• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sudah dikenal bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli hadis dan bukan seorang fakih. Para pengikutnya telah mengumpulkan sebagian pendapatnya yang beraneka ragam, yang dinisbahkan kepadanya, dan kemudian menjadikannya sebagai sebuah mazhab fikih. Oleh karena itu, kita mendapati kumpulan hukum fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal bermacam-macam dan saling bertentangan. Di samping perbedaan mereka di dalam menafsirkan maksud dari beberapa ungkapan, yang darinya tidak dapat dipahami hukum agama dalam suatu masalah. Seperti ungkapan "la yanbaghi" (tidak selayaknya), apakah ungkapan ini dimaksudkan untuk menunjukkan hukum haram atau hukum makruh. Demikian juga ungkapan "yu'jibuni" (membuat saya kagum) dan ungkapan "la yu 'jibuni" (tidak membuat saya kagum), serta ungkapan "akrohuhu" (saya membencinya) dan ungkapan "uhibbuhu" (saya menyukainya).

Di samping itu, Ahmad juga tidak mengaku dirinya termasuk ahli fikih. Bahkan, dia menghindarkan diri dari mengeluarkan fatwa. Khatib berkata dengan disertai sanadnya, "Saya pernah berada di samping Ahmad. Lalu seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang halal dan haram. Ahmad berkata kepadanya, 'Tanyalah kepada orang lain selain kami.' Orang itu berkata, 'Kami hanya menginginkan jawaban darimu, wahai Aba Abdillah.' Ahmad tetap berkata, 'Tanyalah kepada selain kami. Tanyalah para fukaha, dan tanyalah Abu Tsaur.'"[215] Dia tidak menganggap dirinya termasuk ke dalam kelompok para fukaha.

Al-Marwazi berkata, "Saya mendengar Ahmad berkata, 'Adapun tentang hadis, kami telah beristirahat darinya; sedangkan mengenai masalah-masalah fikih, saya telah bertekad, jika saya ditanya tentang sesuatu maka saya tidak akan menjawab.'"[216]

Khatib menyebutkan sekaligus dengan sanadnya, bahwa dia mendatangi Ahmad bin Harb (seorang zuhud dari Naisabur) yang datang dari Mekkah. Lalu Ahmad bin Hanbal berkata kepada saya, "Siapa orang Khurasan yang datang ini?"

Saya jawab, "Dia adalah orang zuhud yang begini begini."

Ahmad bin Hanbal berkata, "Tidak layak bagi seseorang yang mengklaim sifat zuhud memasukkan dirinya ke dalam urusan pemberian fatwa.'"[217]

Inilah kebiasaannya. Dia tidak masuk ke dalam urusan pemberian fatwa. Bahkan dia memandang urusan pemberian fatwa tidak sejalan dengan sifat zuhud. Bagaimana mungkin dari orang yang seperti ini memiliki fikih atau mazhab yang diikuti di dalam urusan-urusan ibadah?!

Abu Bakar al-Asyram —murid Ahmad bin Hanbal— berkata, "Dahulu saya hafal fikih dan perbedaan- perbedaannya, namun sejak saya menyertai Ahmad saya meninggalkan semuanya itu."

Ahmad bin Hanbal berkata, "Janganlah kamu berkata tentang suatu masalah yang kamu tidak mempunyai imam di dalamnya."[218]

Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, "Janganlah kamu memberikan fatwa meski pun di tanganmu ada hadis, kecuali jika kamu mempunyai imam tempat kamu bersandar di dalam fatwa ini."

Ahmad bin Hanbal juga tidak melihat perlunya dilakukan tarjih (menguatkan yang satu atas yang lain) di antara perkataan-perkataan para sahabat, jika mereka berselisih di dalam suatu masalah. Dia malah berpendapat silahkan Anda mengikuti mana yang Anda suka. Inilah jawaban yang diberikannya kepada Abdurrahman ash-Shair tatkala Abdurrahman ash-Shair bertanya kepadanya, "Apakah mungkin dilakukan tarjih di antara perkataan-perkataan para sahabat?"

Orang yang melarang dilakukannya tarjih dan mengambil perkataan yang paling maslahat adalah orang yang paling jauh dari ijtihad. Salah satu bukti yang menunjukkan akan tidak adanya mazhab fikih Ahmad bin Hanbal ialah, banyak dari kalangan para sahabatnya yang fanatik kepadanya berselisih berkenaan dengan mazhab fikih mereka.

Apakah mereka itu orang-orang Hanafi atau orang-orang Syafi’i? Seperti Abul Hasan al-Asy'ari, manakala dia meninggalkan paham Mu'tazilah dan menjadi seorang Hanbali, dia tidak dikenal sebagai orang yang memeluk agama Allah dengan fikih Hanbali. Demikian juga halnya dengan Qadhi al-Baqalani, yang tadinya seorang Maliki. Begitu juga dengan Abdullah al-Anshari al-Harawi, yang wafat pada tahun 481 Hijrah, yang mengatakan,

"Aku adalah Hanbali

selama aku hidup dan sesudah aku mati Pesanku kepada manusia,

hendaknya mereka menjadi orang-orang Hanbali."

Meski pun dia begitu fanatik kepada Ahmad bin Hanbal, namun di dalam fikih dia mengikuti jalan Ibnu Mubarak. Inilah yang banyak dikenal dari orang-orang sezaman dengannya dan dari orang-orang yang dekat dengan masanya. Orang-orang yang menisbahkan dirinya kepadanya adalah orang-orang yang menisbahkan dirinya dalam bidang keyakinan, bukan dalam bidang fikih.

Di samping itu, di dalam risalahnya Ahmad bin Hanbal melarang penggunaan ra'yu, qiyas dan istihsan, dan meletakkan orang-orang yang meyakini qiyas ke dalam deretan orang-orang Jahmiyyah, Qadhariyyah dan rafidhah (Syi'ah). Dia juga menyerang pribadi Abu Hanifah. Meski pun demikian, penggunaan qiyas telah dimasukkan ke dalam fikih Hanbali. Inilah yang menjadikan kita curiga bahwa Ahmad bin Muhammad bin Harun (Abu Bakar al-Khalal), yang wafat pada tahun 311 Hijrah, yang merupakan perawi dan penukil fikih Hanbali, tidak amanah di dalam melakukan penukilan. Dia melakukan pencampuran di dalam penukilannya. Terlebih lagi bahwa Ahmad bin Muhammad bin Harun tidak hidup sezaman dengan Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Muhammad bin Harun telah mengumpulkan berbagai macam masalah fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal. Kecurigaan ini pun dikuatkan oleh adanya perselisihan riwayat yang hebat di dalam perkataan-perkataan Ahmad, sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan seluruhnya kepada Ahmad bin Hanbal.

Abu Zuhrah berkata, "Sesungguhnya fikih yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal, saling berlawanan sedemikian rupa perkataan-perkataannya sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan seluruhnya kepadanya. Bukalah kitab mana saja dari kitab-kitab Hanbali, dan bab mana saja dari bab-babnya, niscaya Anda akan mendapati dia tidak terbebas dari beberapa masalah yang riwayat-riwayatnya saling berlawanan, antara 'tidak' dan 'ya'."[219]

Mazhab fikih Hanbali tidaklah jelas bagi bagi orang-orang yang hidup sezaman dengannya, dan memang tidak ada; dia tidak lebih hanya semata-mata mazhab buatan yang disebarkan dengan kekerasan dan pemaksaan oleh para pengikut Hanbali. Seperti yang terjadi di kota Baghdad, yang sebelumnya dikuasai oleh mazhab Syi'ah. Sedangkan di luar kota Baghdad mazhab ini tidak dikenal. Pada abad ketujuh, hanya beberapa orang saja yang memeluk mazhab ini di Mesir. Namun, tatkala Muwaffaquddin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik al-Hijazi menduduki posisi jabatan kehakiman, yang wafat pada tahun 769 Hijrah, maka mazhab Hanbali pun tersebar dengan perantaraannya. Dia mendekati para fukaha mazhab Hanbali dan meninggikan kedudukan mereka. Sedangkan di daerah-daerah lain nama mazhab Hanbali tidak banyak disebut. Ibnu Khaldun memberikan analisa tentang hal itu, "Adapun Ahmad, jumlah mukallidnya sedikit, dikarenakan mazhabnya jauh dari ijtihad." Sebagaimana yang dia sebutkan di dalam kitabnya al-Muqaddimah. Orang-orang Hanbali tidak menemukan jalan untuk menyebarluaskan mazhab mereka kecuali dengan kekacauan dan melakukan pemukulan terhadap orang di jalan-jalan, sehingga menggoyahkan stabilitas yang ada di kota Baghdad. Maka keluarlah maklumat dari Khalifah ar-Radhi yang menyalahkan tindakan mereka dan mengecam mereka karena keyakinan mereka tentang tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Beberapa peng-galan dari maklumatnya berbunyi sebagai berikut, "Kalian mengira wajah kalian yang buruk serupa dengan Tuhan semesta alam, dan bentuk kalian yang jelek serupa dengan bentuk-Nya. Kalian juga menyebutkan telapak tangan, jari jemari, dua kaki naik ke langit dan turun ke dunia. Mahatinggi Allah dari segala sesuatu yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim dan kufur."[220]

Maka demikianlah keadaan mazhab Hanbali. Mereka tidak mempunyai banyak pengikut. Orang-orang lari dari mereka disebabkan keyakinan-keyakinan yang mereka miliki tentang Allah dan penyerupaan yang mereka lakukan terhadap Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Mazhab ini tidak menemukan kesempatan yang cukup untuk menyebarkan ajarannya, hingga datanglah mazhab Wahabi di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab, yang dibangun di atas garis mazhab Hanbali. Penguasa Keluarga Su'ud membantu Muhammmad bin Abdul Wahab menyebarkan mazhabnya dengan ketazaman pedang, pada awalnya, dan melalui aliran uang rial, pada akhirnya. Sungguh sangat disayangkan, banyak sekali manusia yang berpegang kepada fikih

Hanbali dengan tanpa mempunyai alasan kecuali hanya bersandar kepada kata-kata "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka."

Jika tidak demikian, maka mau tidak mau mereka harus membuktikan argumentasi-argumentasi mereka di dalam tiga hal: Pertama, tentang kedudukan Ahmad bin Hanbal sebagai fakih. Kedua, bahwa fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal tidak dipalsukan. Dan yang ketiga, mereka harus membuktikan dalil yang kuat yang menunjukkan wajibnya mengikuti Ahmad bin Hanbal. Karena jika tidak, maka itu tidak lain hanya mengikuti sesuatu berdasarkan sangkaan. Padahal sesungguhnya sangkaan itu tiada memberikan faidah sedikit pun terhadap kebenaran. Di samping itu, orang-orang yang fanatik kepada Ahmad bin Hanbal pun, seperti Ibnu Qutaibah, tidak menyebut Ahmad ke dalam kelompok para fukaha. Jika memang dia seorang fakih dan mujtahid maka tentu Ibnu Qutaibah tidak akan mengurangi haknya. Demikian juga Ibnu Abdul Barr tidak menyebut namanya manakala dia menyebut nama-nama para fukaha di dalam kitabnya al-Intiqa. Begitu juga Ibnu Jarir ath-Thabari, penulis kitab tafsir dan tarikh, dia tidak menyebut nama Ahmad bin Hanbal di dalam kitabnya Ikhtilaf al-Fuqaha. Ibnu Jarir ath-Thabari ditanya tentang hal itu. Dia menjawab, "Ahmad bukan seorang fakih melainkan seorang muhaddis, dan saya tidak melihat dia mempunyai para sahabat tempat dia bergantung." Para pengikut Hanbali merasa tersinggung dengan ucapan Ibnu Jarir ath-Thabari lalu mengatakan, "Dia itu (Ibnu Jarir) seorang rafidhi. Tanyalah kepadanya tentang hadis 'duduk di atas 'arasy', niscaya dia akan mengatakan, 'Sesungguhnya itu mustahil.'" Kemudian ath-Thabari membacakan syair,

"Mahasuci Zat yang tidak mempunyai teman dan tidak duduk di atas 'arasy."

Maka mereka pun melarang orang-orang untuk duduk dan datang menemui ath-Thabari. Mereka melontarkan tuduhan terhadapnya di mihrab-mihrab mereka. Ketika ath-Thabari sedang berada di rumahnya, mereka melemparinya dengan batu sehingga batu itu bertumpuk.[221]

Ini menunjukkan kefanatikan dan penyimpangan para pengikut Hanbali di dalam menyebarkan mazhab mereka, yang tidak diakui oleh para ulama. Syeikh Abu Zharah berkata, "Banyak dari kalangan orang-orang terkemuka tidak menghitung Ahmad termasuk ke dalam kelompok fukaha, seperti Ibnu Qutaibah, yang sangat dekat sekali dengan masa Ahmad, Ibnu Jarir ath-Thabari dan yang lainnya.

PENUTUP

Setelah kita menjelaskan madrasah-madrasah fikih di kalangan Ahlus Sunnah, tampak jelas bagi kita bahwa tidak ada kelebihan yang dimiliki mazhab-mazhab ini atas mazhab-mazhab yang lainnya, sehingga bisa tersebar ke seluruh dunia Islam, sekiranya para penguasa tidak menetapkan para Imam mazhab yang empat sebagai satu-satunya sumber rujukkan fikih. Karena penguasa yang sedang berkuasa tidak mungkin memerangi agama, bahkan sebaliknya mereka menolong dan mendekati para ulama, namun dengan syarat bahwa ajaran-ajaran mereka tidak mengganggu kepentingan- kepentingan kekuasaan. Sehingga dengan demikian, kedudukan seorang penguasa berada di atas yang lainnya.

Oleh karena itu, kita mendapati mazhab yang empat telah dipilih oleh para penguasa dari sekian ratus mazhab yang ada, dan mereka mendapat pengampunan dan keridaan sultan. Para penguasa mendudukkan para murid mazhab-mazhab tersebut pada jabatan kehakiman dan menjadikan urusan agama berada di tangan mereka. Kemudian mereka menyebarkan mazhab-mazhab pendahulu mereka yang sesuai dengan keinginan penguasa. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Kebijaksanaan pada masa kekuasaan al-Muntashir al-Abbasi menetapkan keharusan berpegang kepada perkataan tokoh-tokoh terdahulu, dan tidak boleh sebuah perkataan disebutkan bersama perkataan mereka. Sementara para ulama di seluruh negeri memberi fatwa akan wajibnya mengikuti mazhab yang empat dan mengharamkan mazhab yang lainnya, serta menutup pintu ijtihad.

Ahmad Amin berkata, "Penguasa mempunyai peranan yang besar di dalam memenangkan mazhab-mazhab Ahlus Sunnah. Biasanya, jika sebuah pemerintahan yang kuat mendukung sebuah mazhab maka orang-orang akan mengikuti mazhab tersebut. Mazhab tersebut akan terus berkuasa sampai lenyapnya pemerintahan yang mendukungnya."[222]

Setelah semua penjelasan ini, apakah masih ada orang yang berargumentasi tentang wajibnya mengikuti mazhab yang empat?!

Apakah memang ada dalil yang mengatakan bahwa mazhab hanya terbatas pada mazhab yang empat?!

Jika di sana tidak ada dalil yang menunjukkan tentang wajibnya berpegang kepada mereka, apakah itu berarti Allah dan Rasul-Nya telah lalai akan masalah ini, dan tidak menjelaskan kepada mereka tentang dari mana seharusnya mereka mengambil agama mereka dan syariat hukum mereka?!

Mahasuci Allah dari membiarkan makhluk-Nya dengan tanpa menjelaskan kepada mereka hukum-hukum mereka dan jalan yang akan menyelamatkan mereka. Allah SWT telah menjelaskan melalui lidah Rasulullah saw dan telah menegakkan hujjah akan wajibnya mengikuti 'itrah Rasulullah saw. Akan tetapi, manakala 'itrah Rasulullah saw yang suci menentang para penguasa zalim yang sezaman dengan mereka dan juga orang-orang yang merampas hak-hak mereka, maka para penguasa berusaha memalingkan manusia dari mereka dan melarangnya untuk berpegang kepada mereka. Karena, manusia kebanyakan hanya mengikuti orang yang keras suaranya. Mereka akan bergerak ke arah mana pun angin bergerak. Mereka tidak mencari sinar dengan cahaya ilmu dan tidak berlindung kepada pilar yang kokoh.

Sebaliknya, Anda dapat melihat kepada madrasah Ahlul Bait —Syi'ah— yang tidak memerlukan para penguasa untuk mencemerlangkan para fukahanya. Bahkan mereka berpegang teguh kepada apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat yang Mahatahu telah memberitahukan aku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menemuiku di telaga."

Mereka berpegang kepada 'itrah Rasulullah saw dan mengambil agama dan pemikiran mereka darinya. Mereka tidak menyalahi Ahlul Bait Rasulullah dan tidak mendahuluinya, serta mereka tidak membutuhkan kepada yang lain untuk memberikan fatwa. Mereka hanya mengambil dari orang-orang yang perkataannya berasal dari perkataan datuknya, dan perkataan datuknya adalah perkataan Rasulullah saw, serta perkataan Rasulullah saw adalah perkataan Jibril, dan perkataan Jibril adalah perkataan Allah SWT.

Seorang penyair berkata,

"Jika engkau ingin mencari mazhab untuk dirimu yang akan membebaskan kamu pada hari kebangkitan dari nyala api neraka

maka tinggalkanlah olehmu perkataan Syafi’i, Malik dan Ahmad, yang diriwayatkan dari Ka'ab al-Ahbar

dan berpeganglah kepada orang-orang yang perkataan dan ucapannya, 'Datuk kami telah meriwayatkan dari Jibril, dari al-Bari (Pencipta).'"