• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abu Hanifah Dan Imam Ja'far ash-Shadiq as

Abu Hanifah adalah seorang yang banyak berdebat dan kuat dalam berdiskusi. Khalifah Manshur bermaksud memanfaatkannya untuk menghantam Imam Ja'far ash-Shadiq as, yang harum namanya dan tinggi reputasinya. Khalifah al-Mansur kesulitan mengawasi majlis-majlis ilmu yang ada di kota Kufah, Mekkah, Madinah dan Qum, yang menyerupai cabang dari madrasah Imam Ja'far ash-Shadiq as. Oleh karena itu, al-Manshur terpaksa menarik Imam Ja'far ash-Shadiq as dari kota Madinah ke Kufah, dan meminta kepada Abu Hanifah untuk menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, yang akan ditanyakan kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as di majlis terbuka, dengan maksud untuk menjatuhkan Imam Ja'far ash-Shadiq as.

Abu Hanifah berkata, "Saya belum pernah melihat orang yang lebih fakih dari Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq. Ketika al-Manshur mendatangkannya, al-Manshur menemui saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah, orang-orang telah terpikat dengan Ja'far bin Muhammad. Oleh karena itu, siapkanlah pertanyaan-pertanyaan yang sulit baginya.' Maka saya pun menyiapkan empat puluh pertanyaan baginya.

Kemudian Abu Ja'far al-Manshur memanggil saya, dan saya pun datang menemuinya. Saya masuk ke majlisnya, sementara Ja'far bin Muhammad sedang duduk di sebelah kanannya. Ketika saya memandang ke arahnya, saya menjadi tertegun dengan wibawa Ja'far bin Muhammad, namun tidak tertegun sedikit pun dengan wibawa Abu Ja'far al-Manshur. Saya mengucapkan salam kepada Abu Ja'far al-Manshur, dan dia pun memberikan isyarat kepada saya, maka saya pun duduk. Kemudian dia menoleh ke arah Ja'far bin Muhammad seraya berkata, 'Wahai Aba Abdillah, ini adalah Abu Hanifah.'

Ja'far bin Muhammad menjawab, 'Ya, dia telah datang kepada kami', seolah-olah dia tidak suka apa yang dikatakan oleh kaumnya bahwa dia mengetahui seseorang tatkala melihatnya. Lalu al-Manshur menoleh ke arah saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah, lontarkan pertanyaan-pertanyaanmu kepada Aba Abdillah.' Maka saya pun melontarkan pertanyaan- pertanyaan saya kepadanya, dan dia menjawabnya satu demi satu. Dia berkata dalam jawabannya, 'Kamu berpendapat demikian, penduduk Madinah berpendapat demikian, sementara kami berpendapat begini. Terkadang pendapat kamu sama dengan kami, terkadang sama dengan pendapat mereka, dan terkadang pula tidak sama dengan keduanya.' Dia terus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan, hingga saya selesai melontarkan empat puluh pertanyaan." Kemudian Abu Hanifah berkata, "Bukankah kita telah mengatakan bahwa manusia yang paling pandai adalah manusia yang tahu akan perbedaan-perbedaan pendapat manusia."[178]

Imam Ja'far ash-Shadiq as melarang Abu Hanifah menggunakan qiyas, dan sangat keras mengingkarinya. Imam ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu Hanifah, "Telah sampai berita kepada saya bahwa kamu melakukan qiyas terhadap agama dengan pikiranmu. Jangan kamu lakukan itu, karena orang yang pertama kali menggunakan qiyas adalah Iblis."[179]

Abu Na'im berkata kepada kami, "Sesungguhnya Abu Hanifah, Abdullah bin Ubay Syibrimah dan Ibnu Abi Laila datang menemui Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq. Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Ibnu Abi Laila, "Siapa orang yang bersama kamu ini?"

Ibnu Abi Laila menjawab, "Dia orang yang mempunyai pandangan dan pengaruh di dalam agama."

Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kembali, "Sepertinya dia mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan pikirannya?"

Ibnu Abi Laila menjawab, "Benar."

Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata kepada Abu Hanifah, "Siapa namamu?" Abu Hanifah menjawab, "Nu'man."

Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata lagi, "Saya tidak melihat kamu sedang membaguskan sesuatu." Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as melontarkan beberapa pertanyaan kepada Abu Hanifah, namun Abu Hanifah tidak bisa menjawabnya.

Maka Imam Ja'far ash-Shadiq as pun menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Ya Nu'man, bapakku telah berkata kepadaku, 'Dari kakekku yang mengatakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, 'Orang yang pertama kali mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan ra'yu adalah Iblis.'

Allah SWT telah berkata kepadanya, 'Sujudlah kainu kepada Adam' Iblis menjawab, 'Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan dia dari tanah.' Barangsiapa yang meng'iyaskan agama dengan pikirannya maka pada hari kiamat Allah SWT akan mengumpulkannya dengan Iblis. Karena dia termasuk pengikutnya.

Fakhrurrozi berkata, "Sungguh mengherankan, Abu Hanifah dipercayai sebagai ahli qiyas, dan para musuhnya mengecamnya dikarenakan banyak menggunakan qiyas, padahal belum pernah diceritakan oleh para sahabatnya bahwa Abu Hanifah telah menulis satu lembar kertas saja untuk membuktikan qiyas, serta tidak pernah disebutkan bahwa dia menyebutkan sebuah kritikan di dalam pernyataannya, apalagi menyebutkan sebuah hujjah. Dia juga tidak pernah menjawab dalil-dalil lawannya yang mengingkari qiyas. Bahkan, orang yang pertama kali berbicara dalam masalah ini, dan mengemukakan ber-bagai argumentasi mengenainya adalah asy-Syafi’i."[180]

Oleh karena itu, kita menemukan Imam Ja'far ash-Shadiq as mengarahkan umat kepada jalan yang benar di dalam meng-istinbath hukum-hukum syariat, terutama setelah merajalelanya penggunaan qiyas sebagai salah satu sumber penetapan hukum. Maka keluar (lulus)lah beribu-ribu ulama mujtahid dari madrasah beliau, yang salah seorangnya adalah Abu Hanifah, yang telah mencurahkan waktunya untuk belajar kepada Imam Ja'far Shadiq as selama dua tahun di Madinah. Berkenaan dengan waktu dua tahun belajarnya itu Abu Hanifah berkata, "Kalaulah tidak ada dua tahun itu maka celaka lah Nu'man."

Orang-orang yang hadir di majlis Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak berkata kepada beliau kecuali dengan mengawalinya dengan kata-kata, "Aku jadi tebusanmu, wahai Putra Rasulullah."[181]

Abdul Halim al-Janadi memberikan komentar mengenai bergurunya Abu Hanifah kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as,

"Jika merupakan kemuliaan bagi Malik dia menjadi guru terbesar bagi Syafi’i, atau kemuliaan bagi Syafi’i dia menjadi guru terbesar bagi Ibnu Hanbal, atau kemuliaan bagi guru keduanya ini (Abu Hanifah —penerj.) manakala keduanya belajar kepadanya, maka bergurunya dia (Abu Hanifah) kepada Imam Ja'far ash-Shadiq telah memberikan kemuliaan kepada fikih mazhab yang empat. Adapun kemuliaan Imam Ja'far ash-Shadiq tidak dapat berkurang atau bertambah. Imam (Ja'far ash-Shadiq) adalah penyampai ilmu kakeknya saw bagi seluruh manusia. Keimamahan adalah kedudukannya, dan bergurunya para Imam Ahlus Sunnah kepadanya adalah merupakan kemuliaan bagi mereka, disebabkan mereka mendekati manusia pemilik kedudukan."[182]

Sungguh, duduk bersama Imam Ja'far ash-Shadiq as adalah me-rupakan kemuliaan yang membanggakan bagi Abu Hanifah. Karena dia alim Ahlul Bait dan tambang hikmah. Musuh-musuhnya mengakui keutamaannya. Al-Manshur berkomentar tentang Imam Ja'far ash-Shadiq as, "Cucuk (tulang kecil) yang mengganggu tenggorokanku ini adalah manusia terpandai di zamannya, dan dia termasuk orang yang menginginkan akhirat dan tidak menginginkan dunia."

Yang menjadi persoalan bukan hanya sekedar pengakuan akan keutamaannya, atau menganggap mulia duduk bersama dengannya, melainkan yang terpenting ialah tunduk dan patuh kepada perintahnya. Karena ketaatan kepadanya merupakan kewajiban yang telah Allah SWT wajibkan atas setiap Muslim, sebagaimana tertetapkan di dalam hadis Tsaqalain, "Kitab Allah dan 'ltrah Ahlul Baitku". Namun yang sangat disayangkan ialah bahwa Abu Hanifah tidak menjadi orang yang tunduk dan taat kepadanya, melainkan menyendiri dengan diri- nya sendiri, memberi fatwa berdasarkan pikirannya dan melakukan qiyas di dalam agama; dan karena itu dia menentang hadis-hadis Rasulullah saw dan tidak menerimanya kecuali hanya tujuh belas hadis saja.

Saya akan akhiri pembicaraan ini dengan perdebatan yang terjadi antara Imam Ja'far ash-Shadiq as dengan Abu Hanifah,

Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Abu Hanifah, "Anda siapa?" "Abu Hanifah", jawab Abu Hanifah.

"Anda mufti Irak", Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi. Abu Hanifah menjawab, "Ya."

"Dengan apa Anda memberi fatwa kepada mereka?", tanya Imam Ja'far ash-Shadiq. Abu Hanifah menjawab, "Dengan Kitab Allah."

"Jadi, Anda tahu tentang kitab Allah? nasikh mansukhnya! Dan juga muhkam mutasyabihnya”, tanya Imam Ja'far ash-Shadiq as.

Abu Hanifah menjawab, "Ya."

Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Kalau begitu, beritahukan aku tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.' Topik apakah itu?"

Abu Hanifah menjawab, "Jarak antara Mekkah dan Madinah."

Mendengar itu Imam Ja'far ash-Shadiq as menoleh ke kanan dan ke kiri seraya berkata, "Demi Allah, aku memohon dengan sangat kepada Anda, apakah Anda semua bepergian di antara jarak Mekkah dan Madinah dalam keadaan mengkhawatirkan diri Anda dari pembunuhan dan harta Anda dari pencurian?"

Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as kembali menoleh kepada Abu Hanifah, "Celaka engkau, wahai Abu Hanifah. Sesungguhnya Allah SWT tidak berkata kecuali kebenaran."

Maka Abu Hanifah pun terdiam untuk beberapa saat, lalu dia menarik ucapannya sebelumnya dengan mengatakan, "Saya tidak mempunyai ilmu tentang Kitab Allah."

Dia mengemukakan alasan baru, "Sesungguhnya saya adalah seorang ahli qiyas."

Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Lihatlah kepada qiyas Anda. Jika Anda memang benar-benar orang yang suka qiyas, mana yang lebih besar dosanya di sisi Allah, apakah membunuh atau berzina?"

Abu Hanifah menjawab, "Tentu membunuh lebih besar dosanya di sisi Allah."

Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lebih lanjut, "Kenapa di dalam pembunuhan Allah SWT rida dengan dua saksi, sedangkan di dalam perzinahan Allah SWT tidak rida kecuali dengan adanya empat saksi? Apakah Anda menggunakan qiyas di sini?"

Abu Hanifah menjawab, "Tidak." "Bagus", kata Imam Ja'far as-Shadiq as.

Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi, "Mana yang lebih utama, apakah shalat atau puasa?" Abu Hanifah menjawab, "Shalat, tentu lebih utama."

Imam Ja'far as berkata, "Berdasarkan perkataan Anda, maka orang yang haid harus meng-qadha shalat yang ditinggalkannya selama haid, sedangkan puasa tidak. Padahal Allah SWT telah mewajibkan meng-qadha puasa dan tidak meng-qadha shalat." Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Abu Hanifah.

Imam Ja'far ash-Shadiq ad berkata lebih lanjut, "Mana yang lebih najis, apakah air kencing atau air mani?" Abu Hanifah menjawab, "Air kencing lebih najis."

Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Di sini, qiyas Anda harus mengatakan bahwa seseorang wajib mandi karena air kencing, dan tidak wajib mandi karena air mani. Padahal Allah SWT telah mewajibkan seseorang untuk mandi karena air mani, dan tidak karena air kencing. Apakah kamu menggunakan qiyas di sini?"

Abu Hanifah terdiam, dan kemudian dia berkata, "Saya adalah ahli ra'yu." Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi kepadanya,

"Bagaimana pendapat kamu tentang seorang laki-laki yang mempunyai seorang budak. Lalu laki-laki itu menikah dan sekaligus menikahkan budaknya pada malam yang sama. Kemudian, keduanya menggauli masing-masing istrinya pada malam yang sama. Selanjutnya, keduanya melakukan perjalanan dan meninggalkan istri masing-masing di satu rumah; lalu masing-masing istrinya melahirkan seorang anak. Kemudian rumah itu runtuh menimpa mereka dan membunuh kedua wanita tersebut, sementara kedua anak itu selamat. Sekarang, menurut pendapatmu, mana dari kedua anak itu yang berkedudukan sebagai tuan dan mana yang berkedudukan sebagai budak? Mana yang sebagai pewaris dan mana yang diwarisi?"

Untuk ketiga kalinya Abu Hanifah terdiam tidak dapat menjawab pertanyaan.

2. IMAM MALIK BIN ANAS

Dia adalah Abu Abdullah, Malik bin Anas bin Malik, dilahirkan pada tahun 93 Hijrah, menurut sebagian pendapat, dan meninggal dunia pada tahun 179 Hijrah, menurut sebagian pendapat. Masa Malik bersinar dengan cahaya ilmu, dan kota Madinah menjadi kota yang didatangi oleh para penuntut ilmu yang berasal dari berbagai pelosok penjuru negeri Islam. Madrasah Madinah mempunyai kelebihan di dalam berpegang kepada hadis, dan memerangi madrasah ra'yu yang terletak di kota Kufah, di bawah kepemimpinan Abu Hanifah. Inilah salah satu yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan dan pertengkaran di antara keduanya, hingga telah keluar dari batas-batas keilmuan dan objektifitas.

Di samping kedua madrasah ini terdapat juga madrasah lain, yaitu madrasah Imam Ja'far ash-Shadiq as. Sebuah madrasah yang dipenuhi oleh para para ulama dan utusan dari berbagai penjuru dunia Islam, yang menanti-nanti kesempatan untuk bisa berjumpa dengan para Imam Ahlul Bait as. Imam Ja'far ash-Shadiq as adalah orang yang paling sedikit mendapat tekanan dari pihak penguasa. Malik telah turut bergabung dengan Madrasah Imam ja'far ash-Shadiq as untuk beberapa waktu, dan Oleh karena itu, Imam Ja'far ash-Shadiq as dianggap guru terbesar Malik. Kemudian Malik berguru kepada beberapa orang guru, seperti Amir bin Abdullah bin Zubair bin al-Awwam, Zaid bin Aslam, Sa'id al- Maqbari, Abu Hazim Shafwan bin Aslam dan yang lainnya. Namun Malik lebih mengutamakan untuk mengambil dari Wahab bin Hurmuz, Nafi' (bekas budak Ibnu Umar), Ibnu Syihab az-Zuhri, Rabi'ah ar-Ra'yu dan Abu Zanad. Malik mengalami kemajuan, sehingga madrasah ahlul hadis berkembang pesat. Namun, dengan segera politik ikut campur untuk membantu madrasah ra'yu dan memusuhi madrasah ahlul hadis. Oleh karena itu, Malik menghadapi berbagai tekanan dari pemerintah. Dia dilarang untuk berbicara, dan bahkan dia pernah dicambuk dikarenakan fatwa yang dikeluarkannya tidak sejalan dengan keinginan pemerintah. Itu terjadi pada masa kekuasaan Ja'far bin Sulaiman, tahun 146 Hijrah. Dia digunduli, dibentangkan dan dipukul dengan cambuk hingga terlepas tulang bahunya.

Ibrahim bin Jamad berkata, "Saya pernah melihat Malik, apabila dia dibangungkan dari tempat duduknya dia membawa tangan kanannya dengan tangan kirinya atau tangan kirinya dengan tangan kanannya."

Namun, sangat mengherankan sekali, hanya dalam jangka waktu yang singkat Malik berubah menjadi orang yang sangat diutamakan dan dihormati di dalam pemerintahan, sehingga para gubernur sampai segan dan takut kepadanya. Yang menjadi pertanyaan ialah, apa yang terjadi pada diri Malik sehingga pemerintah menyukainya dan meninggikan kedudukannya sampai ke tingkat ini?

Apakah dahulu pemerintah membencinya karena Malik mempunyai pandangan tertentu, dan sekarang Malik menarik diri dari pandangannya itu?

Atau, apakah ada sesuatu yang lain?

Ini merupakan pertanyaan besar yang mengganggu benak orang-orang yang mempelajari sejarah Imam Malik, di mana mereka menyaksikan perubahan hubungan di antara Malik dengan pemerintah. Yaitu dari keadaan tegang dan bermusuhan kepada keadaan di mana al-Manshur dan Malik saling memberikan perhatian dan sanjungan kepada satu sama lain.

Al-Manshur berkata kepada Malik, "Demi Allah, kamu adalah manusia yang paling berilmu. Jika kamu menghendaki, niscaya aku akan tulis perkataanmu tidak ubahnya sebagaimana mushaf-mushaf kitab suci ditulis, dan aku akan kirimkan ke seluruh pelosok negeri, serta aku akan paksa mereka untuk menerimanya."

Dari sini tampak jelas, bahwa kemajuan mazhab Imam Malik terjadi manakala mendapat rida dari sultan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang menjadi masalah bukanlah masalah paling berilmu dan bukan paling berilmu, melainkan masalah Malik, Sultan dan propaganda. Rakyat digiring untuk bertaklid kepada mazhab Malik, baik dengan suka rela maupun terpaksa. Inilah yang dikatakan oleh Rabi'ah ar-Ra'yu —guru Malik dan orang yang lebih berilmu darinya— tatkala dia mengatakan, "Tidakkah kamu tahu, bahwa bantuan sedikit saja dari pemerintah merupakan sebaik-baiknya pembawa ilmu."[183]

Ketika Malik memperoleh keridaan ini dari Sultan Malik berka-ta, "Saya mendapati al-Manshur sebagai orang yang paling mengetahui Kitab Allah, Rasul-Nya dan peninggalan-peninggalannya yang telah lalu."

Subhanallah\\ Ilmu apa yang dimiliki oleh al-Manshur, sehingga dia menjadi orang yang paling tahu tentang Kitab Allah SWT dan sunah Rasul-Nya saw?!

Perkataannya itu tidak lebih dari perbuatan menjilat, dan untuk mendekatkan diri kepada raja dan sultan.

Adapun yang menjadi alasan kenapa sebelumnya Malik dikucilkan, sejarah tidak pernah menceritakan kepada kita bahwa itu dikarenakan Malik berani menentang al-Manshur atau mengkritik kebijaksanaannya. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Marzuq, tatakala dia berjumpa dengan Abu Ja'far al-Manshur dalam ibadah thawaf. Ketika itu manusia menyingkir darinya, namun Abdullah bin Marzuq berkata kepadanya, "Siapa yang menjadikanmu lebih berhak atas Baitullah ini dibandingkan manusia yang lain, sehingga kamu menghalangi dan menyingkirkan mereka dari- Nya.?"

Abu Ja'far al-Manshur melihat ke arah orang yang berkata demikian, dan dia pun mengenalnya. Kemudian Abu Ja'far berkata, "Wahai Abdullah bin Marzuq, siapa yang menjadikanmu berani berkata demikian, dan siapa yang mendatangkanmu ke sini?"

Abdullah bin Marzuq berkata, "Apa yan hendak kamu perbuat? Apakah di tanganmu ada bahaya dan manfaat? Demi Allah, saya tidak takut akan bahayamu dan tidak mengharapkan manfaatmu, sehingga Allah SWT mengizinkan yang demikian itu terjadi padaku."

Abu Ja'far al-Manshur berkata, "Kamu telah menghalalkan nyawamu sendiri dan telah mencelakakannya."

Abdullah bin Marzuq berkata, "Ya Allah, jika di tangan Abu Ja'far terdapat bahaya, maka janganlah Engkau tahan bahaya itu sedikit pun kecuali Engkau timpakan kepadaku; dan jika di tangannya terdapat manfaatku, maka putuslah seluruh manfaatnya dariku. Di tangan-Mulah ya Allah, segala sesuatu; dan Engkau adalah pemilik segala sesuatu."

Maka Abu Ja'far memerintahkan supaya Abdullah bin Marzuq ditangkap, lalu dia di bawa ke Baghdad, dipenjarakan, dan kemudian dilepaskan.[184]

Oleh karena itu, kita mendapati Malik menjauh dari Imam Ja'far ash-Shadiq as, dikarenakan Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak setuju dengan pandangan-pandangannya yang berusaha mendekati sultan.

Dalam pandangan saya sendiri, bahwa yang menjadi penyebab utama marahnya penguasa terhadap Malik pada masa-masa permulaan adalah karena penguasa melihat Malik bersahabat dengan Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan issu yang beredar pada waktu itu bahwa orang-orang Arab hendak menuntut balas bagi Ahlul Bait, maka Oleh karena itu, kita mendapati pemerintah lebih mendekati mawali (bekas-bekas budak yang telah dibebaskan) dan membantu Abu Hanifah yang ada di Kufah. Ketika masalah ini telah sirna, maka penguasa tidak melihat jalan lain kecuali meninggikan nama Malik dan memunculkannya sebagai pemegang otoritas agama bagi negara, sehingga Malik mem-benarkan penamaan negara pada saat itu dengan nama "negara Islam". Oleh karena itu, kita mendapati kebijaksanaan para raja dengan tegas menyatakan kemampuan dan kompetensi Malik, yang mana hal itu belum pernah dialamatkan kepada alim-alim sebelumnya. Abu Ja'far al-Manshur berkata kepada Malik, "Jika Anda ragu terhadap petugas Madinah, petugas Mekkah, atau salah seorang dari para petugas Hijaz, yang berkenaan dengan diri Anda atau yang lain, atau yang berkaitan dengan buruknya perlakuan mereka terhadap rakyat, maka laporkanlah hal itu kepadaku, supaya aku berikan kepada mereka apa yang seharusnya mereka terima."

Dengan begitu maka kedudukan Malik menjadi sedemikian tinggi, dan para gubernur takut kepadanya dikarenakan takut kepada al-Manshur. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh asy-Syafi’i tatkala dia datang ke Mekkah dengan membawa surat dari gubernur Mekkah untuk gubernur Madinah, supaya disampaikan kepada Malik. Maka gubernur Madinah berkata, "Hai pemuda, berjalan kaki dari kota Mekkah ke kota Madinah dengan bertelanjang kaki, itu lebih ringan bagiku dibandingkan aku harus berdiri di depan pintu rumah Malik. Saya tidak melihat kehinaan sehingga saya berdiri di depan pintu Rumah Malik."[185]

Ketika datang era al-Mahdi, setelah era al-Manshur, kedudukan Malik semakin bertambah tinggi dan dia semakin dekat dengan penguasa. Al-Mahdi amat meninggikan dan menghormatinya serta mengirimkan berbagai hadiah kepadanya. Kedudukan Malik semakin bertambah cemerlang di mata masyarakat tatkala datang era Harun al-Rasyid. Harus ar-Rasyid tetap mempertahankan kedudukan Malik dan amat mengagungkannya, sehingga dengan begitu