BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 2
Nama Mahasiswa : FITRA GUPTA P.K
Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 050747366
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4210/Hukum Lingkungan
Kode/Nama UT Daerah : 71/SURABAYA
Masa Ujian : 2024/2025 Ganjil (2024.2)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
NO.1
a. Berdasarkan kasus pelanggaran izin Amdal PT DJP Pilangsari di Sragen, kita dapat memahami pentingnya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). RPPLH merupakan sebuah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPLH berfungsi sebagai dokumen perencanaan yang komprehensif untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup di suatu wilayah.
Kewenangan penyusunan RPPLH berada pada tiga tingkat pemerintahan: pemerintah pusat untuk RPPLH nasional, pemerintah provinsi untuk RPPLH tingkat provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota untuk RPPLH tingkat kabupaten/kota. Dalam kasus PT DJP Pilangsari, seharusnya perusahaan mengacu pada RPPLH yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Sragen sebagai panduan dalam menjalankan aktivitas industrinya agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. RPPLH menjadi instrumen penting dalam pencegahan pencemaran lingkungan karena memuat arahan pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam serta pengendalian kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
b. Berdasarkan kasus tersebut, saya berpendapat bahwa Pabrik Garmen PT DJP wajib memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan penting. Pertama, pabrik tersebut merupakan industri garmen dengan skala yang cukup besar, yang diindikasikan dari jumlah karyawan yang mencapai ratusan orang. Skala operasional yang besar ini berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan sekitar, baik dari segi penggunaan sumber daya, pembuangan limbah, maupun aktivitas industrialnya.
Kedua, mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL, industri tekstil termasuk garmen yang memiliki skala operasional besar dan berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL.
Dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan meliputi pencemaran air dari proses produksi, pencemaran udara dari aktivitas industri, serta dampak sosial terhadap masyarakat sekitar.
Fakta bahwa pabrik tersebut telah beroperasi selama lebih dari setahun tanpa izin AMDAL dan menyalahi zonasi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) merupakan pelanggaran serius terhadap regulasi lingkungan hidup dan tata ruang. Hal ini menunjukkan adanya kelalaian dalam proses perizinan dan pengawasan yang
penyelidikan dengan memanggil berbagai pihak yang terlibat dalam proses perizinan tersebut.
c. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada beberapa kriteria kegiatan yang dikecualikan dari kewajiban AMDAL. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi:
kegiatan yang dilakukan dalam rangka tanggap darurat bencana; kegiatan yang dilakukan dalam rangka menanggulangi keadaan darurat bencana; kegiatan penelitian dan pengembangan yang tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan;
kegiatan yang merupakan bagian dari usaha produksi yang secara nyata tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup; kegiatan budidaya yang secara nyata tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup; dan kegiatan yang berlokasi di kawasan yang telah memiliki AMDAL kawasan. Namun dalam kasus PT DJP yang merupakan pabrik garmen dengan skala operasional besar dan mempekerjakan ratusan karyawan, kegiatan tersebut tidak termasuk dalam pengecualian karena berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dari segi limbah, kebisingan, dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pabrik tersebut tetap wajib memiliki dokumen AMDAL sebelum memulai operasionalnya.
d. Berdasarkan kasus pelanggaran izin AMDAL PT DJP Pilangsari di Sragen tersebut, dapat dianalisis bahwa kewenangan penilaian AMDAL berada di tangan beberapa pihak yang terkait. Secara regulasi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, kewenangan penilaian AMDAL berada di bawah Komisi Penilai AMDAL. Di tingkat kabupaten/kota seperti Sragen, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memiliki peran sentral dalam proses penilaian AMDAL melalui Komisi Penilai AMDAL yang dibentuk. Komisi ini terdiri dari unsur-unsur seperti instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar di bidang yang berkaitan dengan jenis usaha yang dinilai, pakar di bidang yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan, wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, serta organisasi lingkungan hidup. Dalam kasus PT DJP ini, DLH Sragen bersama dengan DPMPTSP dan DPU-PR yang disebutkan dalam berita memiliki peran dalam proses perizinan, namun kewenangan utama dalam penilaian AMDAL
tetap berada pada Komisi Penilai AMDAL yang berkoordinasi dengan DLH sebagai leading sector-nya.
Referensi:
• Anwar, A., & Zulfa, Z. (2021). Implementasi Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Kebijakan Publik, 6(2), 13-24.
• Siregar, H., & Mulyati, N. (2021). Peranan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan Industri di Indonesia. Jurnal Lingkungan Hidup, 7(3), 45-58.
• Rahmawati, L., & Santoso, D. (2022). Implementasi PP No. 22 Tahun 2021 Terhadap Kegiatan Industri di Indonesia. Jurnal Manajemen Lingkungan, 8(1), 21-33.
NO.2
Berdasarkan kasus tumpahan minyak Pertamina Refinery Unit V di Balikpapan, dapat dianalisis bahwa gugatan administrasi dapat dilakukan sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan penting. Pertama, kasus ini melibatkan pelanggaran terhadap izin lingkungan yang dimiliki Pertamina, di mana terjadi kebocoran minyak mentah dari pipa bawah laut yang berdampak signifikan terhadap lingkungan. UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan administrasi terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan yang berkaitan dengan perizinan berusaha.
Lebih lanjut, dalam konteks ini, sanksi administratif yang diberikan KLHK kepada Pertamina menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap ketentuan lingkungan hidup. UU Cipta Kerja menegaskan bahwa setiap orang yang terkena dampak negatif dari penerbitan Perizinan Berusaha dapat mengajukan gugatan administratif. Mengingat dampak tumpahan minyak yang meluas hingga ke 12 lokasi berbeda termasuk kawasan pantai dan mangrove, masyarakat yang terdampak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan administratif, terutama jika pelaksanaan sanksi tidak dilakukan secara transparan atau tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Selain itu, proses gugatan administrasi juga dimungkinkan karena adanya kepentingan publik yang terdampak. Hal ini terlihat dari permintaan kalangan organisasi masyarakat sipil agar KLHK dan Pertamina transparan dalam pelaksanaan dan pengawasan sanksi. Ketika ada ketidakpuasan terhadap pelaksanaan sanksi administratif atau jika sanksi tersebut dianggap tidak memadai untuk mengatasi dampak lingkungan yang terjadi, masyarakat dapat menggunakan mekanisme gugatan administrasi sebagai upaya hukum yang tersedia dalam UU Cipta Kerja.
NO.3
a. Berdasarkan kasus tumpahan minyak Pertamina Refinery Unit V di Balikpapan, dapat dianalisis bahwa gugatan administrasi dapat dilakukan sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan penting. Pertama, kasus ini melibatkan pelanggaran terhadap izin lingkungan yang dimiliki Pertamina, di mana terjadi kebocoran minyak mentah dari pipa bawah laut yang berdampak signifikan terhadap lingkungan. UU Cipta Kerja memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan administrasi terhadap keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan yang berkaitan dengan perizinan berusaha.
Lebih lanjut, dalam konteks ini, sanksi administratif yang diberikan KLHK kepada Pertamina menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap ketentuan lingkungan hidup. UU Cipta Kerja menegaskan bahwa setiap orang yang terkena dampak negatif dari penerbitan Perizinan Berusaha dapat mengajukan gugatan administratif.
Mengingat dampak tumpahan minyak yang meluas hingga ke 12 lokasi berbeda termasuk kawasan pantai dan mangrove, masyarakat yang terdampak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan gugatan administratif, terutama jika pelaksanaan sanksi tidak dilakukan secara transparan atau tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
Selain itu, proses gugatan administrasi juga dimungkinkan karena adanya kepentingan publik yang terdampak. Hal ini terlihat dari permintaan kalangan organisasi masyarakat sipil agar KLHK dan Pertamina transparan dalam pelaksanaan dan pengawasan sanksi. Ketika ada ketidakpuasan terhadap pelaksanaan sanksi administratif atau jika sanksi tersebut dianggap tidak memadai untuk mengatasi dampak lingkungan yang terjadi, masyarakat dapat menggunakan mekanisme gugatan administrasi sebagai upaya hukum yang tersedia dalam UU Cipta Kerja.
b. Berdasarkan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan lebih dari sekedar teguran dalam menangani pelanggaran lingkungan yang dilakukan Pertamina. KLHK telah menerapkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah yang dituangkan dalam Surat Keputusan Nomor 2631 tertanggal 30 April 2018. Sanksi yang diberikan sangat komprehensif dan terstruktur, mencakup tujuh poin utama yang masing-
masing memiliki tenggat waktu pelaksanaan yang jelas, mulai dari 30 hari hingga 180 hari. Tindakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya berhenti pada tahap teguran lisan atau tertulis, tetapi telah mengambil langkah lebih tegas dengan memberikan sanksi yang mengikat secara hukum dan memiliki konsekuensi nyata.
Sanksi-sanksi tersebut mencakup berbagai aspek penting seperti pemulihan lingkungan, perubahan izin lingkungan, audit lingkungan, hingga pembuatan sistem penanganan dini. Keseluruhan sanksi ini menunjukkan pendekatan yang serius dan sistematis dalam menangani pelanggaran lingkungan, jauh melampaui format teguran biasa. Lebih lanjut, adanya tuntutan transparansi dan pelaporan berkala kepada publik menunjukkan bahwa sanksi ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk penegakan hukum lingkungan yang substansial dan berorientasi pada hasil nyata.
c. Berdasarkan kasus tumpahan minyak Pertamina di Balikpapan, jika sanksi administrasi tidak dijalankan, akan timbul beberapa konsekuensi serius. Pertama, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.2 Tahun 2013, ketidakpatuhan terhadap sanksi administratif dapat mengakibatkan peningkatan sanksi yang lebih berat, termasuk pembekuan atau pencabutan izin lingkungan. Hal ini dapat berdampak langsung pada operasional Pertamina RU V Balikpapan. Lebih jauh lagi, kelalaian dalam melaksanakan sanksi administratif dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, terutama di 12 lokasi yang terdampak tumpahan minyak termasuk kawasan pantai dan mangrove. Tanpa pemulihan lingkungan yang proper, ekosistem laut dan pesisir akan mengalami degradasi jangka panjang yang mempengaruhi keanekaragaman hayati dan mata pencaharian masyarakat pesisir.
Selain itu, ketiadaan sistem penanganan dini tumpahan minyak dan pemantauan otomatis yang merupakan bagian dari sanksi administratif dapat meningkatkan risiko terjadinya insiden serupa di masa depan. Tanpa audit lingkungan menyeluruh dan inspeksi pipa berkala, keamanan operasional kilang minyak tidak dapat dijamin, yang berpotensi membahayakan keselamatan pekerja dan masyarakat sekitar. Hal ini juga dapat mengancam keberlanjutan aktivitas ekonomi di sekitar wilayah operasional, seperti perikanan dan pariwisata. Merujuk pada Permen LH No.2/2013, ketidakpatuhan terhadap sanksi administratif juga dapat berujung pada tindakan pidana lingkungan hidup, yang tentunya akan membawa konsekuensi hukum yang lebih berat bagi perusahaan dan dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap komitmen perusahaan dalam menjaga lingkungan.
• UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
• Surat Keputusan Nomor 2631 KLHK
• UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup