Muhammad Ditya Satrianto_071911233044_Jurnal Review_week 10_Kelas A
Article · July 2023
CITATIONS
0
READS
71
8 authors, including:
Muhammad Ditya Satrianto Airlangga University 9PUBLICATIONS 0CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Muhammad Ditya Satrianto on 09 July 2023.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Sistem Hukum Indonesia: Sejarah Singkat Tradisi Yudisial Bangsa Indonesia dari Zaman Kolonial hingga Setelah Reformasi
Judicial tradition atau tradisi yudisial merupakan sistem yang diterapkan dalam masyarakat untuk menciptakan strukturitas sosial bagi kehidupan. Isi sistem yudisial adalah norma-norma dan aturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar teratur dan tertata. Norma-norma dan aturan ini disebut dengan istilah ‘hukum’, hukum bersifat memaksa dan apabila tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi.
Hukum bergerak sebagai ujung tombak dari keadilan dan kemakmuran. Kehidupan manusia apabila tidak adanya hukum akan bersifat uncivillied, barbarous, uneducated dan undeveloped. Intinya manusia tanpa hukum dapat bersifat kejam, rakus, tidak adil dan berujung kepada kehidupan masyarakat berbasis tyrani. Hal ini dapat dilihat melalui perkembangan sejarah hukum Indonesia yang merupakan gambaran tyrani kehidupan yang dipegang oleh pihak ekstern terutama Belanda (Windari, 2017). Dalam tulisan ini penulis bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai sistem hukum Indonesia dengan menitikberatkan kepada sejarah legalisasi hukum dari era kolonial hingga setelah reformasi dan perkembangan yang dicapainya.
Perkembengan sistem tradisi yudisial di Indonesia sangatlah panjang dan bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan sering ditemukanya perubahan-perubahan dalam sistem hukum Indonesia seiring dengan berjalanya waktu. Tatanan hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi pada periode yang berlaku. Hukum yang berlaku sekarang mengandung faktor historis asal muasal bangsa Indonesia dengan pengembangan terhadap hukum tradisional hingga menjadi bentuk hukum modern saat ini. Perkembangan hukum Indonesia dikategorikan menjadi tiga tahap: Pertama, periode penjajahan Belanda (1602-1942). Kedua, periode penjajahan Jepang (1942-1945). Ketiga, periode post-kemerdekaan dengan terciptanya tata hukum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perkembangan UUD 1945 telah mengalami berbagai amandemen dan pembaruan dari awal hingga berujung kepada era reformasi (Windari, 2017).
Pengaruh dari pihak ekstern terutama Belanda memiliki pengaruh yang besar terhadap sistem tatanan Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem hukum Indonesia saat ini memiliki kemiripan dengan sistem hukum Belanda yang merupakan bangsa yang menjajah Indonesia 350 tahun lamanya (Windari, 2017). Sejarah hukum pada periode kolonial berawal dari Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). VOC dibentuk oleh para pedagang Belanda pada tahun 1602 untuk melaksanakan kegiatan perekonomian di Indonesia, serta untuk mengurangi konflik antar pedagang dengan orang-orang pribumi. Namun berjalannya waktu VOC semakin berkembang dengan hak-hak istimewa yang telah diberikan oleh pemerintahan Belanda. Hal ini terlihat dengan adanya hak untuk monopoli perdagangan dan pelayaran, membetuk angkatan perang, mencetakan uang, mendirikan benteng pertahanan dan lain sebagainya (Djamali, 2012). VOC berakhir pada 31 Desember 1799 akibat dari aktor-aktor VOC yang menjalankan praktik korupsi yang merugikan negara Belanda. Maka dari itu VOC dibubarkan oleh pemerintah Belanda (Windari, 2017). Kegagalan VOC mengakibatkan
kekuasaan Hindia-Belanda dipegang pemerintah Belanda melalui tiga sistem hukum utama: pertama, hukum yang diperuntukan orang Eropa. kedua, Hukum yang diperuntukkan untuk orang Cina, Arab atau luar negri (Foreign natives). Ketiga, hukum yang diperuntukan untuk pribumi. Hal ini memperlihatkan stratifikasi sosial yang ada di Indonesia pada periode tersebut dengan orang Belanda di kalangan atas dan orang pribumi yang berada dibawah (Lev, 1985).
Tiga sistem hukum utama Indonesia berdasar kepada keinginan pemerintah kolonial Belanda yang berusaha mengatur keadaan sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat. Hal tersebut dilaksanakan melalui jalur koersif dan apabila ditentang akan mendapatkan hukuman atau sanksi berat. Sistem hukum pada masa kolonial berbasis kepada tiga aspek: pertama, Belanda berusaha menguasai politik dan ekonomi melalui jalur hukum. Hal ini terlihat dengan orang-orang Indonesia yang dijadikan sebagai produsen dan orang-orang foreign natives sebagai perantara perekonomian. Kedua, penjelasan terhadap permaslahan identitas dan mobilitas budaya. Hal tersebut meliputi penjelasan mengenai anak campuran antara Indo-Eropa yang diakui oleh pemerintah Belanda. Ketiga, Belanda sebagai dalang utama pelaksanaan dan penerapan administrasi bagi kehidupan di Indonesia. Keempat, ditemukanya berbagai peradilan pluralis di Indonesia: peradilan pemerintah untuk golongan Eropa, peradilan pemerintah bagi golongan non-eropa, peradilan islam dan peradilan adat (Lev, 1976).
Hukum yang dalam masa kolonial adalah pluralisme kolonial dan hukum adat Indonesia. Hukum adat Indonesia merupakan salah satu sistem hukum yang tertua dan yang diakui masyarakat Indonesia. Lev menjelaskan dalam bukunya Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State bahwa sembilan-puluh persen rakyat Indonesia menyetuji dan menganggapi sistem hukum tersebut. Hukum adat merupakan bentuk sistema kolonial Belanda dengan tujuan untuk menjaga masyarakat Indonesia agar tetap dibawah kendali dan otoritas Belanda (Lev, 1985). Hukum tertinggi di Indonesia adalah Landraad, sedangkan Eropa disebut sebagai Supreme Court. Kedua penerapan hukum memiliki tujuan yang sama yaitu penetapan pengadilan bagi masyarakat. Namun perbedaanya terletak pada subjeknya siapa yang dimasukan kedalam sistem hukum Landraad dan Supreme Court. Orang pribumi atau inlanders dimasukan kedalam Landraad sedangkan orang Eropa dimasukan kedalam Supreme Court. Hal ini merupakan bentuk generalisasi masyarakat asli Indonesia sebagai golongan terbawah dalam sistem hukum pada masa kolonial tersebut (Lev, 1965).
Berlanjut kepada era periode Jepang negara Indonesia memperoleh sedikit kebebasan dan kebanggaan akibat lepasnya ikatan dari tangan Belanda selama 350 tahun. Terjadinya perombakan sistem hukum akibat dari kedatangan Jepang, perombakan struktur hukum Belanda oleh Jepang dilaksanakan dengan perubahan mengenai siapakah penguasa tertinggi. Namun Indonesia diberikan kebebasan untuk menjalankan pemerintahan sendiri dan diperbolehkan untuk menjabat dalam pemerintahan. Kekuasaan tertinggi di Indonesia dibagi menjadi dua. Indonesia Timur dipegang oleh Angkatan Laut Jepang sedangkan Indonesia
barat dibawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang. Kekuasaan Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama akibat dari kekalahan yang dialami oleh Jepang dalam Perang Dunia II (Windari, 2017).
Pemegang hukum kekuasaan dipegang oleh rakyat Indonesia setelah kalahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Sistematika hukum Indonesia pada periode ini dinamakan sebagia periode kemerdekaan masa 1945- 1949. UUD 1945 ditetapkan sebagai tata hukum pemerintahan Negara Republik Indonesia pada periode ini.
Hal ini dilanjuti dengan periode 1950 hingga era sebelum reformasi, dimana tatanan hukum Undang-undang Serikat 1950 ditetapkan dengan tambahan peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Perjalanan tatanan hukum Indonesia berjalan menurun pada periode reformasi dimana permasalahan dan perombakan terjadi akibat dari krisis perekonomian dan ketidakmampuan Ir Soekarno dalam mengatasi permasalahan tersebut. Presiden Ir Soekarno digantikan dengan Presiden Soeharto dalam kursi kepresidenan.
Presiden Soeharto melaksanakan perubahan hukum dengan lebih membuka pintu Indonesai terhadap pihak ekternal. Namun permasalahan ekonomi juga melanda presiden kedua tersebut yang berujung kepada gerakan reformasi untuk kedua kalinya. Hal ini mengakibatkan kedudukannya digantikan oleh Presiden BJ. Habbie yang berusaha mengatasi krisis ekonomi tersebut. Keputusan Habibie sering dianggap kontroversial terhadap tatanan hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia membiarkan timor-timor untuk memperoleh kemerdekaanya sendiri. Maka dari itu banyak pihak yang tidak menyukai kebijakan dari Presiden BJ. Habibie (Windari, 2017).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konseptualisasi tradisi yudisial tidak terlepas dari faktor hukum yang berada di dalamnya. Hukum merupakan kunci kehidupan bagi masyarakat, apabila tidak ada hukum maka masyarakat akan kacau akibat tidak ada penjelasan mengenai apa yang benar dan salah.
Sejarah hukum di Indonesia sendiri tidak terlepas dari pihak-pihak luar yang berusaha menguasai Indonesia.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pihak ekstern inilah yang memberikan dampak yang besar terhadap sistem hukum Indonesia saat ini. Kesalahan-kesalahan dari para pemimpin bangsa patut diingat dan dihormati karena dengan mempelajari sejarah negara dapat mengetahui kesalahan-kesalahan pada periodenya. Maka dari itu pemahamanan konsep hukum merupakan kunci dasar keadilan dan perdamaian bagi suatu bangsa.
REFERENSI
Djamali, R. Abdoel. 1984. Hukum dalam Arti Tata Hukum, dalam Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Lev, Daniel S. 1976. Origins of the Indonesian Advocacy. Indonesia Vol. 21.
Lev, Daniel S. 1965. the Politics of Judicial Development in Indonesia, Comparative Studies in Society and History. Indonesia.Vol. 7, No. 2.
Lev, Daniel S. 1985. Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State, Indonesia. Vol. 40, Windari, Ratna. 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Depok: Rajawali Pers dan Rajagrafindo Persada.
View publication stats