• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap imam diikuti dua kelompok manusia yang saling berlawanan. Kelompok yang fanatik kepadanya dan kelompok yang membencinya. Sebagaimana yang telah disebutkan.

Demikian juga halnya dengan Syafi’i. Orang-orang yang fanatik kepadanya mensifatinya dengan sifat-sifat kesempurnaan sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang makhluk pun yang mampu menggapainya. Sebaliknya, orang- orang yang membencinya membuat hadis-hadis yang menurunkan derajatnya hingga tingkatan Iblis.

Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari meriwayatkan dari Abdu bin Ma'dan, dari Anas, dari Rasulullah saw yang bersabda, "Akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku dibandingkan Iblis. Juga akan datang pada umatku seorang laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi umatku."[204]

Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa hadis ini palsu.

Sebaliknya, Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan bersanad kepada Suwaid bin Sa'id yang berkata, "Kami pernah bersama Sufyan bin 'Uyaynah di Mekkah. Lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa Syafi’i telah meninggal dunia. Kemudian Sufyan berkata, 'Jika Muhammad bin Idris meninggal dunia maka sungguh telah meninggal seutama- utamanya manusia pada zamannya."'[205]

Ini juga merupakan kabar bohong, karena Sufyan bin 'Uyaynah meninggal dunia pada tahun 198 Hijrah, yaitu enam tahun sebelum Syafi’i meninggal dunia.

Tuduhan yang dilontarkan kepada Syafi’i terkadang tuduhan bahwa dia itu Syi'ah, dia itu Mu'tazilah, dia itu meriwayatkan dari orang-orang yang suka dusta, dan dia itu orang yang sedikit bersandar kepada hadis.

Yahya bin Mu'in ditanya, "Apakah Syafi’i pernah berdusta?"

Yahya bin Mu'in menjawab, "Saya tidak ingin membicarakannya dan tidak ingin menyebut namanya." Al-Khatib meriwayatkan dari Yahya bin Mu'in yang berkata, "Syafi’i bukan orang yang dapat dipercaya."

Di sana terdapat tuduhan-tuduhan yang tidak ada nilainya, yang tidak perlu kita kaji di sini. Namun yang menarik perhatian saya ialah tuduhan yang mengatakan bahwa Syafi’i itu Syi'ah. Tuduhan ini terhitung sebagai tuduhan yang amat berbahaya pada saat itu, di mana pada saat itu kalangan Alawi dan Syi'ah dikejar-kejar dan dibunuh dengan cara yang paling keji. Sehingga sikap menampakkan permusuhan kepada Ali, anak-anaknya dan para pengikutnya menjadi suatu fenomena yang lumrah. Untuk lebih mengetahui hal ini secara mendalam silahkan Anda merujuk kepada kitab-kitab sejarah, seperti kitab Magatil ath-Thalibin, karya Abu Faraj al-Isfahani, sehingga Anda dapat mengetahui sedikit tentang berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Oleh karena itu, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok: Kelompok yang sabar dan berkorban untuk tetap berpegang kepada kepemimpinan Ahlul Bait, jumlah mereka sedikit sekali, sedangkan kelompok kedua yang merupakan kelompok mayoritas, mereka tunduk dan menukar agamanya dengan dunia para sultan. Sungguh benar apa yang telah dikatakan oleh Imam Husain, "Manusia itu hambanya dunia, dan agama hanya sebatas di lidah mereka. Mereka akan mengelilingi agama selama kehidupan masih mengalir kepada mereka, namun jika mereka diuji dengan bala maka sedikit sekali dari mereka yang benar-benar berpegang kepada agama."

Pada situasi yang dipenuhi dengan kegelapan ini Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dan karena semata-mata kecintaannya kepada Ahlul Bait inilah Syafi’i dituduh Syi'ah. Padahal sesungguhnya Syafi’i bukanlah seorang Syi'ah. Yaitu orang yang berpegang kepada kepemimpinan para Imam Ahlul Bait dan mengikuti jalan mereka. Melainkan itu hanya semata-mata kecintaan yang melekat pada fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, Syafi’i berkata di dalam syairnya,

"Wahai Ahlul Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu merupakan kewajiban dari Allah di dalam

Al-Qur'an yang telah diturunkan-Nya.

Cukup menjadi bukti bagi keagungan kedudukanmu bahwa barangsiapa yang tidak membaca salawat kepadamu maka tidak ada shalat baginya."

Dengan bersandar kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah. 'Aku tidak meminta kepadamu suatu upah apa pun atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku." (QS. asy-Syura: 23)

Yaitu sebuah ayat yang dengan jelas mengatakan wajibnya mencintai Ahlul Bait as. Saya pernah heran, kenapa Allah SWT menjadikan upah penyampaian risalah-Nya terletak di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait?! Masalah ini tetap belum jelas bagi saya kecuali setelah saya mengetahui betapa besarnya nilai cobaan yang terkandung di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait dan berpegang kepada mereka. Inilah Syafi’i sebagai contoh yang ada di hadapan Anda, tatkala dia menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait, maka dengan serta mereka menuduhnya sebagai rafidhi. Syafi’i berkata di dalam syairnya,

"Mereka berkata, 'Engkau telah menjadi rafidhi.' Aku jawab, 'Sekali-kali tidak.

Aku bukan rafldhi, baik secara agama maupun keyakinan.

Namun tidak diragukan —memang— aku mencintai sebaik-baiknya Imam dan sebaik-baiknya penunjuk. Jika kecintaan kepada al-washi dikatakan sebagai rafidhi,

maka ketahuilah sesungguhnya aku ini hamba yang paling rafidhi.'"

Tatkala Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ali as, beberapa orang para penyair mengejeknya dengan mengatakan,

"Syafi’i mati dalam keadaan tidak tahu apakah Ali Tuhannya atau Allah Tuhannya."

Pada situasi yang dipenuhi dengan kebencian dan penentangan terhadap Ahlul Bait dan para pengikutnya ini, Syafi’i tidak kendur di dalam menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Bahkan dengan lantang dia mengatakan,

"Jika karena kecintaan kepada keluarga Muhammad seseorang dikatakan rafidhi, maka biarlah jin dan manusia bersaksi bahwa aku ini seorang rafidhi."

Syafi’i juga menamakan orang yang memberontak dan memerangi Ali as sebagai orang pembuat makar. Tuduhan Syi'ah kepada Syafi’i adalah sesuatu yang memang ada. Namun setelah kami melakukan pengkajian, tampak jelas bagi kami bahwa Kesyi'ahan Syafi’i adalah semata-mata Kesyi'ahan apabila dibandingkan dengan masyarakatnya yang tenggelam di dalam kebencian kepada Ahlul Bait, karena mengikuti raja-raja mereka. Oleh karena itu, Syafi’i dituduh Syi'ah. Jika kita membebaskan masyarakat tersebut dari kepatuhan kepada penguasa dan politiknya, maka kita tidak akan mendapati seorang pun yang membenci Ahlul Bait, kecuali orang-orang Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejaknya. Hati seorang Muslim tidak akan kosong dari kecintaan kepada Ahlul Bait. Maka dengan begitu, Syafi’i hanyalah seorang pecinta Ahlul Bait, dan bukan seorang Syi'ah. Terdapat perbedaan yang besar di antara keduanya. Karena setiap orang yang mencintai nilai-nilai kebajikan maka dia pasti akan mencintai Ahlul Bait, yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebajikan tersebut, meski pun dia bukan seorang Muslim. Bukti-bukti yang menunjukkan kepada hal itu banyak sekali. Beberapa di antaranya ialah: Seorang penulis Kristen yang bernama George Jordaq. Dia menulis sebuah ensiklopedia tentang Imam Ali as yang terdiri dari lima jilid. Dia menggambarkan Imam Ali dengan sifat-sifat yang amat agung. Dia juga menulis sebuah buku tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as, yang diberi judul Fatimah Witrfi Ghamad. Berikutnya adalah Salma Kattani, penulis buku al-lmam Ali Nibras wa Mitras. Demikian juga, qashidah terpanjang di dunia yang terdiri dari lima ribu bait, ditulis oleh seorang Kristen berkenaan dengan hak Imam Ali bin Abi Thalib as. Berikutnya, qashidah terpanjang kedua yang terdiri dari tiga ribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani, juga berbicara tentang keutamaan Imam Ali as. Adapun qashidah terpanjang ketiga adalah qashidah yang terdiri dari seribu

bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani berkenaan dengan Imam Ali as. Namun ini semua tidak cukup untuk menunjukkan Kesyi'ahan mereka. Semata-mata hanya kecintaan tidaklah cukup. Karena kecintaan yang hakiki adalah berarti tunduk dan patuh kepada mereka, dan mengambil ajaran agama hanya dari mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair,

"Jika cintamu memang benar maka tentu kamu mentaatinya

karena sesungguhnya orang yang mencintai akan mentaati orang yang dicintainya."

4. IMAM AHMAD BIN HANBAL

Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada tahun 164 Hijrah, di kota Baghdad, menurut pendapat yang lebih masyhur, atau di kota Marwa, menurut pendapat yang lebih lemah. Ahmad tumbuh sebagai yatim di bawah asuhan ibunya. Dia sudah mempunyai perhatian kepada ilmu ketika dia berumur lima belas tahun, yaitu pada tahun 179 Hijrah. Dia belajar ilmu hadis, setelah belajar membaca Al-Qur'an dan bahasa. Guru pertama tempat dia menimba ilmu ialah Hisyam bin Basyir as-Silmi, yang wafat pada tahun 183 Hijrah. Ahmad bin Hanbal menyertainya selama tiga tahun atau lebih. Dia telah melakukan perjalanan ke Mekkah, Kufah, Basrah, Madinah, Yaman, Syam dan Irak untuk mencari hadis. Di kota-kota tersebut dia berguru kepada sekumpulan para ulama, yang tidak perlu kita sebutkan di sini, namun yang terpenting dari mereka adalah Syafi’i; sehingga aneh sekali apabila orang-orang Hanbali mengatakan Syafi’i sebagai murid Ahmad bin Hanbal.

Ahmad bin Hanbal mempunyai murid yang banyak sekali, namun yang paling terkenal dari mereka ialah Ahmad bin Muhammad bin Hani, yang terkenal dengan panggilan al-Atsram, yang wafat pada tahun 261 Hijrah, kemudian Shalih bin Ahmad bin Hanbal, putra tertua Ahmad bin Hanbal, dan kemudian Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, yang wafat pada tahun 290 Hijrah, dia meriwayatkan hadis dari ayahnya.