Posisi konsumen dalam hal ini sangatlah lemah apabila mereka tidak mensetujui syarat-syarat yang diajukan maka mereka harus meninggalkan atau tidak mengadakan perjanjian dengan pelaku usaha tersebut (take at or leave it contract). Masalah yang diulas dalam penulisan ini adalah tentang analisis perjanjian leasing sebagai bentuk baku dari aspek hukum perlindungankonsumen pada PT. Oto Multiartha Finance Cikokol,Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah Deskriptif analisis untuk mendapatkan data primer dengan merujuk pada bahan perjanjian leasing kendaraan bermotor PT. Oto Multiartha Finance Cikokol, dan tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada bahan- bahan/sumber bacaan yang terkait dengan perjanjian, wanprestasi, jaminan, resiko dan asuransi. Hasil dari penulisan ini menunjukkan bahwa Pelaku Usaha sebagai pihak yang membuat perjanjian menggunakan klausula-klausula baku yang cenderung melepaskan, mengalihkan atau mengurangi tanggung jawabnya yang menurut hukum positif, yaitu Undang-Undang PerlindunganKonsumen, seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang PerlindunganKonsumen, kata pemakai merujuk pada konsumen akhir (ultimate consumer). Dalam hal ini penggunaan istilah “pemakai” menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Konsumen memang tidak sekadar pembeli (buyer) tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting dalam terjadinya suatu transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
Seperti halnya hukum pidana, hukum admministrasi Negara adalah instrument hukum publik yang penting dalam perlindungankonsumen. Sanksi- sanksi hukum secara pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrative. Sanksi administrative tidak ditunjukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi admninistrative berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah. Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Produksi ini diartikan secar luas, dapat berupa barang dan jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Campur tangan administrative Negara idaelnya harus dilatarbelakangi iktikad melindungi masyarakat luas dari bahaya.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen (UUPK). UUPK menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasayang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk tidak diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK, yang diberlakukan pemerintah mulai 20 april 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut.
Hukum PerlindunganKonsumen | 4 profesional. Menurut Prof. Tan Kamello, SH. MS, importir juga termasuk dalam pengertian produsen. Jadi, pembuat, grosir, leveransir, importir dan pengecer barang adalah orang- orang yang terlibat penyerdiaan barang dan jasa sampai ketangan konsumen. Menurut hukum, mereka ini dapat diminta pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita konsumen. (Tan Kame llo, makalah “Praktek Perlindungan Bagi Konsumen Di Indonesia Sebagai Akibat Produk Asing Di Pasar Nasional, Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Hukum Perdagangan, (Medan: Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, 1998), hal. 7.)
YLKI bersama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)membentuk Rancangan Undang-Undang PerlindunganKonsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang- UndangPerlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.Setelah dua puluh tahun diperjuangkan, DPR akhirnya melalui sidangparipurna pada tanggal 30 Maret 1999 menyepakati Rancangan Undang- Undang(RUU) tentang perlindungankonsumen. Atas keaktifan YLKI dalam melindungi konsumen baik secara nasional maupun internasional dan desakan masyarakat Indonesia akhirnya dapat menghasilkan sebuah Undang-undang mengenaiperlindungan konsumen yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang PerlindunganKonsumen.
c. lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungankonsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya ;
Hukum perlindungankonsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum PerlindunganKonsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang perlindungankonsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Hukuman Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di Indonesia Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU PerlindunganKonsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Oleh Hoge Raad dalam putusannya pada tahun 1916, dan diterapkan selanjutnya oleh pengadilan. Hal ini dilakukan dengan analogi bahwa dalam perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 B.W., dapat dilakukan oleh beberapa orang, dan kewajiban mengganti kerugian diukur dari kesalahan tiap orang yang secara bersama-sama mengakibatkan kerugian. Sehingga pihak yang dirugikan disamakan dengan salah seorang dari mereka. Usaha yuridis perlindungankonsumen di indonesia, apabila dicermati, maka walaupun belum memadai, namun sebelum lahirnya UUPK, sudah terdapat berbagai ketentuan perlindungankonsumen yang tersebar dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan, yang secara garis besar dapat dibagi atas Peraturan Perundang-Undangan bidang hukum privat dan Peraturan Perundang-Undangan dalam bidang publik, namun pembedaan tersebut tidaklah dilakukan secara kaku, karena dalam banyak Undang- Undang terdapat aspek hukum privat dan hukum publik sekaligus. 23
Hasil Penelitian menunjukkan pelaksanaan perlindungankonsumen terhadap konsumen kosmetik tanpa izin edar dilakukan oleh Pemerintah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar produk kosmetik, yaitu UU No. 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen (UUPK), didukung pula Per. Ka. BPOM tentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik, Per. Ka. BPOM tentang Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung, Dari Bahan tertentu dan Atau Mengandung Alkohol, serta Kep. Ka BPOM tentang Kosmetik. Selain itu, Pemerintah melalui BPOM sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan izin edar serta melakukan pengawasan terhadap peredaran kosmetik dalam rangka perlindungankonsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai izin edar kosmetik yang berlaku. BPOM sebagai lembaga yang berwenang tersebut berhak melakukan tindakan hukum berupa Pemeriksaan Setempat (Razia), Pembinaan, dan melanjutkan kasus pelanggaran sampai ke Proses Pengadilan.
Tenaga kesehatan harus memenuhi hak-hak pasien untuk mendapatkan informasi yang akurat seputar kesehatannya, sebelum melakukan intervensi apapun. Bahkan tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas terlaksananya Pendidikan Kesehatan (Penkes) hingga pasien kembali ke rumahnya. Ini adalah hak perlindungan pasien yang diamanahkan UU Kesehatan.
Para pembeli atau penyuka belanja harus selalu berfokus pada informasi yang mungkin mereka ungkapkan dalam transaksi penjualan. Sebagaicontoh, kartu kredit atau SIM. mungkin saja bisa disalahgunakan. Namun teknologi sekarang ini yang makin berkembang makin memungkinkan bisnis untuk mengumpulkan dan menggunakan data pribadi yang jumlahnya sangat banyak tentang konsumen potensial mereka, khususnya bagi mereka yang berbelanja secara online. Bahayanya adalah tidak hanya pada informasi yang mungkin jarang digunakan, tetapi juga kumpulan informasi ini akan mewakili serangan terhadap tidak adanyajaminan privasi.
sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang atau jasa sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang atau jasa kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu, tentu saja konsumen kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu, tentu saja konsumen harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggungjawab harus mendapatkan informasi yang benar dan bertanggungjawab tentang produk konsumen tersebut, yaitu informasi yang informatif tentang produk konsumen tersebut, yaitu informasi yang informatif tentang segala sesuatu kebutuhan hidup yang diperlukan.
Sejarah Lahirnya Perlindungan Hukum Konsumen Aktifitas ekonomi dirasakan hidup, apabila tercipta suasana yang mendukung kelancaran arus produksi barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Globalisai ditandai dengan perdagangan bebas, namun belum banyak memberikan perbaikan ekonomi di Indonesia. Anggapan bahwa perdagangan bebas menguntungkan konsumen dalam bentuk mutu dan harga barang ataupun jasa barangkali masih merupakan mitos yang diciptakan untuk mempertahankan dominasi perusahaan dan produsen atas konsumen dalam sistem ini. Dalam hal ini terdapat indikasi meningkatkan sengketa antara produsen sebagai pelaku usaha dengan konsumen. Dari sinilah kita baru disadarkan kembali urgensinya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan konsumen. Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup bewibawa, yaitu Internasional Organization of Consumers Union (IOCU) yang kemudian sejak tahun 1995 berubah nama menjadi Custumers International (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90 negara di duniaGerakan perlindungankonsumen berlangsung 4 tahap, dimulai dari tahun 1881 hingga tahun 1965.
Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen dengan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang terakhir, yaitu undang- undang karena perbuatan manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan perlindungankonsumen.
Manusia sudah dari dahulu mengenal tentang sistem jual beli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penjual menjual barang dagangannya kepada konsumen untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Begitu pula pembeli, pembeli membeli dagangan dari para penjual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik itu kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Namun, bagaimana jika ada segelintir penjual yang melakukan kesewenang-wenangan dalam berdagang/bertransaksi dengan konsumen ? Untuk itulah mengapa kepastian hukum itu perlu untuk menjamin para konsumen agar mempunyai landasan hukum untuk memperoleh hak-haknya sebagai konsumen. Peraturan perlindungankonsumen sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Hukum PerlindunganKonsumen yang terdiri dari 65 Pasal. Pasal 1 Angka 1
Ditengah kemelut berbagai macam persoalan perlindungankonsumen dalam teori ekonomi yang selama ini digunakan, muncul wacana dan pemikiran tentang hal tersebut dalam hukum atau ekonomi Islam. Para pemikir dan ekonom muslim mencoba menggali lebih dalam hukum-hukum perlindungankonsumen dalam khazanah perbendaharaan hukum Islam yang selama ini terpendam dalam jauh terlupakan. Hukum Islam sangat kaya dalam hal hukum perlindungankonsumen, hal ini karena memang Islam mempunyai keunggulan dan ciri khas dibandingkan dengan hukum ekonomi yang lain. Nampak dari nash-nash syara’ tentang mu’amalah yang lebih cenderung dan tertuju pada usaha menghindarkan segala bentuk kedhaliman terhadap semua pihak baik pelaku usaha maupun konsumen.
Pada penelitian ini, bahwa dengan adanya undang-undang dan aturan- aturan yang berlaku belum menjamin perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan transaksi jual beli secara online begitu juga salah satu pihak yang lepas dari tanggung jawab. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UUPK, menyatakan bahwa,”Perlindungankonsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Jaminan kepastian hukum bagi konsumen dalam menjalankan transaksi elektronik diperlukan untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen. Apabila tidak ada jaminan tersebut dapat dipastikan terjadi pergeseran suatu tingkat prestasi pada transaksi elektronik sehingga menghambat upaya pengembangan bisnis transaksi elektronik.
Sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen, lembaga ini dapat berperan aktif untuk mewujudkan PerlindunganKonsumen yaitu dengan membantu meningkatkan kesadaran konsumen hak-haknya dan kewajiban, melakukan penelitian serta pengujian, menerima pengaduan dalam bentuk apapun, tetapi juga melakukan tindakan mediasi advokasi langsung melalui jalur pengadilan. Jadi dapat dijelaskan bahwa LPKSM berkedudukan sebagai lembaga mediasi dan advokasi melalui jalur pengadilan misalkan langkah nyata LPKSM dalam melakukan advokasi melalui jalur pengadilan adalah gugatan LPKSM dalam putusan PN. Klt. No. 69/PDT.G/2012/PN.Klt melalui kuasa hukumnya Taryono, SH, Eko Hari Krisnanto,SH., dan Banu Umbara, SH yang berkantor pada LPKSM mewakili pemberi kuasa bernama Dwi Rinawati melawan PT. PNM Unit Layanan Modal Mikro yang diwakili oleh kuasanya yang bernama Wisnu Kamulyan, dan Chatarina Intannila Artikasari.