• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam hal ini kita akan mengabaikan perkataan orang-orang yang fanatik kepadanya, dan begitu juga kita akan meninggalkan keutamaan-keutamaan yang diberikan sultan kepadanya. Karena yang demikian ini tidak bisa menjadi ukuran yang nyata untuk mengenal pribadi Malik. Berikut ini saya kemukakan satu contoh darinya, "Sesungguhnya Qais melihat Rasulullah saw berjalan di sebuah jalan, sementara Abu Bakar berada di belakangnya, lalu Umar di belakang Abu Bakar, dan Malik di belakang Umar, serta Sahnun[191] di belakang Malik."[192]

Dan beberapa ratus contoh lainnya, yang kesemuanya merupakan hal-hal yang sepele dan keutamaan-keutamaan buatan yang tidak layak untuk didiskusikan.

Di sini, saya mencukupkan diri dengan ucapan-ucapan para ulama dan sebagian orang yang hidup sezaman dengan Malik, yang merupakan pandangan yang indefenden yang tidak melewati batas-batas kritik ilmiah.

Syafi’i berkata, "Singa lebih fakih dari Malik, hanya saja para sahabatnya tidak menguasainya." Sa'id bin Ayub berkata, "Jika seandainya Singa dan Malik berkumpul, maka Malik akan lebih bisu dari singa, dan singa akan menjual Malik kepada siapa saja yang diinginkannya."[193]

Ali bin al-Madini bertanya kepada Yahya bin Sa'id, "Pendapat siapakah yang lebih kamu sukai, pendapat Malik atau pendapat Sufyan?"

Yahya bin Sa'id menjawab, "Tentu tidak diragukan pendapat Sufyan yang lebih aku sukai." Yahya melanjutkan, "Sufyan berada di atas Malik dalam segala hal."

Yahya bin Mu'in berkata, "Saya mendengar Yahya bin Sa'id berkata, "Sufyan lebih aku sukai dibandingkan Malik dalam segala hal."[194]

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Dia —yakni Malik— tidak mempunyai hapalan."

Ibnu Abdul Barr berkata, "Ibnu Dzubaib telah mengatakan sesuatu yang kasar dan keras tentang Malik, yang saya enggan untuk menyebutkannya."[195]

Ibrahim bin Sa'ad telah berkata tentang Malik sambil mengutuknya. Demikian juga Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Ibnu Ubay Yahya, Muhammad bin Ishaq al-Waqidi dan Ibnu Abi Zanad telah menjelek-jelekkan beberapa hal dari mazhabnya.

Salmah bin Sulaiman berkata kepada Ibnu Mubaraak, "Kamu pernah menulis sesuatu tentang pendapat Abu Hanifah, namun kamu belum pernah menulis sesuatu tentang pendapat Malik?"

Ibnu Mubarak menjawab, "Saya tidak melihatnya sebagai seorang yang berilmu."[196]

Ibnu Abdul Barr berkata tentang Malik, "Mereka menjelek-jelekkan beberapa hal dari mazhabnya." Abdullah bin Idris berkata, "Muhammad bin Ishaq datang kepada kami, lalu kami menyebutkan sesuatu tentang Malik, maka kemudian dia berkata, 'Kemarikan ilmunya.'" Yahya bin Salih berkata, "Ibnu Aktsam telah berkata kepada saya, 'Kamu telah melihat Malik dan mendengar darinya, dan kamu juga telah menyertai Muhammad bin Hasan. Lalu, mana yang lebih fakih dari keduanya?' Saya jawab, 'Muhammad bin Hasan, pada apa yang dia ambil untuk dirinya, lebih fakih dari Malik.'"[197]

Demikian juga Muhammad bin Abi Hatim berkata, "Dari Zar'ah, dari Yahya bin Bakir yang berkata, 'Singa lebih fakih dari Malik, hanya saja Malik mempunyai langkah."[198]

Ahmad bin Hanbal berkata, "Abu Dzu'aib serupa dengan Sa'id bin Musib. Dia lebih utama dari Malik. Hanya saja Malik amat dibersihkan dan dipuji-puji oleh orang-orangnya."[199]

Dari semua perkataan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak ada kelebih-utamaan Malik atas ulama yang lain, dan dia tidak memiliki kelebihan yang menjadikannya layak untuk menduduki posisi marji'iyyah (tempat rujukan) di dalam fikih. Namun, politik tidak memandang kepada keahlian, dia mempunyai cara penilaian khusus yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politis dan kepentingan. Seorang fakih yang tidak bertentangan dengan kebijakan- kebijaksannya maka dialah yang wajib diikuti oleh kaum Muslimin, dan di tangannyalah hak otoritas pemberian fatwa.

3. IMAM SYAFI’I

Dia adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi'. Dia dilahirkan pada tahun 150 Hijrah, dan ada yang mengatakan dia dilahirkan pada hari wafatnya Abu Hanifah. Orang-orang berbeda pendapat

mengenai tempat kelahirannya, antara Ghazzah, 'Asqalan dan Yaman, dan pendapat lemah mengatakan bahwa dia dilahirkan di Mekkah. Dia meninggal dunia di Mesir pada tahun 204 Hijrah.

Ketika kecil dia hijrah bersama ibunya ke kota Mekkah. Di Mekkah dia belajar Al-Qur'an, sehingga hafal Al-Qur'an. Kemudian dia belajar menulis, dan setelah itu pergi ke pedalaman padang pasir, dan menetap dengan suku Hudzail selama 20 tahun, sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, atau tujuh belas tahun sebagaimana yang diceritakannya sendiri di dalam kitab Mu'jam al-Buldan. Maka dia pun memperoleh kefasihan suku Hudzail. Sepanjang waktu tersebut Syafi’i tidak mempunyai perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih. Dia baru mempunyai perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih pada dekade ketiga dari umurnya. Jika dia tinggal selama 20 tahun di pedalaman padang pasir, maka dia baru mulai belajar fikih pada dekade keempat dari umurnya. Artinya, setelah melewati umur tiga puluh tahun.

Syafi’i berguru kepada guru-guru yang ada di Mekkah, Madinah, Yaman dan Baghdad, dan orang yang pertama menjadi gurunya ialah Muslim bin Khalid al-Makhzumi, yang dikenal dengan sebutan az-Zanji. Dia termasuk orang yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Banyak dari kalangan para huffazh yang mendhaifkan dan mengecamnya, seperti Abu dawud, Abi Hatim dan an-Nasa'i.[200]

Kemudian Syafi’i belajar kepada Sa'id bin Salim al-Qaddah. Sa'id bin Salim al-Qaddah telah dituduh sebagai orang murji'ah. Syafi’i juga belajar kepada Sufyan bin Uyaynah, salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq as. Dia adalah salah seorang pemilik mazhab yang musnah. Syafi’i juga belajar kepada Malik bin Anas di Madinah, dan juga guru-guru lainnya. Ibnu Hajar menyebutkan Syafi’i telah belajar dari delapan puluh orang guru. Sebuah angka yang berlebihan. Ar- Razi menolak perkataan Ibnu Hajar tersebut. Syafi’i juga telah mengambil ilmu dari Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, seorang qadhi yang merupakan salah seorang murid dari Abu Hanifah. Tidak ada tempat bagi kefanatikan di sini, karena Syafi’i sendiri telah mengakui bahwa dirinya telah mengambil ilmu darinya.

Adapun murid-murid Syafi’i sebagiannya orang-orang Irak dan sebagiannya lagi orang-orang Mesir. Mereka menjadi faktor penting di dalam penyebaran mazhabnya. Adapun murid-murid Syafi’i yang berasal dari Irak ialah Khalid al-Yamani al-Kalbi, Abu Tsaur al-Baghdadi, yang terhitung sebagai pemilik mazhab tersendiri dan mempunyai muqallid (pengikut) hingga abad kedua hijrah, dan dia wafat pada tahun 240 Hijrah. Kemudian, Hasan bin Muhammad bin ash- Shabbah az-Za'farani, Hasan bin Ali al-Karabisi, Ahmad bin Abdul Aziz al-Baghdadi, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari. Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari diidentikkan dengan Syafi’i, karena dia memperkuat mazhabnya dan membela para pengikutnya, disebabkan kedudukan tinggi yang dimilikinya di mata sultan. Juga teimasuk salah seorang dari murid Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal, meskipun orang-orang Hanbali mengatakan bahwa Syafi’i pernah mengambil hadis dari Ahmad dan belajar kepadanya, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Thabaqat al- Hanabilah.

Adapun murid-muridnya di Mesir, mereka amat berperan di dalam penyebaran mazhabnya dan penulisan buku- buku. Yang paling terkenal dari mereka ialah Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi, yang merupakan pengganti Syafi’i di dalam memberikan pelajaran, dan termasuk penyeru terbesar kepada mazhabnya.

Dia mendekati orang-orang asing dan memperkenalkan kepada mereka keutamaan Syafi’i, hingga banyak pengikutnya dan tersebar mazhabnya. Ibnu Abi Laits al-Hanafi merasa hasud kepadanya dan kemudian mengeluarkannya dari Mesir, sehingga akhirnya Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi meninggal dunia di dalam penjara di kota Baghdad.

Di antara murid-murid Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi ialah Ismail bin Yahya al-Mazni dan Abu Ibrahim al-Mishri, yang memiliki ber-bagai tulisan di dalam mazhab Syafi’i yang membantu penyebaran mazhab tersebut, seperti kitab al- Jami' al-Kabir, al-Jami' ash-Shaghir, al-Mantsur, dan yang lainnya.

Seseorang yang mempelajari sejarah mazhab Syafi’i akan menemukan bahwa murid-murid dan sahabat- sahabatnyalah yang telah membantunya dan menyebarkan mazhabnya.

Terdapat perbedaan antara madrasah Syafi’i di Irak dengan madrasah Syafi’i di Mesir. Suatu hal yang perlu kita cermati. Sebagaimana diketahui bahwa Syafi’i telah berpaling dari fatwa-fatwa yang dikeluarkannya ketika berada di Irak, yang kemudian dikenal dengan mazhab qadim, yang dipegang oleh murid-muridnya di Irak. Di antara kitab-kitab yang berasal dari mazhab qadim ialah kitab al-Amali dan kitab Majma' al-Kafi. Ketika pindah ke Mesir dia mengharamkan berpegang kepada mazhab qadim, setelah mazhab itu tersebar dan dipraktekkan oleh masyarakat umum. Apakah Syafi’i menarik diri darinya karena mazhab qadim itu batil?! Atau, apakah ijtihadnya ketika di Baghdad tidak sempurna, dan kemudian menjadi sempuma di Mesir?!

Kemudian, apa yang menjadi jaminan kebenaran mazhabnya yang baru di Mesir?!

Apakah kalau sekiranya umurnya panjang dia pun akan berpaling dari mazhab barunya itu?! Oleh karena itu, Anda menemukan dua pendapat dalam satu masalah di dalam mazhab Syafi’i. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab al- Umm. Ada orang yang menganggap bahwa perbedaan ini sebagai akibat tidak adanya ketetapan hati dari Syafi’i, dan ini merupakan sebuah kekurangan di dalam ijtihad dan ilmu.

Al-Bazzaz menyokong makna ini dengan mengatakan, "Ketika di Irak Syafi’i menulis beberapa kitab, namun para sahabat Muhammad asy-Syaibani mendhaifkan perkataannya dan mempersulitnya, sementara para ahlul hadis tidak memperhatikan perkataannya, dan bahkan menuduhnya sebagai mu'tazilah. Ketika di Irak pasar sudah tertutup baginya, maka Oleh karena itu, dia pun pindah ke Mesir, yang ketika itu belum ada seorang fakih yang dikenal di sana, dan pasar pun berpihak kepadanya."[201]

Keadaan berubah ketika dia pindah ke Mesir. Karena Syafi’i dikenal sebagai murid Malik dan sekaligus penolong dan pembela mazhabnya. Inilah faktor yang membentangkan jalan kesuksesan Syafi’i di Mesir. Karena watak umum masyarakat Mesir bermazhab Maliki. Di samping itu, kedatangan Syafi’i ke Mesir berdasarkan rekomendasi khalifah saat

itu kepada gubernur Mesir, maka Oleh karena itu, Syafi’i memperoleh perhatian yang cukup di Mesir, terutama dari kalangan para pengikut Malik.

Namun itu tidak berlangsung lama sehingga akhirnya Syafi’i menulis kitab-kitab yang menolak Malik dan menentang perkataan-perkataannya. Ar-Rabi' berkata, "Saya mendengar Syafi’i mengatakan,

'Saya datang ke Mesir dalam keadaan tidak tahu bahwa Malik berlawanan dengan ucapan-ucapannya kecuali hanya enam belas ucapan. Saya perhatikan, dan kemudian saya mendapati dia mengatakan yang pokok dan meninggalkan cabang atau mengatakan cabang dan meninggalkan pokok.' Abu Umar berkata, 'Abdul Aziz bin Abi Salma dan Abdurrahman bin Zaid juga telah berkata tentang Malik, sebagaimana yang disebutkan oleh as-Saji di dalam kitab al-'llal, mereka menjelek-jelekkan beberapa hal tentang mazhab Malik.' Hingga Abu Umar berkata, 'Syafi’i telah berbuat zalim kepada Malik, dan begitu juga sebagian pengikut Abu Hanifah, berkenaan dengan sesuatu dari pendapatnya, karena merasa hasud akan kedudukan keimamahannya.'"[202]

Orang-orang Maliki telah habis kesabarannya terhadap Syafi’i, dan mereka menunggu saat yang tepat hingga akhirnya mereka membunuhnya. Ibnu Hajar mengatakan, mereka memukul Syafi’i dengan kunci besi hingga meninggal dunia.[203] Abi Hayyan menyebutkan peristiwa ini di dalam kasidah pujiannya terhadap Syafi’i,

"Tatkala datang ke Mesir dia menentang berbagai hal menyakitkan yang ditujukan kepadanya.

Sementara orang-orang menyembunyikan kebencian kepadanya. Dia datang mengkritik apa yang telah mereka peroleh

dan menghancurkan apa yang telah mereka tegakkan karena memang bangunan mereka lemah. Maka mereka pun memperdayanya tatkala mereka berduaan

dengannya di tempat yang sepi.

Kecelakaan bagi mereka yang Allah telah lumpuhkan kedua tangan mereka terhadapnya.

Mereka merobek keningnya dengan kunci besi hingga pergilah dia tanpa dibentahukan kematiannya."

Maka Syafi’i pun meninggal dunia sebagai korban dari kefanatikan mazhab pengikut Malik.

Meski pun demikian, Mesir merupakan benih pertama, yang darinya tersebar luas mazhab Syafi’i, sebagai hasil dari upaya dan jerih payah para sahabat dan murid-muridnya. Apabila tidak ada mereka, mungkin nasib yang dialami mazhab Syafi’i tidak berbeda dengan nasib mazhab-mazab lain yang musnah.

Mazhab Syafi’i berhasil menyebar luas di Syam dan mampu mengalahkan mazhab mazhab al-Awza'i, setelah jabatan kehakiman dipegang oleh Muhammad bin Usman ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Dengan gigih dia berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i di Syam, dan Oleh karena itu,lah mazhab al-Awza'i menjadi musnah. Kemenangan mazhab Syafi’i menjadi sempurna pada masa Dinasti Ayubiyyah, yang mana para rajanya merupakan para pemeluk mazhab Syafi’i yang setia. Hal ini merupakan faktor yang amat membantu sekali di dalam memperkokoh mazhab Syafi’i. Ketika datang Dinasti Mamalik di Mesir, langkah mereka tidak bergeser dari mazhab Syafi’i. Seluruh raja-raja mereka bermazhab Syafi’i kecuali Saifuddin yang bermazhab Hanafi, namun dia tidak mampu memberikan pengaruh terhadap penyebaran mazhab Syafi’i.

Dengan demikian, nama Syafi’i menjadi harum dan terkenal karena perantaraan raja dan sultan. Jika tidak, maka tentu mazhabnya akan menjadi mazhab yang terlupakan.