Nama:Jenni Claudia Ishak NIM:050733873
Prodi:S1 Hukum
Matkul:Hukum Lingkungan
a. **Pengertian RPPLH dan Pihak yang Berwenang Menyusunnya**
**Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)** adalah dokumen perencanaan yang disusun untuk mengatur dan mengidentifikasi langkah- langkah yang perlu diambil dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di suatu wilayah atau proyek. RPPLH mencakup berbagai hal, mulai dari upaya untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan hingga langkah-langkah konkret dalam menjaga kualitas lingkungan agar tetap berkelanjutan.
RPPLH juga berfungsi sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pembangunan yang ramah lingkungan dan sebagai dasar untuk kebijakan perizinan atau kegiatan yang akan dilakukan di suatu wilayah. RPPLH perlu disusun secara rinci dan berdasarkan kajian mendalam terhadap kondisi lingkungan dan potensi dampaknya.
**Pihak yang berwenang menyusun RPPLH**:
- **Pemerintah Daerah**: RPPLH untuk wilayah tertentu dapat disusun oleh pemerintah daerah dengan melibatkan berbagai instansi terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), dan lembaga lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan.
- **Instansi Lingkungan Hidup Pusat**: Pemerintah pusat juga memiliki peran dalam memberikan pedoman umum dan pengawasan terhadap penyusunan RPPLH, terutama untuk proyek berskala besar atau yang memiliki dampak lingkungan lintas batas
daerah.
b. **Pabrik Garmen PT DJP Wajib Memiliki AMDAL atau UKL-UPL?**
Berdasarkan **kasus PT DJP Pilangsari**, pabrik garmen yang sudah beroperasi lebih dari setahun namun belum mengantongi izin Amdal dan disebutkan menyalahi zonasi RTRW, dapat disimpulkan bahwa pabrik ini **wajib memiliki Amdal** atau **UKL-UPL**, tergantung pada skala dan potensi dampak lingkungannya.
1. **AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)**:
AMDAL wajib disusun untuk kegiatan atau proyek yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan dan luas. Biasanya, kegiatan ini termasuk industri besar, yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan, seperti pencemaran udara, air, atau dampak sosial-ekonomi yang signifikan. Berdasarkan informasi yang ada, pabrik garmen PT DJP yang beroperasi dengan jumlah karyawan ratusan dan berada di lokasi yang menyalahi zonasi, **kemungkinan besar** harus memiliki **AMDAL** karena skalanya yang besar dan dampaknya terhadap lingkungan yang bisa cukup signifikan.
2. **UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan)**:
UKL-UPL lebih sederhana dan digunakan untuk kegiatan yang dampak lingkungannya tidak sebesar yang memerlukan AMDAL. Jika pabrik ini beroperasi dalam skala kecil atau dampaknya terhadap lingkungan tidak terlalu besar, maka pabrik ini bisa saja hanya diwajibkan untuk membuat **UKL-UPL**, yang lebih fokus pada langkah-langkah pengelolaan dan pemantauan lingkungan tanpa perlu kajian yang sedalam AMDAL.
Namun, karena kasus ini menunjukkan adanya **pelanggaran izin Amdal** dan masalah dengan **zonasi**, dapat diasumsikan bahwa **pabrik garmen PT DJP harusnya memiliki AMDAL**.
c. **Kriteria Kegiatan yang Dikecualikan dari Wajib AMDAL Menurut PP No. 22 Tahun 2021**
Menurut **Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021** tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak semua kegiatan wajib
menyusun AMDAL. Ada beberapa **kriteria kegiatan yang dikecualikan** dari kewajiban AMDAL dan hanya diwajibkan menyusun UKL-UPL, atau bahkan tidak perlu dokumen
lingkungan sama sekali. Berikut adalah kriteria kegiatan yang dikecualikan dari wajib AMDAL:
1. **Kegiatan dengan dampak lingkungan yang tidak signifikan**:
Jika kegiatan tersebut diperkirakan tidak akan menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan, misalnya usaha kecil atau industri dengan teknologi yang ramah
lingkungan, maka hanya perlu dilakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang lebih sederhana (UKL-UPL).
2. **Kegiatan yang sudah diatur dengan peraturan khusus**:
Beberapa kegiatan tertentu yang sudah memiliki peraturan khusus atau pedoman yang mengatur perlindungan lingkungan, misalnya kegiatan yang dilakukan di daerah konservasi atau hutan lindung, mungkin tidak perlu AMDAL.
3. **Kegiatan dengan skala kecil dan dampak minimal**:
Kegiatan-kegiatan yang skala dan dampaknya terbatas, seperti proyek kecil,
pembangunan infrastruktur lokal, atau kegiatan yang tidak mempengaruhi kualitas air, udara, atau ekosistem secara signifikan, dapat dikenakan kewajiban UKL-UPL atau tidak memerlukan dokumen lingkungan.
4. **Kegiatan yang termasuk dalam **lampiran kategori kegiatan yang dikecualikan** oleh PP tersebut, biasanya berupa proyek yang secara spesifik memiliki dampak lingkungan yang kecil atau sangat lokal.
d. **Pihak yang Memiliki Kewenangan Menilai AMDAL**
Menurut **Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup**, **pihak yang berwenang untuk melakukan penilaian AMDAL**
adalah **Komisi Penilai AMDAL** yang dibentuk oleh pemerintah atau instansi yang berwenang. Secara rinci, pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk menilai AMDAL adalah:
1. **Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)**:
Untuk proyek-proyek yang memiliki dampak lingkungan lintas provinsi atau skala nasional, penilaian AMDAL dilakukan oleh kementerian ini.
2. **Gubernur (untuk proyek yang berada di tingkat provinsi)**:
Jika proyek dilakukan di tingkat provinsi, penilaian AMDAL dilakukan oleh **Komisi Penilai AMDAL** yang dibentuk oleh **gubernur**.
3. **Bupati/Walikota (untuk proyek yang berada di tingkat kabupaten/kota)**:
Pada tingkat kabupaten/kota, penilaian dilakukan oleh **Komisi Penilai AMDAL** yang dibentuk oleh **bupati atau walikota**. Komisi ini terdiri dari berbagai ahli yang
berkompeten di bidang lingkungan, dan mereka melakukan kajian terhadap dokumen AMDAL yang disusun oleh pemrakarsa proyek.
4. **Dinas Lingkungan Hidup (DLH)**:
Dinas Lingkungan Hidup di tingkat kabupaten/kota atau provinsi memiliki peran dalam mengoordinasikan proses penyusunan dan penilaian AMDAL, serta melakukan
pemantauan pelaksanaan langkah-langkah pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang telah disetujui.
Dalam kasus **PT DJP**, yang disebutkan memiliki masalah dengan izin Amdal,
**Komisi Penilai AMDAL di tingkat kabupaten atau provinsi** (tergantung pada skala proyek dan kewenangan di daerah tersebut) yang seharusnya melakukan penilaian terhadap dokumen AMDAL yang disusun oleh pabrik.
2.a.Apakah perizinan berusaha perusahaan dapat dilakukan gugatan administrasi berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020? Jelaskan pendapat saudara!**
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perizinan berusaha
perusahaan memang dapat dikenakan gugatan administrasi, tetapi dengan beberapa syarat. Pasal 72 ayat (1) UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa setiap orang yang merasa dirugikan atas suatu keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berhak mengajukan gugatan administratif.
Namun, dalam kasus ini, Pertamina sudah dikenakan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas kebocoran minyak yang terjadi pada 30 Maret 2018. Sanksi tersebut merupakan bagian dari pengawasan dan penegakan hukum yang bersifat administratif, dan proses ini lebih berfokus pada pemulihan lingkungan dan tindakan korektif terhadap kegiatan
operasional perusahaan. Oleh karena itu, sanksi yang diberikan oleh KLHK kepada Pertamina lebih kepada kewajiban administratif untuk memperbaiki dan melakukan langkah-langkah mitigasi terhadap dampak lingkungan. Jika ada pihak yang merasa keputusan ini merugikan, mereka bisa menggugat secara administratif, tetapi dalam konteks hukum ini, pengenaan sanksi terhadap Pertamina tampaknya sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku berdasarkan peraturan lingkungan hidup yang ada.
b.Menurut Saudara, contoh kasus di atas apakah sudah dilakukan teguran? Jelaskan pendapat Anda!**
Dari informasi yang ada dalam kasus ini, sanksi administratif berupa paksaan
pemerintah yang dikenakan kepada Pertamina di Balikpapan tidak disebutkan sebagai teguran awal, melainkan lebih kepada langkah penegakan hukum yang langsung pada tahap sanksi. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam praktek pengawasan lingkungan, teguran biasanya menjadi langkah pertama yang lebih bersifat lisan atau tertulis sebelum suatu perusahaan dikenakan sanksi administratif atau tindakan lebih lanjut.
Dalam kasus ini, terlihat bahwa kebocoran minyak dari pipa bawah laut yang terjadi pada 30 Maret 2018 menyebabkan dampak lingkungan yang cukup besar, sehingga KLHK langsung mengambil tindakan berupa sanksi administratif. Artinya, langkah yang diambil adalah bentuk reaksi terhadap kejadian tersebut, dan bukan lagi sekedar teguran. Tetapi, jika merujuk pada prosedur yang berlaku, teguran mungkin sudah dilakukan sebelumnya oleh pihak yang berwenang sebagai bagian dari proses penyelidikan dan verifikasi sebelum sanksi diberlakukan.
c.Berdasarkan contoh kasus di atas, menurut Anda jika sanksi administrasi tidak dijalankan, apa yang akan terjadi? Berikan pendapat Anda dengan acuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013**
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Lingkungan Hidup, jika sanksi administratif tidak dijalankan oleh pihak yang dikenakan sanksi, maka perusahaan atau pelaku usaha dapat dikenakan sanksi lebih lanjut yang lebih berat. Sanksi administratif tersebut, apabila tidak dilaksanakan, dapat berujung pada penegakan hukum yang lebih serius, seperti penghentian
sementara atau pencabutan izin usaha, serta kemungkinan tuntutan pidana sesuai dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan.
Sebagai contoh, dalam kasus kebocoran minyak dari pipa Pertamina, jika sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan, audit, dan inspeksi pipa tidak dijalankan dengan baik, dampaknya akan memperburuk kerusakan lingkungan yang sudah terjadi.
Hal ini bisa memperburuk citra perusahaan dan menambah kerugian ekonomi, serta menciptakan ancaman terhadap ekosistem di sekitar lokasi tumpahan minyak. Selain itu, KLHK dan lembaga terkait bisa mengajukan tindakan hukum lebih lanjut, termasuk sanksi pidana sesuai dengan Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur tentang tindak pidana lingkungan hidup, jika kerusakan yang terjadi cukup signifikan dan tidak ditangani secara baik oleh
perusahaan.
Dengan demikian, jika sanksi administratif tidak dijalankan, tidak hanya lingkungan yang akan semakin terancam, tetapi perusahaan juga dapat menghadapi sanksi hukum yang lebih berat, yang pada akhirnya merugikan baik perusahaan maupun masyarakat.