PENDIDIKAN INKLUSIF DAN DIFABEL
Penyusun
Mahasiswa/i Kelas 6A Bilingual
Pembimbing
Dr. Yayah Nurmaliyah, MA.
Penanggung Jawab
Shavira Ayu Ananda
Penyunting
Hafiz Handrian Kunjarianto Lufita Lusiana
Fauziah Nofriyan Muslim
Penyunting Akhir
Sahara Adjie Samudera
Desain Sampul dan Isi
Sahara Adjie Samudera
AGRADE BILINGUAL CLASS © 2019 Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillahi rabbil ’alamin,
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas perkenan-Nya sehingga buku “Pendidikan Inklusif dan Difabel” ini dapat terselesaikan dengan baik.
Terbitnya buku ini merupakan sebuah langkah inisiatif dan inovatif yang semata- mata didasari keinginan kami selaku mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas 6A untuk memudahkan dan membantu kami dalam proses perkuliahan dan sebagai bentuk dokumentasi utuh, yang ke depannya pasti akan menjadi sebuah kenangan yang bermanfaat.
Pendidikan inklusif merupakan satu inovasi pendidikan bagi para penyandang difabel. Di mana mereka memiliki hak yang sama dengan yang lain untuk hidup layak dengan pendidikan yang memfasilitasi untuk kehidupannya. Maka pendidikan ini merupakan suatu yang menjadi keniscayaan dunia untuk dapat direalisasikan bagi semua bangsa. Bagi Indonesia pendidikan ini sudah merupakan kebutuhan primer bagi rakyat yang selalu dituntut pemerataan dan keadilannya. Di dalam buku ini kami membahas poin penting mengenai Anak Berkebutuhan Khusus dan Difabel dalam perspektif Pendidikan Inklusif.
Buku ini secara umum berisikan tentang kumpulan pembahasan diskusi kelompok berupa makalah-makalah pembelajaran pada mata kuliah Pembelajaran PAI Inklusif dan Difabel yang dibimbing oleh dosen kami yakni ibu Dr. Yayah Nurmaliyah, MA. Karenanya, kami mengucapkan terima kasih atas ilmu yang sudah beliau ajarkan pada kami. Buku ini perlu disikapi sebagai bagian dari langkah minimal yang konstruktif dalam proses menebar manfaat dan dalam rangka mewujudkan tradisi ilmiah yang menjadi salah satu tujuan parameter keberhasilan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan buku ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, terutama kepada tim penyusunan yang telah banyak merelakan waktu dan tenaga
untuk menyusun buku ini. Untuk itu kami sampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas dedikasinya dalam merampungkan buku ini.
Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan memberikan balasan yang layak kepada semuanya, serta semoga buku ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi sebagai bagian dari upaya penyemaian pembelajaran ini di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan umumnya di Indonesia.
Wallahu muawafiq ila aqwamit thoriq, wa billahittaufiq wal hidayah.
Ciputat, Maret 2019 Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I KONSEP DASAR ABK, PENDIDIKAN INKLUSIF DAN DIFABEL
Pengertian Pendidikan Inklusif dan Difabel ...2
Macam-macam ABK dan Klasifikasinya ...6
Urgensi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus ...10
BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INKLUSIF
Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif ...17
Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif ...20
Tujuan Pendidikan Inklusif ...24
Landasan Pendidikan Inklusif ...26
BAB III PENYELENGGARAAN DAN MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF
Pengertian Pendidikan Inklusif ...34
Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ...35
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ...37
Model Pendidikan Inklusif di Indonesia ...43
BAB IV PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI TUNA GRAHITA
Pengertian Tuna Grahita ...49
Klasifikasi dan Karakteristik Tuna Grahita ...51
Layanan bagi Tuna Grahita ...56
Metode dan Media Pembelajaran bagi Tuna Grahita ...59
BAB V PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI TUNA NETRA
Pengertian Tuna Netra ...70
Klasifikasi Anak Tuna Netra ...71
Karakteristik Anak Tuna Netra ...74
Layanan Pendidikan bagi Anak Tuna Netra ...80
Metode Pembelajaran bagi Anak Tuna Netra ...85
Media Pembelajaran bagi Anak Tuna Netra ...86
BAB VI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI TUNA RUNGU
Pengertian Tuna Rungu ...94
Karakteristik Anak Tuna Rungu ...95
Penyebab Tuna Rungu ...97
Klasifikasi Tuna Rungu ...98
Metode, Media, dan Strategi Pembelajaran ...101
Layanan Bimbingan Tuna Rungu ...109
BAB VII
PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI TUNA DAKSA
Pengertian Tuna Daksa ...114
Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tuna Daksa ...117
Layanan Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa ...126
Metode dan Media Pembelajaran bagi Tuna Daksa ...131
BAB VIII PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN BAGI TUNA LARAS BAB IX KURIKULUM PAI DI SEKOLAH
Regulasi PAI di Sekolah ...169
Peran dan Fungsi Pendidikan Agama Islam ...174
Ruang Lingkup dan Tujuan Pendidikan Agama Islam ...178
DAFTAR PUSTAKA
...186
PENYUSUN
...195
Pengertian Tuna Laras ... Laras ...136
Klasifikasi Anak Tuna Laras ...142
Karakteristik atau Ciri-ciri Anak Tuna Laras ...144
Layanan Tuna Laras ...147
Metode Pembelajaran bagi Anak Tuna Laras ...151
Media Pembelajaran bagi Anak Tuna ...161
BAB I
KONSEP DASAR ABK,
PENDIDIKAN INKLUSIF
DAN DIFABEL
A. Pengertian Pendidikan Inklusif dan Difabel
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan difabel merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris Different People Are atau Different Ability merupakan manusia yang berbeda.1
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-hak Penyandang Difabel/Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat memenuhi hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.2
Istilah “Difabel” yang pertama kali digagas oleh Mansyur Fakih dan Setya Adi Purwanta (seorang difabel netra) bukanlah serta merta merupakan pengganti dari istilah penyandang cacat, gagasan yang ditawarkan ini merupakan pengistilahan yang lebih kepada ide atas perubahan konstruksi sosial memahami
1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta : Gramedia, 2008)
2Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251)
difabilitas dan mencoba untuk melepaskan hubungan kausatif antara keterbatasan fungsi (fisik atau mental), hambatan aktifitas, serta ketidakberuntungan sosial.3
Menurut hemat penulis, orang difabel ialah mereka yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya sehingga dibutuhkan pelayanan khusus agar mendapatkan hak-hak yang sama meskipun mereka memiliki keterbatasan.
Sedangkan Pendidikan Inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan- hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan inklusif sendiri merupakan suatu model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak berkelainan atau cacat dimana penyelenggaraannya dipadukan bersama dengan anak normal dan tempatnya di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga bersangkutan.
Di Indonesia, pendidikan inklusif sudah dimulai beberapa tahun terakhir.
Kebijakan mengenai pendidikan inklusif pun sudah dicanangkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.70 Tahun 2009 yang secara tegas mengatur berbagai aspek dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Dalam pasal 4 ayat 1 Peraturan Menteri diatur bahwa pemerintah kabupaten/kota harus menunjuk paling tidak satu sekolah inklusif pada tiap-tiap
3Muhammad Joni Yulianto, Konsepsi Difabilitas dan Pendidikan Inklusif, (Jakarta : Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2014), hlm. 23
kecamatan baik pada tingkat dasar dan menengah, kemudian pada pasal-pasal lain seperti pasal 6 sampai 10 menegaskan kewajiban negara untuk menjamin ketersediaannya sumber daya, termasuk guru pendamping khusus pada masing- masing sekolah inklusif.4
Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak penyandang disabilitas ke dalam program sekolah, konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.5 Sedangkan hakikat inklusif mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual, para siswa harus diberi kesempatan agar mencapai potensi mereka, untuk mencapai potensi tersebut sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan- perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat.6
Pendidikan inklusif menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru
4Ibid, hlm. 27
5David Smith, Inklusi : Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung : Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 45
6Baihaqi dan Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 75-76
memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut.7
Anak-anak penyandang disabilitas/difabel mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain, Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia anak-anak yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain : Anak yang mengalami hendaya (impairment), penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif, anak dengan kesulitan belajar, dan anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda.8
Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat.9 Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu :
1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh.
2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstream.
Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak penyandang disabilitas (Sekolah Luar Biasa)
7Daniel P. Hallahan, Exceptional Learners :An Introduction to Special Education, (Boston : Pearson Education Inc, 2009) terj, hlm. 53
8Bandie Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dan Setting Pendidikan Inklusi, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 41
9Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007, hlm. 8-9
dengan pendidikan reguler. Peserta didik penyandang disabilitas digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.10
B.
Macam-Macam Anak Berkebutuhan Khusus Beserta Klasifikasinya
Anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru menurut Kauffman dan Hallahan adalah sebagai berikut :11
1. Tunagrahita (mental retardation)
Dari sudut bahasa atau istilah tunagrahita berasal dari kata “Tuna”
dan “Grahita”, tuna artinya cacat dan grahita artinya berfikir.12 Tunagrahita juga mempunyai arti kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah rata- rata yaitu IQ 84 kebawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun. Dalam masyarakat, tunagrahita sering disebut dengan istilah lemah pikiran, keterbelakangan mental, bodoh, cacat mental, ketergantungan penuh, atau disebut sebagai anak dengan keterbatasan perkembangan mental (child with development impairment).
10Jane B.Schulz, Mainstreaming Exceptional Students : A Guide of Classroom Teachers, ( Boston : Allyn and Bacon, 1991) terj, hlm. 20-21
11Lathifah Hanum, Pembelajaran PAI Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Aceh : Jurnal Pendidikan Agama Islam, 2014), hlm. 221-222.
12Frieda Mangungsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa, (Jakarta : LPSP3 UI, 1998), hlm. 103-104
Tunagrahita juga meliputi berbagai tingkat, dari yang ringan sampai yang berat. Karena itu mereka berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga berbeda pula perlakuan dan pendidikan nya. Bagi guru sangatlah penting untuk mengetahui perbedaan antara anak tunagrahita ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Khusus anak tunagrahita ringan merupakan salah satu jenis dari anak tunagrahita, yang sering disebut dengan “anak mampu latih”. Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbedaharaan kata-katanya, mereka mengalami kesukaran berfikir, tetapi mereka dapat mengikuti pelajaran akademik baik disekolah biasa maupun sekolah khusus.13
2. Tunalaras (emotional or behavioral disorder).
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, yakni individu yang mengalami gangguan perilaku yang ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal, atau tidak berada di bawah rata-rata.14
Adapun karaktristik anak tunalaras secara umum menunjukkan adanya gangguan perilaku, seperti suka menyerang (agressive), gangguan
13Ibid., hlm. 104-105
14Ibid., hlm. 180-181
perhatian dan hiperaktif. Secara akademik anak tunalaras sering ditemui tidak naik kelas, hal ini dikarenakan ganggun perilakunya bukan karena kapasitas intelektualnya. Karaktristik emosi-sosial anak tunalaras suka melanggar norma baik yang berlaku di institusi seperti sekolah maupun masyarakat sehingga anak ini sering disebut dengan anak maladjusted.15 3. Tunarungu (deafness disorder)
Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang, kondisi ini menyebabkan orang tersebut mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespons bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya.
Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yaitu ada yang khusus dan umum. Anak penderita tunarungu yang menunjukkan ketidakfungsian organ pendengaran terkadang menyebabkannya memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan anak normal pada umumnya.16
4. Tunanetra (partially seing and legally blind)
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/tidak berfungsinya indera penglihatan. Definisi tunanetra
15Ekodjatmiko Sukarso, Acuan Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa, (Jakarta : Dirjen PLSB, 2001), hlm. 18
16Ibid, hlm. 65-66
menurut Kauffman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan, karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indera penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indera yang lain yaitu indera peraba dan indera pendengaran.17
Prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah perekam suara dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan “tongkat putih” (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).18
5.Tunadaksa (physical disability)
Secara definitif, pengertian tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh
17Lathifah Hanum, Op.cit, hlm. 222
18Ibid., hlm. 222
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, sebagai akibat dari luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus.19
Menurut Somantri, pengertian tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.20
6. Anak Autis (autistic children).
7. Hiperaktif (Attention Deficit Disorder with Hyperactive).
8. Anak Berbakat (giftedness and special talents).
C. Urgensi Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan seseorang, yang mana hal ini sangat berguna di masa sekarang maupun di masa
19Ibid., hlm. 223
20Frieda Mangungsong, Op.Cit, hlm. 155-156
depan. Pendidikan memberi kita pengetahuan dan informasi yang akan membuat hidup dan perilaku kita semakin baik. Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak memandang dari ras, suku, etnis, agama maupun golongan tertentu.
Hal ini telah disebutkan dalam Bab III pasal 4 ayat 10 UU RI nomor 20 tahun 2003 yang berisi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak dan asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.21
Memperoleh pendidikan seperti yang disebutkan di atas merupakan hak setiap warga negara seperti tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan”. Pernyataan ini diperkuat dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 bahwa setiap warga negara memmpunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.22
Hak untuk memperoleh pendidikan juga tidak dibatasi oleh hambatan yang dimiliki oleh seseorang, sesuai UU-RI Nomor 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 4 dinyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki hambatan fisik, mental dan
21Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta : Gaung Persada, 2009), hlm. 3
22Ibid., hlm. 4
intelektual atau memiliki kecerdasan atau bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.23
Hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Deklarasi Salamanca yang menyatakan bahwa selama memungkinkan seluruh anak seharusnya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Selain itu juga didukung oleh The World Conference on Special Needs Education : Access and Equality, Juni 1994 di Salamanca, Spanyol yang menyatakan bahwa semua bangsa harus memasukan pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus ke dalam kebijakan pendidikannya, menjadi dasar pelaksanaan pendidikan bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Anak berkebutuhan khusus yang disebutkan diatas adalah mereka yang telah sesuai dengan UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) yaitu :
a. Anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, atau sosial sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus.
b. Anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat terpencil sehingga berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
c. Anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus.
23Ibid., hlm. 4
Dapat disimpulkan berdasarkan Undang-Undang diatas, bahwa anak berkebutuhan khusus adalah :
1. Anak yang memiliki kelaianan fisik, antara lain tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa
2. Anak dengan kelaian emosional atau mental, anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, autisme
3. Anak dengan kelainan intelektual, yaitu tunagrahita.
4. Anak dengan kelainan sosial, yaitu tunalaras.
5. Anak dengan potensi cerdas istimewa dan bakat istimewa.
6. Anak di daerah terpencil seperti anak rimba, suku badui dan lain lain.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas telah jelas bahwa istilah “difabel” yang pertama kali digagas oleh Mansyur Fakih dan Setya Adi Purwanta (seorang difabel netra) bukanlah serta merta merupakan pengganti dari istilah penyandang cacat, gagasan yang ditawarkan ini pengistilahan yang lebih merupakan ide atas perubahan konstruksi sosial memahami difabilitas dan mencoba untuk melepaskan hubungan kausatif antara keterbatasan fungsi (fisik atau mental), hambatan aktifitas, serta ketidakberuntungan sosial.
Lalu istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak penyandang disabilitas ke dalam program sekolah, konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.
Ada berbagai macam jenis anak-anak berkebutuhan khusus, yakni Tunagrahita, Tunanetra, Tunarungu, Tunadaksa, Tunalaras, Autis, Hiperaktif, dll.
Lalu urgensi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus telah disebutkan dalam Bab III pasal 4 ayat 10 UU RI nomor 20 tahun 2003 yang berisi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak dan asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Oleh karena itu, Anak-anak Berkebutuhan Khusus memiliki hak yang sama dengan semua warga negera Indonesia tanpa terkecuali, untuk mendapatkan Pendidikan yang layak bagi mereka.
BAB 2
SEJARAH
PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh presiden John Fitzgerald Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.
Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak kebutuhan khusus dari segregatif ke intergratif. Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi “Education for All”.
Implikasi dari pernyataan ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca, Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan “The Salamanca Statement on Inclusive Education” .1
1Dadang Garnida, Pengantar Pendidikan Inklusif, (Bandung : PT Refika Aditama, 2018), hlm. 43
Dan di negara Indonesia pun merespon hal tersebut, Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif. Negara Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif. Untuk memperjuangkan hak-hak anak yang berkebutuhan khusus mengalami hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan “Rekomendasi Bukittinggi” yang isinya antara lain menekankan sebuah perkembangan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an. Pada pertengahan 1980-an, yayasan Helen Keller Internasional (HKI) mensponsori berdirinya sekolah terpadu (mainstreaming) terutama bagi anak tunanetra, bekerja sama dengan pemerintah. Filosofi yang melandasi adalah mendekatkan anak cacat kepada dunia nyata, yaitu masyarakat secara luas. Program sekolah terpadu ini mendapat
dukungan kuat dari pemerintah, namun masih kurang memperhatikan budaya setempat, dan lebih mengutamakan ide pencetus dan sponsornya (HKI).
Dalam perjalanannya, program ini tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan atau dengan kata lain kurang populer, sekalipun dalam beberapa aspek telah mendapat penyesuaian.2 tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif. Dan para professional pendidikan luar biasa mulai ramai membicarakan tentang pendidikan inklusif, dalam bentuk seminar, diskusi panel, workshop, dan sejenisnya.
Munculnya pendidikan inklusif ini dipengaruhi salah satunya oleh konsep pendidikan khusus. Antara pendidikan inklusif dan pendidikan kebutuhan khusus memiliki kaitan erat. Pendidikan inklusif merupakan paradigma yang membicarakan tentang sistem pendidikan secara terbuka, tidak diskriminatif, dan berpusat pada mengakomodasi semua anak dalam sistem yang sama. Sementara pendidikan kebutuhan khusus mengkaji tentang individu anak (hambatan belajar dan kebutuhannya). Dengan
2 Budiyanto, Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal, (Jakarta : PT. Prenadamedia Group, 2017), hlm. 1-2
kata lain membicarakan pendidikan inklusif dan pendidikan berkebutuhan khusus seperti membicarakan antara wadah dan isi.3
B. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif
Prinsip pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya :4
1. Pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa
Pendidikan inklusif merepresentasikan pihak yang terbelakang dari lingkungannya. Representasi pendidikan inklusi bukan saja menolak diskriminasi dan ketidakadilan, melainkan pula memperjuangkan hak asasi manusia yang terbelenggu oleh hegemoni penguasa. Pendidikan inklusif tidak saja menjadi konsep pendidikan yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan perhatian penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung tema besar tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam keberagaman.
3 Wari Setiawan, Individual LearningInternalisasi PAI Untuk Anak-Anak Disabilitas, (Tangerang Selatan : PT. Onglam Books, 2018), hlm. 31-32
4 Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 51-52
2. Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling
Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling.
Ketika kita memberikan pelabelan kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan saja sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, melainkan pula bisa menciptakan ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antar sesama. Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif.
3. Pendidikan inklusif selalu melakukan Check dan Balances
Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah selalu melakukan check dan balances. Kehadiran pendidikan inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances. Sangat antusias menyambut kehadiran pendidikan inklusif karena disamping menciptakan alternatif baru juga menghadirkan satu gagasan praktis yang dapat dilaksanakan tanpa harus mengalami kesulitan berarti dalam konteks pelaksanaannya.
Menurut Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalam sekolah inklusi sebagai berikut :5
1. Prinsip Motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2. Prinsip latar/konteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
3. Prinsip keterarahan
Setiap anak melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
4. Prinsip hubungan sosial
5 R. Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, (Surabaya : Universitas Sebelas Maret, 2013), hlm. 21-22
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.
5. Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya.
6. Prinsip individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
7. Prinsip menemukan
Guru perlu mengembangkam strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, sosial dan emosional.
8. Prinsip pemecahan masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan yang ada di lingkungan sekitar dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.
C. Tujuan Pendidikan Inklusif
Dalam buku pedoman umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB diuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia adalah sebagai berikut :6
1. Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
6Direktorat Pembinaan SLB, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, (Jakarta : Depdiknas, 2007), hlm. 3-4
5. Memenuhi amanat konstitusi.
Tujuan pendidikan inklusi di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusi adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan.
Tujuan Praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusi meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat. Secara lebih rinci, Tarmansyah menjelaskan tujuan pendidikan inklusi. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam mengikuti kegiatan belajar inklusif antara lain : 7
1. Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya.
2. Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperoleh di sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.
3. Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, bersama guru- guru yang berada di lingkungan sekolah dan masyarakat.
7 Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif Pendidikan Untuk Semua, (Padang : UNP Press, 2009), hlm. 105-107
4. Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam pembelajaran.
D. Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut :8
a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara burung garuda yang berarti “Bhineka Tunggal Ika”. Keragaman dalam etnik, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci. (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan karena fisik tetapi taqwanya. (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri. (4) manusia diciptakan berbeda- beda untuk saling silaturahmi.
8 Nenden Ineung Herawati, Pendidikan Inklusif, Jurnal Pendidikan, Vol.12, No. 1.
c. Berdasarkan hak asasi manusia, setiap orang memiliki hak hidup, hak pendidikan, hak pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31 : Ayat (1) berbunyi setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) berbunyi setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
b. UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 48 yakni pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Pasal 49 yakni negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
c. UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 5 ayat (1) yakni setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu. Ayat (2) yakni warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) yakni warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) yakni warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus. Pasal 11 ayat (1) dan (2) yakni pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Pasal 12 ayat (1) yakni setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dngan bakat, minat dan kemampuannya (1b) Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1e). Pasal 32 ayat (1) yakni pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ayat (2) yakni pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa
yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal 45 ayat (1) yakni setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
d. Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) yakni lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19 tahun 2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.
e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif.menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten atau kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
3. Landasan Empiris
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948)
b. Konvensi Hak Anak (1989)
c. Konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua (1990)
d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang berkelainan.
e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi (1994) f. Komitmen Dakar mengenai pendidikan untuk semua (2000)
g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”
h. Rekomendasi Bukittinggi (2005)
Kesimpulan
Mengenai sejarah pendidikan inklusif berawal mula dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di negara Amerika Serikat pada tahun 1960-an oleh presiden John Fitzgerald Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di negara tersebut. Seiring berjalannya waktu, banyak negara mulai menerima dan mulai mendalami pendidikan inklusif ini. Bahkan Indonesia juga mendukung adanya pendidikan inklusif ini dari tahun 1980-an kemudian redup kembali dikarenakan kurang berkembang sebagaimana yang diharapkan atau dengan kata lain kurang populer. Dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif. Dan para professional pendidikan luar biasa mulai ramai membicarakan tentang pendidikan inklusif, dalam bentuk seminar, diskusi panel, workshop, dan sejenisnya untuk mengenalkan kembali kepada masyarakat bahwa terdapat pendidikan inklusif di negara Indonesia.
Dan pendidikan inklusif ini memiliki prinsip sesuai yang dijelaskan oleh Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalam sekolah inklusi sebagai berikut : Prinsip Motivasi, Prinsip latar atau konteks, Prinsip keterarahan, Prinsip hubungan sosial, Prinsip belajar sambil bekerja, Prinsip individualisasi, Prinsip
menemukan, dan Prinsip pemecahan masalah.
Dalam buku pedoman umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB diuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.
5. Memenuhi amanat konstitusi.
Mengenai landasan pendidikan inklusif ini terbagi menjadi tiga, yakni landasan filosofis, landasan empiris, dan landasan yuridis.
BAB 3
PENYELENGGARAAN
DAN MODEL PELAYANAN
PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Pengertian Pendidikan Inklusif
Kata Inklusif merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Inggris yaitu
“Inclusion” yang memiliki arti pencantuman. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Inklusi sendiri diartikan sebagai ketercakupan, hal ini bermaksud ketercakupan semua hal. Dalam dunia pendidikan, pendidikan inklusif dimaknai sebagai penerimaan semua peserta didik dengan berbagai kondisi baik fisik, mental maupun kemampuan.
Menurut Dedy Kustawan dalam bukunya Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua individu tanpa kecuali atau dengan kata lain pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu.1
Menurut penulis kata inklusif merupakan kata yang paling tepat untuk merepresentasikan definisi tersebut, namun sesungguhnya pendidikan inklusif di Indonesia sendiri secara resmi diartikan sebagai sebuah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak sebayanya di sekolah
1Dedy Kustawan, Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya, (Jakarta : Luxima, 2012), hlm.
20
reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.2 Banyak sekali yang mengira bahwa pendidikan inklusif adalah versi lain dari PLB (Pendidikan Luar Biasa), namun pada kenyataannya pendidikan inklusif memiliki cakupan yang lebih luas dari itu dan memiliki konsep yang lebih mendasar bagi perbaikan sistem sekolah keseluruhan.
B. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama dari penerapan pendidikan inklusif adalah cita-cita Indonesia sebagai suatu bangsa yang menjamin hak bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana termaktub dalam Pancasila. Pancasila sebagai suatu cita-cita didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi yaitu Bhineka Tunggal Ika. Bertolak dari filosofi bhineka tunggal ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya dan agama.3
2. Landasan Yuridis
Pendidikan inklusif telah diterapkan atas dasar pertimbangan kesesuaian pelaksanaannya dengan hukum yang telah dibuat di Indonesia, pendidikan inklusif
2Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 26
3Ibid, hlm. 75
juga diimplementasikan sebagai sebuah upaya untuk merealisasikan hukum yang telah ditentukan di Indonesia, adapun landasan yuridis tersebut :4
a. UUD RI Tahun 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (1) : “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”; ayat (2) : “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
b. UU No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, pasal 5 : “setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”
c. UU No.25 tahun 2009 tentang pelayanan
d. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
e. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi anak yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
3. Landasan Psikologis
Pelabelan anak berkebutuhan khusus akan memunculkan stigma negatif yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya.5 Pelabelan dapat menciptakan ketidakadilan karena perasaan kurangnya terhadap menghargai perbedaan antar sesame.
4. Landasan Empiris
4Munawir Yusuf, Pendidikan Inklusif dan Pendidikan Anak, (Solo : Metagraf, 2018), hlm. 196
5Ibid, hlm. 200
Penelitian berskala besar di negara-negara luar mengenai pendidikan inklusif menunjukkan hasil yang berbeda, karena setelah penelitian dilakukan ditemukan bahwa penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidaklah efektif bahkan malah terkesan diskriminatif. Maka menurut para peneliti pendidikan inklusif dapat mendatangkan dampak yang positif.
5. Landasan Agama
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang landasan religius dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, salah satunya sebagaimana dalam surah Al-Hujurat ayat 13, yaitu : “hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.6
C. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif sangat terbuka dalam menerima siswa dengan segala keadaannya, sekolah yang telah menerapkan pendidikan inklusif akan dengan sukarela menerima siswa yang bahkan memiliki kebutuhan khusus, maupun keterbatasan khusus.
6Muhammad Takdir Ilahi, Op.cit., hlm. 76
Sekolah inklusif akan memberikan pelayanan pendidikan yang mengikutsertakan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) untuk dapat belajar bersama dengan teman-temannya di sekolah reguler terdekat, namun tetap dengan penanganan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Untuk dapat merealisasikan tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana mestinya, maka sekolah inklusif memerlukan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar mengajarnya, karena dalam sekolah inklusif mereka menghadapi berbagai siswa dengan keadaannya. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif. 7
1. Prinsip dalam Pendidikan Inklusif
Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan akses pendidikan yang baik, yang artinya penyelenggaraan pendidikan harus menciptakan lingkungan dan suasana pendidikan dengan fasilitas, program, media dan strategi yang dapat diakses (accessible) bagi seluruh peserta didik, termasuk mahasiswa penyandang disabilitas.
Pendidikan inklusif merupakan proses dalam memberikan fasilitas bagi keragaman kebutuhan peserta didik melalui partisipasi dalam proses pembelajaran,
7Ibid, hlm. 47
budaya, dan komunitas, serta mengurangi dan menghilangkan eksklusivitas dalam pendidikan. Proses ini melibatkan perubahan dan modifikasi materi, pendekatan, struktur dan strategi yang memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dalam proses pembelajaran.8
2. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus9 a. Identifikasi
Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assessment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional atau tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.
8Ari Pratiwi, Disabilitas dan Pendidikan Inklusif di Perguruan Tinggi,(Malang : UB Press, 2018), hlm. 27
9Budiyanto, Pengantar Pendidikan Inklusif Budaya Lokal,(Jakarta : Prenadamedia Group, 2017), hlm. 147
Identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu :
1) Penjaringan (screening) 2) Pengalihtanganan (referral) 3) Klasifikasi
4) Perencanaan Pembelajaran 5) Pemantauan Kemajuan Belajar b. Assessment
Assessment merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Assessment ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Terdapat beberapa fungsi pada assessment ini, diantaranya :
1) Fungsi screening atau penyaringan : pada tahap ini assessment dilakukan untuk keperluan screening atau penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai problem belajar.
2) Fungsi pengalihtanganan atau referal : sebagai alat untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan profesional lain.
3) Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI) : dengan berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan assessment, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi sosial.
4) Fungsi monitoring kemajuan belajar : untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
5) Fungsi evaluasi program : untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Terdapat beberapa sasaran pada assessment ini, diantaranya ialah :
1) Anak berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
2) Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
3) Anak berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah.
4) Anak berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program pendidikan non formal atau informal.
3. Model Pengembangan Kurikulum a. Model Kurikulum Reguler
Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya.
b. Model Kurikulum Reguler dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaran individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti tiga mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.
c. Model Kurikulum PPI
Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Model ini diperuntukkan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan PPI dalam kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti proses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhannya.10
D. Model Pendidikan Inklusif di Indonesia
Melihat kondisi dari sistem pendidikan di Indonesia, model pendidikan inklusif yang sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusif sama dengan mainstreaming.11 Menurut Vaughn, Bos dan Schumn, Penempatan anak berkelainan di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai model :12
1. Kelas Reguler (Inklusi Penuh)
10 Ari Pratiwi, Op.cit,hlm. 29
11Irdamurni, Pendidikan Inklusif sebagai Solusi dalam Mendidik Anak Istimewa, (Bandung : Paedea, 2017), hlm. 21
12Ibid.
ABK belajar bersama anak normal sepanjang hari dikelas dengan menggunakan kurikulum yang sama. ABK tidak mengalami gangguan intelektual yang signifikan dapat mengikuti pembelajaran di kelas biasa.13 Model pembelajaran ini dilaksanakan dengan mengumpulkan dan mencampurkan peserta didik ABK dengan peserta didik normal lainnya. Dalam model kelas seperti ini, semua murid baik ABK maupun normal diperlakukan sama.
2. Kelas Reguler dengan Cluster
ABK belajar bersama dengan anak normal sepanjang hari dengan kelompok khusus. ABK dikelompokkan tersendiri dan belajar bersama-sama dengan anak normal dalam kelas, walaupun bagi ABK perlu didampingi agar mampu menerima pembelajaran sebagaimana layaknya anak normal yang lainnya. Pendamping memberikan layanan ketika ABK mengalami kesulitan dan hambatan dalam belajarnya.14
3. Kelas Reguler dengan Pull Out
ABK belajar bersama anak normal di kelas reguler dengan kelompok khusus dan dalam waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. Tidak selamanya peserta didik
13PAI 6C, Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta : Tim Editor PAI 6C, 2017), hlm. 6-7
14Ibid, hlm. 7
yang merupakan ABK dapat belajar bersama dengan peserta didik yang normal sepanjang waktu. Pada bagian-bagian tertentu ada materi yang harus disampaikan secara khusus kepada peserta didik yang normal dan ABK disebabkan terjadinya kesenjangan yang serius bilamana harus dilaksanakan dan diberikan secara bersamaan kepada semua peserta didik.15
4. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out
ABK belajar bersama anak normal di kelas reguler dengan kelompok khusus dan dalam waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. Merupakan kombinasi antara model cluster dan pull out. Pada waktu tertentu ABK akan dikelompokkan tersendiri, tetapi dalam satu kelas reguler dengan pendamping khusus. Pada waktu-waktu yang lain ABK akan ditempatkan di kelas atau ruang lain untuk diberi layanan khusus dengan materi, strategi, metode, dan media yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.16
5. Kelas Khusus dengan berbagai pengintegrasian
ABK belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang- bidang tertentu dapat belajar bersama anak yang normal di kelas reguler.
15Ibid, hlm. 8
16Ibid.
6. Kelas Khusus Penuh
ABK belajar ditempatkan dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya.
Pada kelas ini peserta didik hanya menampung pesera didik ABK tapa bercampur dengan peserta didik normal.17
Penempatan ABK dalam kelas inklusif dapat berupa :18
a. Di kelas biasa tanpa kekhususan baik bahan pengajaran maupun guru.
b. Di kelas biasa dengan guru konsultan.
c. Di kelas biasa dengan ruang sumber.
d. Di kelas dengan guru pengamat.
e. Di kelas khusus dengan sebagian waktu.
f. Di kelas khusus penuh
17Abdul Kadir, Penyelenggaraan Sekolah Inklusi di Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol.
3 No. 1, Mei 2015, hlm. 15-16
18Irdamurni, Op.Cit, hlm. 22
Kesimpulan
Pendidikan inklusif sangat terbuka dalam menerima siswa dengan segala keadaannya, sekolah yang telah menerapkan pendidikan inklusif akan dengan sukarela menerima siswa yang bahkan memiliki kebutuhan khusus, maupun keterbatasan khusus.
Sekolah inklusif akan memberkan pelayanan pendidikan yang mengikutsertakan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) untuk dapat belajar bersama dengan teman-temannya di sekolah reguler terdekat, namun tetap dengan penanganan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.
Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan akses pendidikan yang baik, yang artinya penyelenggaraan pendidikan harus menciptakan lingkungan dan suasana pendidikan dengan fasilitas, program, media dan strategi yang dapat diakses (accessible) bagi seluruh peserta didik, termasuk mahasiswa penyandang disabilitas.
Pendidikan inklusif merupakan proses dalam memberikan fasilitas bagi keragaman kebutuhan peserta didik melalui partisipasi dalam proses pembelajaran, budaya, dan komunitas, serta mengurangi dan menghilangkan eksklusivitas dalam pendidikan. Proses ini melibatkan perubahan dan modifikasi materi, pendekatan, struktur dan strategi yang memenuhi kebutuhan seluruh peserta didik dalam proses pembelajaran.
BAB 4
PENDIDIKAN DAN
BIMBINGAN BAGI TUNA
GRAHITA
A. Pengertian Tuna Grahita
Banyak terminologi yang digunakan untuk menyebut mereka yang kondisi kecerdasannya di bawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang pernah digunakan, misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran, retardasi mental, terbelakang mental, cacat grahita, dan tunagrahita. Dalam bahasa asing (Inggris) dikenal dengan istilah mental retardation, mental deficiency, mentally handicapped, feebleminded, mental subnormality.1
Tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi dari sang ibu tidak mencukupi.
Menurut Efendi anak tunagrahita adalah anak yang mengalami taraf kecerdasan yang rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangan ia sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus.
1Endang Rochyadi, Modul PGSD, Diakses dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/
JUR._PEND._LUAR_BIASA, pada tanggal 13 Maret 2018, pukul 22:18 WIB
Penyandang tunagrahita atau cacat grahita adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual atau IQ dan keterampilan penyesuaian dibawah rata-rata dari teman seusianya. Ketunaan ini dikelompokkan menjadi :
1. Golongan ringan atau mampu dididik
2. Golongan sedang atau mampu liat
3. Golongan cacat atau grahita berat
Cacat grahita ini umumnya ganda, bercampur dengan kecacatan yang lain. Cacat ini akan Nampak jelas setelah anak masuk tama kanak-kanak, atau setelah masuk sekolah. Karena ditempat baru ini anak banyak dituntut unjuk-kerja akademik.
1. Kelompok Cacat Grahita Ringan (mampu dididik)
Sebagian besar penyandang cacat grahita berasal dari golongan masyarakat ekonomi rendah. Yang jelas kelompok cacat ringan ini muncul bukan karena kerusakan otak (brain damage) mereka. Tetapi menurut penyelidikan banyak disebabkan oleh keturunan, kurang gizi, dan perlakuan lingkungan terhadap mereka. Meski sekilas sebenarnya penyendang cacat grahita ini sama seperti anak normal lainnya, tetapi tetap saja mereka memerlukan metode pengajaran khusus.
2. Kelompok Sedang dan Berat
Kelompok ini hanya disebabkan oleh kerusakan otak atau bawaan.
Tentang cacat bawaan ini masih dikelompokkan menjadi dua macam. Pertama memang keturunan dan kedua karena penyimpangan kromosom atau kromosom yang abnormal. Mereka ini penyandang down-syndrome. Disebut trisomi 21, antara lain mongoloid. Cirinya adalah kepala kecil, mata sipit seperti orang mongolia, gendut, pendek, lidahnya menonjol, hidung pesek, kaki dan tangannya agak lain. Mereka ini umumnya mengalami gangguan jantung dan tidak berusia lebih dari 40 tahun. IQ nya juga antara 40-50 tahun, umumnya ramah dan periang. Kerusakan otak ini terjadi selain karena cacat bawaan, dapat pula terjadi akibat infeksi atau faktor lingkungan. Infeksi terjadi pada ibu hamil, seperti rubella, herpes, (demam disertai lepuh seperti luka bakar pada kulit), sipilis.
B. Klasifikasi / Karakteristik Tuna Grahita
1. Karakteristik Tunagrahita Ringan a. Karakteristik Kognitif
1) Mempunyai IQ berkisar 50 sampai 70
2) Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, maka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian.
3) Kemampuan berpikir rendah, lambat perhatian dan ingatannya rendah.
4) Masih mampu menulis, membaca dan menghitung.
5) Mengalami kesulitan dalam konsentrasi, sukar diajak fokus.
6) Umur kecerdasannya apabila sudah dewasa sama dengan anak normal yang berusia 12 tahun.
b. Karakteristik Fisik
Anak tunagrahita ringan, nampak seperti anak normal. Hanya saja sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
c. Karakteristik Sosial/Perilaku
Anak tunagrahita ringan mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa.
d. Karakteristik Emosi
1) Anak tunagrahita ringan sukar berfikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisis, asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, keperibadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik dan buruk.
2) Tidak mampu mendeteksi kesalahan pada dirinya, sehingga acuh tak acuh.
e. Karakteristik Motorik
Anak tunagrahita ringan mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik. Dalam berbicara asih lancar, namum perbendaharaannya masih minim.
2. Karakteristik Tunagrahita Sedang a. Karakteristik Kognitif
1) Mempunyai IQ berkisar 30 sampai 50.
2) Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca dan berhitung tetapi dapat dilatih dalam hal yang sederhana sekedar diperkenalkan membaca dan menulis namanya sendiri dan mengenal angka.
3) Rendahnya perhatian anak dalam belajar akan menghambat daya ingat.
Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, cepat beralih.
4) Kurang tangguh dalam menghadapi tugas, pelupa dan sukar memusatkan perhatian dan mudah bosan, atau cepat beralih.
5) Kurang tangguh dalam menghadapi tugas, pelupa dan sukar mengungkapkan ingatan dan mudah bosan.
6) Mudah beralih perhatiannya ke hal yang dianggapnya lebih menarik dan keterbatasannya dalam kemampuan intelektualnya sehingga kemampuan dalam bidang akademik sangat bersifat sederhana.
7) Pada umur dewasa anak tunagrahita baru mencapai kecerdasan setaraf anak normal umur tujuh tahun atau delapan tahun.
b. Karakteristik Fisik
Penampilannya menunjukan sebagai anak terbelakang, lebih menampakan kecacatannya.
c. Karakteristik Sosial/Perilaku
1) Banyak diantara anak tunagrahita sedang yang sikap sosialnya kurang baik, rasa etisnya kurang dan nampak tidak mempunyai rasa terimakasih, rasa belas kasihan dan rasa keadilan.
2) Masih mampu mengurus, memimpin, memelihara dirinya sendiri dan bersosialisasi dengan lingkungannya, walaupun butuh proses yang lama.
Contohnya, mandi, makan, minum, berpakaian.
3) Sangat tergantung pada orang lain.
4) Bersikap kekanak-kanakan, sering melamun atau hiperaktif.
5) Mampu melindungi diri dari bahaya dan dapat bekerja ringan tetapi tetap dalam pengawasan karena jika tanpa pengawasan mereka akan bekerja secara asal.
d. Karakteristik Emosi
1) Dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai tingkatannya.
2) Kehidupan emosinya sangat lemah, mereka jarang sekali menghayati perasaan tanggung jawab dan hak sosialnya.
3) Memiliki imajinasi yang tinggi.
e. Karakteristik Motorik
1) Kurang mampu untuk mengkoordinasikan gerak tubuhnya.
2) Tangan-tangannya kaku.
3. Karakteristik Tunagrahita Berat
Anak tunagrahita berat memiliki IQ dibawah 30. Anak ini sepanjang hidupnya memerlukan pertolongan dan bantuan orang lain, sehingga berpakaian, ke WC dan sebagainya harus dibantu. Mereka tidak tahu bahaya atau tidak bahaya.
Kata-kata dan ucapannya sangat sederhana. Kecerdasannya sampai setinggi anak normal berusia tiga tahun.2
2Usia Mumpuniarti, Penanganan Anak Tunagrahita : kajian dari segi pendidikan Sosial Psikologi dan Tindak Lanjut Usia Dewasa, (Yogyakarta : UNY, 2000), hlm. 120
C. Layanan Bagi Tunagrahita
Meskipun anak tunagrahita memiliki hambatan dalam proses pembelajaran pada umumnya, tidak menutup kesempatan untuk mereka menerima pendidikan yang layak dan tepat baik di rumah dan khususnya di sekolah. Pendidikan tersebut baik kategori formal, maupun non formal. Mere