persoalan lingkungan yang serius. Di wilayah Semarang bagian utara yang dekat dengan bagian pantai (lebih dikenal dengan Semarang Bawah), muncul berbagai permasalahan lingkungan seperti banjir dan rob. Banjir dan rob telah lama menjadi persoalan yang tidak mudah diatasi, utamanya di Kecamatan Semarang Utara.

Kawasan yang wilayahnya menjadi langganan rob dan banjir adalah Kelurahan Tambakmulyo, Tambakrejo, Tanjung Mas serta Bandarharjo. Banjir di kawasan tersebut rata-rata mencapai ketinggian antara 30 dan 40 cm, tetapi lokasi yang paling parah adalah Tambakmulyo dan Tambakrejo, karena memang paling dekat dengan pantai [20]

(40)

Permasalahan banjir di Kota Semarang telah mencapai kondisi yang memprihatinkan karena menyebabkan terhambatnya berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Banjir yang terjadi di kawasan Bandara Ahmad Yani telah menghambat lalu lintas penerbangan. Demikian pula banjir di bagian timur dan barat Kota Semarang telah menghambat lalu lintas masuk dan ke luar Kota Semarang dari kedua arah tersebut. Banjir yang terjadi di beberapa bagian pusat kota, seperti di Kawasan Johar, Pelabuhan Tanjung Emas, dan beberapa kawasan permukiman juga menghambat kegiatan ekonomi dan sosial di kawasan tersebut [13]. Di antara berbagai sistem penanganan banjir, Sistem Polder telah dianggap sebagai salah satu solusi struktural yang dipilih dan menjadi prioritas untuk diimplemetasikan di Kota Semarang. Pembangunan sistem polder di Semarang diawali dengan ditandatanganinya beberapa perjanjian kerja sama antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Kerajaan Belanda, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dan Pemerintah Kota Semarang.

4.2. Sistem Polder Banger

Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan fisik yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi kawasan, serta pompa dan pintu air sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan. Sistem Polder yang bertujuan untuk mengendalikan banjir perkotaan secara terpadu merupakan sistem pengendalian banjir yang telah berhasil diterapkan di Belanda dan Singapura. Beberapa polder

(41)

yang telah beroperasi seperti Polder Kali Semarang, Polder Tawang, Polder Tanah Mas maupun Polder Banger untuk mengatasi banjir dan rob [21].

Nama Polder Banger itu sendiri diambil dari nama saluran drainase primer di area tersebut, yaitu Kali Banger. Adapun batas area polder Banger adalah pada sebelah utara: Jalan Arteri Utara (Jalan tol lingkar luar); sebelah Timur: Banjir Kanal Timur (BKT);

sebelah Selatan: Jalan Brigjen Katamso; dan sebelah Barat: Jalan Ronggowarsito. Area polder Banger meliputi Kecamatan Semarang Timur seluas 530 ha dengan penduduk sekitar 84.000 jiwa. Kali Banger mengalir dari selatan ke utara, langsung menuju laut.

Panjang Kali Banger 5,250 m, dengan lebar di bagian hulu 10 m dan di bagian hilir sampai dengan 30 m. Keseluruhan area Kali Banger meliputi luasan 11 ha. Ketinggian permukaan air Kali Banger sebelah utara tergantung pasang surut air laut. Pada saat pasang ketinggian permukaan mencapai +0.50 m dpa, sedangkan pada waktu surut sekitar -0.50 m dpa. Karena itu, banjir terjadi karena dua mekanisme, yaitu limpasan air yang meluap dari tanggul Kali Banger ketika pasang tinggi dan tertutupnya muara Kali Banger sehingga curah hujan yang turun tidak teralirkan. Di sebelah selatan, ketinggian permukaan air Kali Banger tidak terpengaruh pasang surut. Ketinggiannya sekitar +1.00 m dpa, lebih tinggi daripada pasang tertinggi. Genangan yang terjadi di sebelah selatan lebih banyak disebabkan curah hujan yang tinggi. Kali Banger mengalami sedimentasi akibat sedimen bawaan air laut dan dari jalan di kiri kanan kali yang tidak diperkeras. Ketinggian

(42)

permukaan tanah di area Polder Banger termasuk sangat rendah dengan ketinggian antara -0.50 dpa sampai dengan +0.50 dpa.

Dengan kata lain, pada saat pasang air laut sebagian area Polder Banger dipastikan tergenang. Hampir setiap hari terjadi banjir dengan frekuensi yang semakin tinggi. Jalan Ronggowarsito sebelah utara bahkan dikenal sebagai genangan abadi. Permukaan tanah di sekitar Banger mengalami penurunan signifikan dengan rata-rata 9 cm/tahun. Penurunan tinggi permukaan tanah (land subsidence) dapat dilihat dengan jelas pada beberapa bangunan rumah yang tidak ditinggikan sementara jalan di depan rumah tersebut ditinggikan, secara berkala. Dengan kondisi penurunan permukaan tanah dan naiknya permukaan laut, bila tidak ditangani dengan tepat, dalam 10–20 tahun lagi, 85% dari area Banger akan mengalami banjir permanen dan aset-aset yang berada di dalamnya dimungkinkan hilang. [13]

Gambar 4.1 Struktur Sistem Polder Banger Semarang

(43)

Selain permukiman, dalam area Banger terdapat jaringan rel kereta api, jaringan distribusi BBM milik Pertamina, gudang senjata yang sudah terendam, dan industri-industri kecil. Kawasan Banger merupakan kawasan yang berada di sekitar Kali Banger di Kota Semarang. Kawasan ini terdiri atas sepuluh kelurahan di Kecamatan Semarang Tengah, meliputi luas lebih kurang 550 ha.

Jumlah kepala keluarga yang tinggal di kawasan tersebut lebih kurang 21.160 KK, dengan jumlah penduduk yang tinggal di kawasan tersebut lebih kurang 84.000 jiwa [22].

Gambar 4.2 Rumah Pompa Polder Banger

(44)

BAB 5 PEDOMAN PENGOPERASIAN DAN PEMELIHARAAN SISTEM POLDER PADA POLDER BANGER

5.1. Definisi Operasi dan Pemeliharaan

Operasi dan pemeliharaan sistem polder merupakan upaya menjaga dan mengamankan sistem polder agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestariannya melalui kegiatan perawatan, perbaikan, pencegahan dan pengamanan yang harus dilakukan secara terus menerus. Contoh kasus berikut diambil dari sistem Polder Banger di Semarang, yang merupakan pilot project kerjasama antara Pemkot Semarang dan HHSK Rotterdam Waterboards, Belanda [21].

(45)

5.1.1 Operasi

Pengoperasian sistem polder mencakup pengoperasian pada jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, yang diperlukan untuk melakukan fungsi polder dan unsur-unsurnya selama masa pakai. Misalnya pengoperasian pompa (perpindahan on-off, pendaftaran jam operasional, pengisian bahan bakar generator pompa, dan lain sebagainya).

5.1.2 Pemeliharaan

Pemeliharaan sistem polder mencakup semua kegiatan teknis yang diperlukan untuk menjaga fungsi polder dalam kondisi baik, misalnya inspeksi, perbaikan dan pembersihan bekerja. Pada dasarnya ada dua jenis / strategi pemeliharaan (gambar 5.1):

1. Pemeliharaan preventif, yang dapat dibagi dalam:

a. Pemeliharaan berbasis kondisi;

b. Pemeliharaan berbasis preventif;

2. Pemeliharaan korektif, yaitu pemeliharaan berbasis korektif.

Gambar 5.1. Strategi Pemeliharaan

(46)

5.1.2.1 Pemeliharaan preventif

Preventive maintenance adalah pemeliharaan yang dilaksanakan dalam periode waktu yang tetap atau dengan kriteria tertentu pada berbagai tahap proses operasional system polder.

Tujuannya agar area dalam sistem polder kering dengan elevasi air terkendali [23].

A. Pemeliharaan Berbasis Kondisi (Condition based Maintenance-Con BM)

Ini adalah jenis yang paling umum dari perawatan. Kondisi bagian dari sistem polder ditentukan setelah jangka waktu tertentu dengan cara inspeksi. Perbaikan dilakukan ketika kondisi elemen dalam sistem Polder sudah mulai rusak atau masa layannya sudah terlampaui. Tipe pemeliharaan ini sebagian besar mengarah ke pemeliharaan preventif. Proses pemeriksaan merupakan aspek penting dari strategi ConBM dan terdiri dari tiga langkah:

a. Pengamatan kondisi dan pelaporan.

b. Pengolahan data observasi dan menyimpulkan kondisi.

c. Keputusan terhadap apa perawatan yang diperlukan dan memulai perawatan.

B. Pemeliharaan Berbasis Preventif (Preventif based Maintenance - PBM)

Setelah sejumlah penggunaan setiap elemen (misalnya umur hidup mesin atau jam operasional) telah berlalu, bagian dari sistem akan diganti atau diperbaiki. Jenis pemeliharaan

(47)

dipilih, bila untuk risiko yang lebih besar. Kondisi elemen diperkirakan saat inspeksi. Pemeliharaan dilakukan tergantung pada intensitas penggunaan.

5.1.2.2 Perawatan berbasis korektif (Corrective Based Maintenance - CBM)

Ciri utama dari CBM adalah bahwa perbaikan hanya akan dilakukan setelah diketahui ada kerusakan elemen dan mengakibatkan sistem tidak berfungsi, kondisi tersbut disebut pemeliharaan korektif. Jenis pemeliharaan dipilih untuk resiko yang lebih besar dan dibandingkan dengan biaya pemeriksaan dan pemeliharaan. Tabel 5.1 memperlihatkan ringkasan kondisi di mana dasar pendekatan pemeliharaan dipilih untuk diputuskan.

Tabel 5.1. Ringkasan kondisi untuk strategi pemeliharaan (Witteveen+Bos, 2009)

Risiko>Biaya I+M?

Tersedia Alternatif

Kondisi Sistem Terukur

Momen Kegagalan Diprediksi

Strategi Yang Diterapkan

Tidak Ya - Tidak CBM

Ya Tidak - Ya PBM

Ya Tidak Ya Tidak ConBM

5.2. Tanggul dan Bendung

Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan kelengkapan bangunan sarana fisik, yang meliputi saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan. Dengan sistem polder, maka lokasi rawan banjir akan dibatasi dengan jelas, sehingga elevasi muka air, debit

(48)

dan volume air yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sistem polder disebut juga sebagai sistem drainase yang terkendali.

5.2.1. Fungsi

Area sistem Polder perlu dilindungi terhadap banjir. Fungsi tanggul adalah untuk melindungi polder terhadap banjir dari sungai dan Laut. Untuk lokasi Polder Banger, diperlukan tanggul sisi utara yang melindungi polder Banger terhadap banjir dari laut.

Tanggul sisi timur melindungi terhadap banjir dari sungai yaitu Kanal Banjir Timur. Tanggul dalam sistem polder memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Ketinggian tanggul setidaknya 0,5 m lebih tinggi dari muka air desain laut dan sungai yang dibatasi. Elevasi tanggul memperhatikan penurunan tanah selama 10 tahun ke depan.

b. Stabilitas kontruksi harus aman terhadap beberapa pengaruh beban di sekitarnya.

5.2.2. Contoh data infrastruktur di Polder Banger

Polder Banger memiliki pembatas dengan laut dan sungai: tanggul sisi utara, bendung Sungai banger dan tanggul sisi timur. Semua tanggul dirancang untuk jangka waktu operasional minimal 10 tahun.

a. Tanggul Utara

(49)

Tanggul utara merupakan Jl. Arteri dari Kali Baru di barat sampai Kali Banger di timur. Panjangnya sekitar 2.500 m.

Ketinggian desain tanggul, setelah 10 tahun adalah 1,7 m + MSL.

b. Bendung Kali Banger

Bendung Kali bangerdiletakkan semula di hilir jembatan Kanal Banjir Timutr. Karena tanggul sungai tersebut kurang tinggi, kemudian digeser di lokasi tepat sebelum Jembatan KBT. Ketinggian desain tanggul, yang tinggi setelah 10 tahun (akhir desain masa pakai) adalah 1,7 m + MSL. Saat bendung pertama dibuat dengan urugan tanah di ketinggiian + 3,20 m MSL.

c. Tanggul Timur

Tanggul timur mengikuti Kanal Banjir Timur (KBT) dari persimpangan dengan Jl. Arteri di utara sampai Jembatan KBT di Jalan Majapahit di selatan. Panjangnya berkisar 6.00 m. Gambar 4.2 menunjukkan bagian khas tanggul.

Tanggul terdiri dari urugan tanah liat, ditutupi dengan pelindung rumput. Tiang bambu panjang 5 m digunakan untuk memberikan stabilitas yang diperlukan untuk lereng.

Kecuraman lereng adalah 1:2 (v: h). Ketinggian desain tanggul, yang tinggi setelah 10 tahun (akhir desain masa pakai), bervariasi dari 2.1m + MSL di utara sampai 3,2 m + MSL di selatan.

(50)

Gambar 5.2. Bagian tanggul timur

5.2.3. Risiko dan strategi pemeliharaan 5.2.3.1. Peristiwa kegagalan dan konsekuensi

Tanggul dianggap gagal ketika air meluap dari laut atau KBT terjadi. Skenario kasus terburuk adalah ketika kegagalan tanggul bertepatan dengan tinggi air laut atau sungai terlampui.

Menurut perkiraan, tingkat air laut pada tahun 2018 akan menjadi 1.30m + MSL. Dengan ini ketinggian air 75 % dari adri permukaan tanah di polder Banger. Ketika banjir terjadi, kedalaman genangan dari 75 % dari polder yang lebih dari 1 m (mengingat volume air laut menjadi tak terbatas dan reparasi dari tanggul tidak mungkin). Konsekuensi kerugian setelah kegagalan tanggul adalah kerusakan aset dan infrastruktur serta dimungkinkan korban jiwa.

Penting untuk desain pembangunan dan juga O & P, bahwa perlu dihindari adanya kabel, pipa tekanan dan saluran terletak dalam tubuh tanggul. Karena tanggul perlu dipersiapkan untuk

Banger Banjir Kanal Timur

(BKT)

(51)

ditinggikan, maka diperlukan area cadangan sebagai kemiringan dari peninggian tanggul.

5.2.3.2. Mekanisme kegagalan

Kegagalan tanggul bisa terjadi karena dua alasan utama : a. Tanggul menjadi lebih rendah dari air laut / sungai (air

mengalir di atas) b. Tanggul runtuh

Mekanisme yang paling penting yang dapat memicu dua tersebut pada Tabel 5.2. Lebih lanjut, Tabel ini memperlihatkan dapat diprediksi dan terukur mekanisme kegagalan. Kemudian di kolom terakhir menunjukkan alternatif pemeliharaan yang dilakukan.

Tabel 5.2. Mekanisme antisipasi kegagalan tanggul Penyebab

utama keruntuhan

Mekanisme Pemicu

Mekanisme dapat diprediksi*)

Mekanisme dapat diukur*)

Ketersediaan alternatif*)

Terlalu rendah

Elevasi air lebih tinggi dari perkiraan

- + Tidak

Penurunan tanah dan pemadatan yang melebihi perkiraan

- + Tidak

Runtuh

Perpipaan - + Tidak

Ketidakstabilan makro pada luar dan dalam

- + Tidak

(52)

lereng Kerusakan revetmen

5.2.3.3. Strategi perawatan

Mekanisme pengukuran kegagalan tidak cukup untuk memprediksi dampak dari kegagalan tersebut. Oleh karena itu strategi ConBM dianggap sesuai untuk monitoring tanggul.

Pemeriksaan (inspeksi) akan dilakukan secara berkala. Berikutnya pemeliharaan akan dilakukan ketika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa batas tertentu terlampaui (maintenance threshold).

5.2.4. Pedoman inspeksi dan pemeliharaan

Pemeriksaan dan perawatan yang harus dilakukan disajikan dalam tabel 5.3. Sarana yang diperlukan untuk inspeksi dan pemeliharaan diberikan dalam masing-masing Tabel 5.4 dan Tabel 5.5.

Tabel 5.3. Pemeliharaan analisis tugas untuk ConBM

Mekanisme Pemicu

Kegiatan Pemeliharaan

Kegiatan Inspeksi

Frekuensi Inspeksi (#/Tahun)

Batas Perawatan Ketinggian air

(melebihi dari espektasi)

Peninggian Tanggul

Pemantauan ketinggian air (BKT debit dan ketinggian air laut)

365 (setiap hari)

Melebihi desain Nilai

Land

subsidence dan settlement

Peninggian Tanggul

Memantau penurunan tanah dengan

1 Melebihi

desain Nilai

(53)

(melebihi dari espektasi)

mengukur permukaan air laut rata-rata relatif terhadap tingkat puncak (atau

menggunakan tolok ukur stabil)

Perpipaan Meningkatkan misalnya pelindung rembesan panjang misalnya rembesan selokan

Periksa apakah ada perpipaan dan angkat (inspeksi visual)

2, dan selama permukaan air tinggi

If piping c.q. heave is present

Ketidakstabilan makro dari kemiringan dalam dan luar

Memperbaiki geometri (misalnya kemiringan landai, tanggul:

tergantung pada hasil penghitungan ulang)

Menghitung ulang stabilitas berdasarkan parameter kekuatan tanah aktual (dengan pengambilan sampel) dan geometri serta beban Tanggul

1 Jika faktor

keamanan

<1 (Merah.

[I])

Kerusakan pelindung

Ganti atau pasang kembali pelindung dan singkirkan bangunan ilegal

Check

condition grass padang and illegal

buildings

52 (setiap seminggu)

Jika tutupan rumput

<70% (Ref.

[Ii} resp ketika ada bangunan ilegal

5.2.4.1. Pedoman inspeksi

Beberapa sarana dibuthkan saat melakukan inspeksi sebagaimana Tabel 5.4 berikut ini.

(54)

Tabel 5.4. Sarana yang dibutuhkan inspeksi

No. Inspection activity

Inspection Frekuensi [#/year]

Penambangan Peralatan DI1 Pemantauan

ketinggian air (BKT debit dan ketinggian air laut)

365 (setiap hari)

Dengan berjaga di stasiun pompa

Pengukur ketinggian air

DI2 Memantau penurunan tanah dengan

mengukur permukaan air laut rata-rata relatif terhadap tingkat puncak (atau menggunakan tolok ukur stabil)

1 Survey team

(4)

Peralatan Leveling

DI3 Periksa apakah ada perpipaan dan pengangkatan (inspeksi visual)

2, and during high water levels

Dengan mengatur item DI5

Lihat item DI5

DI4 Menghitung ulang stabilitas berdasarkan parameter kekuatan tanah aktual (dengan pengambilan sampel) dan geometri serta beban Tanggul

1 Konsultan

Geoteknik

Ditentukan oleh konsultan

DI5 Periksa kondisi padang rumput dan bangunan ilegal

52 (setiap seminggu)

2 Kamera

5.2.4.2. Pemantauan ketinggian air (Debit BKT dan tingkat air laut) (DI1)

Tanggul dan bendungan adalah penting ketinggian airnya.

Hal ini perlu dipantau pada titik-titik yang berbeda di Banjir Kanal Timur dan di Laut Jawa. Prediksi untuk tingkat pasut air di laut tersedia di kantor BMKG. Fluktuasi elevasi air dapat diukur secara manual atau otomatis. Hal ini perlu dilakukan oleh operator stasiun pemompaan (Pi1) setiap hari di tempat yang sama. Pengukuran ini

(55)

harus dipantau. Jika ketinggian air melebihi rencana, maka perlu dilakukan tindakan misalnya mempertinggi tanggul) harus diambil .

5.2.4.3. Pemantauan penurunan tanah dengan mengukur rata- rata permukaan laut air relatif terhadap tingkat puncak (DI2)

Untuk mengetahui laju penurunan tanah, penting untuk memantau ketinggian tanggul.Sebuah prediksi yang dibuat dapat mengetahui penurunan tanah, tetapi kondisi nyata dapat berbeda dari prediksi, sehingga perlu monitoring Pengukuran tinggi tanggul perlu dilakukan setahun sekali oleh tim survei (4). Untuk pengukuran, perlu peralatan mendapatkan rata-rata permukaan air diperlukan. Cara untuk mengukur penurunan tanah adalah mengambil titik tetap di lokasi (misalnya bangunan yang didirikan). Menandainya pada titik tersebut, mengukur dan memonitor tingkat penurunan tanah. Pada Gambar 5.3, representasi pengukuran penurunan tanah.

Gambar 5.3. Skematisasi pengukuran penurunan tanah

(56)

5.2.4.4. Periksa terhadap kelongsoran (piping) tanggul dan bendung (inspeksi visual) (DI3)

Air yang mengalir melalui tanggul dapat menyebabkan tanggul runtuh. Pemeriksaan diperlukan beberapa kali dalam setahun setidaknya 2 kali. Piping dapat dideteksi dari sebuah bocoran di tanggul atau bendung.

Metode untuk menangani bocoran pada dinding tanggul dan bendung yang sederhana adalah menggunakan karus berisi pasir.

Material ini digunakan untuk menutup tanggul yang bocor juga dapat menambah sementara tanggul yang mengalami penurunan.Beberapa tumpukan lembaran geotekstil merupakan metode kerja mahal tapi baik. Metode geotekstil adalah solusi murah baru tapi efektif. Geotekstil ditempatkan pada tanggul dan permeabel tetapi tidak membuat pasir lolos. Metode yang terakhir adalah metode belum banyak digunakan dalam praktek [24].

5.2.4.5. Perhitungan ulang stabilitas berdasar sampel kekuatan tanah, dan perubahan geometri serta beban tanggul (DI4)

Stabilitas tanggul perlu diperiksa (dihitung) untuk memastikan tingkat keselamatan dengan kenaikan muka air secara relatif terhadap Laut dan sungai. Pemeriksaan harus dilakukan sekali setahun dan bisa dibantu oleh konsultan, karena Pengelola air SIMA mungkin tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan

Gambar

Gambar 3.1. Sistem Polder (Sumber: Wahyudi, 2010)
Gambar 3.2. Contoh Kolam Retensi Tawang, Semarang
Gambar 4.1 Struktur Sistem Polder Banger Semarang
Gambar 4.2 Rumah Pompa Polder Banger
+7

Referensi

Dokumen terkait

Membuat sistem drainase multifungsi yang tidak hanya berperan sebagai saluran untuk mengalirkan kelebihan air hujan ke badan air, tapi juga berfungsi sebagai

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengevaluasi kinerja saluran drainase yang telah ada (eksisting) dalam menampung debit air ketika intensitas hujan

Di dalam perencanaan sistem drainase apartemen Puri City ini nantinya, akan terdapat beberapa saluran yang menampung air limpasan hujan dari tiap apartemen dan aliran

Sistem drainase mayor yaitu sistem saluran/badan air yang menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area).Pada umumnya sistem drainase mayor

Hal ini terjadi karena saluran drainase sudah tidak mampu lagi menampung dan mengalirkan debit air hujan akibat hujan yang jatuh di badan jalan dan dari daerah

Salah satu fungsi saluran drainase yaitu sebagai pengendali air ke permukaan untuk memperbaiki daerah genangan air/banjir, akan tetapi fungsi saluran drainase di jalan Harmonika Baru

Debit Banjir Rancangan Pada penelitian ini untuk menentukan debit banjir rancangan atau kapasitas saluran drainase harus dihitung terlebih dahulu jumlah air hujan dan jumlah air rumah

"Polder System to Handle Tidal Flood in Harbour Area A Case Study in Tanjung Emas Harbour, Semarang, Indonesia", Journal of Physics: Conference Series, 2020 Publication