`
ii Prosiding
KONFERENSI NASIONAL SOSIOLOGI VII Asosiasi Program Studi Sosiologi
Indonesia Mataram, 07–09 Mei 2018
TANTANGAN KEBHINEKAAN DI ERA DIGITAL
Tim Editor:
Syafruddin (Universitas Mataram) Sutina (Universitas Airlangga) Ida Ruwaida (Universitas Indonesia) Hamidsyukrie (Universitas Mataram)
Herlan (Universitas Tanjung Pura) Jendrius (Universitas Andalas) Ridho Taqwa (Universitas Sriwijaya) Siti Nurbayani (Universitas Pendidikan Indonesia)
Kerjasama:
APSSI dan Prodi Sosiologi dan Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Mataram
DiterbitkanOleh:
Penerbit FKIP Universitas Mataram Jl. Majapahit No.62 Mataram NTB Tlp: 0370-623873 Fax: 0370-634751
Cetakan Pertama, Mei 2018 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved vi + 1400. 21 x 29,7 cm.
ISBN: 978.602.1570.65.4
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataala, berkat limpahan karunia dan rahmat-Nya penyusunan prosiding Konferensi Nasional Sosiologi VII berhasil diselesaikan. Konferensi yang mengambil tema Tantangan Kebhinekaan di Era Digital akan berlangsung daritgl 07 –10 Mei 2018, melingkupi 9 sub-tema yang cukup luas dan beragam. Karena itu penyusunan prosiding ini juga disesuaikan dengan sub- tema yang ada dalam konferensi tersebut.
Prosiding ini mencakup beberapa sub-tema, yakni:
1. Tantangan Kebhinekaan di Aras Demokrasi Lokal 2. Manajemen Konflik dalam Kebhinekaan
3. Pendidikan Kebhinekaan di Era Digital
4. Kearifan Lokal dalam Mengelola Kebhinekaan 5. Peran Media dalam Merawat Kebhinekaana
6. Perubahan Relasi Gender dan Seksualitas di Era Digital
7. Komodifikasi Kebhinekaan Budaya Indonesia Untuk Pariwisata 8. Tantangan Relasi Keberagamaan di Era Digital
9. Tantangan Etika dan Moralitas Politik di Era Digital
Atas selesainya penyusunan prosiding ini, terima kasih tak terhingga diucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung mulai dari pelaksanaan konferensi sampai penyusunan prosiding ini. Kepada pengurus pusat Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI), Rektor Universitas Mataram, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unram, paraeditor, panitia pelaksana serta semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksaan Konferensi Nasional Sosiologi VII dan penyusunan prosiding ini yang namanya tidak mungkin disebutkan satu-persatu, diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Mataram, 18 Mei 2018
Tim Editor
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
DaftarIsi ii
Ngejunjong Mi: Kearifan Lokal dalam Tradisi Nemui Nyimah Marga Legun Way Urang Oleh Bartoven Vivit Nurdin dan Yuni Ratnasari……….2
Mengindonesia Tantangan Etnisitas dan Identitas Bangsa Hari Ini
Oleh Gede Kamajaya...25
Kearifan Lokal dan Kohesi Sosial dalam Masyarakat Multietnik
Oleh Haslinda B dkk...37
Membaca Kearifan Lokal Bali dalam Panggung Kehidupan Berbhineka
Oleh Ni Luh Nyoman Kebayantini………...52
“Dukun”: Penjaga Tradisi dan Harmonisasi Antar Umat Beragama pada Masyarakat Adat Suku Tengger
Oleh Okta Hadi Nurcahyono………...………....70
Membangun Kebhinekaan dan Pluralitas Berbasis Kearifan Lokal Melalui Produksi Kultural Di Kampung Islam Kepaon Denpasar
Oleh Riza Wulandari………..………..………86
Kearifan Lokal Sebagai Integritas Kebhinekaan Umat Beragama Di Indonesia
Oleh Suparman Jayadi, Argyo Demartoto,Drajat Tri Kartono…………..………..…110
v Tradisi “Peraq Api” dalam Tinjauan Teologis-Sosiologis: Kajian Fenomenologi Ritual Pasca Persalinan Suku Sasak Di Lombok Tengah)
Oleh Nuruddin…………...…………120
Kearifan Lokal Laut Aceh Sebagai Praktik Merawat Kebhinekaan Indonesia
Oleh Nurkhalis... 137
Kearifan Lokal Gotong Royong: Penguatan Integrasi Sosial Berbasis Dimensi Struktural Masyarakat
Oleh Supriyadi...167
Menghidupkan Pendidikan Kebhinekaan Untuk Kemerdekaan Berfikir
Oleh Ignatius Bayu Sudibyo………...……185
Med-Medan: Antara Tradisi dan Pertunjukan
Oleh Ni Made Anggita Sastri Mahadewi………...………206
Kearifan Lokal dalam Mengelola Kebhinekaan Di Tanjung Pinang
Oleh Sri Wahyuni, M.Si. dan Marisa Elsera, M.Si ..………...…226
Kearifan Lokal Masyarakat Pandalungan dalam Merajut Kebhinekaan (Agama)
Oleh Abdus Sair, Azizah Alie………...………...………238
Wanna Peringga: Kearifan Lokal Untuk Merawat Kebhinekaan dan Lingkungan Pada Marga Ratu Keratuan Darah Putih Lampung
Oleh Yuni Ratnasari dan Bartoven Vivit Nurdin……….243
Pendidikan Kebhinekaan Untuk Mengembangkan Kecerdasan Sosial
Oleh Sigit Pranawa dan Rahesli Humsona……….…………...……..………...266
vi Peran Media dalam Sosialisasi Internalisasi Norma Sosial Berlalulintas Remaja Pengguna Sepeda Motor Di Kota Padang
Oleh dwiyanti Hanandini, Wahyu Pramono, Indraddin, Nini Anggraini………...284
Mencegah Tindak Kekerasan Anak Melalui Pemberdayaan Stakeholders Pendidikan:
Sebuah Model Konseptual Oleh Wahyu Pramono, Dwiyanti Hanandini, Elfitra, Nini Annggraini……….………..………...308
Pendidikan Nilai Kebhinekaan pada Kalangan Mahasiswa Di Era Digital
Oleh Bagus Haryono dan Ahmad Zuber………...………...………..330
Permainan Tradisional Sebagai Pemupuk Kebinekaan Di Kalangan Anak
Oleh Sri Hilmi Pujihartati dan Mahendra Wijay...……...………...…….347
Pemahaman Nilai-Nilai Multikultural Untuk Penguatan Karakter Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Inovatif.
Oleh Hamid Syukrie Zm………...………..359
Urgensi Pemahaman Mahasiswa Tentang Multikulturalisme: Refleksi Atas Realitas Kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Nkri)
Oleh Dr. Yunindyawati, S.Sos Msi………...………...372
Memperkuat Karakter Toleransi dan Cinta Damai Melalui Pembelajaran Multikultural Penerapan Kolaborasi Model Pap dan Tsts
Oleh Hairil Wadi, Hamidsyukrie, Zm………....………378
Pengembangan Materi Sosiologi Berbasis Kearifan Lokal: Ke arah Pembelajaran Kontekstual
Oleh Masyhuri………...………...396
vii Penggunaan Media Interaktif dalam Peningkatan Pemahaman Mahasiswa Terhadap Konsep Mukltikultural Di Eradigital
Oleh Yanti Sri Wahyuni………...……….……….407
Millennial dan Kebhinekaan: Tantangan Keberagaman Etnis Di Era Digital
Oleh Siti Nurbayani, Leni Anggraeni, Fajar Nugraha Asyahidda………..………428
Multikultural dan Toleransi Antar Etnis Masyarakat Minangkabau Di Sumatera Barat Oleh Nilda Elfemi……….………..447
Tantangan Relasi Keberagamaan Di Era Digital: Refleksi Dari Sleman dan Prambanan Oleh Suryo Adi Pramono dan Fx Bambang K. Prihandono, Gitowiratmo, Al. Wisnubro...461
Peran Strategis PKK dalam Merawat Kebinekaan dalam Aras Demokrasi Lokal
Oleh Thomas Aquinas Gutama………………….………501
Nasionalisme dalam Gempuran Kosmopolitanisme Globalisasi
Oleh Wahyu Budi Nugroho………..………..………514
Kemandirian Pangan Berbasis Kebhinekaan: Studi Atas Fungsi dan Peran Media Massa Di Kota Malang
Oleh Astrida Fitri Nuryani, Mondry...520
Wali Nanggroe: Institusi Kepemimpinan Adat Aceh dan Tantangan Aras Demokrasi Lokal.
Oleh Siti Ikramatoun...544
Tantangan Integrasi Sosial dalam Merawat Keberagaman Etnis Di Era Modernisasi Oleh Suharty Roslan, Sarpin. Juhaepas….....560
viii Tantangan Relasi Keberagamaan Di Era Digital: Refleksi Dari Sleman dan Prambanan Oleh Suryo Adi Pramono dan Fx Bambang K. Prihandono, Gitowiratmo, Al. Wisnubroto..461
Rekontekstualisasi Ajeg Bali: Sintesa Antara Konservasi Budaya dan Developmentasi Di Bali.
Oleh I Gusti Made Arya Suta Wirawan……...……….583
Komodifikasi Kebhinekaan Budaya Warga dalam Pengembangan Pariwisata Sungai Di Kota Surakarta.
Oleh Siti Zunariyah…………...………...614
Relasi Sosial Antara Etnis Tionghoa dan Masyarakat Pesisir Di Kelurahan Malabero Kota Bengkulu.
Oleh ika Pasca Himawati, heni Nopianti, ………...……….634
Manajemen Konflik pada Masyarakat Multietnik (Studi Kasus Di Daerah Pemukiman Transmigrasi)
Oleh Jamaluddin Hos………...………...648
Mitigasi Konflik Di Lingkar Tambang: Studi Tentang Kontribusi Program Tanggung Jawab Sosial (Csr) Pt. Vale Indonesia Di Sorowako
Oleh Sawedi Muhammad, Mansyur Radjab,Rahmat Muhammad,,,,……….……666
Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Pedesaan Melalui Manajemen Konflik Reformasi Agraria
Oleh Ahmad Zuber………...………...681
Manajemen Konflik dalam Pengelolaan Kawasan Kaombo Laut pada masyarakat Adat Wabula Kabupaten Buton
Oleh Dewi Anggraini, .………...…………...692
ix Belajar Manajemen Konflik Pembangunan Kembali Pasar Di Surakarta
Oleh Eva Agustinawati….…..………………719
Upaya Kelompok Tani Perempuan dalam Managemen Konflik Lingkungan
Oleh Isnaini……………..………...…739
Modal Sosial, Unity Symbol Awareness, dan Kapasitas Deteksi Dini Konflik pada Komunitas Pasca Konflik Komunal Di Provinsi Lampung.
Oleh Sindung Haryanto………..………751
Resolusi Konflik dalam Sengketa Tambang Emas Di Tumpang Pitu Banyuwangi Oleh Joharotul Jamilah………..………………..…..781
Pemanfaatan Media Komunikasi pada Penyelesaian Konflik Antar Kelompok Di Gunung Jati Kota Kendari
Oleh Megawati Asrul Tawulo Dan Bakri Yusuf………...………806
Pemberdayaan Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Pencegahan Perceraian
Oleh Fachrina, Maihasni, Sri Meiyenti………….………..……..826
Merajud Keharmonisan dalam Keberagaman Di Era Digital.
Oleh Ign. Suksmadi Sutoyo………...………844
Kebhinnekaan dan Segmetasi Kewilayahan NKRI: Isu-Isu Seputar Keberagaman Bahasa, Konflik Sosial, dan Disintegrasi Bangsa.
Oleh Mahsun………..……….……861
Kearifan Lokal: To Parenge Sebagai Manajemen Konflik (Kasus Penyelesaian Konflik Lahan Di Tana Toraja).
Oleh Suparman Abdullah, Sultan, Rano Saputra Matande……..………...………897
x Manajemen Konflik pada Masyarakat Adat Lindu dalam Pelaksanaan Pembangunan Oleh Ferdinand Kerebungu……….…..914
Rekonsiliasi Sintuwu Maroso Untuk Pembangunan Perdamaian Di Poso.
Oleh Tony Tampak………..……….………………...930
Relasi Gender dan Seksualitas dalam Kasus Tindakan Aborsi Di Tanjungpinang.
Oleh Marisa Elsera, Emmy Solina…….………..……….....955
Analisis Gender Model Moser: Kebutuhan Ibu Rumah Tangga dalam Penanggulangan HIV/AIDS.
Oleh Argyo Demartoto, Bhisma Murti, Siti Zunariyah…...……………....966
Kesenjangan Gender dalam Karir Akademik Studi Refleksifitas Atas Relasi Gender dalam Keluarga Di Kalangan Akademisi Perempuan Di Jakarta.
Oleh Dzuriyatun Toyibah………………...988
Perubahan Relasi Gender dan Seksualitas Di Era Digital: Kajian Tentang Prostitusi Di Kota Surakarta.
Oleh Rahesli Humsona,Mahendra Wijaya, Sri Yuliani,Sigit Pranawa………....1008
Wanita Pemecah Batu; Antara Komplementer Peran Gender dan Adaptasi Ekonomi Oleh Dwi Setiawan Chaniago dan Anisa Puspa Rani………1022
Perempuan Senaru dan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dalam Pengembangan Sektor Informal Di Kawasan Wisata Taman Nasional Gunung Rinjani (Tngr).
Oleh Ika Wijayanti, dkk………..……….….1044
Pergeseran Relasi Gender dalam Keluarga Migran Indonesia Di Era Digital
Oleh Ria Renita Abbas, Mansyur Radjab, Sakaria Toa Anwar………...…………1054
xi Penguatan Modal Sosial dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Era Digital Oleh Sudirah…….……….………..….1116
Pemahaman Politik Generasi Milenial.
Oleh Agnes Yovani Br Depari,dkk………...………..1129
Anak Muda dan Neo Sufisme: Membangun Identitas Sosial Kelompok Agama Di Era Digital
Oleh Ahmad Abrori…….…...………..….1142
Peran Media Sosial Instagram Terhadap Eksistensi dan Sosialisasi Keberagaman Budaya Di Indonesia.
Oleh Ahmad Khoirur Roziq,dkk……...………...1159
Pembangunan Agribisnis, Hak-Hak Komunitas Tempatan dan Upaya Mitigasi
Oleh Rspo : Suatu Telaah Literatur Oleh Zuldesni, Afrizal, Elfitra…...……………1170
Etnis Peranakan Tionghoa Di Negeri Syariat Islam1 (Suatu Kajian Adaptasi Dengan Masyarakat Meulaboh)
Oleh Triyanto………...……...………1190
Peran Media Baru dalam Membentuk Komunitas Virtual Di Kalangan Mahasiswa Fisip Universitas Halu Oleo
Oleh Joko. Masrul, Muh.Arsyad, ..………...….1216
Penanggulangan Anak Jalanan Untuk Keberlanjutan Kehidupan Berbangsa (Studi Di Kota Padang, Payakumbuh dan Bukittinggi Sumatera Barat)
Oleh Alfan Miko dan Indraddin......1228
xii Konteks Penggunaan Simbol Komunikasi Masyarakat Transmigran Jawa Dengan Masyarakat Lokal Di Desa Alebo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
Oleh Sutiyana Fachruddin, Bakri Yusuf, Sarpin...………1260
The Evaluation Examination Systems Online (Suo) On Open University Jakarta
Oleh Heri Wahyudi………..……….1276
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 1
BAGIAN I:
KEARIFAN LOKAL
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 37 KEARIFAN LOKAL DAN KOHESI SOSIAL
DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK
Haslinda B. Anriani1, Dahlan Hasan2, Harifuddin Halim3, Rasyidah Zainuddin4, Andi Burchanuddin5, Ansar Arifin6, Abdul Malik Iskandar7,
Nurlina Subair8, Nila Sastrawati9, Syamsu Kamaruddin10, Muhammad Masdar11, Arfenti Amir12
1Universitas Tadulako Palu Email: [email protected]
9 Universitas Tadulako Palu Email: [email protected]
3UPRI Makassar
Email: [email protected]
4Universitas Bosowa Makassar Email: [email protected]
5Universitas Bosowa Makassar Email: [email protected]
6Universitas Hasanuddin Makassar Email: [email protected]
7STKIP Mega RezkiMakassar Email: [email protected]
8Universitas Muhammadiyah Makassar Email: [email protected]
9UIN Alauddin Makassar Email: [email protected]
10UPRI Makassar
Email: [email protected]
11STKIP Cokroaminoto Pinrang Email: [email protected]
12STKIP Mega Rezki Makassar Email: [email protected]
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 38
Abstrak
Pada dasarnya setiap etnik memiliki kecenderungan untuk menciptakan kohesi sosial dalam proses sosialnya baik internal maupun eksternal. Hal tersebut terlihat dalam norma sosial budaya masing- masing etnik melalui ajaran-ajaran tentang persatuan, toleransi atas perbedaan, kerja sama, dan sebagainya. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka tulisan ini mengeksplorasi kearifan lokal etnik yang ada di Kota Palu yaitu etnik Kaili dengan ‘Nosarara Nosabatutu’-nya dan etnik pendatang Bugis dengan “Ma’bulo Sipeppa”.Eksplorasi dilakukan dengan mengumpulkan data dari masyarakat lokal dan pendatang tentang kearifan lokal masing-masing, dan dari aparat kelurahan tentang upaya mereka menciptakan kohesi sosial bagi kehidupan sosial warganya.Data hasil wawancara tersebut dicari titik temunya terkait kohesi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua jenis kearifan lokal masing-masing etnik tersebut memiliki makna yang sama yaitu mewujudkan ‘persatuan’ yang didasarkan atas persaudaraan kemanusiaan. Persaudaraan tersebut mereka lakukan dalam bentuk kegiatan warga yang dipelopori oleh aparat kelurahan.
Kata Kunci: kearifan lokal, budaya, etnik, kohesi sosial, multietnik.
PENDAHULUAN
Secara substansial, setiap budaya memiliki nilai dan prinsip yang lahir dari proses sosial manusia dalam mewujudkan nilai kehidupan manusia yang hakiki.
Nilai kehidupan tersebut terwujud dalam keselarasan kosmologi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan sesama manusia itu sendiri.
Dalam setiap budaya, nilai hakiki tersebut tertuang dalam bentuk filosofi masing-masing budaya berdasarkan karakteristiknya. Misalnya, dalam budaya Mandar dikenal ‘Mallele boyang’ (persatuan dan gotong royong), dalam budaya Makassar dikenal ‘a’bulo sibatang’ (sebilah bambu dipegang bersama), dalam budaya Bugis dikenal ‘Ma’bulo Sipeppa’ (saling bersatu). Budaya Kaili mengenal istilah ‘Nosarara Nosabatutu’ (bersatu dan bersama).
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, nilai-nilai budaya tersebut mengalami goncangan nilai yang berujung pada timbulnya kekerasan antar etnik.
Sejumlah kasus yang pernah mengemuka, antara lain: konflik antara masyarakat Rongkong (pendatang) dengan masyarakat Baebunta (lokal) di Luwu Utara (Tina, 2004), konflik masyarakat Desa Se’pon dan Pelalan di Lamasi Luwu (Zakaria, 2000), konflik warga pendatang dengan warga lokal di Padangsappa Luwu (Khaeruddin, 2001), konflik antara penduduk asli dengan migran (pendatang) di Kalimantan Barat (Tirtosudarmo, 2001), termasuk konflik etnik di Ambon, Sampit, Sanggauledo, Kupang, Mataram, Poso, Bima, (Sihbudi & Nurhasim, 2001; Surata
& Andrianto, 2001).Pada sisi lain, hasil penelitian Masdar (2011) tentang integrasi
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 39 masyarakat multietnik di Kecamatan Wonomulyo Kabupaten Polman justru menemukan harmonisasi dan kohesi sosial masyarakat lokal dengan pendatang.
Kota Palu sebagai kota multietnik juga pernah mengalami gangguan proses sosial antara masyarakat lokal dengan pendatang. Tercatat sejumlah konflik yang pernah terjadi seperti konflik Pasar Manonda (St. Hajar N. Aepu, dkk., 2015), dan konflik Pemilukada Kabupaten Poso (Nawawi, dkk., 2012). Tetapi, sejak pemerintah Kota Palu mencanangkan kearifan lokal sebagai pemersatu warganya, konflik kekerasan berangsur-angsur berkurang. Bahkan, para pendatang juga menjadi bagian dalam mewujudkan persatuan melalui artikulasi kearifan lokal masing-masing.
Dalam konteks tersebut, tulisan ini mengungkapkan proses implementasi kearifan lokal budaya Kaili dan budaya Bugis-Makassar dalam mewujudkan kohesi sosial di Kota Palu.
TINJAUAN PUSTAKA Kohesi Sosial
Dalamilmu-ilmu sosial, istilah kohesi sosial mengacu pada suatu model keseimbangan (equilibrium) dalam rangka mencapai suatu tingkat stabilitas sosial (sosial stability).Gambaran mengenai kohesi sosial antarkelompok dan antaretnik dalam pandangan Pelly (1993) pada dasarnya merupakan suatu kontinum dari yang terendah sampai yang tertinggi pada aspek yang mencerminkan terjadinya keserasian yaitu aspek kerjasama, akomodasi, akulturasi dan asimilasi.Adanya kerjasama antarkelompok baru merupakan bibit tercapainya kohes sosial, meskipun hal tersebut lebih diikat oleh adanya saling ketergantungan dalam kepentingan.Dalam konteks penelitian ini, kerjasama tersebut didasari oleh munculnya kesadaran individu kelompok etnik atas nama nilai budaya mereka berupa kearifan lokal.
Beberapa definisi kohesi sosial sebagaimana yang dikutip: Lembaga Penelitian UNPAD (1992), antara lain sebagai berikut:
a. Harmonisasi sosial adalah suatu kondisi kehidupan manusia di dalam unsur keakraban, tanggungjawab, kesatuan dan keseimbangan sehingga
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 40 memungkinkan berlangsungnya kehidupan dan perkembangan warga di dalam masyarakat.
b. Harmonisasi sosial adalah suatu pola hubungan antaranggota suatu komunitas yang mampu memberikan kepuasan lahir batin bagi anggota-angota komunitas tersebut.
c. Harmonisasi sosial adalah kerukunan hidup bersama yang dinamis yang ditandai oleh adanya kerjasama, akomodasi, akulturasi dan atau asimilasi.
d. Harmonisasi sosial adalah suatu keadaan dan hubungan interaksi yang mengakomodasikan perbedaan antar berbagai kelompok di dalam masyarakat sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa kohesi sosial sosial mencerminkan suatu keadaan integrasi yang ditandai adanya perpaduan, keserasian serta cenderung menampakkan adanya kerjasama saling beradaptasi, asimilasi dan akomodasi. Hal lain bahwa dalam harmonisasi sosial itu terjadi interaksi atau hubungan timbal balik dalam proses sosial. Dapat dikatakan interaksi sosial individu merupakan unsur penting dalam rangka terwujudnya harmonisasi sosial dalam suatu sistem sosial. Parsons (1951: 5), Ritzer (1992: 244) menyatakan bahwa sistem sosial adalah: “Sistem sosial terdiri dari interaksi dan berlangsung dalam pluralitas individu yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang termotivasi dalam hal kecenderungan untuk“ optimalisasi gratifikasi ”dan yang hubungannya dengan mereka situasi, termasuk satu sama lain, didefinisikan dan dimediasi dalam hal sistem simbol budaya yang terstruktur dan bersama”.
Menurut definisi tersebut, bahwa di dalam sistem sosial terdapat beragam individu sebagai aktor.Dalam interaksi, aktor dimotivasi oleh keinginan untuk mengoptimalisasikan rasa puas terhadap diri dan lingkungannya. Untuk itu individu melakukan proses interaksi dengan orang lain yang mengacu pada nilai- nilai budaya yang dianut sebagai sesuatu yang bermakna baginya. Mekanisme interaksi itu menggunakan simbol seperti bahasa yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu iklim hubungan yang dinamis.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 41 Kearifan Lokal
Bagi etnik lokal di Kota Palu, nilai budaya mereka dikenal dengan nama Nosarara Nosabatutu yang berarti bersatu dan bersama untuk mencapai tujuan yang satu. “Nosarara Nosabatutu” adalah semboyan dalam dialek Kaili (bahasa suku kaili).Tujuan utama adalah memperbaiki kehidupan masyarakat dengan menghilangkan penderitaan mereka sehingga mencapai kemakmuran.Tahapannya mulai dari pemenuhan kebutuhan asasi manusia.Dalam prosesnya, masyarakat Palu melakukan Duduk bersama dalam “Libu” pertemuan, dengan mengedepankan slogan “nosarara nosabatutu” (bersaudara, senasib sepenanggungan), agar terwujud
“Maliu Ntinuvu” (Hidup sejahtera berkesinambungan).
Masyarakat Bugis di Kota Palu juga mengedepankan kearifan lokal mereka sebagai implikasi persatuan dan kesatuan yaitu ‘Ma’bulo Sipeppa”.Menurut Kulle
& Tika (2008: 27) bahwa a’bulo sibatang bermakna persatuan yang mengental, dan merupakan simbol kekuatan dalam persatuan.Bagi masyarakat Bugis dan Makassar, prinsip hidup yang mempersatukan mereka secara Ma’bulo Sipeppa untuk mencapai tujuan bersama adalah siri’ na pacce (bahasa Makassar) atau siri’ na pesse (bahasa Bugis).
Menurut Rusli (2015) bahwa siri’ na pacce adalah akar peradaban masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Makassar yang mengenal siapa sesungguhnya dirinya, yaitu Taubaji (orang yang baik) selaku potret jati dirinya. Mashadi Said dan Andi Faisal Bakti mengemukakan bahwa “seseorang dapat disebut manusia apabila ia mampu menempatkan dirinya sebagai tau” (Pongsibanne, 2010: 140). Pandangan ini bermakna bahwa perkataan dan perilaku seseorang menempatkan posisi dirinya sebagai manusia yang bermartabat atau berkarakter.
Siri’ na pacce berpangkal pada falsafah sipakatau yang bermakna saling memahami dan menghargai secara manusiawi pada semua sektor kehidupan.
Dengan menegakkan siri’ na pacce secara positif, berarti seseorang menerapkan falsafah sipakatau dalam pergaulannya. Jika tidak, maka manusia akan menjadi seperti binatang yang kejam terhadap sesamanya, serta sifat manusiawinya hilang (Limpo, dkk., 1995: 92).
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 42 Siri’, pacce, dan sipakatau merupakan satu kesatuan dalam kebulatan pola perilaku masyarakat Sulawesi Selatan, termasuk masyarakat Sulawesi Barat untuk membangun martabat (harga diri) dan pribadi yang teguh (Hamid, dkk., 2009: 62).
Sejalan dengan itu, Salam (dalam Nonci, 2015: 43) menjelaskan bahwa ”siri’
merupakan nilai moralitas yang bersifat universal, terdapat pada setiap kelompok masyarakat yang berbudaya, namun disisi lain memiliki keunikan yang terletak pada cara pandang (kriteria) dan reaksi terhadap masalah yang berhubungan dengan hak-hak dan kewajiban sebagai manusia”. Selain itu, siri’ yang membawa manusia (tau) untuk melakukan interaksi sosial, dan terikat bersama dengan pesse’ sehingga menimbulkan motivasi yang kuat untuk melakukan tindakan siri’. Oleh karena itu, apabila telah terjadi masalah siri’, maka yang menjadi wujud pengendalinya adalah pesse’ (Pongsibanne, 2010: 140)
Masyarakat Multikultural
Dalam suatu masyarakat pasti ditemukan banyak kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik berbeda-beda.Perbedaan-perbedaan karakteristik itu berhubungan dengan tingkat diferensiasi dan stratifikasi sosial.Masyarakat seperti ini disebut sebagai masyarakat multikultural.Awalnya masyarakat multikultural sering juga disebut masyarakat majemuk atau plural.Banyak pendapat yang menyamakan hal tersebut, namun dalam perkembangannya terdapat perbedaan jelas mengenai masyarakat multikultural dan masyarakat majemuk atau plural.
Menurut Furnival (Masdar, 2011), masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah sena memiliki struktur kelembagaan yang berbeda dengan yang lain.
Menurut Nasikun (1993), masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 43 Menurut Colby dan Van den Berghe(1969)la tidak membuat suatu definisi khusus tentang masyarakat multikultural tetapi menyebutkan beberapa karakteristik yang merupakan sifat-sifat masyarakat multikultural yaitu: (1) Terjadi segmentasi ke dalam kelompok sub budaya yang saling berbeda. (2) Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga non-komplementer.
METODE PENELITIAN
Paper ini bersifat deskriptif kualitatif.Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap tokoh-tokoh adat Kaili dan tokoh masyarakat Bugis yang ada di Kota Palu; pengamatan terhadap realitas sosial berupa interaksi warga Kaili dengan pendatang Bugis dalam keseharian mereka, termasuk dalam kegiatan resmi di lingkungan RT/RW dan kelurahan.Data yang dikumpulkan lalu dianalisis secara kualitatif menggunakan metode tiga jalur.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN Profil Sosial dan Budaya Kota Palu
Penduduk asli di Palu adalah suku Kaili.Suku lainnya yang bisa dijumpai di Palu adalah Bugis, Makassar, Jawa, Toraja, dan sebagainya. Suku India, China dan Arab juga bisa dijumpai di kota yang indah ini. Ciri khas orang Palu adalah sederhana, partisipatif, ramah dan suka menolong.Mereka juga suka tinggal secara berkelompok.Pakaian tradisional suku Kaili sangat bercorak yang menandakan bahwa mereka adalah orang yang sangat atraktif.
Pusat kegiatan bisnis ada di Palu sebagai ibukota propinsi. Itulah sebabnya mengapa penduduk di kota Palu lebih beragam dibandingkan daerah lain di Sulawesi Tengah. Namun, sebagian penduduk asli masih bermukim di daerah pegunungan.Mereka disebut orang "TOLARE". Para masyarakat unik ini masih menjaga cara hidup tradisional mereka. Penduduk di Palu memiliki satu filosofi hidup yang selalu mereka jaga dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.Filosofi itu adalah NOSARARA NOSABATUTU yang berarti Bersama Kita Satu. Itulah gambaran kebersamaan untuk mencapai tujuan keberhasilan.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 44 Terlibat dalam kegiatan masyarakat
Pemerintah Kota Palu memiliki program yang berbasis kegiatan masyarakat.Tujuannya adalah meningkatkan partisipasi warga agar memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan.Hal ini disambut baik oleh semua warga terutama di tingkat RT/RW. Pada saat ada kegiatan kelurahan, warga akan terlibat untuk mensukseskannya. Beberapa di antara kegiatan tersebut bersifat rutin, seperti: kegiatan Sabtu Bersih, Porseni Tingkat RT/RW, dan Silaturrahmi Rutin di Aula Kelurahan masing-masing.
Di Kelurahan Mamboro, kegiatan Sabtu Bersih seakan-akan sudah otomatis berlangsung tanpa komando atau pemberitahuan dari kelurahan. Pada saat tiba hari Sabtu pagi, para warga telah berada di halaman rumah masing-masing melakukan berbagai hal yang terkait program kebersihan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Rahmat (44 Tahun) staf kelurahan, yaitu:
“…satu hal yang kami syukuri adalah adanya kesadaran warga dan inisiatif mereka untuk terlibat dalam kegiatan kelurahan. Sebenarnya, kegiatan seperti ini bukanlah untuk pemerintah, melainkan untuk mereka sendiri yang manfaatnya telah mereka rasakan sama-sama dalam kehidupan bertetangga…”
Lain halnya dengan pengalaman yang diceritakan oleh seorang informan lainnya Rusli (50 Tahun) seorang pendatang yang telah menjadi warga Palu, menyatakan:
“…saya senang sekali dengan adanya kegiatan kelurahan yang sifatnya rutin seperti ini. Kami rata-rata sibuk di luar sehingga kurang waktu untuk ngobrol dengan tetangga.Dengan kegiatan ini, kita memaksa diri untuk terlibat dan dapat berkenalan dengan tetangga. Sebagai pendatang yang menganut prinsip
‘kebersamaan’ (Ma’bulo Sipeppa’) orang Bugis, maka kegiatan inilah penyalurannya..
Selain kegiatan Sabtu Bersih, yang paling menarik juga adalah kegiatan Arisan RT/RW yang diselenggarakan bersama.Misalnya di RT. 06 RW.09 Kelurahan Mamboro, kegiatan Arisan bulanan telah berlangsung 2 bulan.Arisan ini makin lama makin ramai karena kaum ibu yang terlibat sebagai peserta arisan
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 45 makin bertambah jumlahnya. Hal tersebut diceritakan oleh Ketua Kelompok Arisannya Ibu Rahmi (40 Tahun):
“…arisan RT/RW ini dimaksudkan untuk mempersatukan warga di sini. Supaya banyak yang terlibat, uang arisannya disesuaikan kemampuan rata-rata warga, dengan standar 50 ribu sudah termasuk konsumsinya. Karena itu, arisannya sampai sekarang makin ramai karena bertambah pesertanya dari RT sebelah…”
Uraian ketua kelompok arisan di atas dipertegas oleh salah seorang Ketua RT/RW yaitu Ramli (49 Tahun), bahwa:
“…sebagai penduduk asli di sini sekaligus sebagai ketua RT, saya ingin semua warga saya hidupnya aman dan tenteram serta bersatu. Bila ini terjadi maka persoalan sosial dapat diatasi bersama berdasarkan prinsip Nosarara Nosabatutu.Oleh karena itu, atas inisiatif dari warga sendiri dibuatkanlah beberapa kegiatan untuk mempertemukan mereka dalam suasana santai dan gembira seperti kegiatan arisan bulanan tersebut..”
Mencermati uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada keinginan yang begitu kuat dari warga lokal dengan pendatang untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan saling berdampingan.
Menghadiri AcaraTetangga
Baik suku Kaili maupun suku Bugis, keduanya memiliki banyak ritual budaya.Beberapa di antaranya pada saat pesta pernikahan, dan upacara kelahiran.Kegiatan seperti ini yang menjadi ajang bagi warga pendatang untuk memperkenalkan diri pada tetangganya yang menyelenggarakan hajatan tersebut.
Adapun kegiatan keluarga yang paling sering diadakan antara lain; baca doa, barzanji, pesta pernikahan, pesta akikah, pindah rumah, dan arisan. Dalam kegiatan ketetanggaan inilah warga dalam satu RT/RW akan saling mengundang untuk menghadiri acara tersebut.
Bagi warga Kota Palu yang umumnya beragama Islam, sejumlah kegiatan ketetanggaan tersebut bukan sekedar ritual semata melainkan mengandung unsur keagamaan Islam di dalamnya.Dengan mengundang tetangga, berarti mengundang mereka untuk datang mendoakan dan memberi restu. Hal tersebut sebagaimana
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 46 diceritakan oleh seorang informan La Hami (60 Tahun) sesepuh warga Kaili di Mamboro, yaitu: “…bila ada kegiatan keluarga di sini, umumnya pasti ramai undangan datang karena mereka menganggapnya mengandung pahala dan kebaikan. Misalnya kita menghadiri pesta pernikahan berarti kita merestui, mendoakan pengantin supaya berbahagia dan langgeng membina rumah tangganya. Itukan bagus doanya….”
Hal yang sama juga diceritakan oleh H. Mulyadi (55 Tahun) seorang pendatang dari Bugis yang telah menetap 20 tahun di Kota Palu, yaitu: “…selama saya merantau dan menetap di sini, di tengah-tengah orang Kaili, saya tidak pernah mengalami masalah dengan mereka. kami semua baik dan rukun, saling menghormati. Ini terjadi karena saya selaku pendatang tahu diri di kampung orang.
Kami juga menjaga harga diri orang Bugis dengan ‘Siri’na Pesse-nya sehingga kami dapat bertahan hingga sekarang ini..”
Uraian wawancara di atas menggambarkan betapa para pendatang sangat menghargai prinsip manusia Bugis sebagai perantau di kampung orang.Para pendatang bugis tersebut menerapkan prinsip “dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung” sebagai wujud penghormatan terhadap tuan rumah yaitu orang Kaili.
Berbagi Sesuatu Pada Tetangga
Hidup bertetangga merupakan sarana yang baik untuk membangun kohesi sosial.Tetangga merupakan saudara tak sekandung yang terdekat.Dalam rangka mempererat ikatan pertetanggaan, hal yang paling sering dan lumrah terjadi adalah
‘barter’ makanan, dan pinjam meminjam barang.
Di Kota Palu, khususnya Kelurahan Mamboro, interaksi sosial yang berlangsung bukan sekedar bertatap muka melainkan telah memasuki aspek resiprokal. Aspek resiprokal tersebut dalam bentuk pinjam meminjam barang, saling memberi makanan, dan sebagainya.
Salah seorang warga Mamboro yang merupakan warga lokal yaitu Nasar (48 Tahun) mengutarakan pengalamannya bertetangga dengan pendatang Bugis bahwa dirinya senang bertetangga dengan orang Bugis karena kepeduliannya
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 47 tinggi dalam bertetangga dengan cara sering memberinya makanan karena orang Bugis senang memasak sehingga sering berbagi ke bebreapa tetangganya.
Menanggapi uraian di atas, seorang informan Bugis lainnya yaitu Rosma (54 Tahun) menyatakan bahwa memang orang Bugis senang berbagi apa saja ke tetangganya. Hal tersebut merupakan prinsip nilai Ma’bulo Sipeppa yang berarti bila ada kesenangan dan kebahagiaan maka harus dibagi kebahagiaan tersebut pada orang lain.
Berbagai uraian wawancara tersebut menegaskan bahwa salah satu karakter orang Bugis terutama di perantauan adalah kesukaan berbagi kebaikan dalam bentuk barang kepada orang lain yang dekat. Hal ini menunjukkan kuatnya identitas kultural orang Bugis.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Kota Palu dapat dikategorikan sebagai kota multietnik dan multikultural.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada banyak kepentingan yang disebabkan oleh latarbelakang etnik dan kultural yang berbeda tersebut.Namun demikian, semua warga Kota Palu tetap menginginkan kehidupan mereka semua berlangsung dalam suasana aman, damai, dan harmonis.
Proses sosial yang berlangsung di Kota Palu menuju terwujudnya kohesi sosial masyarakat, sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang didukung oleh masyarakat setempat. Berdasarkan kondisi sosial masyarakat Kota Palu yang multietnik, maka pemerintah Kota palu menawarkan program yang berorientasi pada pembauran warga.Untuk membaurkan warga, sejumlah kegiatan yang dilaksanakan seperti Program Sabtu-Bersih, Arisan RT/RW. Sementara, kegiatan dari kalangan warga antara lain saling berbagi/memberi, dan saling menghadiri kegiatan keluarga.
Terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal masing-masing etnik, maka proses sosial tersebut merupakan implementasi dari internalisasi mereka terhadap nilai budaya etnik masing-masing. Hal tersebut menjadi niscaya karena identitas kultural tersebut melekat dalam sikap masyarakatnya.Sikap itulah yang
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 48 teraktualisasi dalam interaksi sosial, dalam bertindak, dan mewujudkan kohesi sosial bersama.
Salah satu penelitian terkait kohesi sosial dalam masyarakat multietnik telah dilakukan oleh Masdar (2014) di Wonomulyo Kabupaten Polman Provinsi Sulawesi Barat. Masyarakat Jawa sebagai etnik dominan di Wonomulyo dengan karakteristik budayanya yang halus sangat mewarnai proses sosial antaretnik. Oleh karenanya, hampir tidak pernah didengar atau ditemukan konflik sosial antaretnik di Wonomulyo.
Dalam konteks studi ini, nilai-nilai kearifan budaya etnik yang termanifestasi dalam berbagi kegiatan formal dan informal di atas merupakan contoh konkrit kohesi sosial yang diharapkan.Dengan demikian, kearifan budaya masing-masing etnik yang mengalami transisi tersebut dapat diperkuat secara formal melalui eksistensi lembaga adat yang dilegalisir oleh pemerintah.Melalui peran lembaga adat tersebut, nilai kearifan lokal etnik dapat diaktualisasi dalam bentuk kegiatan sebagaimana disebutkan di atas.
KESIMPULAN
Mewujudkan kohesi sosial sebagai tujuan hidup bermasyarakat sekaligus merupakan pengejawantahan kearifan lokal budaya etnik masing-masing dapat dilakukan pada level tindakan yang paling dasar. Tindakan yang dimaksud adalah;
(1) melibatkan diri dalam kegiatan pemerintah, (2) menghadiri kegiatan tetangga, (3) berbagi sesuatu pada tetangga. Bila prinsip dan nilai budaya atau kearifan lokal tersebut dilaksanakan dengan penuh kesadaran, maka kohesi sosial akan terwujud dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aepu, St. Hajar N, Mahmud Tang, Muhammad Basir. 2015. Penyelesaian Konflik Di Pasar Inpres Manonda Kota Palu Sulawesi Tengah.Tesis Tidak Diterbitkan. Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Colby, Benjamin N., Pierre L. Van den Berghe. 1969. Ixil Country: A Plural Society in Highland Guatemala. University of California Press.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 49 Halim, Harifuddin, Mahfud As’ad, Syamsul Bahri, Rasyidah Zainuddin. 2017.
Diversitas dan Keserasian Sosial: Studi Makna Multikulturalisme di SMA Katolik Rajawali Makassar dan MAN Insan Cendekia Gorontalo). Dalam Arif Darmawan (Eds.). ‘Penelitian Kualitatif Membangun Indonesia’, Prosiding Penelitian Kualitatif, (pp. 1585- 1598), Indonesian Qualitative Research Association (IQRA) and Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Hamid, Abu. dkk., 2009. Siri & Pesse’- Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.Cet. II; Makassar: Pustaka Refleksi.
Khaeruddin, 2001.Analisis Konflik Sosial di Luwu: Studi Kasus Padang Sappa di Desa Pada Subur, Desa Buntu Karya Kecamatan. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Kulle, Syarifuddin, Zainuddin Tika. 2008. Rupama: Kisah Moral Leluhur.
Makassar: Pustaka Refleksi, Rusli. 2015. Implementasi Nilai Siri’
Napacce dan Agama Di Tanah Rantau; Potret Suku Bugis-Makassar Di Kota Gorontalo.Jurnal al-Asas, Vol. III, No. 2, Oktober 2015.
Limpo, Syahrul Yasin, dkk., 1995. Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata. Gowa:
Pemda Tk.II Gowa Kerja Sama dengan Yayasan Eksponen 1966 Gowa.
Masdar, Muhammad. 2011. Integrasi Sosial Masyarakat Multietnik. Jakarta: Orbit Press.
Masdar, Muhammad, Harifuddin Halim, Rasyidah Zainuddin, Fauziah Zainuddin.
2014. Budaya Etnik dan Keserasian Sosial. Dalam Hadi Nur (eds).
Integrating Knowledge with Science Modern, Proceeding of the 1st Academic Symposium on Integrating Knowledge (pp. 476-482), Ibnu Sina Institut for Fundamental Science Studies UTM.
Nasikun.1993.Sistem Sosial Indonesia. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
Nawawi, Muh, Haslinda B. Anriani & Ilyas. 2012. Etnisitas dan Konflik Politik Pada Pemilukada Kabupaten Poso.Jurnal Kebudayaan dan Politik Universitas Airlangga (Terakreditasi B). Vol. 25 No.3, Juli-September 2012.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 50 Nonci, Nurmi. 2015. Konstruksi Dan Dekonstruksi Atas Makna Perkawinan
Alternatif:Studi Pada Etnik Makassar. Makassar: CV. Sah Media.
Parsons, Talcott. 1991.The Social System. Publisher: Routledge.
Pelly, Usman. 1993. .”Pedoman Pengelolaan Keserasian Sosial” Laporan Penelitian Kerjasama kantor Menteri KLH dengan Pusdip-KLH IKI Medan
Pongsibanne, Lebba. 2010. Autentisitas Budaya. Bugis: Jejak Sawerigading sebagai Perekat Bangsa dalam. Epik I La Galigo. Cet II (edisi Revisi)
— Yogyakarta: PT. INCO, Tbk. bekerjasama denganCV. Arti Bumi Intaran.
Ritzer, George. 2009.Classical sociological theory. Edition, 5. Publisher, McGraw- Hill,
Sihbudi, Riza & Moch.Nurhasim. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia; Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta: Grasindo.
Surata, Agus. & Andrianto, Tuhana Taufiq. 2001. Atasi konflik etnis. Yogyakarta:
Global Pustaka Utama bekerja sama dengan GHARBA dan UPN
"Veteran" Jogjakarta.
Tina, Dwi Aries. 2004. Kekerasan Komunal dan Damai Studi Dinamika dan Pengelolaan Konflik Sosial Luwu.Disertasi. Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2001. 'Demography and Security: The Transmigration Policy in Indonesia' in Demography and National Security, edited by Myron Weiner and Sharon Stanton. New York: Berghahn.
Zakaria. 2000. Konflik Sosial Pada Masyarakat Majemuk: Kasus Desa Se’pon dan Pelalan Kecamatan Lamasi Kabupaten Luwu. Tesis.Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
http://santysmadani.blogspot.co.id/).
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 51 BIOGRAFI SINGKAT PENULIS UTAMA
Haslinda B.Andriani, dosen tetap pada prodi Sosiologi FISIP Tadulako; memiliki keilmuan sosiologi secara linier, menyelesaikan S3 tahun 2012 dari Universitas Negeri Makassar.
Ia juga sebagai staf peneliti pada LP2M dan staf ahli PPLH Universitas Tadulako dan konsisten pada kajian kehidupan nelayan. Sejumlah penelitian dilakukan, seperti: Meredam Konflik Nelayan Melalui Diversifikasi Industri Rumah Tangga Nelayan di Kota Pare-Pare (2011); Model Pengembangan Industri Rumah Tangga Nelayan di Kota Palu (2012); Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Garam Di Kelurahan Talise Palu Timur (1992); Kehidupan sosialekonomi nelayan local di Kelurahan Lere kota Palu (2001); dan Konflik nelayan lokal dan nelayan pendatang di Teluk Palu (2010).