• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARA SAHABAT DAN AYAT INQILAB

"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144)

Sesungguhnya titik berat ayat yang mulia ini berbicara tentang wafatnya Rasulullah saw dan peristiwa pembelotan yang terjadi sesudahnya. Titik berat pembicaraan ayat ini terkumpul di dalam tiga ungkapan, yaitu ungkapan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", "Apakah jika dia wafat atau dibunuh", dan "Kamu akan berbalik ke belakang?" Untuk mendalami ayat ini dan membahasnya secara rinci, mau tidak mau kita harus melontarkan beberapa pertanyaan yang tajam, untuk menggali pemikiran dan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mengapa Allah SWT tidak cukup hanya dengan mengatakan "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", melainkan melanjutkannya secara langsung dengan kata-kata "Apakahjika dia wafat atau dibunuh", padahal konteks ayat di atas berdiri tegak dengan ungkapan pertama?

Apa perbedaan antara mati dan terbunuh? Huruf "aw" athaf (atau) memberikan arti pemisahan antara ma'thuf dengan ma'thuf 'alaih, lantas apa perbedaan di antara keduanya? Mengapa pengulangan ini muncul dari Allah SWT, padahal Dia mengetahui bahwa Rasulullah akan mati? Siapa orang yang disinggung di dalam firman-Nya "Jika kamu berbalik ke belakang"! Dari apa mereka berbalik ke belakang? Dan apa hubungannya antara pembelotan (berbalk ke belakang) dengan wafatnya Rasulullah saw?

Konteks ayat ini berbicara tentang sikap istiqamah, lantas kenapa ayat ini menggunakan kata-kata "Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur", dan tidak mengatakan "Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang istiqamah, orang-orang Muslim, atau orang-orang Mukmin?"

Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mau tidak mau kita harus menyebutkan dua mukaddimah berikut:

Pertama, tentang sebab-sebab turunnya ayat ini. Para mufassir menyebutkan bahwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini ialah kekalahan yang diderita oleh kaum Muslimin setelah peperangan Uhud, di mana kaum musyrikin

menyebarkan berita bahwa Rasulullah saw telah terbunuh di dalam peperangan. Berita ini telah menciptakan kerapuhan, kemunduran dan keraguan pada sebagian kaum Muslimin. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai teguran terhadap kaum Muslimin atas yang demikian.

Kedua, mana yang pokok di dalam ayat-ayat Al-Qur'an? Apakah yang pokok ialah bahwa ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, kecuali yang dikecualikan oleh suatu dalil? Atau, apakah justru sebaliknya?

Maksudnya ialah, jika ayat-ayat Al-Qur'an cocok untuk seluruh jaman, maka kita dapat mengumumkan makna ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jaman yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Jika tidak, maka berarti kita terikat dengan sebab-sebab yang melatar belakangi turunnya ayat di atas, dan penggenaralisiran ayat di atas kepada jaman-jaman yang lain selain dari jamannya itulah yang memerlukan alasan.

Para ulama Islam, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah sepakat bahwa pengambilan pelajaran berdasarkan keumuman lafaz, bukan berdasarkan kekhususan sebab. Jika yang menjadi pokok ialah tidak berlakunya ayat-ayat Al-Qur'an pada setiap jaman, niscaya akan batallah pelaksanaan Al-Qur'an pada jaman-jaman berikut, atau kita akan meninggalkan sebagian besar ayat Al-Qur'an di dalam kebekuan dan ketidak-sesuaian dengan jaman. Hal ini jelas tidak sejalan dengan ruh Islam, dan juga tidak sejalan dengan ajaran-ajarannya serta keumumannya. Ini adalah dalil akal. Dan sebagian besar ayat Al-Qur'an mendukung dalil ini, dimana ayat-ayat tersebut mendorong manusia untuk mau bertadabbur dan mengamalkan Al-Qur'an, serta mengecam perbuatan sebaliknya.

Jika kita membenarkan pendapat yang kedua, niscaya tidak akan ada artinya firman Allah SWT yang berbunyi, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." Karena, ayat ini mengisyaratkan kepada seluruh Al-Qur'an, dan tidak mengkhususkan kepada sebagian dari ayat- ayat Al-Qur'an, melainkan kita harus berusaha untuk bisa memahami seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, memperhatikannya dan me-metik pelajaran darinya. Hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita untuk mentadabburinya, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"

Al-Qur'an al-Karim mengecam orang yang mengimani sebagian Al-Qur'an dan tidak mengimani sebagian lainnya, "(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur'an itu terbagi-bagi.

"(Yaitu) orang-orang beriman kepada sebagian al-Kitab (Al-Qur'an) dan kafir kepada sebagian yang lain." Allah SWT berfirman,

"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan." (QS. al-Kahfi: 54)

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS. al-Qamar: 17)

"Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. " (QS. Fushshilat: 3)

"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya." (QS. az-Zukhruf: 3) Ayat-ayat ini mendorong kita untuk berpegang kepada Al-Qur'an seluruhnya, tidak sebagiannya.

Alhasil, jika kita berpegang kepada pendapat yang kedua, maka tidak ada seorang pun dari kaum Muslimin yang menerimanya. Kalau pun seandainya kita berpegang kepada pendapat yang kedua, sesungguhnya ayat yang sedang menjadi pembahasan kita mempunyai dalil-dalil yang membuktikan bahwa dia tidak hanya khusus bagi jaman pada saat dia turun, melainkan dia terus berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan sesudahnya. Adapun dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya berita yang tersebar pada saat peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw. Dan ayat ini berbicara tentang kejadian wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau dibunuh... " Seandainya ayat ini hanya dikhususkan bagi jaman pada saat dia diturunkan, maka tentu Allah SWT akan berkata, "Apa-kah jika dia dibunuh ". Sepertinya, penyebutan kata "wafat" adalah untuk menunjukkan bahwa perbuatan berbalik ke belakang yang terjadi pada peperangan Uhud juga akan terjadi pada saat setelah kematian Rasulullah saw.

Faidah praktis dari mukaddimah ini dalam pembahasan kita ialah, kita tidak dibebani kewajiban untuk mengemukakan sebuah dalil yang mengumumkan ayat inqilab ini kepada kejadian yang bukan merupakan sebab turunnya ayat ini, jika pendapat pertama yang benar, dan ini adalah pendapat yang benar —sebagaimana yang Anda saksikan. Adapun berdasarkan pendapat yang kedua, mau tidak mau harus ada sebuah dalil khusus untuk membuktikan bahwa ayat ini tidak hanya dikhususkan bagi kejadian tempat dia diturunkan, melainkan berlaku sepanjang kehidupan Rasulullah saw, dan bahkan jaman sepeninggal beliau. Seandainya pendapat yang kedua itu yang benar, maka dalil yang menunjukkan berlakunya ayat ini sepanjang kehidupan Rasulullah saw dan bahkan jaman sepeninggal beliau, terdapat di dalam ayat itu sendiri. Di mana, dan bagaimana?

Adapun pertanyaan "di mana", maka jawabannya ialah di dalam firman Allah SWT yang berbunyi "Apakah jika dia wafat atau dibunuh..." Sedangkan pertanyaan "bagaimana", maka jawabannya ialah bahwa berita yang tersebar luas di sekitar dan di dalam kota Madinah pada saat terjadi peperangan Uhud ialah berita terbunuhnya Rasulullah saw, yang menyebabkan sebagian dari para sahabat murtad dan berbalik ke belakang. Jika Allah SWT hendak mengkhususkan ayat ini hanya bagi peperangan Uhud, niscaya Allah SWT akan mengatakan, "Apakah jika dia terbunuh..." Namun penyebutan kata "wafat" oleh Allah SWT di dalam ayat, "Apakahjika dia wafat atau terbunuh...", memberikan pengertian yang pasti bahwa keadaan yang sama benar-benar akan terulang pada saat Rasulullah saw meninggal dunia.

Insya Allah, akan datang penjelasan lebih rinci kepada Anda yang menguatkan bahwa ayat ini tidak hanya terbatas kepada peristiwa perang Uhud, melainkan juga mencakup jaman hingga meninggalnya Rasulullah saw, dan bahkan jaman sesudahnya.

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendatangi kamu, meski pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. an-Nisa: 78)

"Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi)." (QS. al-Hajj: 66)

Juga terdapat mati dalam arti khusus, sebagai lawan dari terbunuh. Yaitu orang yang mati disebabkan telah rusaknya bangunan kehidupannya. Dan ayat mana saja yang menyebutkan kedua kata tersebut secara bersamaan, yaitu kata mati dan terbunuh, maka yang dimaksud dengan mati adalah mati dalam arti khusus. Pengertian ini lebih bertambah kuat lagi manakala digunakan kata aw (atau), yang memberikan arti pemisahan di antara ma'thuf dan ma'thuf 'alaih. Contohnya ialah firman Allah SWT yang berbunyi,

"Dan sungguh kalau kamu terbunuh di jalan Allah atau meninggal dunia, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan yang mereka kumpulkan." (QS. Ali Imran: 157)

"Dan sungguh jika kamu meninggal dunia atau terbunuh, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan." (QS. Ali Imran: 158)

"Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." (QS. Ali Imran: 156) Karena, jika kata "mati" di dalam ayat-ayat ini bermakna umum maka tentu tidak diperbolehkan menggunakan kata "terbunuh", karena sudah tercakup di dalamnya. Dan jika hal itu dilakukan, maka ini berarti bertentangan dengan kefasihan bahasa. Dari sini kita dapat membuktikan bahwa yang dimaksud dengan mati di dalam ayat Inqilab ialah mati dalam arti khusus, yang merupakan lawan dari kata terbunuh.

Kenapa Allah SWT menekankan kepada sifat kerasulan pada diri Rasul-Nya, dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang rasul, sebagaimana telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Untuk tujuan itu sebenarnya Allah SWT cukup dengan hanya mengatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul", namun kenapa Allah SWT melanjutkannya secara langsung dengan mengatakan, "Apabila dia wafat atau dia dibunuh"?

Yang terbayang pertama kali di dalam menjawab pertanyaan ini adalah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para mufassir, yaitu bahwa Allah SWT hendak menarik perhatian kaum Muslimin kepada sebuah hakikat, bahwasannya Nabi Muhammad saw itu tidak kekal. Dia itu akan mati dan berlalu. Keadaannya persis sebagaimana rasul-rasul yang lain yang telah mati dan berlalu. Makna ini adalah makna yang tampak, namun bukan satu-satunya makna. Karena kalau sekiranya maksud Allah SWT hanya sebatas hendak menetapkan sifat kematian bagi Rasulullah saw, maka tentunya Allah SWT akan me-ngatakan, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang manusia, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang manusia." Untuk menekankan kepada kefanaan dan ketidak-langgengan yang sudah merupakan tabiat manusia. Juga terdapat beberapa arti yang lebih luas dan lebih dalam dari arti ini, yang menuntut dikemukakannya dan ditekankannya sifat kerasulan. Yaitu,

Pertama, sebagaimana keberadaan agama tidak digantungkan kepada kehidupan rasul-rasul yang lalu, maka demikian juga keberadaan agama ini tidak digantungkan kepada kehidupan Rasulullah saw. Sebagaimana para nabi terdahulu meninggal dunia dan agama tetap berlangsung sepeninggal mereka, maka demikian pula manakala Rasulullah saw meninggal dunia atau terbunuh, agama akan tetap berlangsung sepeninggalnya.

Kedua, ini merupakan arti yang paling dalam dan paling mencakup, yaitu penekanan terhadap hakikat kesesuaiaan sunah-sunah di antara umat sepeninggal rasul-rasulnya. Maka apa yang telah terjadi atas umat-umat tersebut, akan terjadi pula atas umat ini. Al-Qur'an, sunah Rasulullah saw dan kenyataan menguatkan hakikat ini. Adapun Al-Qur'an al-Karim mengatakan,

"Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putra Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan ruhul qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akn tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah: 253)

Dhamir (kata ganti) hum kembali kepada kata ar-rusul (rasul-rasul). Jika yang dikehendaki oleh Allah SWT hanyalah Isa as maka tentu Allah SWT akan menggunakan ungkapan "min ba'dih" (sesudahnya). Juga tidak bisa dikatakan bahwa yang dikehendaki oleh Allah dengan dhamir "hum" (mereka) adalah Isa as, sebagai penghormatan. Karena kedudukan dhamir "hum" pada kata "min ba'dihim" (sesudah mereka) dengan maksud sebagai pengagungan, itu bertentangan dengan kefasihan. Adapun berkenaan dengan orang yang mengatakan bahwa dhamir "hum" hanya merupakan makna majazi (kiasan), maka kita katakan, sesungguhnya jika terjadi keraguan apakah suatu lafaz itu digunakan dalam arti majazi (kiasan) atau hakiki (arti sebenarnya) maka kita berpegang kepada arti hakiki. Pada penggunaan dhamir hum dalam arti hakiki maka dhamir hum kembali kepada "rasul-rasul itu", yang salah satu di antaranya adalah Rasulullah saw, berdasarkan petunjuk ayat sebelumnya yang berbunyi, "Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan benar, dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus." Kemu-dian Allah SWT melanjutkan, "Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagi-an dari mereka atas sebagian yang lain."

Kemudian, sesungguhnya perihal kesesuaian sunah-sunah juga ditunjukan oleh banyak riwayat yang masyhur dan sahih, yang disepakati oleh kaum Muslimin. Seperti sabda Rasulullah saw yang berbunyi, "Niscaya kamu akan mengikuti sunah-sunah orang sebelummu. Bulu anak panah dengan bulu anak panah, dan sandal dengan sandal. Bahkan jika mereka memasuki lubang biawak, niscaya kamu pun akan memasukinya." Dalam sebuah hadis yang lain Rasulullah saw bersabda, "Janganlah sepeninggalku engkau kembali menjadi orang-orang kafir, yang sebagianmu memenggal sebagian

leher yang lain." Rasulullah saw juga telah bersabda, "Orang-orang Yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara orang-orang Kristen telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akn berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan darinya berada di dalam neraka, dan hanya satu golongan yang selamat." Bahkan, banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan kepada fenomena ini. Seperti firman Allah SWT yang berbunyi,

"Mereka tidak menunggu-nunggu kecuali kejadian-kejadian yang sama dengan kejadian-kejadian yang menimpa orang-orang yang telah terdahulu sebelum mereka." (QS. Yunus: 102)

"Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, danAllah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya." (QS. al-Baqarah: 213)

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi?" (QS. al-Ankabut: 2)

Sesunggunya dalil terbesar yang menunjukkan kepada kesesuaian di antara sunah-sunah umat terdahulu dan umat kemudian ialah kenyataan yang terjadi pada para sahabat sepeninggal Rasulullah saw, yaitu di mana sebagian mereka mengkafirkan sebagian mereka yang lain, dan masing-masing dari mereka memfasikkan yang lainnya, hingga berakhir dengan terjadinya peperangan yang dahsyat di antara mereka, yang menelan korban lebih dari seratus ribu kaum Muslimin. Inilah ekstensi dari ayat yang berbunyi, "Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu." (QS. al-Baqarah: 253)

Setelah ini, tidak bisa seseorang mengatakan, bagaimana mungkin para sahabat berbalik ke belakang padahal merekalah yang telah mengorbankan harta dan diri mereka, dan telah memerangi keluarga mereka serta telah berdiri tegar di sisi Rasulullah saw dalam keadaan susah dan lapar, serta mereka telah melihat ayat-ayat dan mukjizat-mukjizatnya!! Karena di samping alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, keragu-raguan ini dapat dijawab dengan hal-hal berikut,

a. Sesungguhnya kata ganti orang kedua di dalam ungkapan "inqalabtum" (kamu berbalik ke belakang) ditujukan kepada mereka para sahabat. Karena tidak logis jika yang dimaksud adalah orang-orang kafir atau orang-orang munafik, karena mereka adalah orang-orang yang menyimpang atau berbalik ke belakang sejak awal.

b. Ilmu tidak menjamin pemiliknya untuk lurus. Betapa banyak manusia yang mengetahui bahwa kebenaran berada di suatu tepian, namun disebabkan hawa nafsunya dia justru cenderung kepada tepian yang lain. Bahkan, kebanyakan pembangkangan terjadi setelah datangnya pengetahuan tentang kebenaran. Allah SWT berfirman,

"Dan tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang ada di antara mereka." (QS. Ali Imran: 19)

"Dan tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan Kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki di antara mereka sendiri." (QS. al- Baqarah: 213)

Segala sesuatunya terang dan jelas, namun mereka berselisih dan saling berbunuh-bunuhan, "Dan kalaulah Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang yang datang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan." (QS. al-Baqarah: 253)

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, dan kemudian Allah membiarkannya sesat atas ilmunya. " (QS. al-Jatsiyah: 23)

c. Sesungguhnya pengorbanan-pengorbanan yang lalu dan kesabaran atas berbagai musibah, tidak menjamin manusia untuk tidak jatuh ke dalam penyimpangan di masa yang akan datang. Pengorbanan dan kesabaran yang mereka (para sahabat) tunjukkan tidak lebih besar dari pengorbanan dan kesabaran yang ditunjukkan oleh Bani Israil manakala Fir'aun memotong kaki dan tangan mereka, menyalib mereka, membiarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan anak-anak perempuan mereka, dan membunuh kaum laki-laki dari mereka, namun mereka tetap sabar berpegang kepada seruan Nabi Musa as, dan mereka melihat dengan jelas mukjizat-mukjizat besar yang ditunjukkan oleh Nabi Musa as, yang mana yang terbesar darinya ialah membelah lautan menjadi dua bagian, sehingga tidak ubahnya menjadi dua buah gunung yang besar. Namun, tatkala Nabi Musa as meninggalkan mereka beberapa hari, mereka kembali menyembah patung anak sapi. Sehingga sepertinya sudah menjadi watak manusia melakukan pelanggaran manakala dia merasa cukup dan aman,

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas." (QS. al-'Alaq: 6)

d. Betapa pun seorang manusia telah tinggi di dalam derajat keimanan, dia tetap tidak dimaksum oleh Allah SWT, sehingga bisa saja dia berbalik ke belakang dan kembali kafir. Tidak ada contoh yang lebih besar dari Bal'am bin Ba'ura,

"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), makajadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesunggunya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barang siapa yang diberi petunjuk

oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi." (QS. al-A'raf: 175-178)

Apakah ada salah seorang dari sahabat telah mencapai tingkat keimanan yang seperti ini, hingga mencapai tingkat membawa Ism al-A'zham? Sungguh telah menyimpang orang yang telah mencapai derajat ini, apalagi orang yang ada di bawahnya?

Timbul pertanyaan di sini, "Pembelotan (perbuatan berbalik ke belakang) itu terjadi atas apa?" Bahkan, merupakan tugas kita untuk menanyakan, atas apa pembelotan itu biasanya terjadi?

Di dalam ayat Inqilab terdapat unsur-unsur dasar yang dapat menghantarkan kita kepada jawaban pertanyaan ini, dengan melakukan analisa dan penarikan kesimpulan darinya:

a. Ayat Inqilab mempunyai hubungan yang langsung dengan wafatnya Rasulullah saw, "Apakah jika dia wafat atau