• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat Endometriosis

N/A
N/A
Zulfikar Zia Fachlevi

Academic year: 2025

Membagikan " Referat Endometriosis"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

i REFERAT ENDOMETRIOSIS

Disusun oleh:

Zulfikar Zia Fachlevi 2361008020052

Pembimbing:

Dr. dr. Sigit Nurfianto, Sp. OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK

SMF ILMU KESEHATAN PEREMPUAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKARAYA

RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA 2024

(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

ENDOMETRIOSIS

Zulfikar Zia Fachlevi 2361008020052

REFERAT

Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti Ujian Akhir Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Perempuan

Referat ini disahkan oleh :

Nama

Dr. dr. Sigit Nurfianto, Sp. OG (K)

Tanggal

……….

Tanda Tangan

…………...

(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Zulfikar Zia

NIM 2361008020052

Jurusan : Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Palangka Raya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa referat yang berjudul

Endometriosis” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan peniruan terhadap hasil karya dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan yang berlaku. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa referat ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Palangka Raya, 22 Juli 2024

Zulfikar Zia Fachlevi 2361008020052

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Endometriosis”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Perempuan di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya. Penulis sadar bahwa dalam proses penyelesaian penulisan referat ini banyak mengalami kendala namun semua ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, kerjasama, dan dukungan dari berbagai pihak sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr.

Sigit Nurfianto, Sp. OG (K) sebagai pembimbing saya yang telah banyak memberikan arahan, motivasi, saran, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta perhatiannya selama penyusunan, kedua orang tua saya yang selalu mendukung, memberikan motivasi dan juga teman-teman yang selalu memberikan semangat kepada saya dalam penyusunan referat ini hingga dapat terselesaikan.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Kiranya referat ini dapat berguna dan membantu dokter-dokter muda selanjutnya maupun mahasiswa-mahasiswi jurusan kesehatan lain yang sedang dalam menempuh pendidikan, referat ini berguna sebagai referensi dan sumber bacaan untuk menambah ilmu pengetahuan.

Palangka Raya, Juli 2024 Penulis

(5)

v

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Definisi Endometriosis ... 3

2.2 Epidemiologi ... 3

2.3 Etiologi dan Patofisiologi ... 4

2.4 Klasifikasi... 9

2.5 Faktor Risiko ... 11

2.6 Tanda dan Gejala ... 12

2.8 Diagnosis ... 12

2.9 Tata Laksana ... 15

2.10 Algoritma Manajemen Kasus Endometriosis ...20

BAB III KESIMPULAN ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Retrograde Menstruation ... 4

Gambar 2.2 Teori Metaplasia Coelomica ... 5

Gambar 2.3 Teori Hormon ... 6

Gambar 2.4 Teori Inflamasi dan Stress Oksidatif ... 7

Gambar 2.5 Teori Defek Sistem Imun ... 7

Gambar 2.6 Gambaran Endometriosis ... 9

Gambar 2.7 Skoring Klasifikasi Endometriosis ... 10

Gambar 2.8 Stadium Endometriosis ... 11

Gambar 2.9 TSV Endometriosis ... 14

Gambar 2.10 Laparoskopi Endometriosis ... 15

Gambar 2.11 Terapi Bedah Pada Pasien Endometriosis ... 19

Gambar 2.12 Algoritma Manajemen Pasien Endometriosis yang Belum Menikah ... 20

Gambar 2.13 Algoritma Manajemen Pasien Endometriosis yang Sudah Menikah ... 22

Gambar 2.14 Algoritma Manajemen Pasien Endometriosis yang Infertil ... 23

(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang

Endometriosis merupakan terdapatnya sebagian jaringan endometrium (kelenjar dan stroma) yang tumbuh diluar uterus. Endometriosis dapat menimbulkan infertilitas pada wanita, sebaliknya beberapa wanita yang tidak terdiagnosis endometriosis biasanya datang dengan keluhan tidak dapat hamil.

Endometriosis juga dapat menurunkan angka produktifitas kerja secara signifikan pada wanita di berbagai negara.1 Kegagalan mekanisme kekebalan tubuh untuk menghancurkan jaringan ektopik dan maldiferensiasi jaringan endometriosis diduga sebagai mekanisme yang mendasari defek dari sel stroma yang terkait dengan peningkatan kadar esterogen dan prostaglandin serta bersamaan dengan resistensi progesteron.2

Penelitian yang dilakukan Yen dkk (2019) menyatakan prevalensi endometriosis pada orang Barat sekitar 5-10%, sedangkan pada orang Asia prevalensinya sekitar 15%.3 Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia reproduksi. Prevalensi terjadinya endometriosis pada wanita usia reproduksi kisaran 3-10 %. Prevalensi pada kelompok wanita infertile sekitar 9-50%, dan pada kelompok yang sedang menjalani prosedur evaluasi operatif dismenorea prevalensinya mencapai 60%.4

Terdapat beberapa teori penyebab endometriosis yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut : metaplasia, menstruasi mundur, predisposisi genetik, pengaruh lingkungan, sertateori emboli limfatik dan vaskular. Faktor risiko endometriosis ialah wanita yang ibu atau saudara perempuannya pernah menderita endometriosis, memiliki siklus menstruasi kurang atau lebih dari 27 hari, menarke pada usia relatif muda (<11 tahun), masa menstruasi berlangsung selama 7 hari atau lebih.5

Gejala klinis dari endometriosis dapat berupa, severe dysmenorrhoea, dyspareunia dalam, chronic pelvic pain, nyeri saat ovulasi, gejala perimenstrual (nyeri pada saat defekasi atau nyeri pada kandung kemih) dengan atau tanpa disertai perdarahan abnormal, infertilitas, kelelahan yang bersifat kronik.1

(8)

2

Manajemen marker diagnostik yang lebih efektif tampaknya sangat penting untuk diagnosis dini endometriosis dan pemberian pengobatan yang tepat.

Dari sudut pandang klinis, deteksi endometriosis tahap awal pada pasien tanpa gejala merupakan situasi yang ideal karena diagnosis dini endometriosis dapat menunda timbulnya gejala serta mencegah perkembangan dan komplikasi.6 Kesalahan yang umum terjadi adalah bahwa endometriosis dapat disingkirkan karena pemeriksaan negatif termasuk pencitraan yang mengakibatkan keterlambatan diagnosis yang sering terjadi pada manajemen kasus endometriosis. Masalah lain yang membuat diagnosis laparoskopi terlambat, sering terjadi pada wanita hamil, karena keparahan endometriosis sulit diprediksi dan operasi bisa sangat sulit. Akibatnya, terapi medis sering diberikan selama bertahun-tahun tanpa diagnosis, berdasarkan kepercayaan yang terbukti bahwa terapi medis mencegah perkembangan endometriosis masalah yang sering terjadi adalah keyakinan luas bahwa endometriosis adalah penyakit yang berulang dan berulang dan bahwa awal operasi berisiko membutuhkan operasi berulang di kemudian hari dengan lebih banyak perlengketan dan kerusakan kesuburan.7

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat kita ketahui bahwa dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk dapat mendeteksi dini Endometriosis bagi para dokter dan mengenali gejala Endometriosis bagi para perempuan agar tidak datang ke fasilitas kesehatan dalam keadaan terlambat.

Oleh karena itu penulis membahas mengenai Endometriosis pada referat ini dengan judul “Endometriosis”.

1.2 Tujuan

Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Endometriosis serta sebagai salah satu syarat agar bisa mengikuti ujian akhir di SMF Obstetrik dan Ginekologi.

(9)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Endometriosis

Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan baik kelenjar maupun stromanya di luar kavum uteri atau di dalam miometrium. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut dengan adenomiosis. lesi endometriosis tersebut dapat ditemukan di beberapa tempat, yaitu peritoneum panggul, ovarium, dinding uterus, kavum douglasi, septum rektovagina, ureter, vesica urinaria, bahkan ditemukan lokasi jauh walaupun jarang didapat misalnya usus, apendik, perikardium, pleura, dan sebagainya.8 Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia reproduksi. Meskipun endometriosis dikatakan penyakit wanita usia reproduksi, namun walaupun jarang pernah dilaporkan endometriosis pada usia remaja dan pasca menopause.1 Endometriosis disebut sebagai estrogen dependent disease karena tumbuh dan perkembangan jaringan endometrium ektopik tersebut membutuhkan stimulasi hormon estrogen.9

2.2 Epidemiologi

Jumlah kasus endometriosis yang tepat tidak diketahui, tetapi diperkirakan berkisar antara 2 hingga 10% dari perempuan umum. Beberapa faktor menyulitkan penentuan jumlah kasus endometriosis; ini termasuk endometriosis yang asimtomatis, modalitas pencitraan yang sensitif rendah, dan diagnosis yang pasti dilakukan melalui pembedahan laparoskopi. Angka kejadian endometriosis per tahun berdasarkan penggunaan tindakan pembedahan telah dilaporkan, yaitu 1,6 kasus per 1000 perempuan usia 15-49 tahun. Kejadian endometriosis pada perempuan dengan keluhan dismenorea, yang berarti nyeri haid, adalah 40-80%, dan pada perempuan yang tidak dapat hamil (Infertil) adalah 20-50%.10 Menurut (Bouzari dkk) prevalensi endometriosis diperkirakan 2% - 22% pada wanita endometriosis asimptomatik, 35% – 50% pada wanita infertil dan 80% pada wanita dengan nyeri pelvis kronik.11

(10)

4 2.3 Etiologi dan Patofisiologi

2.3.1 Teori Aliran Darah Balik (Retrograde Menstruation)

Gambar 2.1 Retrograde Menstruation

Salah satu dari banyak teori yang ada tentang terjadinya endometriosis adalah aliran balik darah haid yang mana teori paling tua yang menjelaskan penyebab endometriosis. Menurut teori ini, darah haid yang mengandung jaringan endometrium mengalir kembali melalui saluran tuba falopii dan kemudian masuk ke dalam rongga peritoneum. Teori Sampson pada tahun 1927 ini telah dikonfirmasi melalui pemeriksaan laparoskopi, yang menunjukkan bahwa ada aliran balik darah haid.8 Beberapa bukti mendukung teori Sampson, yaitu ditemukanya peningkatan kejadian endometriosis pada perempuan dengan anomali duktus Mulleri berupa obstruksi pada kanalis serviks sehingga darah haid tidak bisa keluar secara normal di uterus. Berdasarkan teori ini endometriosis merupakan konsekuensi dari aliran balik darah haid melalui saluran telur yang berlanjut dengan implantasi dan tumbuh di peritoneum dan ovarium.12Dengan memakai dasar teori aliran balik darah haid telah dilakukan beberapa pembuktian dengan penelitian pada hewan coba. Lesi endometriosis dapat diinduksi dengan cara inokulasi produk darah haid otologus di rongga peritoneum hewan babon dan macaca, dengan keberhasilan tumbuh menjadi endometriosis dengan sekali inokulasi mencapai 47%.8 Hendarto pada tahun 2014 melakukan pengujian agar terjadi endometriosis di peritoneal menggunakan kerokan endometrium wanita yang menjalani histerektomi dan dihaluskan dan diinjeksi pada intraperitoneal lalu didapatkan kejadian endometriosis pada mencit dengan keberhasilan 100%

(11)

5

pada mencit yang hanya diberikan placebo tanpa kurkumin selama 14 hari.13 Meskipun pada 76-90% perempuan mengalami aliran balik darah haid, tidak semuanya menjadi endometriosis, hanya sekitar 10% saja, data menyimpulkan bahwa penyimpangan respons imun yang tidak lazim di intraperitoneum berperan besar pada patogenesis endometriosis serta hubungan endometriosis dengan infertilitas.12

2.3.2 Teori Metaplasia

Disini dikatakan endometriosis berasal dari sel ekstra uteri yang secara abormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi menjadi sel endometriosis. Teori metaplasia coelomic menyimpulkan bahwa endometriosis berasal dari metaplasia sel- sel yang sudah terspesialisasi di lapisan mesotel di peritoneum dan organ visera abdomen. Diduga hormon dan faktor imunologi yang berperan menstimuli sel-sel peritoneum tersebut menjadi sel mirip endometrium.8

Teori metaplasia coelomic ini menerangkan kejadian endometriosis pada remaja putri prapubertas yang belum mengalami menstruasi, ternyata endometriosis juga ditemukan pada fetus perempuan, keadaan ini diduga merupakan hasil defek embriogenesis. Berdasarkan teori ini sel embrionik residu dari duktus Wolf dan Mulleri tetap persisten dan karena pengaruh hormon estrogen menjadi berkembang menjadi endometriosis. Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian endometriosis pada remaja bahkan selanjutnya berkembang menjadi endometriosis stadium berat dan progresif.8

Gambar 2.2 Teori Metaplasia Coelomica 2.3.3 Teori Hormon

(12)

6

Teori Hormon menerangkan terjadinya biosintesis hormon estrogen di jaringan endometriosis Androstenedion di jaringan endometriosis berasal dari adrenal dan ovarium. Androstenedion mengalami proses aromatisasi menjadi estron dan selanjutnya di konversi estradiol. Kadar IL-1β dan estradiol yang tinggi di jaringan endometriosis akan mengaktivasi enzim COX-2 sehingga terjadi penginkatan PGE2 yang berasal dari asam arakhidonat. PGE2 merupakan stimulator proses aromatisasi.

Di jaringan endometriosis terjadi resistensi progesteron sehingga terjadi penurunan enzim 17β-HSD tipe 2.8

Gambar 2.3 Teori Hormon 2.3.4 Teori Inflamasi dan Stress Oksidatif

Penderita endometriosis memiliki penanda inflamasi yang lebih tinggi di serum dan intraperitoneum mereka, menurut beberapa penelitian. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi keluhan nyeri yang dialami penderita endometriosis. Banyak makrofag aktif dan sitokin ditemukan di intraperitoneum wanita dengan endometriosis. Suatu protein mirip haptoglobin ditemukan berikatan dengan makrofag di intraperitoneum sehingga membuat makrofag tersebut kehilangan kemampuan fagositosis dan justru akan mengeluarkan beberapa sitokin pro-inflamasi, yaitu interleukin (IL)-6, macrophage migration inhibitory factor (MIF), TNF-a, IL-13, IL-8, regulated on activation normal T expressed and secreted (RANTES) dan monocyte chemotactic protein (MCP)-1. Di jaringan endometriosis TNF-a memicu sel endometriosis memproduksi prostaglandin (PG)F2a dan PGE2, sedangkan makrofag di zalir

(13)

7

peritoneum juga mensekresi enzim cyclo-oxigenase -2 yang memproduksi PGE2 dan selanjutnya akan mengaktivasi steroidogenic acute regulatory protein dan aromatase.

Aktivasi PGE2 akan menyebabkan terjadi peningkatan estradiol lokal di jaringan endometriosis. Mekanisme di atas yang mendasari interaksi estrogen-dependent dengan proses inflamasi di endometriosis.8

Selain itu patogenesis endometriosis juga terkait dengan oksidasi lipoprotein dan selanjutnya Reactive Oxygen Species (ROS) akan menyebabkan peroksidasi lipid yang mengakibatkan kerusakan DNA sel endometrium. ROS akan menyebabkan terjadi pelepasan produk pro inflamasi dan stres oksidatif sehingga menimbulkan reaksi inflamasi, selanjutnya mengakibatkan penumpukan limfosit dan makrofag yang kaya dengan produksi sitokin. Akumulasi ROS berkontribusi pada perkembangan penyakit endometriosis beserta keluhannya.8

Gambar 2.4. Teori Inflamasi dan Stress Oksidatif 2.3.5 Teori Defek Sistem Imun

Kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan hidup di lokasi ektopik diduga berhubungan dengan respons imun penderita yang abnormal. Sampai sekarang belum diketahui imunitas abnormal ini sebagai sebab atau akibat kejadian endometriosis. Telah diketahui terjadi perubahan imunitas seller maupun humoral pada penderita endometriosis sehingga respons imun yang abnormal ini akan

(14)

8

menghasilkan eleminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris aliran balik darah haid. Kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit endometriosis.

Regurgitasi jaringan endometrium kedalam rongga peritoneum memicu respon inflamasi sehingga menyebakan penumpukan makrofag dan leukosit lokal. Pada penderita endometriosis makrofag peritoneum akan teraktivasi, sedangkan sel NK akan terepresi karena ada perubahan ekspresi reseptor killer. Keadaan ini menyebabkan penyakit endometriosis menjadi berkembang melalui peningkatan produksi sitokin dan faktor pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi endometrium ektopik dan penghambatan fungsi scavenger. Respons inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan defek imunsurveilen sehingga menghambat eliminasi debris darah haid dan memicu implantasi serta pertumbuhan sel endometrium di lokasi ektopik.8

Gambar 2.5. Teori Defek Sistem Imun 2.3.6 Teori Genetik

Dasar teori genetik pada patogenesis endometriosis adalah laporan terkait agregasi famili dan risiko tinggi pada first degree relative serta kejadian endometriosis pada saudara kembar. Dengan menggunakan linkage analysis beberapa candidate genes yang mempunyai potensi keterkaitan biologis dengan kejadian endometriosis telah ditemukan. Beberapa gen tersebut antara lain gen yang mengkode detoksifikasi enzim, polimorfisme reseptor estrogen dan gen yang berhubungan dengan sistem imun tubuh. Polimorfisme komponen reseptor dioksin bersama-sama dengan gen terkait detoksifikasi berkontribusi pada kejadian endometriosis tingkat lanjut.8

2.3.7 Teori Stem Cell

Teori stem cell pada endometriosis. Sel progenitor (stem cell) yang berasal dari lapisan basalis endometrium refluks ke peritoneum dan dengan stimulasi dari lingkungan mikro misal: sitokin dan faktor pertumbuhan akan memicu fungsi stem cell yaitu sel renewal, invasi dan diferensiasi. Sel progenitor bone marrow melalui sirkulasi hematogen dan limfatik ikut berkontribusi pada

(15)

9

patogenesis endometriosis.Teori kombinasi lebih bisa diterima untuk patogenesis endometriosis, yaitu eksistensi stem cell endometrium pluripoten dan kontribusi bone marrow sebagai sumber lain stem cell endometrium. Stem cell endometrium yang lepas melalui saluran tuba falopii saat menstruasi bertanggung jawab terhadap terjadinya implan endometriosis dan juga stem cell yang bersirkulasi berasal dari bone marrow dapat mencapai rongga peritoneum ikut berperan pada patogenesis endometriosis.8

Gambar 2.6. Gambaran Endometriosis 2.4 Klasifikasi Endometriosis

Endometriosis merupakan tumbuhnya sel-sel endometrium (lapisan dinding rahim) di luar rongga rahim. The American Society For Reproductive Medicine (ASRM) mengklasifikasikan endometriosis berdasarkan lokalisasi dan ukuran implan, serta tingkat perlekatan. Dengan perhitungan skor poin, endometriosis dikategorikan menjadi 4 stadium, minimal, Ringan, Sedang dan Berat. Endometriosis stadium I dan II (minimal dan ringan) yang sering terjadi dengan ciri implantasi yang superfisial dan perlengketan yang minimal. Stadium III dan IV (sedang dan berat) disebut juga dengan kista cokelat dan memiliki daya lekat yang kuat pada organ-organ sekitarnya.

Infertilitas sering ditemukan pada stadium IV.14 Pemeriksaan standar emas untuk endometriosis adalah visualisasi langsung pada laparoskopi. Pendekatan sistemik dapat dilakukan dengan laparoskopi dengan inspeksi ovarium, tuba falopi, fossa ovarium, ligament uterosakral, kavum douglas, lipatan uterovesical, appendiks dan rectosigmoid serta Laporannya berisi mobilitas ukuran, dan adhesi. gambaran makroskopik, lokasi, kedalaman dari infiltrasi semua lesi yang didapatkan. Setelah didapatkan laporan, pemeriksa dapat menyimpulkan stadium endometriosis dengan tabel klasifikasi American Society for ReproductiveMedicine (ASRM): Stadium 1 (Minimal) 1-5 poin Stadium 2 (Ringan) 6-15 poin Stadium 3 (Sedang) 16-40 poin

(16)

10 Stadium 4 (Parah) > 40 poin.

Gambar 2.7. Scoring Klasifikasi Endometriosis

MRI dapat membedakan antara kista endometriosis hemoragik dan dermoid.

Endometrioma tampak sebagai kista soliter, berdinding tebal homogen, intensitas signal T2 yang rendah dan T1 yang tinggi menandakan hemokonsentrasi kita tersebut.14

(17)

11

Gambar 2.8 Stadium Endometriosis 2.5 Faktor Risiko

Dalam Penelitian oleh Mukti (2014) tentang faktor risiko kejadian endometriosis ditemukan faktor resiko yang mendukung terjadinya endometriosis meliputi umur, usia menarche, panjang siklus menstruasi, riwayat IBS, dan konsumsi lemak trans.

Sedangkan riwayat genetik/keturunan, wilayah tempat tinggal, paritas, kurus (underweight), merokok, konsumsi alkohol, konsumsi kafein, dan nuligravida tidak ditemukan pengaruh pada kejadian endometriosis.15

2.6 Tanda Dan Gejala Endometriosis

Terdapat dua masalah yang sering menjadi keluhan perempuan dengan endometriosis, yaitu nyeri dan infertilitas atau kesulitan punya anak. Berdasarkan eksplorasi yang dilakukan beberapa studi pada penderita endometriosis dihasilkan suatu daftar panjang keluhan dan tanda endometriosis antara lain nyeri haid, nyeri panggul, nyeri sanggama, keluhan intestinal siklik, capai/kelelahan dan infertilitas.

Keluhan nyeri tersebut biasanya berhubungan dengan siklus haid, tergantung pada lokasi lesi endometriosis tetapi tidak pada stadium. Kadang kala keluhan diatas tidak spesifik karena tumpang tindih dengan keadaan lain, misal penyakit radang panggul, irritable bowel syndrome, interstitial cystitis dan gangguan otot-tulang.

1. Nyeri Haid (Dismenore)

(18)

12 2. Nyeri Panggul

3. Nyeri Senggama 4. Nyeri Saat Ovulasi 5. Nyeri Berkemih

6. Nyeri Defekasi Terutama Haid 7. Infertilitas/Mandul

Kesulitan dalam interpretasi keluhan di atas berkontribusi pada keterlambatan deteksi yaitu sampai 7-12 tahun dari awal muncul keluhan sampai dilakukan diagnosis definitif dengan tindakan bedah. Beberapa studi telah menyebutkan penyebab keterlambatan diagnosis endometriosis antara lain: keluhan endometriosis muncul lebih awal, anggapan keluhan nyeri haid adalah normal, penggunaan kontrasepsi untuk menekan hormon pada keluhan nyeri, pemeriksaan yang tidak fokus, kesalahan diagnosis dan sikap/perilaku terhadap pola haid itu sendiri. Berdasarkan studi di Brasil didapatkan bahwa dismenore merupakan keluhan utama endometriosis, yaitu didapatkan pada 62% perempuan dengan endometriosis peritoneum, selanjutnya nyeri panggul kronis 57%, nyeri sanggama 55%, keluhan intestinal siklik 48% dan infertilitas 40%9

Lokasi endometriosis berpengaruh pada keluhan yang timbul. Deep Infiltrating Endometriosis (DIE) yang berlokasi di panggul posterior berhubungan dengan peningkatan keparahan kesulitan defekasi (dyschezia), sedangkan yang berlokasi di septum rektovagina berhubungan dengan keparahan nyeri sanggama dan dyschezia.

Walaupun jarang endometriosis berlokasi jauh dari panggul dapat terjadi, misal endometriosis umbilikus, paru, toraks dengan keluhan perdarahan di umblikus saat haid, batuk darah, nyeri dada. Mengingat keluhan endometriosis dapat bermacam- macam dan tumpang tindih dengan keluhan lain, maka dibutuhkan kejelian dan fokus bagi tenaga kesehatan saat eksplorasi tanda dan gejala klinis endometriosis.8

2.7 Diagnosis Endometriosis 2.7.1 Anamnesis

Diagnosis nyeri pelvik terkait dengan endometriosis memerlukan evaluasi rutin melalui riwayat nyeri sebelumnya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut. Endometriosis harus dipertimbangkan lebih awal apabila terdapat keluhan nyeri pelvik pada wanita muda untuk menghindari keterlambatan diagnosis, yang sering terjadi 7-12 tahun dari onset gejala sampai tegaknya diagnosis.14

Evaluasi dan penilaian penuh dari riwayat nyeri sebelumnya pada pasien

(19)

13

diperlukan untuk membantu diagnostik dan tatalaksananya. Nyeri yang terkait dengan endometriosis yaitu(8): Nyeri saat menstruasi (dismenore) Nyeri saat koitus (dispareunia) Nyeri saat berkemih (disuria) Nyeri saat defekasi (dischezia) Nyeri punggung bawah atau abdomen Nyeri pelvik kronik (nyeri non-siklik pada pelvik dan abdomen dengan durasi > 6 bulan).14

Gejala klinis atipikal seperti nyeri kaki siklik atau skiatika (keterlibatan saraf), perdarahan rektum siklik atau hematuria (invasi kantung kemih atau usus), dispnu siklik (pneumothorax katamenial). Pasien dengan keluhan utama yang telah dijelaskan sebelumnya dieksplorasi dan menyingkirkan penyebab lain dari nyeri tersebut.

Beberapa riwayat lain dari pasien yang harus ditanyakan adalah :14 Tabel 1.0 Daftar Diagnosis Banding

Uterus Usus Kandung

Kemih Ovarium Tuba Fallopi Umum

Dismenor primer

Irritable Bowel Syndrome

Sistitis

Mittelschmerz (nyeri saat

ovulasi)

Hematosalphinx (setelah sterilisasi atau

ablasi endometrium)

Endometriosis

Adenomiosis Inflammatory Bowel Disease

Infeksi Saluran

Kemih

Kista Ovarium (ruptur, torsio)

Kehamilan Ektopik (akut

atau kronik)

Nyeri Miofasial

Konstipasi Kronik

Batu Saluran Kemih

Penyakit Radang Panggul (PID)

Nyeri neuropatik

Kongesti pelvik

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menilai posisi, ukuran, mobilitas dari uterus (bila didapatkan uterus retroversi kemungkinan terjadi penyakit pelvik adhesif kronik yang parah). Penilaian ligamen uterosakral (menebal atau tidak) dan adanya septum/

pemisah rektovaginal dan bila didapatkan nodul lunak kemungkinan deep endometriosis dilakukan pada pemeriksaan rektovaginal. Apabila didapatkan massa adneksa, dipertimbangkan kecurigaan terhadap endometrioma ovarium. Pemeriksaan pada saat pasien menstruasi lebih baik dan lebih dianjurkan untuk dapat memberikan penilaian berapa dalamnya infiltrasi nodulnya dan penilaian skala nyeri. Lesi pada

(20)

14

serviks juga dapat dinilai apabila terdapat penebalan uterosakral unilateral dengan menggunakan spekulum.14

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan serum darah tidak direkomendasikan, namun pada beberapa penelitian menyatakan wanita dengan endometriosis mengalami peningkatan pada serum CA-125, sitokin dan angiogenic and growth factors dibandingkan pada wanita normal.

Ultrasonografi transvaginal dan trans-abdominal dapat divisualisasikan massa pada pelvik. Ultrasonografi transvaginal dapat memberikan gambaran endometrium dan kavitas uterus serta mendeteksi kista endometriosis di ovarium namun tidak dapat mendeteksi endometriosis peritonial, adhesi endometriosis, dan deep infiltrating endometriosis.

Gambar 2.9 TSV Endometriosis

MRI dapat membedakan antara kista endometriosis hemoragik dan dermoid.

Endometrioma tampak sebagai kista soliter, berdinding tebal homogen, intensitas signal T2 yang rendah dan T1 yang tinggi menandakan hemokonsentrasi kita tersebut.

Pemeriksaan Golden Standart untuk endometriosis adalah visualisasi langsung pada laparoskopi. Pendekatan sistemik dapat dilakukan dengan laparoskopi dengan inspeksi ovarium, tuba falopi, fossa ovarium, ligament uterosakral, kavum douglas, lipatan uterovesical, appendiks dan rectosigmoid serta Laporannya berisi mobilitas ukuran, dan adhesi. gambaran makroskopik, lokasi, kedalaman dari infiltrasi semua lesi yang didapatkan.

(21)

15

Gambar 2.10 Laparoskopi Endometriosis

Setelah didapatkan laporan, pemeriksa dapat menyimpulkan stadium endometriosis dengan tabel klasifikasi American Society for ReproductiveMedicine (ASRM) :

- Stadium 1 (Minimal) 1-5 poin - Stadium 2 (Ringan) 6-15 poin - Stadium 3 (Sedang) 16-40 poin - Stadium 4 (Parah) > 40 poin

Biopsi dapat dilakukan bersamaan dengan laparoskopi, namun temuan histologi yang negatif bukan berarti pengalaman endometriosis. spesialis dalam Dibutuhkan menegakkan diagnosis endometriosis dari inspeksi visual sendiri dengan sensitivitas 94-97% dan spesifisitas 77-85%.14

2.8 Tata Laksana

2.8.1 Terapi Medikamentosa a) Pil Kontrasepsi Kombinasi

Pil kontrasepsi kombinasi telah dipakai secara luas untuk mengatasi keluhan dismenore dan nyeri panggul terkait dengan endometriosis. Dapat diberikan dosis rendah Etinil Estradiol 20 ug dan Desogestrel 150 ug. Review Cochrane menyatakan bahwa pengobatan dengan pil kontrasepsi kombinasi efektif untuk mengatasi keluhan endometriosis namun disebutkan bahwa jumlah kasus terbatas dan data tersebut terbatas enam bulan saja.8

(22)

16 b) Progesteron

Progesteron adalah salah satu obat terapi yang juga sering diberikan pada pasien endometriosis diantaranya Medroksi Progesteron Asetat (MPA) dan Derivat Nortestosteron (Levonorgestrel, Noretindron Asetat, dan Dienogest).

Pada dosis yang tepat progestogen dapat menginduksi anovulasi dan keadaan hipoestrogen, selanjutnya akan menyebabkan desidualisasi serta atrofi endometrium eutopik dan juga ektopik. Mekanisme lain yang mendasari kerja progestogen untuk terapi endometriosis, yaitu supresi Matrix metalioproteinase (MMP), suatu ezim yang berguna untuk pertumbuhan dan implantasi lesi endometriosis. Selain itu progestogen juga mampu menekan proses angiogenesis.8

c) Danaol

Danazol adalah derivat 17-etiniltestosteron dan bekerja dengan cara menghambat lonjakan LH dan steroidogenesis serta meningkatkan kadar free testosteron. Pemakaian Danazol menimbulkan efek samping hiperandrogen yang dapat berupa hirsutisme, jerawat, peningkatan berat badan dan perubahan suara menjadi lebih berat seperti suara laki-laki. Danazol 200 mg 3x1 diberikan secara oral, telah dipakai cukup lama untuk mengatasi nyeri endometriosis. Dalam mengatasi keluhan nyeri endometriosis tersebut ternyata Danazol sama baik dengan GnRH agonis tetapi karena efek samping hiperandrogen menyebabkan toleransi penerimaan penggunanya lebih rendah. Bila tersedia terapi medis yang lain, sebaiknya pemakaian Danazol dihindari.8

d) Analog Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH)

GnRH tersedia dalam dua bentuk, yaitu agonis GnRH dan antagonis GnRH. Kedua sediaan tersebut telah digunakan untuk terapi nyeri endometriosis namun agonis GnRH lebih lama dipakai dan memberikan hasil yang efektif untuk mengatasi nyeri. Agonis GnRH merupakan bentuk modifikasi dari GnRH endogen yang bekerja dengan menempati reseptor di hipofisis tapi mempunyai waktu paruh lebih panjang dibandingkan GnRH native. Pada awal menempati reseptor di hipofisis agonis GnRH akan memicu peningkatan produksi (flare-up) hormon gonadotropin (FSH dan LH) dan bila pemberian berlanjut agonis GnRH akan menyebabkan down

(23)

17

regulation poros hipofisis-ovarium sehingga terjadi hipoestrogen.8 e) Antagonis GnRH

Antagonis GnRH dipakai juga untuk mengatasi nyeri endometriosis walaupun jumlah kasus endometriosis yang dilibatkan belum banyak.

Antagonis GnRH akan menduduki reseptor GnRH di hipofisis secara kompetisi dan selanjutnya akan langsung bekerja menekan produksi gonadotropin sehingga segera tercapai kondisi hipoestrogen. Hasil penggunaan Elagolix 150 mg tiap hari didapatkan penurunan skala dismenore, nyeri panggul dan dispareuni.8

f) Analgetik

Telah diketahui bahwa nyeri merupakan keluhan utama endometriosis.

Telah terbukti pula bahwa kadar prostaglandin meningkat pada zalir peritoneum dan jaringan endometriosis perempuan penderita endometriosis.

Karena itu tidak mengherankan bila obat antiprostaglandin, yaitu non-steroid antiinflammation drug (NSAIDs) dipakai secara luas di lapangan sebagai analgetika. Walaupun 19 telah dipakai secara luas sebagai terapi lini pertama nyeri endometriosis, namun tidak semua data mendukung penggunaan NSAID untuk endometriosis.8

g) Aromatase Inhibitor

Aromatase inhibitor bekerja untuk mengatasi nyeri endometriosis yaitu dengan cara menekan ekspresi enzim aromatase P450 yang berfungsi sebagai kalatalisator konversi androgen menjadi estrogen. Tidak di semua negara tersedia obat aromatase inhibitor, yang paling sering ditemui adalah aromatase inhibitor generasi ketiga yaitu letrozole dan anastrozole.

Aromatase inhibitor berkompetisi dengan dengan androgen untuk menduduki reseptor aromatase. Pada review sistematik yang melibatkan tujuh studi tentang penggunaan aromatase inhibitor untuk nyeri endometriosis didapatkan bahwa Letrozole 2,5 mg kombinasi dengan norethisteron asetat atau desogestrel, dan Anastrozole 1 mg kombinasi dengan pil kontrasepsi mampu menurunkan nyeri endometriosis secara bermakna. Efek samping pemberian aromatase inhibitor adalah hipoestrogen berupa vagina kering, hot-flushes dan penurunan massa tulang.8

(24)

18 h) Terapi Empiris

Terapi empiris adalah terapi medis yang diberikan kepada penderita endometriosis berdasar observasi dan pengalaman dokter. Penegakan diagnosis endometriosis membutuhkan beberapa tingkat yaitu anamnesis, pemeriksan fisik/ginekologi, pemeriksaan pencitraan dengan USG/MRI, tindakan laparoskopi dan histologi. Khusus untuk tindakan laparoskopi membutuhkan pembiusan, memerlukan biaya yang tidak murah bahkan berisiko morbiditas dan mortalitas serta mempunyai nilai prediksi positit hanya 43-45%. Timbul pertanyaan apakah diagnosis endometriosis harus mahal, invasif dan apakah keuntungan mengetahui diagnosis endometriosis.Bila dilakukan terapi empiris akan lebih sederhana, aman, efek samping minimal, efektif, dan murah. Sebelum memulai terapi empiris sebaiknya penyebab lain keluhan nyeri panggul dievaluasi terlebih dahulu sehingga laparoskopi untuk diagnosis sekaligus terapi endometriosis dilakukan setelah tidak didapatkan respons penurunan keluhan nyeri dengan terapi medis atau terapi hormon. Namun perlu diketahui bahwa respons terapi empirik dengan terapi hormon tidak selalu mencerminkan ada atau tidaknya endometriosis. Perlu juga ditekankan bahwa pemberian pil kontrasepsi kombinasi pada remaja dengan keluhan nyeri panggul tanpa diagnosis definitif endometriosis berkontribusi pada keterlambatan diagnosis endometriosis.8

2.8.2 Terapi Bedah Radikal dan Konservatif

Endometriosis memiliki berbagai bentuk lesi dengan gambaran yang unik, dapat menjadi kronis dan mudah kambuh sehingga walaupun telah dilakukan tindakan pembedahan lesi mikroskopis dapat berlanjut menjadi aktif. Keluhan penderita seringkali tidak berkorelasi dengan ukuran lesi dan stadium endometriosis.

Penanganan endometriosis ditujukan untuk mengatasi nyeri, memperbaiki fertilitas, mengatasi progresivitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Penanganan endometriosis bersifat individual, artinya apa yang dikerjakan saat terapi bedah tidak sama antara penderita satu dengan yang lain. Remaja dengan endometriosis stadium ringan dan masih belum mengharapkan anak disarankan menggunakan terapi medis untuk supresi dan kontrol nyeri dengan meminimalkan intervensi bedah. Untuk perempuan usia reproduksi dengan endometriosis stadium berat dan mengharapkan segera punya anak pilihan terapi yang tepat adalah pembedahan konservatif dengan

(25)

19

laparoskopi, kemudian dilanjutkan dengan terapi infertilitas spesifik menggunakan fertilisasi in vitro. Secara umum tindakan bedah pada endometriosis dibagi menjadi dua, yaitu secara radikal dan konservatif. Tindakan radikal berupa histerektomi dilakukan bila sudah tidak berpikir untuk menambah anak, sedangkan tindakan konservatif bila kesuburan atau keinginan mempunyai anak masih menjadi pertimbangan.8

Jenis tindakan yang dilakukan pada pembedahan konservatif untuk mengatasi nyeri endometriosis dapat berupa: eliminasi lesi endometriosis, pembebasan perlekatan dengan preservasi uterus dan ovarium yang ditujukan untuk restorasi anatomi organ genitalia dan yang terakhir dapat dilakukan tindakan interupsi jalur saraf panggul yang berguna untuk kontrol nyeri.Modalitas pembedahan awalnya dilakukan secara laparotomi terbuka, namun dengan perkembangan teknologi endoskopi mulai berubah menggunakan teknik laparoskopi. Berdasarkan data yang ada tindakan pembedahan laparoskopi dan laparotomi sama efektif untuk mengatasi nyeri endometriosis.Laparoskopi operatif lebih efektif untuk mengatasi nyeri pada semua stadium endometriosis dibandingkan dengan hanya dilakukan laparoskopi diagnostik saja. Keuntungan laparoskopi adalah kejadian nyeri pascatindakan lebih sedikit, lama rawat lebih pendek dan waktu pemulihan lebih cepat.8

Gambar 2.11 Terapi Bedah Pada Pasien Endometriosis

(26)

20

2.9 Algoritma Manajemen Kasus Endometriosis

Gambar 2.12 Algoritma Manajemen Pasien Endometriosis Yang Belum Menikah Keluhan utama endometriosis adalah nyeri dan infertilitas. Berikut di bawah ini dibahas langkah-langkah penanganan endometriosis yang dilakukan berdasarkan keluhan dan tanda klinis sesuai dengan panduan Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia dan yang dilaksanakan di Klinik Fertilitas Graha Amerta.

A. Bila keluhan nyeri

a. Pada perempuan belum menikah/usia remaja Tentukan terdapat massa (endometrioma) atau tidak dengan colok dubur atau USG transabdomen

i. Bila tidak ada massa Berikan terapi empiris.

- Analgetika (NSAID)

- Ibuprofen 3x400 mg/Naproxen 3x550 mg/asam meenamat 3x500 mg.

Mulai satu hari menjelang haid sampai hari ke lima haid.

- Pil kontrasepsi kombinasi (PKK) 1-3 siklus.

(27)

21

ii. Bila nyeri hilang: lanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi selama tiga bulan secara kontinu atau progestogen selama tiga bulan, misal: medroksi progesteron asetat 100 mg/ hari.

iii. Bila nyeri tidak hilang: lakukan laparoskopi, kerjakan ablasi atau eksisi lesi endometriosis serta biopsi.

- Pengobatan dilanjutkan dengan memperhatikan usia penderita:

- Usia ≤18 tahun: berikan pil kontrasepsi kombinasi secara kontinu.

- Usia >18 tahun: berikan injeksi agonis GnRH dengan terapi add-back selama 3-6 bulan.

Bila gagal atau tetap nyeri, pertimbangkan untuk dirujuk ke klinik spesialis/ subspesialis untuk mengatasi nyeri.

iv. Bila ada massa (endometrioma), perhatikan ukurannya:

- Ukuran < 4 cm: lakukan perawatan konservatif, tidak perlu tindakan operasi.

- Berikan pil kontrasepsi kombinasi selama tiga bulan secara kontinu atau berikan Progestogen selama tiga bulan. Bila nyeri tetap tidak hilang, lanjutkan seperti pada iii.

- Ukuran ≥ 4 cm: Lakukan tindakan terapi bedah konservatif, yaitu kistektomi atau ablasi- eksisi. Dilanjutkan dengan pemberian injeksi agonis GnRH dan terapi add- back selama 3-6 bulan.

v. Pada perempuan sudah menikah tetapi belum ingin anak Tentukan terdapat massa (endometrioma) atau tidak dengan menggunakan pemeriksaan dalam atau USG transvagina. Selanjutnya penatalaksanaan sama dengan pada perempuan belum menikah/usia remaja.

vi. Pada perempuan perimenopause Tentukan terdapat massa (endometrioma) atau tidak dengan menggunakan pemeriksaan dalam atau USG transvagina sama seperti pada perempuan sudah menikah tetapi belum ingin anak.

- Bila tidak terdapat massa

- Berikan terapi empiris sama seperti penatalaksanaan pada perempuan belum menikah/usia remaja.

- Bila nyeri hilang: lanjutkan terapi PKK atau progestogen selama tiga siklus.

- Bila nyeri tidak hilang: pertimbangkan untuk dilakukan terapi bedah

(28)

22

konservatif atau histerektomi total dan salpingoooforektomi bilateral dengan tambahan terapi hormon estrogen dan progesteron.

- Bila terdapat massa : Lakukan terapi bedah konservatif atau radikal.

Gambar 2.13 Algoritma Manajemen Pasien Endometriosis Yang Sudah Menikah B. Bila keluhan ingin punya anak/infertilitas

i.

Lakukan laparoskopi untuk visualisasi stadium endometriosis berdasarkan klasifikasi menurut revised American Fertility Society sekarang menjadi American Society for Reproductive Medicine.

-

Bila saat laparoskopi ditemukan endometriosis stadium 1 atau 2 Lakukan tindakan ablasi atau eksisi dan selanjutnya perhatikan usia Penderita

- Bila usia < 35 tahun : Lakukan tindakan expectant selama 3-6 bulan.

Bila setelah 3-6 bulan belum terjadi kehamilan lakukan stimulasi ovarium dan inseminasi intrauteri. Bila tetap masih belum terjadi kehamilan pertimbangkan untuk dilakukan fertilisasi in vitro.

(29)

23

- Bila usia ≥ 35 tahun Pertimbangkan untuk langsung dilakukan terapi medis reproduksi berbantu yaitu inseminasi intra uteri atau fertilisasi in vitro. Bila inseminasi intra uteri gagal disiapkan untuk beralih menggunakan fertilisasi in vitro. Dengan pertimbangan usia ≥ 35 tahun sebaiknya dilakukan dahulu pemeriksaan cadangan ovarium.

Pemeriksaan yang dipilih adalah anti mullerian hormone(AMH), antral follicle count(AFC), follicle stimulating hormone (FSH) dan estradiol. Bila hasil pemeriksaan menunjukkan abnormal yang berarti terjadi penurunan cadangan ovarium, penderita harus dijelaskan untung rugi pelaksanaan fertilisasi in vitro atau dipilih menggunakan stimulasi ovarium minimal.

- Bila saat laparoskopi ditemukan endometriosis stadium 3 atau 4 Lakukan tindakan laparoskopi ablasi atau eksisi dan restorasi organ reproduksi. Periksa cadangan ovarium dan lakukan fertilisasi in vitro.

Pertimbangkan pemberian injeksi agonis GnRH selama tiga bulan sebelum fertilisasi in vitro untuk meningkatkan kemungkinan mendapatkan kehamilan.8

Gambar 2.14 Algoritma Manajemen Pasien Endometriosis Yang Infertil

(30)

24 2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada endometriosis adalah infertilitas, pembentukan kista 'coklat' atau endometrioma, dan kecenderungan untuk mendapatkan kanker ovarium di masa depan. Infertilitas Penyebab infertilitas pada wanita dengan endometriosis dapat terjadi karena distorsi anatomi yang disebabkan oleh adhesi dan fibrosis. Endometriosis memicu kelainan endokrin dan gangguan imunologis yang dapat merusak uterus sehingga kehamilan menjadi suatu hal yang sulit. Pasien dengan endometriosis stadium I dan II memiliki kesempatan sekitar 50%

untuk dapat hamil tanpa perawatan, sedangkan pada stadium III, pasien hanya memiliki kesempatan sebesar 25% untuk hamil secara. spontan. Kehamilan jarang terjadi pada stadium IV.

2.10.1 Endometrioma

Endometrioma adalah kista di dalam ovarium yang mengandung cairan berwarna cokelat. Kista yang terbentuk karena lesi endometriosis dapat memasuki ovarium dan mengalami peluruhan saat menstruasi. Kista endometriosis ini dapat dilihat pada laparoskopi.Endometrioma dapat juga terbentuk oleh karena adanya adhesi dari ovarium pada dinding pelvis sehingga terbentuknya invaginating cyst yang bersifat memeluk, sehingga peluruhan terbendung dan membentuk kista. Hipotesis lain menyatakan bahwa lapisan mesotelium peritoneum dari ovarium dapat berdiferensiasi menjadi epitel endometrioid dan kemudian membentuk kista, invaginasi ini serupa dengan metaplasia.

Proses pembentukan endometrioma ini terkait dengan ovulasi. Oleh sebab itu, pencegahan ovulasi dengan kontrasepsi oral mengurangi risiko terbentuknya endometrioma. Rata-rata ketebalan dinding kista adalah 1.2-1.6 mm. Jaringan endometriosis meliputi setidaknya 60% dari permukaan bagian dalam kista dengan kedalaman 1,5 mm. Maka dengan itu, terapi ablasi lebih disarankan daripada eksisi

2.10.2 Kanker Ovarium

Adanya hubungan antara endometriosis dan kanker telah menjadi suatu teori yang diteliti sejak lama. Hubungan ini didasarkan pada studi kasus kontrol dan penelitian kohort yang melaporkan adanya potensial perubahan lesi endometriosis yang dapat

(31)

25

menimbulkan kanker. Secara keseluruhan pada populasi umum, risiko pasien mengidap kanker ovarium adalah sekitar 1,4% dengan rerata usia sekitar 60 tahun.

Namun, pasien dengan endometriosis memiliki 10% risiko yang lebih tinggi untuk mengidap kanker ovarium.

Selain itu, risiko kanker ovarium juga meningkat pada wanita dengan status gravida yang lebih rendah dan pada wanita yang menderita infertilitas. Infertilitas yang terkait dengan kedua kondisi ini membuktikan hubungan antara endometriosis dan kanker ovarium. Inflamasi juga dapat mengakibatkan transformasi kanker endometriosis ovarium dengan cara menginduksi abnormalitas pada gen. Keadaan yang lebih tidak menguntungkan terjadi pada wanita yang lebih muda dengan endometriosis, karena periode lebih panjang menciptakan peluang untuk pertumbuhan kanker. Walaupun risikonya rendah, sampai saat ini belum ada pencegahan yang direkomendasikan. Terapi hormon untuk wanita menopause yang baru menjalani bedah dan memiliki gejala harus menerima terapi untuk mencegah keganasan dan kekambuhan endometriosis.

2.11 Prognosis

Prognosis endometriosis dipengaruhi oleh reaksi tubuh dari pasien dengan endometriosis. Terdapat studi yang melaporkan adanya pasien yang sembuh dengan sendirinya walaupun tidak menjalankan perawatan secara aktif. Sebanyak 50% pasien dengan gejala endometriosis kembali setelah 5 tahun. Beberapa faktor dapat meningkatkan kemungkinan untuk kambuhnya endometriosis, seperti usia saat diagnosis ditegakkan, ada tidaknya dismenorea dan gejala gastrointestinal, kadar serum CA 125 (Cancer Antigen 125) sebelum operasi, atau tahap r-AFS (Revised American Fertility Society) dan banyaknya lokasi lesi. Data faktor risiko tersebut ditemukan tidak signifikan kecuali banyaknya lokasi lesi. Banyaknya lokasi lesi dapat meningkatkan risiko kekambuhan.

Terapi medis jangka panjang juga telah dilaporkan dapat mengurangi tingkat keparahan berulang dismenorea terkait endometriosis. Studi yang dilakukan oleh Yang et al menemukan bahwa pasien yang tidak melanjutkan terapi medis setelah pembedahan memiliki tingkat kekambuhan sebanyak 60%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kekambuhan endometriosis adalah usia saat diagnosis, gejala dismenorea, gejala gastrointestinal, kadar serum CA 125 (Cancer Antigen 125) sebelum operasi, dan banyaknya lokasi lesi.

(32)

26 BAB III KESIMPULAN

Endometriosis adalah suatu kelainan ginekologi dengan ditemukanya pertumbuhan jaringan endometrium diluar kavum uteri. Ada beberapa teori yang sudah menjelaskan bagaimana etiologi dan patofisiologi dari endometriosis seperti teori Retrograde Menstruation (Aliran darah haid balik), teori Metaplasia, teori hormonal, teori Inflamasi dan Stress Oksidatif, teori defek sistem imun, teori genetik dan teori stem cell. Prevalensi terjadinya endometriosis keluhan dismenorea, yang berarti nyeri haid, adalah 40-80%, sesuai dengan tinjauan pustaka yang mengatakan perlunya menggali riwayat nyeri haid atau menelusuri nyeri haid yang berlebihan dengan kecurigaan endometriosis.

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala yang kerap ditemukan yaitu nyeri haid (Dismenore) yang berlebih, nyeri panggul, nyeri senggama, nyeri saat ovulasi, nyeri berkemih, nyeri defekasi terutama saat haid dan mandul (Infertility).

Algoritma manajemen sangat berpengaruh pada penatalaksanaan endometriosis dikarenakan tata laksana endometriosis sendiri terbagi menjadi tata laksana medikamentosa dan bedah, pada terapi medikamentosa terfokus pada penanganan nyeri dan keluhan yang menggunakan obat obatan hormonal, sedangkan pada terapi bedah terfokus pada penanganan nyeri jangka panjang.

Beberapa komplikasi yang dapat ditemui dari pasien meliputi Endometrioma, Kanker Ovarium dan Infertilitas (Mandul).

(33)

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Fatimah, D., Hutagaol, I. E., & Romus, I. (2019). Profil Kasus Endometriosis di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2016. Jurnal Ilmu Kedokteran /Jurnal Ilmu Kedokteran, 12(1), 39.

2. Bulun SE. Endometriosis. N Engl J Med 2009;360:268–79.

3. Kim, M., Yen, C., & Lee, C. (2019). Epidemiologic factors associated with endometriosis in East Asia. Gynecology and Minimally Invasive Therapy,

8(1), 4

4. Mewengkang, M. E., Tendean, H. M. M. , & Wu, I. B. (2017).

Gambaran Karakteristik Penderita Endometriosis.

5. Pangemanan, G., Loho, M., & Wagey, F. W. (2017). Profil Penderita Endometriosis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada Tahun 2011-2015. e-Clinic: Jurnal Ilmiah Kedokteran Klinik, 5(1).

6. Kimber-Trojnar, Ż., Pilszyk, A., Niebrzydowska, M., Pilszyk, Z., Ruszała, M., & Leszczyńska-Gorzelak, B. (2021). The Potential of Non-Invasive Biomarkers for Early Diagnosis of Asymptomatic Patients with Endometriosis. Journal of Clinical Medicine, 10(13), 2762.

7. Koninckx, P. R., Fernandes, R., Ussia, A., Schindler, L., Wattiez, A., Al-Suwaidi, S., Amro, B., Al-Maamari, B., Hakim, Z., & Tahlak, M.

(34)

28

(2021b). Pathogenesis based diagnosis and treatment of endometriosis. Frontiers in Endocrinology, 12.

8. Hendarto, H. Endometriosis dari aspek teori sampai penanganan klinis. Airlangga University Press.2015

9. Dunselman G a. J, Vermeulen N, Becker C, Calhaz-Jorge C, D’Hooghe T, De Bie B, et al. ESHRE guideline: management of women with endometriosis. Human Reproduction [Internet].

2014 Jan 15;29(3):400–12.

10. Chaudhury K, Chakravarty B. Endometriosis: Basic Concepts and Current Research Trends. 2012.

11. Bouzari Z, Yazdani S, Ahangarkolaee ZH, Hajian K. Women ’ s Health & Gynecology Scient Open Access The Comparison of Menstrual Characteristics and BMI in Women with Endometriosis and Without Endometriosis. 2016;2(8).

12. Nap AW. Theories on the Pathogenesis of Endometriosis.

Endometriosis: Science and Practice. 2011 Mar 10;42–53.

13. Annas JY, Hendarto DH, Widjiati. Khasiat Berbagai Dosis Suplementasi Kurkumin pada Progresivitas Endometriosis di Hewan Coba Mencit. Majalah Obstetri & Ginekologi. 2014 Sep 1;22(3).

14. Andalas M, Maharani CR, Shafithri R. NYERI PERUT BERULANG SAAT HAID, BERISIKO MANDUL? JKS/JKS (Jurnal Kedokteran Syiah Kuala). 2019 Aug 1;19(2).

15. Mukti P. FAKTOR RISIKO KEJADIAN ENDOMETRIOSIS.

DOAJ (DOAJ: Directory of Open Access Journals). 2014 Jul . 16. Falcone T, Flyckt R. Clinical management of endometriosis.

Obstetrics and Gynecology (New York 1953 Online)/Obstetrics and Gynecology [Internet]. 2018 Mar 1;131(3):557–71. Available from:

https://doi.org/10.1097/aog.0000000000002469

(35)

29

17. Davila GW. Endometriosis. Medscape. 2018.

Gambar

Gambar 2.1 Retrograde Menstruation
Gambar 2.2 Teori Metaplasia Coelomica  2.3.3  Teori Hormon
Gambar 2.3 Teori Hormon  2.3.4  Teori Inflamasi dan Stress Oksidatif
Gambar 2.4. Teori Inflamasi dan Stress Oksidatif 2.3.5  Teori Defek Sistem Imun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada wanita yang mengalami endometriosis sering timbul keluhan atau.. gejala penyakit berupa dismenore, dispaneuria, nyeri pelviks, dan

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan

Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia

Kesimpulan penelitian didapatkan rata-rata jeda diagnosis endometriosis selama 10,6 tahun, pasien merasakan mulai timbul dismenore saat menstruasi, dengan durasi

Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki

Variabel luar lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam meningkatkan keberhasilan FIV, yaitu faktor penyebab infertilitas wanita, stadium endometriosis, kadar hormon

Kiranya dapat penulis kemukakan bahwa tidak mungkin referat ini dapat Kiranya dapat penulis kemukakan bahwa tidak mungkin referat ini dapat diselesaikan tanpa bantuan, dorongan

Di perkirakan pre;alensin9a tahun demi tahun meningkat$ #eskipun endometriosis dikatakan pen9akit &amp;anita usia reproduksi namun telah ditemukan pula endometriosis pada